BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit menular Tuberkulosis masih menjadi perhatian dunia dan hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang bebas TB. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman TB pun tinggi, tahun 2009 sebesar 1, 7 juta orang meninggal karena TB, dan sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (1555 tahun) (Kemenkes, 2011a). Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis, diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial yaitu stigma, bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes, 2011b). World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga (sekitar 2 milyar orang) dari populasi total dunia terinfeksi TB. Pada umumnya infeksi dipengaruhi oleh daya tahan tubuh dan hanya 10% dari orang yang terinfeksi TB akan menjadi sakit dengan tanda dan gejala TB aktif di perjalanan hidupnya. Setiap tersangka TB yang tidak diobati dengan tepat akan menjadi faktor risiko penyakit TB baru. Setiap kasus TB aktif menginfeksi 10 hingga 15 orang setiap 1
2
tahun (WHO, 2009). Capaian penemuan kasus TB BTA (+) atau Case Detection Rate (CDR) di dunia sebesar 59% pada tahun 2005. Capaian penemuan kasus TB BTA (+) di Indonesia tahun 2005 adalah 68% dan meningkat pada tahun 2006 (CDR) sebesar 76%. Keberhasilan pengobatan TB dengan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) tahun 2004 sebesar 83% dan pada tahun 2005 meningkat hingga 91% (Depkes dan WHO, 2008). Karena itulah Indonesia merupakan negara pertama diantara negara – negara dengan beban tuberkulosis yang tinggi di wilayah Asia Tenggara, yang berhasil mencapai target Global untuk tuberkulosis yaitu 70% penemuan kasus baru TB BTA (+) (CDR) dan 85% kesembuhan. Saat ini peringkat Indonesia telah turun dari urutan ketiga menjadi urutan ke empat di antara negara dengan beban tuberkulosis tertinggi di dunia (Kemenkes, 2011c). Situasi TB Global pada tahun 2006, diperkirakan kasus baru TB mencapai9, 2 juta dan diperkirakan 1, 7 juta orang (25/100.000) meninggal karena TB, termasuk mereka yang juga memperoleh infeksi HIV (200.000) (Depkes dan WHO, 2008). Hasil Survey Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA (+) secara Nasional adalah 110 per 100.000 penduduk. Secara Regional prevalensi TB BTA (+) di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1) wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2) wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3) wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk provinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun
3
2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA (+) secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya (Kemenkes, 2011b). Tahun 2005 Indonesia memperkirakan prevalensi tuberkulosis tercatat sebesar 262 per 100.000 penduduk atau sekitar 597.000 kasus (untuk semua kasus), dan tahun 2006 prevalensi tuberkulosis adalah 253 per 100.000 penduduk atau sekitar 578.000 kasus (untuk semua kasus). Insidensi kasus BTA (+) Tahun 2005 diperkirakan 107 kasus baru per 100.000 penduduk (246.000 kasus baru setiap tahun) dan tahun 2006 perkiraan insidensi kasus BTA (+) adalah 105 kasus baru per 100.000 penduduk (240.000 kasus baru setiap tahun) sedangkan angka kematian karena TB (death rate) secara nasional pada tahun 2005 sebesar 41 per 100.000 penduduk dan menjadi 38 per 100.000 penduduk tahun2006 (WHO, 2007; WHO, 2008).Menurut Global Tuberculosis Control Report tahun 2009, di Indonesia pada tahun 2007 prevalensi tuberkulosis sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus (semua kasus), insidensi kasus baru TB BTA (+) sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB BTA (+) sedangkan kematian karena TB sebesar 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari (WHO, 2009). Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah: (1). Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-negara yang sedang berkembang; (2). Kegagalan program TB diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan serta tidak memadainya organisasi pelayanan TB dikarenakan kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar oleh petugas kesehatan, ketersediaan obat tidak
4
terjamin, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya; (3) Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan; (4). Dampak pandemi infeksi HIV (Kemenkes, 2011b). Beberapa faktor yang erat kaitannya dengan kejadian TB paru adalah adanya sumber penularan, riwayat kontak penderita, tingkat paparan, virulensi basil, daya tahan tubuh rendah berkaitan dengan genetik, keadaan gizi, faktor faali, usia, nutrisi, imunisasi, keadaan perumahan, pekerjaan dan tingkat sosial ekonomi (Amin dan Alsegaf, 1989). Negara–negara miskin seperti Indonesia, dimana pengetahuan masyarakat tentang penyakit tuberkulosis masih kurang, dan masih banyak masyarakat beranggapan bahwa tuberkulosis adalah penyakit keturunan maka peran dan kemampuan petugas serta kader kesehatan sangat penting. Oleh karena itu petugas diharapkan selalu meningkatkan penyuluhan yang berisi perilaku hidup bersih dan sehat dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan (Sutomo, 1997). Kabupaten Bandung Barat merupakan hasil pemekaran Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, yang terdiri dari 15 kecamatan dan 165 desa. Kabupaten Bandung Barat (KBB) berdiri sejak tanggal 2 Januari 2007, ditandai dengan penandatanganan Undang-undang No. 12 tahun 2007 oleh Presiden RI tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat dan dilanjutkan dengan pengangkatan Pejabat Bupati Bandung Barat tanggal 19 Juni 2007. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) tahun 2009 jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat adalah 1.557.639 jiwa dengan jumlah
5
penduduk laki-laki sebesar 786.203 jiwa (50, 47%) dan penduduk perempuan adalah 771.436 jiwa (49, 53%). Sex ratio tahun 2009 menunjukkan angka 101, 91 yang berarti setiap 1000 orang perempuan berbanding dengan 1.019 laki-laki. Komposisi penduduk menurut golongan umur dan jenis kelamin dapat digambarkan dengan piramida penduduk berikut ini : >= 65 Tahun
43722
60 -64 Tahun
44,156 22398
55 – 59 Tahun
29616
50 – 54 Tahun
24,237 24,884
36592
45 – 49 Tahun
54926
40 – 44 Tahun
56923
35 – 39 Tahun
60997
30 – 34 Tahun
60788
25 – 29 Tahun
30,646 49,662 54,524 68,222
71490
20 – 24 Tahun
54,805
66800
76,045
10 – 14 Tahun
80188
79,559
5 – 9 Tahun
78792
79,057
0 – 4 Tahun
64857
100000.0
50000.0
Laki-Laki
68,416
58114
15 – 19 Tahun
Perempuan
61,559
55,664 0.0
50000.0
100000.0
Gambar 1. Piramida Penduduk Kabupaten Bandung Barat Sumber : Suseda 2009, BPS Kabupaten Bandung Barat Angka beban ketergantungan (dependency ratio) penduduk di Kabupaten Bandung Barat, yang merupakan perbandingan antara penduduk yang belum/tidak produktif (0-14 tahun dan usia 65 tahun ke atas) dibanding dengan penduduk usia produktif (usia 15–64 tahun) menunjukkan capaian sebesar 51% yang artinya bahwa setiap 100 penduduk usia produktif akan menanggung 51 penduduk usia belum/tidak produktif.
6
Tabel 1. Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur No 1 2 3
Kelompok Umur Jumlah Persentase (%) Muda (0 – 14 tahun) 438.117 28, 1 Produktif (15 – 64 tahun) 1.031.644 66, 2 Tua (> 65 tahun) 87.878 5, 6 Jumlah 1.557.639 100, 0 Sumber: Suseda 2009, BPS Kabupaten Bandung Barat
Penyebaran penduduk tidak merata terpadat ada di Kecamatan Ngamprah sedangkan terendah adalah Kecamatan Gununghalu.
Gambar 2. Peta Wilayah Kabupaten Bandung Barat Sumber : http://www.bandungbaratkab.go.id Persentase penduduk KBB usia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SD ke bawah sebesar 63, 44%; tamat SMP sebesar 19, 13%; tamat SMU/SMK sebesar 14, 52%; dan sebanyak 2, 71% yang tamat pendidikan tinggi (Akademi/Perguruan Tinggi). Mata pencaharian penduduk terbanyak adalah bidang pertanian dengan jumlah 188.922 jiwa (32, 31%). Sedangkan sektor industri 17, 62%, sektor perdagangan 15, 34%, sektor jasa 11, 53% dan 23, 20% sektor lainnya (Bapeda, BPS, 2009).
7
Salah satu dampak yang diharapkan dari pemekaran wilayah adalah memberikan peningkatan kesejahteraan untuk masyarakat, untuk itu kemampuan daerah untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat terutama dalam bidang kesehatan menjadi penting. Kebutuhan masyarakat dibidang kesehatan meliputi : (1). Pengendalian sumber penyakit melalui upaya preventif promotif antara lain melakukan pencarian kasus secara aktif, menetapkan kasus serta memberikan pengobatan hingga sembuh; (2). Mengendalikan agen penyakit melalui media transmisi misalnya pembersihan udara dalam ruangan, penggunaan alat pelindung diri seperti masker pada penderita penyakit TB; (3). Pengendalian faktor risiko kependudukan erat kaitannya dengan pola perilaku masyarakat misalnya melalui upaya PHBS; (4) Pengobatan penderita (Achmadi, 2008). Penanggulangan tuberkulosis melalui strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) telah dilaksanakan di 31 puskesmas (7 Puskesmas Rujukan Mikroskopis, 7 Puskesmas Pelaksana Mandiri, dan 17 Puskesmas Satelit). Permasalahan penanggulangan TB di Kabupaten Bandung Barat adalah masih rendahnya angka penemuan penderita BTA (+) (CDR) yang belum mencapai target provinsi Jawa Barat yaitu 70%. Pada tahun 2009 CDR sebesar 39, 7 %, meningkat pada tahun 2010 sebesar 56, 05% kemudian capaian menurun lagi tahun 2011 menjadi 49, 64%. Mengacu pada rencana strategis kementerian kesehatan dari tahun 2010-2014, sasaran strategi nasional pengendalian TB yaitu menurunkan prevalensi TB dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Sedangkan capaian prevalensi TB di KBB tahun 2009 adalah 265 per 100.000 penduduk, tahun 2010 yaitu 335 per 100.000 penduduk
8
kemudian meningkat di tahun 2011 yaitu 517 per 100.000 penduduk. Hasil temuan kasus TB Paru BTA (+) berdasarkan Puskesmas yang ada di Kabupaten Bandung Barat adalah sebagai berikut : 000
Batujajar Rajamandala Cimareme Cipatat Petaruman Sindangkerta Jayamekar Cikalongwetan Citalem Tagogapu Jayagiri Cililin Gununghalu Ngamprah Padalarang Cihampelas Rongga Cikole Rende Mukapayung Cisarua Cipongkor Cicangkanggirang Parongpong Cipeundeuy Sumurbandung Cirata Cibodas Lembang Pasirlangu
48
20 19
16 19 18 16 14
2011
28 26 30
2010 2009
30
19 17
5
14 7
4 6
4
36
11 10
4
-
45
23 25
27
11 13 15
4
43
29 25
11 9
2
34
25
41
15
4
85
32
19 21
12
96
61
19
19 26
17 14 12 10 13 11
20
28
40
60
80
100
120
Gambar 3. Jumlah kasus TB Paru BTA (+) berdasarkan masing-masing puskesmas di Kabupaten Bandung Barat tahun 2009-2011 Data perumahan yang disajikan dalam Riskesdas 2010 adalah data jenis penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kriteria ‘rumah sehat’. Jenis bahan bakar untuk memasak berkaitan dengan kemungkinan terjadinya ‘indoors air pollution’, dimana dikategorikan ‘baik’ bila menggunakan jenis gas, minyak tanah
9
dan listrik. Sedangkan untuk menilai kriteria ‘rumah sehat’ mengacu pada beberapa kriteria yang ada dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Riskesdas tahun 2010, kriteria ‘rumah sehat’ yang digunakan bila memenuhi tujuh kriteria, yaitu atap berplafon, dinding permanen (tembok/papan), jenis lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, pencahayaan alami cukup, dan tidak padat huni (lebih sama dengan 8 m2/ orang). Berdasarkan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita tampak bahwa semakin tinggi tingkat pengeluaran, maka semakin besar pula persentase rumah tangga yang memiliki kriteria rumah sehat. Secara nasional hanya 24, 9 persen rumah penduduk di Indonesia yang tergolong rumah sehat. Persentase rumah sehat tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur (43, 6%) dan terendah di Provinsi NTT (7, 5%) (Depkes, 2010). Hasil pengawasan rumah sehat (Inspeksi Sanitasi Rumah Sehat) yang dilakukan di KBB tahun 2009 menghasilkan 25% rumah sehat dari 14.931 rumah yang diperiksa. Untuk tahun 2010 meningkat menjadi 30, 55% rumah sehat dari 14.574 yang diperiksa. Faktor lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit termasuk tuberkulosis paru. Masih besarnya prosentase rumah tidak sehat ini merupakan masalah yang juga dihadapi oleh Kabupaten Bandung Barat. Beberapa uraian pada latar belakang diatas, masih terdapat beberapa permasalahan di Kabupaten Bandung Barat khususnya di wilayah ketiga puskesmas yaitu Batujajar, Cimareme dan Pataruman, dimana yaitu kejadian TB masih tinggi dan pencapaian rumah sehat masih rendah. Dari berbagai
10
permasalahan tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian tentang determinan kejadian TB Paru BTA (+) di Kabupaten Bandung Barat.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas dapat diambil beberapaidentifikasi masalah sehingga dapat dibuat rumusan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Apakah karakteristik individu yang meliputi pendidikan, pendapatan, status gizi dan kebiasaan merokok sebagai determinan terhadap kejadian TB Paru BTA (+) di Kabupaten Bandung Barat? 2. Apakah lingkungan fisik yang meliputi jenis lantai, dinding, kelembaban, ventilasi, pencahayaan, kepadatan hunian rumah, bahan bakar untuk memasak dan paparan asap rokok sebagai determinan terhadap kejadian TB Paru BTA(+) di Kabupaten Bandung Barat? 3. Apakah kontak dengan penderita TBparu sebagai determinan terhadap kejadian TB paru BTA (+) di Kabupaten Bandung Barat? 4. Apakah riwayat imunisasi BCG sebagai determinan terhadap kejadian TB paru BTA (+) di Kabupaten Bandung Barat?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui determinasi kejadian TB paru BTA (+) di Kabupaten Bandung Barat. 2. Tujuan khusus
11
a. Menganalisis determinasi karakteristik individu terhadap kejadian TB paru BTA (+) di Kabupaten Bandung Barat. b. Menganalisis determinasi lingkungan fisik terhadap kejadian TB paru BTA (+) di Kabupaten Bandung Barat. c. Menganalisis determinasi kontak penderita TB terhadap kejadian TB paru BTA (+) di Kabupaten Bandung Barat. d. Menganalisis determinasi riwayat imunisasi BCG terhadap kejadian TB paru BTA (+) di Kabupaten Bandung Barat.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Instansi terkait (puskesmas dan dinas kesehatan) memberikan masukan dan bahan evaluasi dalam menetapkan serta menentukan kebijakan kesehatan dalam upaya pencegahan penularan dan penurunan angka penyakit TB paru. 2. Bagi Peneliti dapat menambah pengetahuan dan wawasan dalam penelitian ilmiah. 3. Bagi Masyarakat dapat menambah pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis paru terutama faktor kesehatan lingkungan fisik terhadap kejadian TB paru serta mengetahui cara penularan, pencegahan, dan pengobatannya.
E. Keaslian Penelitian Penelitian jenis ini sudah pernah dilakukan, beberapa penelitian yang berkaitan dengan determinan kejadian TB Paru BTA (+) diantaranya oleh :
12
1. Fatimah (2008), dengan judul Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Di Kabupaten Cilacap (Kecamatan : Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari) Tahun 2008. Persamaan : variabel lingkungan fisik rumah yang diteliti dan desain penelitian. Perbedaan : pada lokasi penelitian, variabel karakteristik individu. 2. Rusnoto, et al (2006), yang berjudul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit Paru Pati). Persamaan : karakteristik individu yaitu kelompok umur dan variabel lingkungan yang di teliti dan desain penelitian. Perbedaan : lokasi penelitian, dan tidak meneliti kebiasaan konsumsi alkohol serta penyakit yang menyertai. 3. Tobing (2008), dengan judul Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru Dan Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga Di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008. Persamaan : variabel kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan dan desain penelitian Perbedaan : karakteristik individu yang diteliti dan lokasi penelitian. 4. Leinhardt, et al. (2005), Investigation of the risk factor for tuberculosis: a case – control study in three countries in west africa.
13
Persamaan : Variabel terikatdan desain penelitian. Perbedaan : karakteristik individu yang di teliti, variabel faktor lingkungan, lokasi penelitian.