BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Misi pembangunan kesehatan Indonesia adalah memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau. Peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit merupakan suatu keharusan untuk mendukung misi pembangunan kesehatan Indonesia. Pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat adalah pelayanan kesehatan yang: tersedia (available), menyeluruh
(comprehensive),
berkesinambungan
(continued),
terpadu
(integrated), wajar (appropriate), dapat diterima (acceptable), bermutu (qualified), mudah dicapai (accessible), serta terjangkau (affordable). Peningkatan mutu pelayanan di rumah sakit tidak terlepas dari peningkatan pembiayaan pelayanan kesehatan. Peningkatan unit cost dalam pembiayaan pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan salah satu permasalahan penting, karena di sisi yang yang lain tingkat kesejahteraan masyarakat justru semakin menurun. Rumah sakit sebagai institusi pemberi jasa pelayanan kesehatan, juga merupakan sebuah lembaga yang tidak lepas dari pengaruh atau tekanan lingkungan (Mangopo, 2005). Tekanan manusia terhadap lingkungan meningkatkan variasi jenis penyakit seperti AIDS, SARS, Avian Influenza yang tidak lain juga merupakan akibat dari kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang semakin pesat mengakibatkan dampak negatif bagi manusia sebagai pencipta teknologi tersebut. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa berbagai perubahan dalam perilaku kehidupan manusia. Perubahan lingkungan fisik,
1
2
lingkungan sosial, perilaku masyarakat merupakan beberapa faktor penyebab meningkatnya variasi jenis penyakit. Dengan meningkatnya variasi jenis penyakit, maka manusia juga akan semakin berusaha untuk menciptakan teknologi baru untuk proses pengobatan. Karena manusia selalu akan dirangsang untuk mencari alternatif solusi dari setiap permasalahan yang muncul. Gejala alam dan gejala sosial ini merupakan awal timbulnya hipotesis yang membutuhkan pengujian secara empiris dan kemudian melahirkan sebuah teknologi baru. Teknologi
baru
tentunya
membutuhkan
investasi
yang
tidak
murah,
menyebabkan rumah sakit harus merencanakan investasi yang cukup besar juga. Persaingan global juga merupakan pemicu terjadinya kenaikan harga dasar pelayanan kesehatan serta harga dasar produksi obat. Kenaikan harga dasar pelayanan kesehatan ini semakin diperparah dengan kecilnya alokasi rencana anggaran pemerintah untuk kepentingan kesehatan. Rencana anggaran untuk biaya kesehatan di Indonesia berkisar 2,5% GDP atau US$ 18 per orang per tahun. Biaya tersebut sebagian besar 70% berasal dari out of pocked (dikeluarkan langsung dari saku masyarakat) yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi keuangan individu/ keluarga. Biaya tersebut juga hanya sedikit yang dikeluarkan melalui mekanisme asuransi (1621%). Peningkatan sebesar 21% ini lebih disebabkan meningkatnya kelompok keluarga miskin yang mendapatkan bantuan kesehatan dari upaya peralihan bahan bakar minyak. Kondisi seperti ini menyebabkan posisi masyarakat sebagai konsumen pelayanan kesehatan melemah. Upaya kendali biaya dan mutu pelayanan menjadi kurang berjalan dengan baik (Mukti, 2007). Berdasarkan latar belakang inilah, sebuah sistem pembayaran pelayanan kesehatan harus dirancang dengan baik supaya menguntungkan/ tidak saling merugikan kedua
3
belah pihak, pihak institusi penyedia pelayanan kesehatan dan pengguna pelayanan kesehatan. Kementrian Kesehatan telah menentukan kebijakan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 903/MENKES/PER/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) Tahun 2011 yang memuat penerapan konsep INA-CBG (Indonesia Case Base Groups) sebagai sistem pembayaran pelayanan kesehatan. Sistem pembayaran INA-CBG merupakan pembayaran berdasarkan tarif pengelompokan diagnosis yang mempunyai kedekatan secara klinis dan homogenitas sumber daya yang digunakan. Konsep INA-CBG semula bernama INA-DRG (Indonesia Diagnosis Related Groups). Konsep INA-DRG ini telah diterapkan selama kurun waktu 5 tahun terakhir di Indonesia. Pengelompokan diagnosis INA-DRG diperbarui dengan INA-CBG pada tahun 2011 dengan software pengelompokan diagnosis yang disempurnakan. Hambatan dalam penerapan sistem INA-CBG yang telah berjalan 1 tahun ini masih sama dengan hambatan pelaksanaan INA-DRG. Hambatan tersebut yaitu terdapat ketidaksesuaian antara tarif INA-CBG dengan biaya pelayanan kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan. Selisih antara total biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan rumah sakit dengan tarif INA-CBG cukup membebankan rumah sakit. Rumah sakit menanggung risiko finansial dengan penerapan INA-CBG tersebut dalam sistem pembayarannya. Tetapi terdapat juga beberapa rumah sakit yang mengalami keuntungan dengan penerapan sistem INA-CBG. Namun, keadaan tersebut tetap bukan merupakan kondisi yang ideal.
4
Metode merupakan
pembayaran
metode
berbasis
pembayaran
di
DRG rumah
(Diagnosis sakit
Related
berdasarkan
Groups) skema
pengelompokan keragaman kasus yang dialami pasien (case mix). Keragaman kasus pasien didasarkan pada kompleksitas dan intensitas jenis pelayanan medis yang diterima pasien. Komplek berhubungan dengan jenis pelayanan medis yang diberikan. Intensif berhubungan dengan jumlah pelayanan medis per pasien per hari atau hospital stay (Banta, 1983; Grimaldi, 1983). Keuntungan diterapkannya metode DRG adalah efisiensi kontrol biaya, jaminan mutu pelayanan kesehatan dan perencanaan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Metode DRG merupakan sistem pembiayaan prospektif. Jika rumah sakit menerapkan pembiayaan prospektif dan biaya dibayarkan tanpa melihat lama pasien dirawat, maka rumah sakit akan terdorong untuk menghindari pengeluaran biaya yang tidak penting, khususnya pada pembayaran yang melebihi biaya aktual yang optimal. Jaminan mutu dapat diterapkan dengan penerapan pemanfaatan/utilization, sehingga evaluasi perawatan medik dapat berlangsung dengan efisien. Penerapan pembiayaan prospektif dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan tenaga medik dalam kasus tertentu akibat fluktuasi atau perubahan dari bauran casemix (Hendrartini, 2007). Penerapan DRG menghasilkan kecenderungan peningkatan casemix walaupun pada kasuskasus tertentu menurun (Forginone, 2004; Hensen, 2007). Kondisi ini tentunya sangat mempengaruhi perencanaan sumber daya untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit. Penelitian DRG dimulai tahun 1965 oleh Yale University yang menghasilkan pengelompokan sebanyak 83 Major Diagnostic Categories (MDC). Pengelompokan ini didasarkan atas kedekatan diagnosis secara klinis dan
5
kehomogenan sumber daya yang digunakan. Beberapa variabel independent yang diteliti untuk pengelompokan ini adalah: diagnosis utama pasien, diagnosis kedua pasien, prosedur utama yang diberikan ke pasien, prosedur kedua yang diberikan ke pasien, umur pasien, pelayanan klinis yang diberikan ke pasien. Penelitian ini berkembang di tahun 1979 dengan bertambahnya variabel independent yaitu: operating room procedure (OR), jenis kelamin pasien, complication dan comorbidity. Complication berhubungan dengan kondisi pasien yang semakin kompleks, sedangkan comorbidity diagnosis utama pasien saat masuk berhubungan dengan diagnosis pendukungnya yang lain. Pada tahun 1983, Medicare mengembangkan pengelompokan DRG dengan menggunakan DRG sebagai salah satu sistem pembiayaan pelayanan kesehatan. Pada tahun 1987, New York State Health Department (NYHD) melakukan pengembangan DRG dengan nama APDRG. Selain itu, NYHD juga bekerja sama dengan 3M untuk mengembangkan sistem perangkat lunak DRG. Pada tahun 1991, Healthcare Cost and Utilization Project meneliti tentang 10 diagnosis DRG tertinggi di Amerika Serikat. Pengembangan pengelompokan DRG terakhir dilakukan oleh Medicare tahun 2002 dengan meng-update prosedur pengobatan pada pasien sebagai variabel independent dalam proses pengelompokan (Grimaldi, 1983). Penelitian Moreland (2004) menyebutkan bahwa salah satu hambatan pelaksanaan DRG adalah ketidaklengkapan rekam medik pasien, karena ketidaklengakapan rekam medik memicu kesalahan dalam proses klasifikasi pembiayaan. Kondisi ini sangat mungkin terjadi di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia. RSUP Dr. Sardjito merupakan salah satu rumah sakit yang telah menerapkan konsep DRG sebagai model untuk menentukan sistem pembayaran
6
pelayanan kesehatan. Hal ini sesuai dengan penetapan kebijakan Menteri Kesehatan RI yaitu menggunakan INA-CBG sebagai model penentuan sistem pembayaran pelayanan kesehatan JAMKESMAS untuk keluarga miskin. Hambatan yang dialami setelah mengggunakan sistem INA-CBG adalah adanya ketidaksesuaian tarif INA-CBG dengan tarif pelayanan kesehatan di lingkungan RSUP Dr. Sardjito atau terjadi selisih antara biaya total pelayanan kesehatan dengan tarif INA-CBG (gap).
Tabel 1. Sepuluh Diagnosis Dengan Kunjungan Tertinggi dan Gap Tertinggi di RSUP Dr. Sardjito Tahun 2009 No. Diagnosis Rata-Rata Standar Jumlah Deviasi Gap Kunjungan Gap 1. Kemoterapi Ringan -752.878 2.501.338 1.092 2. Kemoterapi Sedang -520.205 4.353.764 273 3. Kemoterapi Berat -1.952.084 5.884.571 91 4. Prosedur Lensa Dan Intra -1.761.404 3.374.350 89 Okuler Ringan 5. Prosedur Pada Uretra Dan -2.820.421 4.762.028 82 Transuretra Ringan 6. Trauma Kepala Ringan -3.854.353 5.314.709 81 7. Diagnosis Sistem Pencernaan -1.642.856 3.808.275 62 Lain-Lain (Ringan) 8. Gangguan Sel Darah Merah -38.623 1.712.261 56 Selain Krisis Anemia Sel Sickle Ringan 9. Tumor Ginjal & Saluran Urin -1.561.780 5.971.716 52 dan Gagal Ginjal Ringan 10. Prosedur Saluran Urin Atas -5.737.910 7.526.231 45 Ringan Keterangan : Klaim JAMKESMAS Tahun 2009 masih menggunakan INA-DRG Sumber Data : Unit Teknologi Informasi (UTI) RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Tabel 1 menguraikan tentang 10 diagnosis yang mempunyai kunjungan tertinggi dan gap tertinggi. Diagnosis yang mempunyai gap tertinggi dengan jumlah kunjungan terbanyak adalah Kemoterapi Ringan, Kemoterapi Sedang, Kemoterapi Berat (Kode INA-CBG C-14-3-i, C-14-3-ii, C-14-3-iii) yaitu dengan jumlah kunjungan 1456 (2,2% dari total kunjungan Tahun 2009). Walaupun
7
terdapat diagnosis untuk pasien JAMKESMAS yang klaimnya merugikan rumah sakit karena gap tinggi, terdapat juga diagnosis yang menguntungkan rumah sakit dengan nilai gap rata-rata mencapai Rp32.246.176,- yaitu kelompok diagnosis Prosedur Sistem Pernafasan Moderat Kompleks Berat (kode INA-CBG J-1-30-iii).
50000
40000
30000
20000
10000
45
35
25
15
00
00
00
00
00
00
00
00
00
00
,0
,0
,0
,0
,0
0 0,
00
00
0 0,
0 0,
0 0,
0 0,
0 0,
0 0,
0 0,
0 0,
00
00
00
00
00
00
00
00
00
,0
,0
0 0,
00
00
00
00
00
00
50
00
00
00
00
00
00
00
00
00
00
50
50
50
50
50
50
50
50
-5
-1
-2
-3
-4
-5
-6
-7
-8
50
00
00
00
00
15
05
-9
-1
-1
0
Gambar 1. Histogram Gap Klaim JAMKESMAS Tahun 2009
Secara keseluruhan diagnosis pasien JAMKESMAS di klaim tahun 2009 mempunyai rata-rata gap sebesar Rp126.477,- dengan standar deviasi Rp3.220.520,-. Nilai rata-rata gap ini artinya setiap pasien JAMKESMAS rata-rata menguntungkan rumah sakit sebesar Rp126.477,-. Namun jumlah outlier diluar interval kepercayaan 5% sebesar 743 kunjungan (1,6% dari total kunjungan di tahun 2009). Rata-rata nilai gap dari data outlier yaitu Rp-15.843.877,- dengan standar deviasi Rp14.351.150,-. Artinya sebesar 743 kunjungan dengan gap
8
outlier dan rumah sakit dirugikan sebesar Rp15.843.877,-. Tingginya kunjungan dengan gap outlier ditunjukkan pada Gambar 1 histogram gap kunjungan tahun 2009. Tabel 2 menguraikan gap antara tarif INA-CBG dengan biaya pelayanan kesehatan yang harus dikeluarkan RSUP Dr. Sardjito pada INA-CBG C-4-13-i, C4-13-ii dan C-4-13-iii yang termasuk dalam INA-CBG Kemoterapi. Tabel tersebut menunjukkan bahwa rata-rata biaya pelayanan kesehatan untuk pasien kemoterapi
sebesar
Rp3.090.827,01
dengan
standar
deviasi
sebesar
Rp3.393.969,48. Kondisi ini menggambarkan biaya pelayanan kesehatan pada pasien kemoterapi sangat heterogen, bahkan mencapai nilai maksimumnya Rp55.656.550,-. Kunjungan pasien pada kode INA-CBG Kemoterapi terbanyak pada diagnosis Acute Lympoblastic Leukemia (kode C910) yaitu sebesar 12,36% dari total kunjungan INA-CBG kemoterapi.
Tabel 2. Gap antara Tarif INA-CBG dengan Biaya Pelayanan Kesehatan Kode INA-CBG C-4-13-i, C-4-13-ii dan C-4-13-iii di RSUP Dr. Sardjito Tahun 2009 Variabel Rata-rata Standar Minimal Maksimal (Rp) Deviasi (Rp) (Rp) (Rp) Tarif INA-CBG 2.306.624,56 881.526,24 1.824.698 4.730.945 Biaya pel. kes. 3.090.827,01 3.393.969,48 213.200 55.656.550 Gap tagihan -784.202,48 3.236.670,8 -52.230.326 43.450.942 Sumber Data : UTI RSUP Dr. Sardjito.
Tingginya penyebabnya,
gap
pada
kemungkinan
INA-CBG dapat
Kemoterapi
disebabkan
belum
karena
ditemukan
ketidaksesuaian
operasional pelayanan kesehatan RSUP Dr. Sardjito dengan standar pelayanan medis yang telah disepakati, ketidaksesuaian tarif INA-CBG dengan kondisi lingkungan pelayanan kesehatan di RSUP Dr. Sardjito, ketidaksesuaian
9
penggunaan
formularium
ketidaksesuaian
obat
penggunaan
yang
telah
laboratorium,
ditentukan
dalam
ketidaksesuaian
INA-CBG,
penggunaan
pelayanan penunjang medis lainnya, kesalahan koding klasifikasi diagnosis, kesalahan dalam mengidentifikasi diagnosis dalam pengelompokan INA-CBG, LOS yang panjang, ketidaklengkapan rekam medik dan lain-lain.
B. Permasalahan Penelitian Hambatan yang terjadi pada saat penerapan sistem INA-CBG ini adalah terjadinya gap antara tarif INA-CBG dengan total biaya yang harus dikeluarkan RSUP Dr. Sardjito. Oleh karena itu, studi untuk meneliti penyebab terjadinya gap akan membantu rumah sakit untuk mengontrol pengeluaran pembiayaan. Pemodelan gap dengan beberapa faktor yang mempengaruhi diharapkan dapat digunakan sebagai dasar manajemen rumah sakit untuk melakukan perencanaan efisiensi pelayanan
klinis
pasien JAMKESMAS.
Karena terjadinya
gap
mengindikasikan adanya kekurangefisienan dalam pelaksanaan sistem INACBG. Pemodelan gap tersebut akan digunakan sebagai dasar untuk penyusunan sistem pendukung keputusan klinis. Penyusunan sistem pendukung keputusan klinis ini digunakan untuk membantu dokter dalam merencanakan tindakan pelayanan kesehatan (medical care planning) yang tidak menimbulkan kerugian secara finansial di pihak rumah sakit maupun pihak pasien. Tindakan pelayanan kesehatan yang tidak menimbulkan kerugian secara finansial di pihak rumah sakit dan di pihak pasien adalah tindakan pelayanan kesehatan yang efisien (gap minimum) sesuai dengan clinical pathway yang telah disepakati oleh komite medik. Sistem pendukung keputusan klinis ini diharapkan juga dapat digunakan untuk evaluasi operasional pelaksanaan INA-CBG yang meliputi: evaluasi
10
pelaksanaan clinical pathway, penggunaan formularium obat, penggunaan laboratorium, serta penggunaan sumber daya untuk pelayanan kesehatan pasien rawat inap JAMKESMAS, khususnya pasien kemoterapi. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka pertanyaan penelitian yang diungkapkan dalam disertasi ini adalah: 1) faktor apakah yang mendorong terjadinya gap antara biaya yang harus dikeluarkan rumah sakit dengan tarif INA-CBG? 2) bagaimana desain sistem pendukung keputusan klinis ini disusun dan 3) apakah sistem pendukung keputusan klinis yang didasarkan atas pemodelan gap ini dapat diterima oleh klinisi dalam menentukan rencana pemberian tindakan pelayanan kesehatan (medical care planning) yang efisien?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menyusun sistem pendukung keputusan klinis untuk efisiensi pelaksanaan sistem pembayaran INA-CBG di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi faktor penyebab gap dan menganalisis pemodelan gap antara biaya yang harus dikeluarkan RSUP Dr. Sardjito dengan tarif INACBG kemoterapi diagnosis Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) dengan beberapa variabel independen yang mempengaruhi yaitu karakteristik pasien, komplikasi, komorbiditas, lama hari dirawat, tindakan operasi, status kepulangan pasien, tarif tindakan medis, tarif tindakan keperawatan, tarif obat, tarif penunjang medis, tarif akomodasi dan pengaruh kasus-kasus ekstrim.
11
2. Menyusun sistem pendukung keputusan klinis untuk mendukung
dokter
dalam merencanakan keputusan secara klinis (medical care planning) yang efisien. 3. Menganalisis tingkat penerimaan klinisi terhadap perangkat lunak sistem pendukung keputusan klinis dalam memudahkan proses prediksi pelayanan kesehatan (medical care planning) yang efisien.
D. Manfaat Penelitian Penelitian tentang penyusunan sistem pendukung keputusan klinis yang memuat desain medical care planning untuk pasien diharapkan dapat bermanfaat dari sisi klinisi, rumah sakit serta pengembangan teoritis, yaitu : 1. Klinisi a. Klinisi dapat mendesain medical care planning untuk pasien sejak awal, sehingga prediksi lama pasien dirawat dan prediksi biaya pelayanan kesehatan dapat diketahui lebih awal. b. Klinisi akan terdorong untuk mengisi rekam medis dengan lengkap, karena telah mengetahui efek yang terjadi jika rekam medis tidak diisi secara lengkap. c. Klinis akan terdorong untuk memberikan pelayan kesehatan yang efektif dan efisien berdasarkan desain medical care planning yang telah disusun sejak diagnosis untuk pasien ditegakkan. 2. Rumah Sakit a. Desain medical care planning dapat memberikan prediksi biaya sejak awal, sehingga rumah sakit dapat merencanakan pembiayaan rumah sakit dengan lebih baik.
12
b. Apabila klinisi peduli untuk berperilaku efisien dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka rumah sakit akan terdorong juga untuk menciptakan atmosfer pelayanan kesehatan yang berkualitas. c. Rumah sakit dapat menjamin mutu pelayanan kesehatan berdasarkan pemanfaatan/
utilitas
sumber
daya
pelayanan
kesehatan
yang
dipergunakan berdasarkan desain medical care planning. 3. Pengembangan teoritis a. Menelaah tentang pelanggaran asumsi pada analisis regresi linier. Analisis regresi linier merupakan analisis regresi yang dipergunakan untuk pemodelan medical care planning dalam penelitian ini. b. Mengetahui manfaat sistem pendukung keputusan yang didalamnya memuat desain medical care planning untuk efisiensi pelayanan kesehatan untuk pasien khususnya pasien JAMKESMAS.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini menelaah tentang faktor yang mendorong terjadinya gap antara biaya yang harus dikeluarkan RSUP Dr. Sardjito dengan tarif INA-CBG. Pemodelan faktor yang mempengaruhi gap tersebut digunakan sebagai dasar dalam penyusunan sistem pendukung keputusan klinis. Sistem pendukung keputusan klinis diharapkan dapat membantu dokter dalam mengambil keputusan secara klinis dalam meminimalisasi gap. Gap yang minimum diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelaksanaan INA-CBG di RSUP Dr. Sardjito. Sistem pendukung keputusan klinis ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengevaluasi penerapan sistem pembayaran INA-CBG. Sistem ini diharapkan juga dapat digunakan untuk merencanakan pelayanan
13
kesehatan yang efektif dan efisien serta tidak merugikan pasien serta rumah sakit. Penyusunan perangkat lunak sistem pendukung keputusan klinis ini diharapkan juga dapat digunakan sebagai model untuk mengevaluasi proses pelayanan kesehatan yang tidak efisien di rumah sakit. Beberapa penelitian yang telah dilakukan tentang pelaksanaan sistem DRG diuraikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Beberapa Penelitian Tentang Pelaksanaan Sistem DRG Nama Publikasi
Metode Penelitian
May (1985), Impact of Diagnosis Related Groups on Medical Practice, American Journal Cardiology, Vol. 56, Hal. 16C-26C
Sampel penelitian 40 rumah sakit di Amerika Serikat dengan 3 tipe rumah sakit (RS pendidikan utama, RS pendidikan pendukung, RS nonpendidikan)
Ferraro (1986), Effect of Diagnosis-Related Groups on Diagnostic Methodology in the Hospital Laboratory, Diagnostic Microbiology and Infectionus Disease, Maret 1986; Vol. 4, Hal. 135S-142S,
Variabel pada penelitian ini adalah biaya laboratorium mikrobiologi di rumah sakit USA mulai tahun 1979
Hasil Penelitian
Rumah sakit dengan casemix yang semakin kompleks akan mendapatkan total pembayaran yang lebih tinggi dibandingkan rumah sakit dengan casemix yang kurang kompleks. Rumah sakit non-pendidikan mempunyai kecenderungan mendapatkan total pembayaran yang lebih tinggi daripada rumah sakit pendidikan. Penggunaan tes laboratorium untuk pendukung diagnosis dan tindakan dokter berhubungan dengan penggunaan sumber daya untuk kepentingan tes laboratorium. Semakin besar penggunaan sumber daya untuk tindakan dokter, semakin besar pula biaya yang dibutuhkan untuk tes laboratorium. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan tes mikrobiologi mempengaruhi total biaya pelayanan kesehatan sebesar 0,58%.
Persamaan/ Perbedaan Penelitian May (1985) tidak meneliti variabel gap (selisih antara tarif DRG di Amerika Serikat dengan total biaya pelayanan rumah sakit) tetapi meneliti tentang perbedaan total biaya pelayanan kesehatan pada rumah sakit pendidikan dan rumah sakit nonpendidikan.
Penelitian Ferraro (9186) meneliti tentang variabel biaya pendukung medis, terutama biaya laboratorium mikrobiologi. Sedangkan penelitian ini tidak hanya meneliti tentang penggunaan sumber daya dalam tindakan pendukung medis tetapi semua variabel penyebab biaya pelayanan kesehatan.
14
Nama Publikasi Frohlich, et al (1991), Economic Impact of Diagnosis-Related Groups and Severity of Illness on Reimbursement for Central Nervous System Infections, The Journal of Pediatrics, Vol. 118:5, Hal. 693697
Metode Penelitian Variabe yang diteliti adalah tingkat keparahan pasien. Tingkat keparahan pasien diteliti dari length of stay, duration of fever, physiologic severity index.
Assenmacher, et al (2009), Minimally Invasive, Minimally Reimbursed? Anesthesia for Endoscopic Cardiac Surgery Is Not Reflected Adequately in the German Diagnosis-Related Group System, Journal of Cardiothoracic and Vascular Anesthesia, Vol. 23:2, April 2009, Hal. 142-146.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian retrospective dengan jumlah sampel 84 pasien, 32 pasien dengan tindakan endoscopic intracardiac surgery dan 32 pasien dengan conventional open surgery.
Hidayat ( 2000), Pengembangan Sistem Tagihan Dengan Model Diagnosis Related Group di Rumah Sakit Syaiful Anwar Malang, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada
Sampel penelitian Hidayat (2000) adalah data keuangan pada pasien DHF dan thyfoid fever.
Hasil Penelitian Penelitian Frohlich, et al (1991) meneliti tentang pengaruh tingkat keparahan pasien terhadap pembayaran pelayanan kesehatan pada diagnosis central nervous system infection. Tingkat keparahan pasien DRG 20 (pasien dengan bakteri meningitis encephalitis) lebih parah daripada pasien DRG 21 (pasien dengan aseptic meningitis). Diagnosis DRG 20 menghasilkan total pembayaran lebih tinggi daripada DRG 21. Diagnosis DRG 20 juga menyebabkan loss (selisih antara pembayaran dengan real cost) lebih tinggi daripada DRG 21.
Persamaan/ Perbedaan Penelitian ini tidak hanya meneliti tentang variabel tingkat keparahan pasien, seperti pada penelitian Froehlich, Jarvis (1991), tetapi juga meneliti tentang semua variabel komponen biaya pelayanan kesehatan. Penelitian Froehlich, Jarvis (1991) meneliti diagnosis central nervous system infection terutama pada DRG 20 dan 21. Sedangkan pada penelitian ini meneliti diagnosis Acute Lyphoblastic Leukemia. Perbedaan penelitian Assenmacher, et al (2009) dengan penelitian ini adalah penelitian ini tidak hanya meneliti tentang variabel tindakan operasi tetapi semua variabel penyebab total biaya pelayanan kesehatan.
Penelitian Assenmacher, et al (2009) meneliti tentang pengaruh tindakan operasi terhadap sistem pembayaran DRG di Jerman (G-DRG). Penelitian ini menyimpulkan bahwa kelompok pasien dengan tindakan endoscopic intracardiac surgery menyebabkan underreinmbursement atau biaya pelayanan yang lebih tinggi dari pembayaran yang didapatkan rumah sakit, dibandingkan dengan kelompok pasien dengan conventional open surgery. Hal ini menunjukkan kompleksitas tindakan operasi berpengaruh terhadap sistem pembayaran di G-DRG. Penelitian Hidayat (2000) Penelitian Hidayat (2000) menyimpulkan bahwa biaya meneliti tentang penentuan obat merupakan biaya yang tarif DRG pada penyakit paling tinggi dalam DHF dan thypoid fever, mempengaruhi tarif pelayanan sedangkan penelitian ini kesehatan. membandingkan tarif DRG yang sudah ditentukan pemerintah dengan total biaya pelayanan kesehatan.
15
Nama Publikasi Setiadi (2000), Analisis Variasi Komponen Biaya Pelayanan Pada Empat Diagnosis Rawat Inap Terbanyak di Rumah Sakit Jasa Kartini Tasikmalaya Antara Bulan Mei 1998 – April 2000, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Universitas Gadjah Mada Evers, et al (2002), Predicting the Cost of Hospital Stay for Stroke Patient: The Use of Diagnosis Related Groups, Health Policy, Vol.61, Hal. 21-42
Forgione, et al (2004), The Impact of DRG Based Payment System on Quality of Health Care in OECD countries. (Organization for Economic Cooperation and Development), Journal of Health Care Finance, 22 September 2004
Metode Penelitian Penelitian Setiadi (2000) mengambil data sampel data rekam medik yang berasal dari 4 diagnosis dengan kunjungan tertinggi.
Hasil Penelitian
Persamaan/ Perbedaan
Penelitian Setiadi (2000) meneliti tentang faktor yang mempengaruhi variasi biaya pelayanan kesehatan pada empat diagnosis rawat inap tertinggi di RS. Jasa Kartini Tasikmalaya. Penelitian ini menyimpulkan variasi biaya obat merupakan variasi biaya tertinggi dengan faktor yang mempengaruhinya adalah lama hari dirawat.
Variabel dependen dari penelitian Setiadi (2000) adalah total biaya pelayanan kesehatan, sedangkan variabel dependen pada penelitian ini adalah gap. Sampel pada penelitian Setiadi (2000) adalah rekam medik dari empat diagnosis rawat inap tertinggi, sedangkan pada penelitian ini adalah rekam medik diagnosis Acute Lymphoblastic Leukemia.
Penelitian Evers, et al (2002) dilakukan pada 731 pasien stroke di University Hospital Maastricht mulai tahun 1996 – 1998.
Penelitian Evers, et al (2002) memprediksi tentang biaya pelayanan kesehatan untuk pasien stroke di rumah sakit yang menggunakan sistem DRG. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi total biaya pasien stroke adalah tingkatan fungsi tubuh setelah stroke, komorbiditi, komplikasi, LOS, tindakan operasi, umur dan status kepulangan pasien.
Sampel penelitian Forgione, et al (2004) sebesar 35 negara anggota OECD yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok negara yang mengadopsi metode DRG dan kelompok negara yang tidak mengadopsi metode DRG.
Penelitian Forginone, et al (2004) menyimpulkan penerapan DRG di negaranegara bagian Amerika Serikat menghasilkan efisiensi pembiayaan rumah sakit lebih baik, dibandingkan negaranegara yang tidak menerapkan DRG. Tetapi karena efisiensi juga dilakukan pada formularium obat, maka efisiensi ini berakibat penurunan kualitas pelayanan pada penyakit tertentu misalnya kanker. Karena biaya tertinggi pada pasien kanker terletak pada pemberian obat untuk kemoterapi. Kelompok negara yang menerapkan DRG mengalami peningkatan indeks casemix, penurunan kualitas yang berhubungan dengan kematian pasien pada tindakan bedah dan peningkatan angka medical misadventures.
Variabel dependen dari penelitian Evers, S. (2002) adalah total biaya pelayanan kesehatan, sedangkan variabel dependen pada penelitian ini adalah gap. Sampel pada penelitian Evers, S. (2002) adalah rekam medik dari pasien stroke selama 2 tahun, sedangkan pada penelitian ini adalah rekam medik diagnosis Acute Lymphoblastic Leukemia selama 2 tahun. Penelitian Forgione,et AL (2004) meneliti tentang perbandingan efisiensi rumah sakit di negara yang menerapkan DRG dengan negara yang tidak menerapkan DRG, dimana rumah sakit yang menerapkan DRG lebih efisien dibandingkan dengan rumah sakit yang tidak menerapkan DRG. Sedangkan penelitian ini meneliti rumah sakit yang telah menerapkan DRG tetapi masih belum efisien.
16
Nama Publikasi Librero, et al (2004), Exploring The Impact of Complications on Length of Stay in Major Surgery Diagnosis Related Groups, International Journal for Quality in Health Care, Vol.16:1
Metode Penelitian Sampel pada penelitian Librero, et al (2004) terbagi menjadi 2 kelompok yaitu pasien DRG dengan komplikasi dan kelompok pasien DRG tanpa komplikasi.
Hasil Penelitian
Persamaan/ Perbedaan
Penelitian Librero, et al (2004) meneliti tentang komplikasi terhadap lama dirawat (length of stay) dan tagihan pelayanan kesehatan pada pasien dengan tindakan operasi di rumah sakit yang menerapkan sistem pembayaran DRG. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa pasien dengan komplikasi (DRGCCs) mempunyai lama dirawat dua kali lebih panjang daripada pasien tanpa komplikasi (DRGs). Pasien dengan komplikasi juga menyebabkan pembayaran tagihan pelayanan kesehatan 93% lebih tinggi daripada pasien tanpa komplikasi.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut diatas adalah penelitian Librero J. (2004) meneliti tentang pengaruh variabel komplikasi terhadap total pembayaran dan lama pasien dirawat (LOS/ Length of Stay). Sedangkan penelitian ini tidak hanya meneliti tentang pengaruh variabel komplikasi terhadap total pembiayaan kesehatan tetapi semua variabel penyebab biaya pelayanan kesehatan.
Hensen, et al (2007), Introduction of DRG in Germany: Evaluation of Impact on In-patient in a Dermatological Setting. The European Journal of Public Health, 18 Mei 2007, Vol.18:1, Hal.85-91.
Variabel penelitian Hensen, et al (2007) meliputi jumlah pasien dirawat, LOS, casemix index, tingkat keparahan pasien dematologi di rumah sakit di Jerman yang menerapkan DRG.
Penelitian Hensen, et al (2007) menyimpulkan bahwa penerapan G-DRG di Jerman menyebabkan perubahan dalam pelayanan kesehatan untuk pasien rawat inap. Perubahan tersebut berpengaruh pada jumlah pasien rawat inap dermatologi yang masuk, juga pada pelayanan kesehatan pada rawat inap, dan berpengaruh terhadap LOS pasien rawat inap. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa aktifitas pasien rawat inap tidak terkurangi dengan penerapan G-DRG ini serta diperlukan penelitian pendekatan interdisipliner untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kualitas pelayanan kesehatan.
Penelitian Hensen, et al (2007) meneliti tentang perbedaan sebelum G-DRG diterapkan dengan sesudah G-DRG diterapkan, sedangkan penelitian ini meneliti tentang pengaruh penerapan DRG terhadap efisiensi biaya pelayanan kesehatan.
Triana (2008), Variasi Tagihan Pasien Rawat Inap Penyakit Demam Berdarah dan Appendicitis di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito Yogyakarta, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada
Penelitian Triana (2008) dilakukan dengan mengambil data sekunder rekam medik pasien DBD beserta biaya pelayanan kesehatannya.
Penelitian Triana (2008) meneliti tentang variasi tagihan pasien rawat inap DBD dan apendicitis di RSUP Dr. Sardjito, menyimpulkan variabel komorbiditas merupakan variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi total tagihan pelayanan kesehatan pada rawat inap DBD dan apendicitis.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian tersebut diatas adalah : Penelitian Triana (2008) menggunakan variabel dependen tagihan pasien rawat inap pada kasus DBD dan apendicitis, sedangkan penelitian ini menggunakan variabel dependen gap pada kasus pasien rawat inap diagnosis acute lymphoblastic leukemia.
17
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tersebut, maka dapat disimpulkan keaslian penelitian dalam disertasi ini. Karena penelitian ini mengembangkan sebuah sistem pendukung keputusan klinis untuk mendukung dokter dalam pengambil keputusan secara klinis yang dapat meminimalisasi gap. Hal ini belum pernah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.