BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan rokok di Indonesia sampai saat ini masih menjadi masalah nasional yang perlu diupayakan penanggulangannya, karena menyangkut berbagai aspek permasalahan dalam kehidupan, yaitu aspek kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik (Depkes, 2006). Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, karena dalam rokok terdapat kurang lebih 4000 zat kimia antara lain nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenetik, yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, enfisema, dan gangguan kehamilan (Pergub DIY, 2009). Indonesia merupakan negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, yaitu menduduki urutan keempat setelah China, USA dan Rusia. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi Indonesia cenderung meningkat dari 182 milyar batang pada tahun 2001 menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009 (Tobacco Atlas, 2012). Proporsi perokok aktif umur 30-34 tahun di Indonesia sebesar 33,4%, perokok laki-laki (47,5%) lebih banyak di bandingkan perokok perempuan (1,1%). Rerata proporsi perokok umur ≥10 tahun di Indonesia adalah sebanyak 29,3%, dengan proporsi perokok terbanyak adalah Kepulauan Riau dengan perokok setiap hari 27,2% dan kadang-kadang merokok 3,5%. Proporsi perokok umur ≥10 tahun di D.I. Yogyakarta adalah sebanyak 9,1%, 21,2% merokok setiap hari dan 5,7% merokok kadang-kadang (Riskesdas, 2013).
1
3
Asap rokok tidak hanya berdampak negatif bagi perokok aktif saja, akan tetapi juga bagi perokok pasif. Hasil survey paparan asap rokok yang dilakukan di 8 kota besar di Indonesia adalah sebagai berikut, hasil survey paparan asap rokok di tempat umum adalah 12% menyatakan selalu terpapar; 23,1% jarang; dan 2,2% menyatakan tidak pernah, kemudian hasil survey paparan asap rokok di angkutan umum adalah 6,9% menyatakan selalu; 35,6% jarang dan 12,8% tidak pernah, hasil survey paparan asap rokok di tempat kerja adalah 8,5% menyatakan selalu; 28,5% jarang, dan 31,6% menyatakan tidak pernah terpapar. Hasil survey dapat disimpulkanbahwa paparan asap rokok yang terhirup orang lain itu sangat sering terjadi. Hal ini menunjukan persepsi masyarakat mengenai peraturan merokok masih kurang (Alim, 2013). Perilaku merokok secara global berperan dalam 6 dari 8 penyebab kematian utama di dunia. Angka kematian berkaitan dengan asap rokok sebanyak 5,7 juta pertahun dapat meningkat hingga 8 juta pertahun dengan jumlah perokok mencapai 1,3 milyar orang pada tahun 2030. Sekitar 80% kematian terkait tembakau terjadi di negara-negara sedang berkembang (WHO, 2008). Laporan WHO mengenai Global Tobacco Epidemic 2013 menunjukkan bahwa negara manapun dapat membangun peraturan pengendalian tembakau yang efektif untuk mengurangi penggunaan tembakau. Pengadaan tempat umum bebas asap rokok dan tempat kerja terus menjadi ukuran yang paling umum di dunia sebagai peraturan pengendalian merokok. Ada 32 negara yang sudah memenuhi dalam pengadaan tempat area bebas merokok termasuk semua tempat kerja, tempat umum dan transportasi umum (WHO, 2013). Indonesia telah mempunyai
4
dasar hukum yang mendukung pengendalian konsumsi tembakau yang tercakup dalam UU Kesehatan No. 36/2009 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Indonesia telah menerapkan beberapa program pengendalian termasuk kawasan tanpa rokok dan strategi MPower yang mencakup strategi pengendalian dampak negatif konsumsi rokok dari aspek kesehatan maupun ekonomi meskipun secara internasional Indonesia belum menunjukkan komitmen pengendalian tembakau yang kuat, karena belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) (Kemenkes RI, 2012). FCTC adalah perjanjian kesehatan masyarakat di dunia dan merupakan payung hukum pengendalian rokok untuk melindungi generasi muda sekarang dan masa depan dari kerusakan kesehatan, sosial, lingkungan, dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau serta terhadap paparan asap tembakau (Marlow, 2006). Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sudah mulai menerapkan peraturan mengenai area merokok. Peraturan tersebut diterapkan karena hasil survey tahun 2008 tentang perilaku merokok remaja SMP-SMA (12-18 tahun) di Yogyakarta memperlihatkan hampir 50% remaja SMA dan 30% remaja SMP pernah mencoba untuk merokok. Hanya 37,5% remaja dari jumlah tersebut yang bisa mengendalikan diri untuk tidak merokok sementara sebanyak9,3% diantaranya menjadi perokok rutin dimana 3% diantaranya adalah remaja putri (Dinkes DIY, 2009). Hasil survey tersebut membuat Pemerintah Provinsi DIY pada bulan Oktober tahun 2009 menetapkan Keputusan Gubernur terkait dengan upaya pencegahan kebiasaan merokok
5
khususnya untuk melindungi perokok pasif yaitu Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Peraturan area merokok pada dasarnya adalah untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok, memberikan pemahaman kepada perokoktentang area-area tertentu yang diperbolehkan untuk merokok dan mencegah munculnya perokok baru. Hasil kajian pravelensi rumah tangga bebas asap rokok yang dilakukan oleh Dinkes DIY 2009 menunjukkan bahwa sejumlah 55,4% rumah tangga di Provinsi DIY tidak bebas asap rokok. Hasil tersebut tidak mengalami perubahan dibandingkan survey 2007 yang menemukan 55% rumah tangga tidak bebas asap rokok. Prevalensi rumah tangga tidak bebas asap rokok di Kota Yogyakarta adalah sebanyak 52,1% rumah tangga dan hanya 35,6% masyarakat yang menyatakan mengetahui mengenai peraturan area dilarang merokok. Masyarakat yang menyatakan mengetahui aturan area dilarangmerokok, menyatakan bahwa aturan yang diketahui dikaitkan dengan masalah larangan merokok di tempat tertentu (15,6%). Masyarakat menyebutkan tempat-tempat tertentu yang dimaksud namun tidak dapat menyebutkan keseluruhan dari tempat yang telah ditetapkan (Dinkes DIY,2009). Sekitar 60,5% masyarakat tahu mengenai peraturan larangan merokok di DIY tetapi hanya 14% yang tahu bahwa peraturan tersebut adalah Pergub dan sebagian kawasan dilarang merokok juga belum dipatuhi oleh masyarakat, padahal peraturan tersebut sudah disosialisasikan oleh Dinas Kesehatan DIY dan Dinas Kesehatan Kab/ Kota (Nugroho & Istiyani, 2011).Data modul Susenas pada tahun 2004 menunjukkan jumlah perokok aktif di DIY adalah sebesar 22,81%, dan
6
frekuensi terbesar jumlah batang rokok per hari yang dikonsumsi oleh perokok aktif tersebut adalah 12 batang rokok per hari. Sejumlah 22,81% perokok aktif didapatkan bahwa sebanyak 98,79% adalah laki-laki dan 1,21% adalah perempuan sebagai perokok aktif. Jumlah perokok aktif di Kota Yogyakarta pada tahun 2004 menduduki peringkat ke 4 (empat) di DIY yaitu sebesar 22,06% setelah Kabupaten Bantul (24,63%), Kabupaten Kulon Progo (24,31%), dan Kabupaten Gunung Kidul (23,67%) (Modul Susenas, 2004). Kesuksesan dalam pelaksanaan peraturan area merokok ini tidak akan berhasil dengan maksimal apabila tidak ada peran dari masyarakat untuk ikut serta kegiatan pengawasan dalam rangka penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti ingin mengetahui persepsi masyarakat di Kota Yogyakarta tentang rokok danp perilaku merokok. Persepsi masyarakat tentang rokok dan perilaku merokok perlu diidentifikasi guna memberikan penguatan pada persepsi yang sesuai konsep kesehatan dan untuk memperbaiki persepsi yang salah terhadap larangan merokok dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan masalah
“Apakah ada hubungan antara usia, jenis kelamin, dan
media informasi dengan persepsi masyarakat tentang rokok dan perilaku merokok di Kota Yogyakarta? “
7
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang rokok dan persepsi masyarakat tentang perilaku merokok di Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang rokok b. Mengidentifikasi persepsi masyarakat tentang perilaku merokok
D. Manfaat Penelitiaan 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan keilmuan mengenai persepsi yang ada pada masyarakat mengenai rokok dan perilaku merokok, apakah persepsi itu baik ataupun kurang baik. 2. Manfaat bagi Profesi Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan perawat komunitas untuk memberikan pendidikan kesehatan mengenai rokok dan dampaknya bagi kesehatan dengan memberikan penguatan pada persepsi masyarakat yang sesuai dengan konsep kesehatan ataupun memberikan pengarahan untuk memperbaiki persepsi yang salah tentang rokok dan persepsi tentang perilaku merokok sehingga dapat menekan jumlah perokok aktif yang merokok di area dilarang merokok.
8
3. Manfaat bagi Pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan referensi atau sebagai dasar-dasar pemikiran tentang sejauh mana persepsi yang dimiliki masyarakat tentang rokok dan persepsi tentang perilaku merokok. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan literatur yang ditelaah oleh penulis, penelitian dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang rokok dan perilaku merokok belum pernah dilakukan. Ada beberapa penelitian sejenis yang berhubungan dengan penelitian ini antara lain : 1. Hidayati (2006) meneliti tentang persepsi masyarakat mengenai perilaku merokok di Dusun Sendowo, Kelurahan Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kab. Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif eksploratif. Jenis penelitiannya survei dengan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan metode DKT dan wawancara. Teknik sampling menggunakan metode purposive sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku merokok karena faktor kepribadian, pergaulan, orangtua dan iklan. Persepsi masyarakat menjelaskan bahwa dampak perilaku merokok dapat mempengaruhi kesehatan, keuangan, dan penampilan. Perbedaan dengan penelitian peneliti terletak pada pendekatan penelitian, metode penelitian, instrumen dan teknik sampling. Persamaannya terletak pada salah satu variabel yaitu persepsi masyarakat tentang perilaku merokok.
9
2. Susanti (2011) meneliti tentang persepsi unsur pimpinan FKM Universitas Sumatera Utara tentang Kawasan Tanpa Rokok tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif dan menggunakan metode wawancara mendalam (indepth interview). Teknik sampling menggunakan purposive sampling (berdasarkan pertimbangan tertentu yakni orang-orang yang terlibat unsur pimpinan di FKM yang merupakan penentu kebijakan). Instrumen yang digunakan adalah alat tulis dan Digital Voice Recorder (DVR). Hasil penelitian ini menyatakan bahwa para informan setuju dengan adanya KTR dibeberapa daerah dan universitas di Indonesia, terutama di FKM USU. Serta semua informan memiliki komitmen yang kuat untuk merealisasikan kawasan tanpa rokok sebagai upaya peningkatan kesehatan. Perbedaan dengan penelitian peneliti terletak pada variabel, pendekatan penelitian, sampel yang diteliti, instrumen, dan teknik sampling. 3. Astuti (2009) meneliti tentang gambaran persepsi, sikap, dan perilaku merokok pada siswa sekolah menengah pertama (SMP) di urban Kab. Sleman. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dengan rancangan cross-sectional. Responden adalah siswa SMP dengan teknik sampling systematic random sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Hasil penelitian ini adalah sebagian besar responden memiliki persepsi terhadap merokok yang baik. Secara umum responden memiliki persepsi dan sikap terhadap merokok yang baik namun pravelensi merokoknya masih cukup tinggi. Persamaan
10
dengan penelitian peneliti terletak pada metode dan pendekatan penelitian, serta teknik sampling yang digunakan. Perbedaannya terletak pada variabel dan sampel yang diteliti.