BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyakit degeneratif terjadi dikarenakan penurunan fungsional sel atau kerusakan bentuk jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas, penumpukan sampah metabolik dalam sel, mutasi genetika, ataupun faktor usia/ penuaan (Remacle & Reusens, 2004). Salah satu cara untuk mencegah penyakit degeneratif adalah dengan senyawa antioksidan yang dapat menghalangi proses oksidasi akibat adanya radikal bebas (Kusumalaningsih, 2006). Selain itu, dengan diet protein dan pola hidup sehat dapat mencegah penyakit degeneratif (Ames, et al., 1993). Perbaikan kerusakan jaringan tubuh juga dapat diperbaiki dengan mekanisme regenerasi sel oleh sel punca yang terdapat dalam jaringan atau organ tubuh (Setiawan, 2006) Sel punca (Stem cell) merupakan sel yang mampu melakukan diferensiasi menjadi tipe sel lain sesuai fungsinya. Terdapat dua macam sel punca yang dikenal saat ini yakni sel punca embrio dimana sel belum berdiferensiasi dan sel punca dewasa yang terdapat diantara sel yang telah berdiferensiasi (Laux, 2003). Sel punca dapat memperbaiki kerusakan atau penyakit pada bagian tubuh dengan sel baru yang sehat dari transplantasi sel punca. Penelitian menunjukkan bahwa sel punca yang menurun kerjanya, dapat diremajakan kembali dengan menambahkan senyawa penginduksi yang tepat (Shytle, et al., 2007)
1
2
Disamping hewan dan manusia, tanaman juga mempunyai sel punca yang terdapat dalam jaringan meristem apikal di bagian tunas dan akar. Sel punca tesebut dapat membelah dan berdiferensiasi menjadi sel lain yang dapat menjadi tanaman utuh. Didalam sel punca tanaman terdapat kandungan senyawa yang mampu meremajakan sel punca tersebut, sehingga tanaman dapat bertahan lama. Adanya kemiripan fungsi antara sel punca mamalia dan sel punca tanaman memberi harapan bahwa senyawa dalam sel punca tanaman tersebut mampu menginduksi sel mamalia untuk beregenerasi sehingga dapat mengembalikan fungsi sel-sel spesifik dan jaringan tertentu pada mamalia. Oleh karena itu, senyawa dalam sel punca tanaman perlu dioptimalkan penggunaannya untuk membantu peremajaan sel punca mamalia (Schmid, et al., 2008). Ekstrak dari sel punca tanaman telah banyak dibuat dan digunakan pada produk kosmetik, dengan harapan dapat memicu peremajaan sel kulit manusia yang mulai mengalami degenerasi. Penelitian untuk pengembangan ekstrak sel punca dari tanaman ini sangat menjanjikan untuk dimanfaatkan sebagai pengobatan regeneratif ke depannya (Schmid, et al., 2008) Untuk memperoleh sel punca tanaman dapat dilakukan dengan kultur jaringan tanaman. Kultur jaringan tanaman dapat menggunakan hampir semua jaringan tanaman, yang disebut eksplan. Akibat adanya luka, sel baru akan terbentuk pada permukaan eksplan yang dipotong. Sel secara lambat akan membentuk massa sel yang tidak berwarna yang disebut kalus (Barbulova, et al., 2010). Sel kalus adalah sel punca yang mirip dengan yang ada di daerah meristem (Berger, et al., 1985). Sel kalus ini yang kemudian digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini.
3
Buah tomat merupakan buah yang telah diketahui memiliki banyak khasiat terutama sebagai antioksidan. Selain sebagai sumber antioksidan, tomat juga mengandung nutrisi yang lengkap seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Selain senyawa-senyawa tersebut, di dalam tomat juga mengandung senyawa fenolik, karotenoid, flavonoid, antosianin, dan vitamin C (Zulkifli, et al., 2012; Rebecca, et al., 2010) yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Eveline, et al., 2014). Senyawa-senyawa antioksidan tersebut berperan di dalam pencegahan penyakit degeneratif seperti penyakit kanker, diabetes, dan jantung. Berdasarkan pendapat Engelmann, et al., (2010), dalam kultur tanaman tomat terdapat karotenoid, likopen, phytoene, phytofluene, dan ß-karoten. Oleh sebab itu, dalam ekstrak kalus kecambah tomat diharapkan memiliki kandungan yang serupa dengan buah tomat sehingga memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Sebagai objek penelitian ini digunakan kalus kecambah tomat.
Kalus
kecambah tomat diekstraksi dengan etanol 70% dan dilanjutkan dengan uji kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Untuk mengetahui aktivitas senyawa tersebut dalam menangkap radikal bebas, dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH. Selain itu, untuk mengetahui kandungan protein dalam kalus kecambah tomat, kalus kecambah tomat diekstraksi menggunakan aqua bidestilata dan dianalisis kualitatif menggunakan SDS-PAGE. Pada akhir penelitian ini diharapkan dapat diketahui senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol kalus kecambah tomat (EEKKT) yang memiliki aktivitas antioksidan serta protein dalam ekstrak air kalus kecambah
4
tomat (EAKKT). Senyawa atau protein ini diharapkan dapat mencegah penyakit degeneratif akibat radikal bebas, serta menginduksi proliferasi sel punca mamalia.
B. 1.
Rumusan Masalah
Bagaimana profil golongan senyawa dalam ekstrak etanol kalus kecambah tomat?
2.
Bagaimana profil protein dalam ekstrak air kalus kecambah tomat?
3.
Bagaimana aktivitas antioksidan senyawa yang terkandung dalam ekstrak etanol kalus kecambah tomat?
C. 1.
Manfaat Penelitian
Bagi Masyarakat Hasil penelitian ini memberikan alternatif agen antioksidan alami yang dapat dikonsumsi sebagai upaya preventif penyakit degeneratif.
2.
Bagi Industri Pengguna hasil penelitian dapat meneliti dan mengembangkan lebih jauh untuk menemukan produk yang potensial dengan memanfaatkan sel punca tomat sebagai antioksidan untuk antiaging (kosmetik) atau pencegahan penyakit degeneratif.
3.
Bagi Akademisi Hasil penelitian ini dapat menjadi sebuah referensi dan ide untuk terus mengembangkan penelitian mengenai sel punca tanaman sebagai sumber antioksidan alami dalam mengatasi radikal bebas.
5
D. 1.
Tujuan Penelitian
Mengetahui profil golongan senyawa dalam ekstrak etanol kalus kecambah tomat
2.
Mengetahui profil protein dalam ekstrak air kalus kecambah tomat
3.
Mengetahui aktivitas antioksidan senyawa dalam ekstrak kalus kecambah tomat
E. 1.
Tinjauan Pustaka
Sel Punca Tanaman Sel punca (stem cells) merupakan sel yang belum berdiferensiasi dan
memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi berbagai sel-sel spesifik (Schmid, et al., 2008). Sel punca memiliki sifat khusus seperti kemampuan untuk mengisi, memperbaiki, dan memperbaharui diri sendiri serta mampu untuk menghasilkan sel yang telah berdiferensiasi. Terdapat dua tipe sel punca pada manusia dan hewan yaitu, sel punca embrionik dan sel punca dewasa. Sel punca embrionik bersifat pluripotent dan dapat berdiferensiasi menjadi semua tipe sel yang ada dalam tubuh. Pluripotensi merupakan kemampuan sel untuk berdiferensiasi menjadi semua bentuk jaringan dari suatu organisme namun tidak dapat membentuk organisme baru (Battey, et al., 2006). Sel punca dewasa berfungsi memelihara dan memperbaiki jaringan, namun terbatas pada tipe sel atau jaringan tertentu dimana sel punca dewasa tersebut berada. Namun, terdapat sel punca dewasa yang pluripotent. Setiap sel, baik sel punca maupun sel yang telah
6
berdiferensiasi mempunyai DNA dan gen yang sama. Yang membedakan adalah signal epigenetik dari lingkungan mikro disekitar sel (Schmid, et al., 2008). Sel punca tanaman berada di lokasi yang spesifik, berkelompok dalam niche, yang disebut meristem. Meristem dibagi menjadi meristem primer dan sekunder. Meristem primer meliputi meristem apikal (batang dan akar), meristem interkalar, dan germ meristem, sedangkan meristem sekunder meliputi kambium, felogen, dan kalus (Moruś, et al., 2014). Sel punca pada tanaman tergantung pada signal dari lingkungan mikro dan kontrol epigenetis yang sama seperti halnya pada sel punca mamalia. Namun, tanaman yang sudah dewasa memiliki sel punca totipotent yang berpotensi untuk regenerasi keseluruhan tanaman. Totipotensi adalah kemampuan sel untuk dapat berkembang menjadi semua jenis sel dan membentuk organisme baru dalam kondisi dan lingkungan yang tepat (Grafi, et al., 2011). Teknik kultur jaringan tanaman didasarkan pada perkembangbiakan dari sel punca tanaman untuk menghasikan tanaman baik dalam bentuk utuh, jaringan, atau hanya sel tunggal untuk memperoleh metabolit tanaman. Kultur jaringan tanaman dapat dilakukan menggunakan hampir semua jaringan tanaman, yang disebut eksplan. Akibat adanya luka, sel baru akan terbentuk pada permukaan eksplan yang dipotong. Sel secara lambat akan membentuk massa sel yang tidak berwarna yang disebut kalus. Sel kalus adalah sel punca yang mirip dengan yang ada di daerah meristem (Berger, et al., 1985). Pembentukan kalus pada jaringan luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin endogen. Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur jaringan, kalus
7
dapat dihasilkan dari potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular, parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofil daun dan jaringan provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat membentuk plantlet (Shofiyani & Purnawanto, 2010).
Gambar 1. Pembentukan Kalus Tomat (a,b) dan Kultur Kalus Tomat (c, d) (Harish, et al., 2010)
Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Jenis tanaman yang menghasilkan kalus, meliputi dikotil berdaun lebar, monokotil, gymnospermae, pakis dan moss. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil, kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi dan menghasilkan kalus. Telah diketahui bahwa proses regenerasi bergantung pada umur eksplan yang digunakan. Eksplan yang masih muda memberikan respon morfogenik yang lebih baik dibanding eksplan yang lebih tua (Harish, et al., 2010).
8
2.
Tanaman Tomat Tanaman tomat, yang memiliki nama latin Solanum lycopersicum L.,
termasuk dalam famili Solanaceae (terong-terongan) seperti halnya kentang dan terong, serta tergolong dalam kelas tanaman dikotil (Anonim, 2015). Terdapat berbagai varietas tomat di Indonesia. Beberapa varietas tomat untuk lahan di dataran tinggi antara lain Synergi F1, Warani F1, Marta F1, Montera F1, Karunia F1, Sakura F1, dan Marta 9 F1, sedangkan varietas tomat dataran rendah ialah Destyne F1, Tantyna F1, Tyrana F1, Lentana F1, Tombatu F1, Permata F1, dan Tymoti F1 (Prabaningrum, et al., 2014). Nama-nama lain yang sering dipakai dalam perdagangan diantaranya adalah tomat biasa, tomat apel, tomat kentang, dan tomat keriting (Setiawan, 1994).
Gambar 2. Buah Tomat (Solanum lycopersicum L.)
Buah tomat merupakan buah yang kaya akan berbagai senyawa antioksidan seperti golongan karotenoid (likopen, α-karoten, ß-karoten, lutein), vitamin C, flavonoid, dan vitamin E (Anonim, 1981). Selain sebagai sumber antioksidan, tomat juga mengandung nutrisi yang lengkap seperti karbohidrat, protein, lemak, serat, vitamin baik vitamin larut air dan larut dalam lemak, serta mineral (Anonim, 2012).
9
Biosintesis dari terpenoid pada tumbuhan mengikuti jalur asam asetatmevalonat. Asam asetat yang diaktifkan dengan koenzim A membentuk asetil-KoA dan melakukan reaksi kondensasi dengan asetil-KoA yang lain sehingga terbentuk asetoasetil-KoA. Asetosetil-KoA yang terbentuk juga berkondensasi dengan unit asetil-KoA yang lain, sehingga terbentuk tiga unit gabungan dari asetil-KoA yang selanjutnya diprotonasi membentuk asam mevalonat. Dengan adanya pirofosfat pada asam mevalonat dapat terjadi pelepasan komponen CO2 (dekarboksilasi) dan pelepasan OPP- membentuk isopentenil pirofosfat (IPP) dengan isomernya dimetilalil pirofosfat (DMAPP) (Dewick, 2009) Likopen, suatu karoteinoid, merupakan antioksidan yang dapat membantu mencegah perkembangan berbagai bentuk kanker. Sumber yang diketahui paling baik mengandung likopen adalah tomat matang atau produk tomat karena likopen dilepaskan dari tomat saat pemasakan. Tomat mentah memiliki sekitar satu perlima kandungan likopen dari kandungan tomat matang. Bagaimanapun, baik matang atau mentah, tomat masih merupakan sumber yang baik untuk antioksidan (Jones, 1999).
Gambar 3. Struktur Likopen (Aghel, et al., 2011)
Likopen sebagai antioksidan nonenzimatis, secara signifikan dapat menurunkan enzim fase I seperti cytochrome p450-dependent enzymes dan meningkatkan enzim detoksifikasi fase II seperti hepatic quinone reductase (Breinholt, et al., 2003). Enzim-enzim pemetabolisme ini penting dalam
10
penghilangan substansi asing dan karsinogen dari dalam tubuh. Enzim tersebut akan mendetoksifikasi senyawa-senyawa elektrofilik yang dapat berikatan kovalen dengan protein maupun asam nukleat sehingga kerusakan sel dan inisiasi terjadinya mutasi dapat dicegah. Likopen juga ditemukan dapat mencegah kerusakan membran dan kematian sel limfosit oleh serangan NO2* dua kali lebih efisian dibanding β-karoten (Bohm, et al., 2002 dan Tinkler, et al., 1994). Boileau, et al., (1999) dan Birt, et al., (2001) menyatakan baik karotenoid maupun polifenol yang terdapat dalam tomat memiliki kemampuan antioksidan yang dapat memadamkan radikal bebas. Konstituen lain pada tomat adalah fenol, yang merupakan senyawa dengan gugus hidroksil yang terikat pada cincin aromatik. Fenol yang banyak terdapat pada tomat adalah flavonoid. Kadar flavonol (salah satu jenis flavonoid) pada tomat juga tinggi (98%) total flavonol yang dikandung pada kulit tomat dalam bentuk konjugasi kuercetin and kaempferol. Flavonoid memiliki banyak fungsi yaitu proteksi terhadap radiasi UV-B, daya tahan terhadap berbagai serangan patogen, penarik serangga untuk penyerbukan, dan sebagai sinyal untuk inisiasi hubungan simbiosis (Scalbert & Williamson, 2002). Senyawa flavonoid dengan banyak gugus fenolik umumnya memiliki manfaat kesehatan dikarenakan kemampuan sebagai antioksidannya, yang berfungsi menunda atau mencegah proses oksidasi makromolekul dengan cara menghambat tahap inisiasi dan propagasi pada reaksi rantai oksidatif (Van der Rest, et al., 2005). Secara in vitro, beberapa flavanoid dapat menginduksi sistem enzim protektif manusia dan menunjukkan efek protektif terhadap penuaan, penyakit
11
kardiovaskular, kanker, serta penyakit neurodegeneratif, seperti Parkinson dan Alzheimer (Buhler & Miranda, 2000). Mekanisme kerja dari flavonoid sebagai antioksidan bisa secara langsung maupun secara tidak langsung. Flavonoid sebagai antioksidan secara langsung adalah dengan mendonorkan ion hidrogen sehingga dapat menetralisir efek toksik dari radikal bebas. Flavonoid sebagai antioksidan secara tidak langsung yaitu dengan meningkatkan ekspresi gen antioksidan endogen melalui beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme peningkatan ekspresi gen antioksidan adalah melalui aktivasi nuclear factor erythroid 2 related factor (Nrf2) sehingga terjadi peningkatan gen yang berperan dalam sintesis enzim antioksidan endogen seperti misalnya gen SOD (Superoxide Dismutase) (Sumardika & Jawi, 2012) Selain flavonol, tomat juga banyak memiliki senyawa fenol lainnya, yaitu asam hidroksi sinamat (Proteggente, et al., 2002). Asam hidroksi sinamat merupakan turunan asam sinamat yang merupakan suatu senyawa fenolik kelompok fenilpropanoid.
Gambar 4. Asam Sinamat (Ćurković-Perica, et al., 2014)
Gambar 5. Asam p-hidroksi Sinamat (Ćurković-Perica, et al., 2014)
12
Gambar 6. Asam Kafeat (Cheng, et al., 2007)
Biosintesis
senyawa
fenilpropanoid
melalui
jalur
asam
shikimat.
Pembentukan asam shikimat diawali dengan kondensasi aldol antara eritrosa dan asam fosfoenolpiruvat. Pada kondensasi ini, gugus metilen C=CH2 dari asam fosfoenolpiruvat berlaku sebagai nukleofil dan mengadisi gugus karbonil C=O eritrosa, menghasilkan gula dengan 7 unit atom karbon. Selanjutnya reaksi yang analog (intramolekuler) menghasilkan asam 5-dehidrokuinat yang mempunyai lingkar sikloheksana, yang kemudian diubah menjadi asam shikimat. Asam prefenat terbentuk oleh adisi asam fosfoenolpiruvat terhadap asam shikimat. Selanjutnya, aromatisasi dari asam prefenat menghasilkan asam fenil piruvat yang merupakan prekusor dari fenilalanin melalui reaksi reduktif aminasi, produk deaminasi fenilalanin menghasilkan asam sinamat (Achmad, 1986). Beberapa contoh turunan asam sinamat sintetik yang memiliki aktivitas farmakologi adalah asam 4-hidroksisinamat (Gambar 5), asam 4-hidroksi-3metoksisinamat, dan asam 3,4-dihidroksisinamat yang memiliki aktivitas antioksidan (Natella, et al., 1999). Turunan asam hidroksisinamat merupakan senyawa asam fenolik utama yang memiliki manfaat sebagai antioksidan. Asam ferulat, asam kafeat (Gambar 6), asam klorogenat, sinapic acid, dan p-coumaric
13
acid merupakan turunan asam hidroksisinamat yang telah diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Asam kafeat dan asam klorogenat diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang baik dalam peroksidasi LDL (Cheng, et al., 2007; Maurya & Devasagayam, 2010)
3.
Ekstraksi Sel Punca Tanaman Kandungan senyawa dalam tanaman atau simplisia nabati umumnya
mempunyai sifat kepolaran yang berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan proses ekstraksi yang bertujuan untuk memisahkan berbagai macam senyawa menjadi kelompok-kelompok tertentu secara selektif yang terdapat dalam sampel kalus kecambah tomat. Prinsip dasar ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non-polar dalam pelarut non-polar. Sampel diekstraksi secara bertahap dengan pelarut yang berbeda polaritasnya (Harborne, 1998). Proses ekstraksi merupakan penarikan suatu senyawa yang diinginkan dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sesuai dengan kelarutan senyawa tersebut (Voight, 1994). Ekstraksi didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Metode ekstraksi dapat dilakukan dalam kondisi dingin maupun panas. Metode yang termasuk dalam kondisi dingin yaitu maserasi dan perkolasi, sedangkan metode yang termasuk dalam kondisi panas yaitu refluks, sokhletasi, digesti, dan infundasi. Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang digunakan pada suhu ruangan. Proses ini sangat
14
menguntungkan dalam isolasi senyawa karena dengan perendaman sampel sel kalus akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel, sehingga senyawa yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan maksimal karena dapat diatur lama perendaman yang digunakan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut. Proses maserasi dapat mencegah kerusakan kandungan senyawa kimia yang tidak tahan dengan pemanasan (Darwis, 2000).
4.
Analisis Golongan Senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis KLT digunakan untuk memisahkan senyawa berdasarkan perbedaan adsorpsi
atau partisi dengan fase diam saat dibawa dalam fase gerak. KLT merupakan kromatografi serapan, tetapi dapat juga merupakan kromatografi partisi karena bahan penyerap telah dilapisi air dari udara. Sistem KLT sangat populer karena memberikan banyak keuntungan, yaitu peralatan yang diperlukan sederhana, murah, sampel yang dibutuhkan sedikit, waktu analisis yang singkat serta daya pisah cukup baik (Sudjadi, 1986). Adsorben (silika gel, alumina bubuk selulosa, tanah diatome, dan kieselguhr) dilapiskan pada lempeng kaca sebagai fasa diam (Sastrohamidjojo, 1991) dan diaktivasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Pemilihan sistem pelarut (fase gerak) dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh prinsip kromatografi yang akan digunakan dengan mempertimbangkan prinsip “like dissolve like.”
15
Proses elusi dilakukan dalam wadah tertutup (bejana) yang diisi eluen yang disesuaikan dengan sampel. Bejana tersebut dijenuhi dengan uap eluen agar dihasilkan pemisahan yang baik dan dapat diulang (reproducible). Teknik pengembangan dapat dilakukan dari bawah ke atas (ascending), dari atas ke bawah (descending) atau mendatar. Plat yang digunakan tidak boleh dicelupkan dalam bejana terlalu lama bila permukaan pelarut telah mencapai garis akhir, karena adanya difusi dan penguapan menyebabkan pemancaran dari noda-noda yang terpisah (Sastrohamidjojo, 1991). Dalam pemilihan eluen (fase gerak) sebaiknya menggunakan campuran pelarut organik yang mempunyai polaritas serendah mungkin, hal ini untuk mengurangi serapan dari setiap komponen dari campuran pelarut. Campuran komponen-komponen dengan polaritas yang tinggi (terutama air) akan merubah sistem menjadi sistem partisi. Komposisi fase gerak yang baik akan mempunyai kekuatan elusi sedang, namun komposisi yang kompleks tidak stabil terhadap perubahan suhu (Sastrohamidjojo, 1991). Pada penelitian yang dilakukan oleh Dhanawade & Sakhare (2014), fase gerak yang digunakan untuk mengisolasi likopen dari tomat adalah metanol : kloroform (9,5:0,5) dan diperoleh Rf = 0,41. Selain itu, komposisi fase gerak yang dapat digunakan adalah 100 ml petroleum eter, 11 ml aseton, dan 5 tetes akuades. Setelah bercak dikembangkan dan divisualisasikan, identitas bercak dinyatakan dengan harga Rf (Retardation Factor) yang didefinisikan sebagai rasio jarak noda terhadap titik awal dibagi jarak eluen terhadap titik awal. Secara matematis dapat ditulis:
16
𝑅𝑓 =
𝑙 ℎ
dengan l = jarak bercak dari titik awal ke titik akhir setelah proses pengembangan dan h = jarak eluen dari titik awal ke batas akhir eluen. Harga Rf berkisar antara 00,999. Nilai hRf (hundred retardation factor) adalah Rf dikalikan 100, sebagai pembulatan dua angka di belakang koma yang terdapat pada Rf . Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan bercak dalam KLT yang juga mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1991). Yang pertama adalah bagaimana struktur senyawa yang sedang dipisahkan karena struktur akan mempengaruhi polaritas dari senyawa. Kedua, sifat adsorben yang digunakan dan derajat aktivitasnya. Perbedaan jenis adsorben yang digunakan akan memberikan perbedaan yang besar terhadap harga Rf. Ketiga, tebal dan kerataan lapisan adsorben. Hal ini akan mempengaruhi proses elusi. Bila fase diam yang digunakan tidak rata, maka proses elusi akan terganggu yang mana dapat mengubah nilai Rf. Keempat, adalah pemilihan fase gerak (dan tingkat kemurniannya). Karena bila tidak murni dan terdapat kontaminasi dari senyawa lain, maka dapat berakibat elusi yang tidak maksimal, atau bereaksi dengan senyawa dalam sampel. Kelima, derajat kejenuhan dan uap dalam bejana yang digunakan. Karena bila bejana tidak jenuh dengan uap, maka proses elusi yang terjadi tidak merata sehingga interaksi antara sampel dengan fase diam maupun fase gerak tidak maksimal. Kemudian, jumlah penotolan sampel. Penotolan sampel yang berlebihan memberikan tendensi penyebaran bercak dengan membentuk ekor (tailing).
17
Sehingga perlu dilakukan optimasi, berapa banyak sampel ditotolkan pada plat KLT. Suhu juga akan mempengaruhi proses elusi dengan menggunakan KLT, karena beberapa fase gerak rentan terhadap suhu. Bila salah satu komponen fase gerak bersifat volatil, maka suhu yang meningkat dapat menyebabkan perubahan komposisi fase gerak karena salah satu komponennya menguap, . Untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan fase. Deteksi kualitatif pada plat KLT dapat dilakukan dengan menggunakan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Bercak yang meredam (dark zones) pada UV254 menunjukkan adanya senyawa yang mengabsorbsi sinar UV254. Senyawa yang tereksitasi oleh sinar UV (panjang gelombang 366 nm) dapat mengemisikan sinar fluoresen atau fosforesen berwarna kuning, merah, orange, hijau, biru atau ungu (Sherma & Fried, 2003). Apabila deteksi ini tidak tampak maka dapat dilakukan deteksi warna dan kimia (Wagner, et al., 1984). Pereaksi semprot yang dapat digunakan adalah Anisaldehida Asam Sulfat, Sitroborat, Liebermann Burchard, dan FeCl3. Anisaldehida Asam Sulfat digunakan untuk mendeteksi adanya golongan senyawa terpenoid, propilpropanoid (Wagner & Bladt, 1996). Sitroborat digunakan untuk mendeteksi adanya golongan senyawa flavonoid yang ditunjukkan dengan adanya spot warna kuning di bawah sinar tampak dan berpendar di bawah sinar UV 366 (Mulyani, et al., 2011, Santosa & Hertiani, 2005). Deteksi dengan Liebermann Burchard akan memberikan reaksi positif apabila terjadi perubahan warna menjadi
18
ungu-merah-pink-violet untuk saponin triterpenoid dan warna biru-hijau untuk saponin steroid (Farnsworth, 1966). FeCl3 digunakan untuk deteksi senyawa fenolik (Rachma, 2012). Dragendorff untuk deteksi senyawa golongan alkaloid. Bercak yang mengandung alkaloid akan tampak sebagai bercak yang meredam di bawah sinar UV 254 nm dan akan berfluoresensi biru, biru kehijauan atau ungu di bawah sinar UV 366 nm, serta akan muncul dengan warna jingga hingga coklat segera saat penyemprotan dengan pereaksi Dragendorff dan warna yang dihasilkan stabil (Wagner & Bladt, 1996).
5.
Analisis Protein dengan SDS-PAGE Elektroforesis adalah suatu cara untuk memisahkan fraksi-fraksi suatu
campuran berdasarkan atas pergerakan partikel koloid yang bermuatan di bawah pengaruh medan listrik (Westermeier, 2004). Elektroforesis Gel merupakan elektroforesis yang menggunakan gel sebagai fase diam untuk memisahkan molekul-molekul seperti DNA dan protein menjadi pita-pita yang masing-masing terdiri atas molekul-molekul dengan panjang yang sama. Elektroforesis gel merupakan teknik memisahkan suatu makromolekul dengan cara memberi gaya pada makromolekul tersebut untuk melewati medium berisi gel yang dibantu dengan tenaga listrik. Elektroforesis gel memisahkan berdasarkan laju perpindahannya melewati suatu gel di bawah pengaruh medan listrik. Media atau gel yang dapat digunakan yaitu agarose gel (elektroforesis DNA) dan poliakrilamid gel (elektroforesis protein). Laju pergerakan molekul dipengaruhi oleh ukuran
19
molekul, konsentrasi gel, bentuk molekul, densitas muatan, pori-pori gel, voltase, dan larutan buffer elektroforesis (Martin, 2006) Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) adalah teknik untuk memisakan rantai polipeptida pada protein berdasarkan kemampuannya untuk bergerak dalam arus listrik, yang merupakan fungsi dari panjang rantai polipeptida atau berat molekulnya (Hames, 1998). Metode elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid dapat digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan perbedaan berat atau ukuran molekulnya. Gel poliakrilamid merupakan hasil polimerasi dari monomer akrilamid dengan adanya N,N’-methylene-bis-acrylamide
(bis-acrylamide)
yang
berfungsi
sebagai
pembentuk silang atau pori-pori, dimana keduanya akan berpolimerasi dengan adanya senyawa radikal. Senyawa radikal yang biasanya digunakan adalah amonium persulfat (APS). Untuk mendekomposisi APS agar menjadi senyawa radikal dan menstabilkannya, maka ditambahkan TEMED (N,N,N’,N’-tetrametil etilendiamin). Ukuran pori gel sangat ditentukan oleh perbandingan jumlah acrylamid dan bis-acrylamid. Terdapat dua macam gel yang digunakan dalam pemisahan protein menggunakan gel poliakrilamid, yaitu gel penumpuk (stacking gel) dan gel pemisah (separating/resolving gel). Gel pemisah digunakan untuk memisahkan protein berdasarkan bobot molekulnya. Ukuran pori gel pemisah dapat berfariasi sesuai dengan range ukuran protein yang ingin dipisahkan. Stacking gel berfungsi untuk tempat loading sampel atau ruang pembatas antar sampel. Ukuran pori gel pada
20
bagian ini sangat besar yaitu sekitar 5% dengan tujuan agar protein dapat bermigrasi dengan mudah (Walker, 2002).
Gambar 7. Polimerasi akrilamid (Walker, 2002) Bis‐akrilamida berfungsi sebagai cross‐linking agent yang akan membentuk kisi‐kisi bersama polimer akrilamida. Kisi‐kisi tersebut berfungsi sebagai pori-pori gel.
SDS-PAGE meupakan metode yang secara luas digunakan untuk menganalisis protein secara kualitatif berdasasarkan ukurannya dan dapat digunakan pula untuk menentukan berat molekul relatif suatu protein (Walker, 2002). Dengan SDS-PAGE, sampel buffer yang digunakan mengandung βmercaptoethanol dan SDS. SDS (Sodium Dodesil Sulfat) dengan struktur kimia CH3-(CH2)10-CH2OSO3-Na+ merupakan suatu deterjen anionik yang memiliki ujung hidrofobik pada bagian dodesill, dan bagian yang sangat bermuatan pada gugus sulfatnya. SDS akan terikat kuat pada bagian hidrofobik asam amino yang menentukan konformasi 3D protein. Akibat terikat oleh SDS maka struktur globular protein akan terdenaturasi total menjadi protein yang linear (Anonim, 2014). Struktur linear ini menjadikan protein kehilangan muatan native-nya dan menjadi
21
bermuatan negatif. Akibat perlakuan tersebut tidak ada perbedaan muatan dan konformasi antar protein. Merkaptoetanol digunakan untuk memutus ikatan disulfida yang membentuk struktur tersier suatu protein (Walker, 2002). Karena memiliki muatan negatif yang sama pada rantai peptidanya, saat diberi medan listrik, protein-SDS akan bermigrasi ke arah anoda pada gel pemisah dengan kecepatan yang sama pula. Walaupun memiliki kecepatan migrasi yang sama, namun ukuran protein juga menentukan seberapa jauh protein tresebut dapat bermigrasi dalam gel pemisah (Walker, 2002). Untuk mendeteksi pemisahan protein setelah pemisahan elektroforesis pada gel poliakrilamid, digunakan pewarnaan dengan perak nitrat atau silver salt staining/ silver staining. Silver Salt Staining menggunakan kemampuan dari ion perak untuk berikatan dengan protein, yang kemudian direduksi membentuk logam perak menggunakan developing solution yang membuat pita-pita protein tampak (Anam, 2009). Pewarnaan dengan perak nitrat memberikan sensitifitas yang tinggi dengan peralatan dan bahan kimia yang sederhana dan murah. Pewarnaan dengan perak nitrat sangat sensitif yang mana dapat mendeteksi protein kurang dari 1 ng (Weiss, et al., 2009). Kelebihan yang lain adalah pita protein pada gel yang telah diwarnai akan tetap stabil selama beberapa minggu. Selain itu, silver salt staining juga kompatibel dengan downstream processing seperti spektrofotometri massa. Akan tetapi, pewarnaan dengan perak nitrat melibatkan beberapa reagen yang mahal serta berbahaya seperti formalin dan perak nitrat (Boyer, 1993). Dalam pelaksanaannya juga memerlukan beberapa langkah sehingga memakan waktu dan tenaga karena proses yang lebih lama.
22
Proses pewarnaan dengan perak nitrat memerlukan waktu kurang lebih 2 jam setelah proses elektroforesis. Selain itu, untuk memvisualisasikan protein, gel perlu dipreparasi lagi setelah pewarnaan dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan gel setelah pewarnaan sangat bervariasi antar gel sehingga reprodusibilitasnya rendah (Chevallet, et al., 2006). Terdapat berbagai variasi dari protokol silver salt staining, namun pada prinsipnya memiliki langkah-langkah dasar yang sama. Gel difiksasi terlebih dahulu untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang dapat mengganggu visualisasi pita protein. Gel kemudian disensitisasi dan dibilas untuk meningkatkan sensitivitas gel serta memberikan hasil yang semakin kontras. Untuk meningkatkan daya impregnasi perak, maka gel diwarnai dengan larutan perak nitrat atau kompleks perak-amoniak. Gel kemudian dibilas dan dikembangkan agar pita protein-perak muncul. Reaksi protein dan perak dihentikan dan kemudian dibilas. Hal ini untuk mencegah pembentukan latar belakang gel yang terlalu gelap dan untuk menghilangkan ion perak berlebih dan bahan kimia lainnya sebelum diproses lebih lanjut. (Chevallet, et al., 2006). Analisis data dilakukan dengan perhitungan berat molekul (BM) dari masingmasing protein yang didasarkan pada marker yang tersedia. Perhitungan dilakukan dengan mengukur total jarak tracking dari gel penumpuk ke gel pemisah (a), dilanjutkan dengan mengukur jarak tracking dari gel penumpuk ke masing-masing pita protein yang terbentuk, kemudian dicari Retardation/ retension factor (Rf) (Anonim, 2007). Rf adalah faktor retensi atau hambatan yang berarti pemisahan protein pada gel menggunakan prinsip penghambatan terhadap laju migrasi dari
23
protein‐protein tersebut sehingga pemisahan karena perbedaan berat molekul mengakibatkan terbentuknya pita‐pita pada jarak migrasi yang berbeda satu sama lain dan jarak tersebut di konversi menjadi nilai Rf (Anonim, 2004).
6.
Radikal bebas, Antioksidan, dan Uji Aktivitasnya
Radikal Bebas Radikal bebas adalah molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan di kulit terluarnya. Oleh karena radikal bebas tidak mempunyai pasangan elektron, maka radikal bebas tersebut akan berusaha untuk mencapai kestabilan dengan menyerang molekul terdekat untuk mencari pasangan elektron sehingga akan merusak bentuk molekul tersebut. Akibat dari aktivitas radikal bebas ini maka selsel makromolekul seperti protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat akan hancur (Bagchi & Puri, 1998). Karena kerusakan yang ditimbulkan ini, radikal bebas menyebabkan seseorang rentan terkena berbagai penyakit (Carnelio, 2008). Radikal bebas terbentuk dari proses metabolik dalam tubuh ataupun dari luar melalui reaksi enzimatik dan non enzimatik. Terbentuknya radikal bebas melalui reaksi enzimatik melibatkan respiratori dalam proses fagositosis, sintesis prostaglandin dan sistem sitokrom P450. Sedangkan radikal bebas yang diproduksi secara reaksi non enzimatik melibatkan proses radiasi ionisasi. Terdapat berbagai jenis radikal bebas, namun yang paling banyak dalam sistem biologis tubuh adalah radikal yang berasal dari oksigen, dan dikenal sebagai ROS (Reactive oxygen species). ROS seperti Hydrogen peroxide (H2O2),
24
hypochlorous acid (HOCl), superoxide anion (·O2-), singlet oxygen (1O2) dan hydroxyl radical (OH-) dapat menjadi sangat berbahaya dengan adanya faktor dari lingkungan sekitar yang mendukung (Chapple, 1996) Reactive oxygen species menyebabkan kerusakan dengan berbagai mekanisme yaitu: (Chapple, 1996) a.
Melalui proses peroksidasi lipid yang terjadi apabila radikal bebas seperti hydroxyl radical (OH·) berdekatan dengan membran phosfolipid sehingga akan menyerang rantai lipid tersebut dan mengambil elektron dari lipid dan membentuk peroxyl radical yang mengakibatkan kerusakan sel.
b.
Merusak deoxyribonucleic acid (DNA) dengan memutus rantai basis hidrosil.
c.
Merusak protein pada proteoglycan dan gingival hyaluronic acid yang diketahui dapat membantu proses penyembuhan gingivitis
d.
Merangsang proses inflamasi dengan mengeluarkan proinflamatori sitokin dari monosit dan makrofag sehingga akan menstimulasi inflamasi secara terus menerus yang akan menyebabkan inflamasi periodontal. Stres oksidatif adalah keadaan di mana jumlah radikal bebas di dalam tubuh
melebihi kapasitas antioksidan dalam tubuh sehingga tubuh tidak dapat menetralisirnya. Akibatnya intensitas proses oksidasi sel-sel tubuh normal menjadi semakin tinggi dan menimbulkan kerusakan yang lebih parah. Kadar radikal bebas yang
diproduksi
melebihi
antioksidan
akan
menyebabkan
terjadinya
ketidakseimbangan sehingga terjadi stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan kanker, penuaan, aterosklerosis, penyakit iskemik, inflamasi dan penyakit neurodegeneratif (Parkinson dan Alzheimer).
25
Namun, adanya radikal bebas tidak selalu membawa kerusakan, radikal bebas juga membawa kebaikan kepada tubuh manusia, dimana radikal bebas penting dalam proses pematangan sel dalam tubuh. Selain itu, leukosit mengeluarkan radikal bebas untuk memusnahkan mikroorganisme patogen sebagai salah satu mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi (Kim, 2010).
Antioksidan Di dalam tubuh manusia terdapat sejumlah mekanisme pertahanan antioksidan yang bertujuan untuk mengurangi oksidan-oksidan yang terbentuk serta memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Antioksidan adalah semua zat yang apabila berada dalam kepekatan yang lebih rendah dibandingkan dengan suatu substrat yang telah dioksidasi, secara signifikan akan menunda atau menghalangi proses oksidasi (Pendyala, et al., 2008). Antioksidan merupakan salah satu senyawa yang dapat menghalangi proses oksidasi pada molekul yang berasal dari dalam tubuh ataupun dari asupan makanan (Ronzio, 2003) Antioksidan meliputi berbagai komponen, baik endogen, maupun eksogen, yang berfungsi secara interaktif dan sinergis menetralisasi radikal bebas. Antioksidan tersebut terdiri dari (Soobratte, et al., 2005) antioksidan yang berasal dari makanan seperti asam askorbat (vitamin C), tokoferol dan tokotrienol (vitamin E), karotenoid, dan senyawa bermolekul rendah lainnya seperti glutation dan asam lipoat. Kemudian enzim antioksidan, seperti superoxide dismutase, glutathione peroxidase, dan glutathione reductase, yang mengkatalisasi reaksi pemadaman radikal bebas. Selain itu, terdapat protein pengikat logam, seperti ferritin, laktoferin,
26
albumin, dan seruloplasmin yang mengikat besi bebas dan ion tembaga yang mampu mengkatalis reaksi oksidatif. Antioksidan dapat diklasifikasikan berdasarkan peranannya yakni: (Battino, et al., 1999) 1.
Antioksidan yang bertindak sebagai pencegah radikal bebas. Cara kerja antioksidan ini adalah dengan mencegah pembentukan radikal bebas melalui penguraian senyawa non radikal seperti H2O2 (contohnya catalase, glutathione peroxidase dan S-tranferase), kelasi (proses di mana molekul logam
berikatan
dengan
radikal
bebas)
(contohnya
Transferrin,
ceruloplasmin, albumin, haptoglobin) dan mencegah O2 yang aktif (contohnya Superoksida dismutase dan karotenoid). 2.
Antioksidan yang bertindak sebagai pemusnah radikal bebas. Cara kerja antioksidan ini adalah dengan memusnahkan radikal bebas dan menghalangi rantai initiation serta menghancurkan rantai propagasi. Contoh dari antioksidan lipofilik adalah ubiquinol, Vitamin A, Vitamin E, karotenoid sedangkan yang bersifat hipofilik adalah uric acid, asam askorbat, albumin dan bilirubin.
3.
Antioksidan yang bertindak sebagai senyawa yang memperbaiki jaringan. Cara kerja antioksidan ini adalah dengan memperbaiki membran jaringan yang rusak. Contoh dari antioksidan ini adalah DNA repair enzymes, Sprotease, transferase dan lipase.
27
Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH Uji penangkapan radikal bebas senyawa DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan (Mailandari, 2012). DPPH merupakan senyawa radikal bebas dimana elektron π (phi) dapat mengalami delokalisasi ke seluruh bagian molekul, sehingga molekul tidak mengalami dimer seperti kebanyakan senyawa radikal bebas lain. Proses delokalisasi ini memberikan warna violet gelap yang dikarakterisasi oleh pita absorbansi dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm.
Gambar 8. DPPH (2,2-diphenyl-1-picryl-hydrazyl) (Bahar, et al., 2013)
Metode ini berdasarkan pada teori bahwa senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen merupakan suatu antioksidan. Mekanisme penangkapan radikal DPPH oleh suatu antioksidan yaitu berupa donasi proton kepada radikal. DPPH dalam bentuk non-radikal akan kehilangan warna ungunya yang mana pemudaran warna ini dapat ditunjukkan dengan penurunan serapan dari DPPH pada panjang gelombang maksimum yang dapat diukur menggunakan spektrofotometri UV-Vis.
28
Gambar 9. Reaksi Penangkapan Radikal Bebas pada Metode DPPH (Bahar, et al., 2013)
Parameter yang dapat digunakan untuk menginterpretasi hasil uji DPPH diantaranya adalah IC50 (Inhibition Concentration). IC50 didefinisikan sebagai konsentrasi dari substrat yang dapat menyebabkan penurunan aktivitas DPPH sebanyak 50% yang dilihat dari pengurangan intensitas warna ungu (Molyneux, 2004). Semakin tinggi aktivitas antioksidan, maka nilai parameter IC50 akan semakin kecil (Blois, 1958).
F.
Landasan Teori
Sel kalus adalah sel punca tanaman yang mirip dengan yang ada di daerah meristem yang timbul akibat adanya perlukaan (traumatik). Kemampuan tanaman dalam regenerasi sel dengan membentuk sel kalus ini diinduksi oleh suatu senyawa. Sehingga diduga didalam sel kalus terdapat kandungan senyawa yang mampu meremajakan tanaman tersebut dan dapat berkembang menjadi tanaman baru. Buah tomat merupakan buah yang kaya akan berbagai senyawa antioksidan seperti golongan karotenoid (likopen, α-karoten, ß-karoten, lutein), vitamin C, flavonoid, dan vitamin E (Anonim, 1981). Dalam kultur tanaman tomat terdapat karotenoid, likopen, phytoene, phytofluene, dan ß-karoten (Engelmann, et al., 2010). Dalam penelitian ini digunakan kalus kecambah tomat yang diduga memiliki
29
kandungan serupa dengan buah tomat, sehingga dilakukan analisis golongan senyawa dengan KLT untuk mengetahui profil dari ekstrak etanol kalus kecambah tomat. Senyawa dalam kalus kecambah tomat diduga memiliki aktivitas antioksidan yang baik seperti halnya buah tomat dan diuji menggunakan metode DPPH. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ajayi & Olasehinde (2009), kandungan protein dalam buah tomat sebesar 8,25 mg/ml. Kandungan protein dalam tomat jumlahnya 0,9 gram per 100 gram berat buah tomat (Anonim, 2012). Namun, kandungan dan protein yang terkandung dalam kalus kecambah tomat belum diketahui. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilihat profil protein kalus kecambah tomat dengan metode SDS-PAGE dan dibandingkan dengan profil protein dari buah tomat.
G. 1.
Hipotesis Penelitian
Kalus kecambah tomat mengandung golongan senyawa dan protein yang sama dengan buah tomat.
2.
Golongan senyawa ekstrak etanol kalus kecambah tomat memiliki aktivitas antioksidan
.