BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Salah satu permasalahan dalam pengobatan penyakit infeksi adalah munculnya strain baru mikroba patogen yang akhirnya menyebabkan terjadinya resistensi. Resistensi mikroba merupakan keadaan dimana suatu mikroorganisme (bakteri, virus, dan beberapa parasit) berubah sedemikian rupa sehingga menyebabkan obat-obatan yang dahulu digunakan untuk mengobati infeksi tersebut menjadi tidak efektif (WHO, 2012). Jumlah kasus resistensi mikroba terhadap antibiotik semakin meningkat dari tahun ke tahun. WHO mencatat adanya peningkatan kasus Multidrug-resistance tuberculosis (MDR-TB) hingga mencapai 440.000 kasus pertahun. Penggunaan antibiotik dengan bijaksana (tepat obat, tepat dosis dan tepat pasien) merupakan salah satu cara penting untuk mengurangi timbulnya resistensi mikroba. Di sisi lain, pencarian sumber senyawa antimikroba baru sebagai alternatif pengobatan infeksi masih terus dilakukan. Penemuan senyawa antimikroba baru diharapkan dapat mengurangi pemakaian antibiotik yang telah ada sehingga mampu menekan prevalensi terjadinya resistensi. Salah satu metode yang saat
ini
banyak dikembangkan adalah penggunaan tehnik-tehnik
bioteknologi seperti kultur jaringan tanaman, propagasi in vitro, rekayasa genetika dan pemanfaatan mikroba endofit (Radji, 2005).
1
2
Kelebihan tehnik bioteknologi dibandingkan dengan penggunaan tanaman secara langsung adalah dapat diperoleh senyawa yang diinginkan dalam jumlah besar secara efisien tanpa harus mengeksploitasi tumbuhan asalnya. Selain itu, proses hilir atau down stream process yang diperlukan juga relatif lebih mudah dari pada isolasi langsung dari tumbuhan asalnya. Pemanfaatan mikroba endofit sebagai agen penghasil senyawa bioaktif sangat mungkin untuk dikembangkan. Hal ini karena mikroba merupakan organisme yang mudah ditumbuhkan, memiliki siklus hidup yang pendek dan dapat menghasilkan senyawa bioaktif dalam jumlah besar dengan metode fermentasi. Selain itu, pemanfaatan fungi endofit sebagai sumber senyawa bioaktif dapat mencegah eksploitasi tumbuhan obat secara besar-besaran. Mikroba endofit merupakan mikroorganisme yang tumbuh dalam jaringan tumbuhan tanpa menimbulkan penyakit pada inangnya. Mikroba endofit dapat berupa golongan bakteri dan fungi, akan tetapi yang banyak diisolasi adalah golongan fungi. Strobel dkk. (2003) menyatakan bahwa setiap tumbuhan mengandung satu atau lebih fungi endofit. Berbagai jenis fungi endofit telah berhasil diisolasi dari berbagai jenis tumbuhan dan terbukti dapat memproduksi senyawa bioaktif yang bermanfaat dalam bidang pengobatan, industri dan pertanian (Strobel dan Daisy, 2003). Mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang karakternya mirip atau sama dengan inangnya dikarenakan adanya pertukaran genetik antar keduanya (Tan dan Zou, 2001). Sebagai contoh adalah taxol, senyawa antikanker yang dihasilkan oleh tumbuhan Taxus brevifolia. Senyawa ini ternyata dapat
3
diisolasi dari Taxomyces andreanae, fungi endofit yang tumbuh pada tumbuhan Taxus brevifolia (Strobel, 2003). Contoh lain adalah fungi endofit kode AiL4 yang diisolasi dari Artemisia indica ternyata dapat menghasilkan senyawa artemisin sama seperti tumbuhan inangnya (Huang, 2007). Senyawa artemisin banyak dimanfaatkan sebagai antimalaria. Salah satu tanaman yang banyak digunakan untuk pengobatan penyakit infeksi adalah tanaman jinten (Coleus amboinicus Lour). Tanaman jinten mengandung minyak atsiri yang bertanggung jawab atas aktivitas antimikroba. Khare dkk., (2011) menyebutkan kandungan minyak atsiri daun jinten efektif untuk bakteri Gram negatif dan positif serta fungi. Genus Aspergillus terbukti dapat dihambat pertumbuhannya dengan minyak atsiri daun jinten (Samuel dkk., 1995). Ekstrak hidroalkoholik dari tanaman jinten aktif melawan methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dengan nilai KHM antara 18,7 – 9,3 mg/mL (Gurgel dkk., 2009). Selain itu, kandungan flavonoid tanaman jinten juga dilaporkan aktif terhadap beberapa bakteri dan yeast (Ragasa dkk., 1999). Secara tradisional, daun jinten digunakan untuk mengobati batuk, infeksi tenggorokan, hidung tersumbat dan penyembuh luka. Penelitian tentang fungi endofit dari tanaman jinten belum pernah dilakukan sebelumnya. Padahal dengan tehnik bioteknologi seperti pemanfaatan mikroba endofit dapat dihasilkan senyawa bioaktif secara lebih efisien tanpa harus memakai tanaman asal dalam jumlah banyak. Dari uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki keberadaan fungi endofit pada tanaman jinten yang dapat menghasilkan senyawa antimikroba
4
serta menentukan potensi antimikrobanya. Parameter potensi antimikroba dinyatakan dengan nilai KHM (Kadar Hambat Minimun) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum). Pada penelitian ini ditentukan pula golongan senyawa aktif yang bertanggung jawab atas aktivitas tersebut dengan metode KLT-Bioautografi.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah fungi endofit yang diisolasi dari tanaman jinten memiliki aktivitas antimikroba? 2. Bagaimana potensi aktivitas antimikroba ekstrak larut etil asetat fungi hasil isolasi dari tanaman jinten? 3. Apa golongan senyawa yang dihasilkan oleh fungi endofit hasil isolasi dari tanaman jinten yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antimikroba tersebut? C. Pentingnya Penelitian Pada penelitian ini dilakukan skrining primer sebagai tahap awal penemuan senyawa antibiotik baru yang kedepannya diharapkan dapat mengatasi permasalahan resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi antimikroba dari fungi endofit tanaman jinten (Coleus amboinicus Lour.) serta golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas.
5
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Melakukan skrining untuk memperoleh strain fungi endofit hasil isolasi dari tanaman jinten yang memiliki aktivitas antimikroba. 2. Menentukan aktivitas senyawa antimikroba yang diperoleh dari ekstrak larut etil asetat fungi endofit dari tanaman jinten dengan parameter nilai KHM dan KBM. 3. Mengidentifikasi golongan senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas antimikroba fungi tersebut dengan metode KLT-bioautografi.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Tanaman Jinten (Coleus amboinicus Lour.) Klasifikasi tanaman jinten menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1999) adalah: Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Labiatae
Marga
: Coleus
Jenis
: Coleus amboinicus Lour.
Sinonim (Heyne, 1987): C. aromaticus BENTH., Plectranthus aromaticus ROXB.
6
Tanaman jinten (Fam. Labiatae) atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama daun bangun-bangun merupakan tanaman asli dari India dan Mediteran. Famili Labiatae banyak digunakan dalam pengobatan tradisional karena memiliki aktivitas farmakologi seperti antimikroba, antioksidan, dan antiseptik (Khattak dan Taher, 2011). Secara tradisional, daun jinten digunakan untuk mengobati batuk dan demam (Rout dkk., 2010), infeksi tenggorokan dan hidung tersumbat (Khare dkk., 2011), asma, bronkitis, diare dan batu ginjal (Kumar dkk., 2008) dan penyembuh luka (Heyne, 1987). Coleus amboinicus Lour. merupakan tumbuhan semak, tinggi mencapai 50 cm, memiliki daun berbentuk jantung dengan tepi bergerigi kasar, batang yang masih muda berambut kasar dan hijau pucat. Tanaman ini mengeluarkan aroma yang khas dan tajam yang menunjukkan adanya kandungan minyak atsiri. Kandungan minyak atsiri daun jinten efektif untuk menghambat bakteri Gram negatif dan positif serta fungi (Khare dkk., 2011). Minyak atsiri daun jinten dilaporkan efektif melawan fungi dan bakteri dengan KHM berturutturut 25-50 µL/L dan 20-100 µL/L (Koba dkk., 2007). Ekstrak hidroalkoholik dari tanaman jinten aktif melawan methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dengan nilai KHM antara 18,7 – 9,3 mg/mL (Gurgel dkk., 2009). Genus Aspergillus terbukti dapat dihambat pertumbuhannya dengan minyak atsiri daun jinten (Samuel dkk., 1995). Senyawa ochratoxin pada Aspergillis ochraceus dapat dihambat sintesisnya oleh minyak atsiri daun jinten (Murthy dkk., 2009). Selain minyak atsiri, tanaman jinten juga
7
mengandung senyawa flavonoid yang memiliki aktivitas antimikroba lemah terhadap P. aeruginosa, B. subtilis, E. coli, S. aureus, Tricophyton mentagrophytes dan A. niger (Ragasa dkk., 1999). Daun jinten mengandung senyawa fenolik antara lain karvakrol, flavonoid, asam rosmarinat, asam kafeat dan asam klorogenat (Kumaran dan Karunakaran, 2007). Khattak dan Taher (2011) menyebutkan total senyawa flavonoid dalam ekstrak metanolik daun jinten adalah 0,178 mg/g, sedangkan total senyawa fenoliknya sebesar 55,21 mg/g. Senyawa flavonoid yang terdapat
dalam
tanaman
jinten
antara
lain
flavon
salvigenin,
6-
methoxygenkwanin, kuersetin, chrysoeriol, luteolin dan apigenin, flavanon eriodyctol dan flavanol taxifolin (Brieskorn dan Riedel, 1997).
Gambar 1. Daun dan batang tanaman jinten (dokumentasi pribadi)
2.
Senyawa Antimikroba Sejarah penemuan senyawa antimikroba tidak lepas dari kontribusi Paul Ehrlich dan Alexander Fleming. Adalah Paul Ehrlich yang pertama kali menggunakan istilah “magic bullet” untuk menjelaskan kemungkinan adanya senyawa yang dapat membunuh patogen tetapi tidak berbahaya bagi
8
inangnya. Pada tahun 1928, Alexander Fleming mengamati adanya hambatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus disekeliling koloni mold yang mengontaminasi kultur bakteri tersebut. Mold yang selanjutnya diidentifikasi sebagai Penicillium notatum ini menghasilkan senyawa aktif yang diberi nama penicillin. Senyawa inilah yang bertanggung jawab atas aktifitas inhibisi terhadap bakteri. Mekanisme inhibisi ini selanjutnya disebut dengan antibiosis. Dari kata tersebut muncul istilah antibiotik, yaitu senyawa yang diproduksi oleh mikroorganisme yang dalam jumlah kecil mampu menghambat pertumbuhan organisme lain (Tortora dkk., 2010). Sedikitnya ada tiga spesies yang memproduksi antibiotik, yaitu famili Streptomyces, Bacillus dan kapang Penicillium dan Cephalosporium. Namun, lebih dari setengah antibiotik yang telah digunakan diproduksi oleh spesies dari famili Streptomyces (Tortora dkk., 2010). Beberapa antibiotik memiliki aksi luas terhadap berbagai jenis mikroba patogen. Namun, sebagian yang lain spesifik terhadap mikroba tertentu. Antibiotik yang mempengaruhi bakteri Gram positif dan negatif dikatakan sebagai antibiotik berspektrum luas (broad spectrum). Sebaliknya, antibiotik yang beraksi hanya terhadap bakteri Gram positif atau Gram negatif saja disebut antibiotik berspektrum sempit (narrow spectrum). Antibiotik spektrum luas tidak hanya mempengaruhi mikroba patogen tetapi juga mikroba normal dalam tubuh sehingga dalam hal ini selektivitasnya dirasa kurang.
9
Tortora dkk. (2010) menjelaskan sedikitnya ada lima mekanisme aksi obat-obat antibiotik. a.
Menghambat sintesis dinding sel Dinding sel bakteri terdiri dari senyawa makromolekul peptidoglikan (asam amino dan disakarida). Penghambatan sintesis dinding sel bakteri menyebabkan sel menjadi lemah dan akhirnya lisis. Namun, aksi ini hanya dapat terjadi pada bakteri yang sedang mengalami masa pertumbuhan. Sel tubuh manusia tidak memiliki lapisan peptidoglikan sehingga efek samping terhadap sel inang dapat diminimalisir. Contoh antibiotik yang memiliki mekanisme aksi ini adalah golongan penisilin.
b.
Menghambat sintesis protein Protein merupakan unsur penting pada setiap sel hidup, baik sel prokariot maupun eukariot. Protein diperoleh dari hasil translasi mRNA oleh ribosom. Proses translasi mRNA pada bakteri dilakukan oleh ribosom 70S (terdiri dari unit 50S dan 30S). Contoh antibiotik yang memiliki mekanisme aksi ini antara lain kloramfenikol, tetrasiklin, streptomisin. Kloramfenikol dapat berikatan dengan unit 50S sehingga pembentukan ikatan peptida menjadi terhambat. Tetrasiklin mempengaruhi penempelan tRNA
ke
kompleks
mRNA-ribosom,
sedangkan
streptomisin
mempengaruhi unit 30S. c.
Melukai membran plasma Beberapa jenis antibiotik dapat mengubah permeabilitas membran plasma sel mikroba. Perubahan permeabilitas ini menyebabkan sel
10
mikroba melepaskan cairan sitoplasma sehingga lama kelamaan sel akan mengalami kerusakan. Mekanisme ini digunakan untuk menjelaskan kerja dari senyawa antifungi seperti amfoterisin B, mikonazol, dan ketokonazol. Senyawa antifungi tersebut membentuk kompleks dengan senyawa sterol pada membran plasma sel fungi dan menyebabkan kerusakan pada sel. Karena membran plasma bakteri umumnya tidak mengandung sterol, maka antibiotik jenis ini tidak beraksi pada sel bakteri. d.
Menghambat sintesis asam nukleat Beberapa antibiotik mengganggu proses replikasi DNA dan proses transkripsi pada mikroba. Namun, aksi ini juga dapat mempengaruhi DNA dan RNA pada sel mamalia sehingga penggunaannya sangat terbatas. Contoh antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat adalah rifamicin, quinolon, dan fluoroquinolon.
e.
Menghambat sintesis metabolit essensial (antimetabolit) Aktivitas enzimatik mikroorganisme dapat dihambat secara kompetitif oleh suatu senyawa yang mirip dengan substrat aslinya. Senyawa tersebut disebut sebagai antimetabolit. Contoh antimetabolit adalah sulfanilamid yang secara kompetitif menghambat PABA (para-aminobenzoic acid). PABA merupakan substrat untuk pembentukan asam folat. Asam folat berperan sebagai koenzim pada sintesis basa purin dan pirimidin pada asam nukleat.
11
3.
Resistensi Mikroba Resistensi mikroba merupakan keadaan dimana suatu mikroorganisme (bakteri, virus, dan beberapa parasit) berubah sedemikian rupa sehingga menyebabkan obat-obatan yang dahulu digunakan untuk mengobati infeksi tersebut menjadi tidak efektif (WHO, 2012). Resistensi dapat disebabkan oleh perubahan genetik (mutasi) pada mikroba sehingga mereka bisa menoleransi obat-obat antibiotik yang secara normal menghambat pertumbuhannya. Perubahan genetik tersebut dapat berupa produksi enzim yang dapat menonaktifkan antibiotik dan perubahan permukaan dinding sel sehingga tidak bisa dilewati senyawa antibiotik. Mutasi genetik yang terjadi secara acak ini dapat menurun pada sel anakan mikroba. Karena kecepatan reproduksi sel mikroba relatif cepat, maka tidak dibutuhkan waktu lama untuk semua populasi mengalami resistensi. Resistensi mikroba terhadap antibiotik awalnya terjadi di rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat saja. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah salah satu contoh resistensi mikroba yang hanya terjadi di rumah sakit. Namun, saat ini telah menyebar pada masyarakat umum, mempengaruhi kesehatan dan menyebabkan kematian. Beberapa mekanisme resistensi dapat dijelaskan seperti di bawah ini (Tortora dkk., 2010): a. Destruksi enzimatik atau inaktivasi aksi obat Antibiotik
yang
merupakan
produk
metabolit
dari
suatu
mikroorganisme lebih rentan terhadap aktivitas enzimatik dari pada
12
antibiotik sintesis. Sebagai contoh adalah penicillin dan cephalosporin yang memiliki cincin β-laktam. Cincin β-laktam dapat diinaktivasi oleh
enzim
β-laktamase.
Beberapa
mikroba
patogen
seperti
Streptococcus pneumoniae dapat mensintesis enzim tersebut sehingga tidak sensitif lagi terhadap antibiotik golongan β-laktam. b. Mencegah penetrasi ke tempat aksi Penetrasi antibiotik dalam sel mikroba patogen sangat ditentukan oleh struktur molekulnya dan permeabilitas membran sel mikroba. Beberapa mikroba yang bermutasi menjadikan membran selnya tidak permeabel terhadap antibiotik sehingga tidak dapat mencapai tempat aksi. Bakteri Gram negatif relatif lebih mudah mengalami resistensi karena pada struktur membran selnya terdapat semacam pintu atau celah yang disebut sebagai “porin”. Porin yang telah dimodifikasi dapat mencegah penetrasi antibiotik ke dalam sel mikroba. c. Perubahan tempat aksi obat Sintesis protein melibatkan pergerakan ribosom di sepanjang untaian mRNA. Beberapa antibiotik seperti golongan aminoglikosida, tetrasiklin dan makrolid memiliki mekanisme aksi menghambat sintesis protein pada daerah ini. Sedikit perubahan pada daerah ini dapat mengganggu aksi antibiotik tanpa mempengaruhi fungsi seluler secara signifikan. d. Mempercepat pengeluaran obat
13
Pada membran plasma bakteri Gram negatif terdapat protein tertentu yang berfungsi sebagai pompa untuk mengeluarkan antibiotik dan mencegah antibiotik tersebut untuk mencapai konsentrasi efektif minimum (KEM).
Gambar 2. Mekanisme resistensi mikroba terhadap antibiotik (Tortora dkk., 2010)
4.
Uji Aktivitas Antimikroba a. Metode Difusi Disk Diffusion (Kirby-Bauer test) Metode ini dilakukan dengan cara meletakkan piringan (disk) yang mengandung
senyawa
antimikroba
pada
permukaan
media
terinokulasi mikroba uji (Pratiwi, 2008). Selama inkubasi, senyawa antimikroba tersebut akan berdifusi ke dalam media agar. Efektifitas senyawa antimikroba ditandai dengan adanya zona hambat yang terbentuk disekeliling disk setelah inkubasi. Semakin luas zona hambatnya semakin sensitif senyawa tersebut (Tortora dkk., 2010). Kecepatan difusi melewati media agar tidak secepat kecepatan ekstraksi senyawa antimikroba dari disk. Oleh karena itu, konsentrasi
14
senyawa antimikroba terbesar adalah yang paling dekat dengan disk dan berkurang secara logaritmik dengan bertambahnya jarak dari disk (Hudzicki, 1012). Kecepatan difusi senyawa antimikroba ke media agar dipengaruhi oleh kelarutan senyawa tersebut dalam media padat dan bobot molekulnya (BM). Semakin besar BM senyawa tersebut maka kecepatan difusinya akan semakin berkurang. Karena beberapa faktor inilah, maka setiap senyawa antimikroba memiliki pola zona hambat yang berbeda. Epsilometer-test (E-test) Epsilometer-test merupakan metode praktis untuk menentukan KHM dari suatu antibiotik. Pada dasarnya metode ini sama dengan metode disk diffusion, perbedaannya pada E-test piringan diganti dengan strip nilon yang mengandung gradien konsentrasi senyawa antimikroba. Pada sisi sebaliknya terdapat garis dan angka-angka yang menunjukkan nilai KHM. Setelah inkubasi, KHM ditentukan dengan mengamati dimana daerah jernih yang berbentuk buah pear melintasi strip tersebut (Smith, 2004). b. Metode Dilusi Dilusi cair/broth dilution test (serial dilution) Metode ini biasa digunakan untuk mengukur Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM). Uji dilusi cair dilakukan dengan cara membuat seri konsentrasi dari senyawa antimikroba pada tabung reaksi kemudian pada setiap tabung
15
ditambahkan mikroba uji. Kadar terkecil yang menghasilkan larutan jernih (tidak tampak adanya pertumbuhan mikroba) ditentukan sebagai KHM. Untuk menentukan KBM, larutan yang ditetapkan sebagai KHM dikulturkan pada media steril yang tidak mengandung mikroba uji maupun senyawa antimikroba. Larutan tersebut diinkubasi selama 18-24 jam dan larutan yang masih terlihat jernih setelah inkubasi ditentukan sebagai KBM (Pratiwi, 2008). Dilusi padat/solid dilution test Pada intinya metode ini sama dengan metode dilusi cair, satusatunya perbedaan terdapat pada media yang digunakan. Metode dilusi padat menggunakan media padat sebagai pengganti media cair. Metode ini memiliki keuntungan dimana satu konsentrasi senyawa antimikroba dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji sekaligus (Pratiwi, 2008). 5.
KLT-Bioautografi Metode KLT-Bioautografi merupakan metode untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil kromatografi lapis tipis yang memiliki aktivitas antimikroba sehingga mendekatkan metode separasi dengan uji biologis (Pratiwi, 2008). Dibandingkan dengan metode lainnya, KLT-bioautografi dapat dengan cepat mendeteksi dan memisahkan komponen aktif dari ekstrak tanaman dan juga memiliki keuntungan tambahan seperti praktis, sederhana, dan tidak membutuhkan peralatan khusus. Namun demikian, KLTbioautografi
tidak dapat digunakan untuk menentukan KHM dan KBM
16
(Pratiwi, 2008). Metode ini menggabungkan teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dengan respon dari mikroorganisme yang diuji berdasarkan aktivitas biologi suatu analit yang dapat berupa antibakteri, antikapang atau antiprotozoa (Kusumaningtyas dkk., 2008). Ada 3 jenis KLT-bioautografi yang dikenal saat ini, yaitu: a. Bioautografi kontak Bioautografi kontak dilakukan dengan meletakkan lempeng kromatogram hasil elusi senyawa uji di atas media padat yang telah diinokulasikan dengan mikroba uji. Plat kemudian diambil kembali dan media diinkubasi pada suhu 37oC semalam. Adanya senyawa antimikroba ditandai dengan adanya daerah jernih yang tidak ditumbuhi mikroba (Kusumaningtyas dkk., 2008). b. Bioautografi langsung Pada bioautografi langsung, plat KLT yang mengandung senyawa antimikroba disemprot dengan suspensi mikroorganisme. Letak senyawa aktif akan tampak sebagai daerah jernih dengan latar belakang keruh setelah inkubasi selama waktu tertentu yang menandakan terhambatnya pertumbuhan mikroba (Pratiwi, 2008). c. Bioautografi overlay Berbeda dengan bioautografi langsung, pada bioautografi overlay media agar yang mengandung suspensi mikroba uji dituang pada permukaan plat KLT yang mengandung senyawa antimikroba kemudian ditunggu hingga memadat. Deteksi dilakukan setelah inkubasi selama kurun waktu tertentu
17
dengan cara menyemprot kultur menggunakan tetrazolium klorida. Senyawa aktif antimikroba akan tampak sebagai area jernih dengan latar ungu (Pratiwi, 2008). 6.
Mikroba endofit Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup di dalam jaringan tumbuhan tanpa menimbulkan gejala penyakit pada tumbuhan inangnya (Radji, 2005). Mikroba endofit dapat diisolasi dari akar, batang dan daun suatu tumbuhan termasuk ganggang laut dan lumut (Tan dan Zou, 2001). Bakteri dan fungi adalah jenis mikroba yang umum ditemukan sebagai mikroba endofit, akan tetapi yang banyak diisolasi adalah golongan fungi. Koloni fungi endofit dapat dilihat setelah ditumbuhkan dalam media yang sesuai. Namun, terkadang untuk koloni fungi pada permukaan daun dapat diamati secara langsung tanpa menumbuhkan pada media pertumbuhan fungi. Fungi yang masih dalam bentuk spora baik pada daun, akar, dan batang tidak dapat diamati tanpa ditumbuhkan dalam media pertumbuhan. Mikroba endofit terutama yang hidup di lingkungan yang spesifik atau bahkan di lingkungan yang tidak umum sering digunakan sebagai sumber penemuan senyawa bioaktif baru. Mikroba endofit yang diisolasi dari daerah tropis lebih potensial sebagai sumber senyawa bioaktif jika dibandingkan dengan mikroba endofit yang diisolasi dari daerah
temperate (Strobel, 2003). Mikroba endofit yang
tumbuh pada tumbuhan hutan hujan tropis juga memiliki potensi yang luar biasa sebagai sumber senyawa bioaktif. Sebagai contoh, fungi endofit
18
Thievalia polygonoperda yang diisolasi dari tumbuhan akar kuning (Fibraurea chloroleuca) yang tumbuh di hutan Kalimantan memiliki daya antibakteri yang kuat (Prihatiningtias, 2005). Tumbuhan sebagai inang fungi endofit harus memiliki proses seleksi tertentu berdasarkan pengaruh lingkungannya, umur dan sejarah tumbuhan inang, serta berdasarkan penggunaan tumbuhan inang secara etnobotani (Castillo dkk., 2002). Hubungan antara mikroba endofit dan inangnya dapat berbentuk simbiosis mutualisme sampai hubungan yang patogenik (Strobel, 2003). Hubungan simbiosis mutualisme ditandai dengan hubungan yang saling menguntungkan antara mikroba endofit dan tumbuhan inangnya. Mikroba endofit dapat melindungi tumbuhan inang dari serangan patogen dengan senyawa yang ia hasilkan. Senyawa tersebut berupa metabolit sekunder yang merupakan senyawa bioaktif dan dapat berfungsi untuk membunuh patogen, sedangkan tumbuhan inang menyediakan nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroba endofit untuk melengkapi siklus hidupnya. Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dan dibiakkan dalam media pertumbuhan yang sesuai. Demikian pula metabolit sekunder yang dihasilkan oleh fungi endofit telah banyak yang diisolasi dan dimurnikan serta ditentukan struktur molekulnya (Radji, 2005). Beberapa tumbuhan dapat menurunkan senyawa bioaktif yang dikandungnya kepada mikroba endofit yang tumbuh dalam jaringannya, sehingga mikroba endofit tersebut dapat menghasilkan senyawa yang sama dengan inangnya (sering disebut sebagai metabolit sekunder). Sebagai contoh
19
adalah senyawa taxol, senyawa antikanker yang dihasilkan oleh tumbuhan Taxus brevifolia. Senyawa ini ternyata dapat diisolasi dari Taxomyces andreanae, fungi endofit yang tumbuh pada tumbuhan Taxus brevifolia (Strobel, 2003). Sampai saat ini, proses isolasi dan fermentasi mikroba endofit telah menghasilkan banyak senyawa aktif yang bermanfaat. Radji (2005) sejauh ini telah merangkum beberapa senyawa aktif hasil fermentasi yang berperan sebagai antibiotik, antivirus, antikanker, antimalaria, antioksidan, dan senyawa imunosupresif. Menurut Tan dan Zou (2001), mikroba endofit dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang karakternya mirip atau sama dengan inangnya disebabkan adanya pertukaran genetik yang terjadi antara inang dan mikroba endofit secara evolusioner. 7.
Mikroba Uji a. Bacillus subtilis Family
: Bacilliaceae
Genus
: Bacillus
Species
: Bacillus subtilis
(Salle, 1961)
Bacillus subtilis termasuk bakteri Gram positif aerobik dan dapat membentuk endospora. Genus Bacillus mayoritas bersifat mesofil dengan rentang suhu pertumbuhan optimum sebesar 30-40 oC, beberapa bersifat termofil (suhu optimum 65oC) dan sisanya merupakan psychrophile sejati (mampu tumbuh pada suhu 0oC) (Logan dan Rodriguez-Diaz, 2006). Bacillus dapat tumbuh pada pH asam sampai basa yaitu sekitar pH 2-11.
20
Pada kondisi optimum, waktu perkembangbiakan Bacillus adalah 25 menit. b. Escherichia coli Family
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Species
: Escherichia coli
(Salle, 1961)
Genus Escherichia bersifat Gram negatif, oksidase negatif, tidak membentuk spora, berbentuk batang, anaerob fakultatif dan memiliki flagella di seluruh permukaan selnya untuk motilitas (Baylis dkk., 2006). E. coli sendiri merupakan flora normal yang terdapat dalam saluran gastrointestinal manusia dan hewan berdarah panas. Walaupun bakteri ini dibutuhkan dalam proses pembusukan feses, bukan berarti tidak berbahaya bagi tubuh. Beberapa strain E. coli dapat menyebabkan penyakit meningitis pada neonatus (Extraintestinal Pathogenic E. coli atau ExPC) dan menyebabkan infeksi saluran urin (Intestinal Pathogenic E. coli atau IPEC) (Baylis dkk., 2006). c. Pseudomonas aeruginosa Family
: Pseudomonadaceae
Genus
: Pseudomonas
Species
: Pseudomonas aeruginosa
(Salle, 1961)
Bakteri ini termasuk bakteri Gram negatif, bersifat aerob, berbentuk batang dan menggunakan flagela polar untuk motilitas, terdapat dalam bentuk sel tunggal, berpasangan dan terkadang membentuk rantai
21
pendek. P. aeruginosa tumbuh optimum pada suhu 37-42 oC. Dalam beberapa jenis media, P. aeruginosa membentuk koloni yang mampu menghasilkan flouresen berwarna kehijauan, juga sering menghasilkan zat warna kebiruan yang disebut pyocyanin, zat warna
pyoverdin
yang
memberi warna kehijauan, zat warna pyorubin yang memberi warna merah gelap, dan zat warna pyomelanin yang memberi warna hitam, yang dapat berdifusi dan memberi warna pada media agar (Jawetz dkk., 2007). P. aeruginosa merupakan bakteri patogen oportunistik artinya ia mengeksploitasi celah pada pertahanan inangnya untuk menginisiasi infeksi misalnya ketika membran mukus dan kulit terbuka atau ketika digunakan kateter ke saluran urin maupun intravena. Infeksi P. aeruginosa terbagi dalam 3 tahap, yaitu: pelekatan sel dengan bantuan pili (fimbria) dan kolonisasi bakteri; invasi lokal; dan penyebaran ke aliran darah yang menyebabkan infeksi sistemik ( Todar, 2012b). d. Salmonella thypi Family
: Enterobacteriaceae
Genus
: Salmonella
Species
: Salmonella thypi
(Salle, 1961)
Salmonella thypi termasuk bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan bersifat patogenik seperti E. coli (Fam. Enterobacteriaceae). S. thypi hidup pada saluran usus hewan berdarah panas maupun dingin. Penularan bakteri ini ke manusia dapat menyebabkan salmonellosis yang meliputi demam tipus (berasal dari invasi bakteri ke aliran darah) dan
22
gastroenteritis (berasal dari infeksi atau intoksikasi makanan). S. thypi yang tertelan tahan terhadap asam lambung sehingga dapat masuk ke dalam ileum dan menginvasi sistem limfatik (Budiyanto, 2002). e. Staphylococcus aureus Family
: Micrococcaceae
Genus
: Staphylococcus
Species
: Staphylococcus aureus
(Salle, 1961)
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, bersifat anaerob fakultatif, berbentuk bulat (coccus) dan sering terlihat sebagai kumpulan menyerupai anggur. Bakteri ini menempati kulit, rongga mulut dan saluran gastrointestinal manusia. S. aureus dapat tumbuh pada suhu 15-45oC dan pada konsentrasi NaCl mencapai 15%. Hampir semua strain S. aureus memproduksi enzim koagulase dan merupakan mikroba patogen yang poten. S. aureus merupakan penyebab utama infeksi nosokomial dari infeksi dan luka operasi, menyebabkan keracunan makanan dengan melepaskan enterotoksin dan toxic shock syndrome dengan melepas superantigen ke dalam peredaran darah (Todar, 2012c). f. Candida albicans Family
: Cryptococcaceae
Genus
: Candida
Spesies
: Candida albicans
(Berkhout, 1923)
Secara mikroskopik, C. albicans terlihat sebagai budding cell berbentuk lonjong bertunas, berukuran kecil, dan menghasilkan
23
pseudomiselium dalam biakannya. Pada media agar Sabouraud, C. albicans terlihat sebagai kultur berwarna krem, halus dengan bau khas kapang (Jawetz dkk., 1986). C. albicans merupakan flora normal selaput lendir saluran pernafasan, saluran pencernaan dan genitalia wanita. Infeksi pada genitalia wanita dapat menyebabkan vulvovaginitis yang menyerupai sariawan tetapi menimbulkan iritasi, gatal dan pengeluaran sekret. Infeksi pada kulit terutama terjadi pada bagian tubuh yang lembab dan hangat seperti ketiak, lipatan paha atau lipatan di bawah payudara. 8.
Fermentasi Istilah fermentasi pertama kali dikenalkan oleh Theodore Schwann (1837) untuk menjelaskan tentang proses konversi gula menjadi alkohol (Prescott, 2002). Proses konversi tersebut melalui rangkaian reaksi katabolisme anaerobik yang dilakukan oleh mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme hidup secara anaerob dengan mengkonversi molekul gula menjadi etanol dan memperoleh energi dalam bentuk ATP. Keterlibatan mikroorganisme dalam proses fermentasi telah banyak dimanfaatkan oleh industri saat ini misalnya seperti produksi bir dan wine dari buah anggur (Tortora dkk., 2010). Dalam mikrobiologi industri, fermentasi digambarkan sebagai proses pengubahan bahan dasar menjadi produk yang dikehendaki dengan bantuan mikroorganisme tertentu. Berbeda dengan sejarahnya, fermentasi dewasa ini tidak hanya tentang produksi alkohol atau asam laktat. Namun, dalam perkembangannya telah banyak
24
menghasilkan berbagai produk yang bermanfaat untuk manusia. Sedikitnya ada 5 produk hasil fermentasi yang saat ini telah banyak diproduksi, yaitu: a. Biomassa (sel-sel mikroba), misalnya produksi protein sel tunggal; b. Enzim, misalnya amilase dan protease; c. Metabolit mikroba, berupa metabolit primer seperti polisakarida, protein, asam nukleat dan metabolit sekunder seperti antibiotik; d. Produk rekombinan, misalnya insulin dan interferon; e. Biokonversi, misalnya konversi etanol menjadi asam asetat, propanol menjasi aseton, sorbitol menjadi sorbosa, dan lain sebagainya. (Stanbury dkk., 1995) Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses fermentasi adalah: a) Kecepatan aerasi sering tidak sesuai dengan jumlah oksigen yang dibutuhkan dan oksigen yang terlarut dalam media; b) Jumlah sumber karbon dan nutrisi lain harus sesuai baik dalam jumlah dan komposisi dengan mikroba dan produk yang diinginkan; c) Toksin yang terakumulasi dan dapat menghambat pertumbuhan; d) Perubahan pH selama proses fermentasi; e) Busa yang mungkin timbul. Busa dapat disebabkan oleh kandungan garam, pH, suhu, komposisi media, aliran udara, agitasi, dan penambahan anti busa yang berlebihan. Anti busa yang ditambahkan dalam media fermentasi dapat mengurangi jumlah oksigen yang terlarut media (McNeil and Harvey, 2008). Fermentasi dapat dilakukan dengan 3 macam sistem, yaitu: a. Sistem Batch
25
Sistem batch adalah yang paling sederhana dan sering digunakan di laboratorium untuk memperoleh produk sel atau metabolitnya. Sistem batch adalah sistem tertutup, artinya semua nutrisi yang dibutuhkan mikroba untuk tumbuh dan memproduksi metabolit berada dalam satu fermentor dan tidak ada penambahan bahan atau pengambilan hasil selama fermentasi (Stanbury dkk., 1995). Keuntungan
sistem
ini
adalah
mudah,
sederhana
dan
kemungkinan kontaminasi kecil, sedangkan kerugiannya adalah kultur mikroba yang menua, tidak ada perbaruan pertumbuhan mikroba, pembentukan metabolit toksik yang bercampur dengan produk, konsentrasi substrat terbatas, dan sukar untuk diaplikasikan dalam skala besar. b. Sistem Fed-Batch Sistem ini tidak tertutup seperti sistem batch. Selama fermentasi, substrat, nutrisi, atau induser dapat ditambahkan ke dalam fermentor untuk
memperpanjang
fase
eksponensial
(log
phase)
mikroorganisme. Menurut Rachman (1989) sistem fed-batch adalah suatu sistem yang rnenambahkan media baru secara teratur pada kultur tertutup tanpa mengeluarkan cairan kultur yang ada di dalam fermentor sehingga volume kultur makin lama makin bertambah. Keuntungan sistem fed-batch ini ialah konsentrasi sisa substrat terbatas dan dapat dipertahankan pada tingkat yang sangat rendah sehingga dapat mencegah fenomena represi katabolit atau inhibisi
26
substrat (Satriawihardja dkk., 1999). Stanbury dkk. (1995) juga menyebutkan istilah kultur fed-batch untuk menggambarkan kultur batch yang pemasokan substratnya dilakukan secara kontinyu atau bertahap tanpa pengeluaran cairan kultur. Volume kultur bertambah sesuai dengan perubahan waktu. c. Sistem Continous Sistem
contious
merupakan
sistem
batch
yang
fase
eksponensialnya diperpanjang dengan tetap menjaga jumlah nutrisi dan jumlah biomassa/sel mikroba (Stanbury dkk., 1995). Selama fermentasi berlangsung, mikroba diberi nutrisi atau medium baru, sementara itu jumlah sel atau media dikeluarkan dari fermentor dengan kecepatan yang sama. Ketika media ditambahkan ke dalam kultur secara kontinyu dengan kecepatan yang tetap maka kondisi steady state dapat tercapai. Artinya, pembentukan biomassa baru dalam kultur sebanding dengan pengeluaran massa sel dari fermentor. Keuntungan sistem ini adalah memiliki produktivitas dan kecepatan pertumbuhan yang dapat dioptimalkan, proses dalam waktu lama dapat dijalankan, dapat digunakan model sel amobil, serta faktor fisis dan lingkungan mudah dianalisis; sedangkan kerugiannya adalah tidak sesuai dengan kaidah Good Manufacturing Practice sehingga dilarang digunakan untuk memproduksi produk farmasi, resiko kontaminasi yang besar, produk yang belum optimal
27
terbentuk, dan mudah timbul perubahan atau evolusi pada mikroba (McNeil and Harvey, 2008). Menurut Pratiwi (2008), pertumbuhan mikroba terjadi melalui 4 tahap jika ditumbuhkan dalam media yang sesuai, yaitu: a) Fase Lag yaitu fase penyesuaian atau adaptasi mikroba terhadap media baru. Selama fase lag, tidak terjadi peningkatan jumlah sel, tetapi hanya terjadi peningkatan ukuran sel mikroba. Lama fase lag sangat dipengaruhi oleh kondisi dan jumlah awal mikroba (inokulum) dan media pertumbuhan; b) Fase Log/eksponensial yaitu mikroba tumbuh dan memperbanyak sel dengan kecepatan maksimum, tergantung pada genetika mikroba, media dan kondisi pertumbuhan; c) Fase Stasioner yaitu terjadi keseimbangan antara jumlah sel yang membelah dan sel yang mati. Pada fase ini terjadi akumulasi senyawa toksik oleh mikroba; d) Fase Kematian, jumlah sel mati meningkat karena nutrisi dalam media telah habis dan akumulasi senyawa toksik. Media fermentasi Formulasi media merupakan tahap penting dalam proses fermentasi. Media fermentasi harus mengandung berbagai unsur yang dibutuhkan untuk pembentukan biomassa sel mikroba dan produksi metabolitnya. Kebutuhan nutrisi bagi mikroba dapat digambarkan secara sederhana dalam persamaan seperti di bawah ini: Sumber energi (misal karbon) + nitrogen + O2 + senyawa lain Biomassa sel + produk/metabolit + CO2 + H2O + panas (Stanburry dkk., 1995)
28
Perbandingan jumlah nutrisi dalam media fermentasi merupakan hal yang harus diperhatikan agar diperoleh kultur fermentasi yang optimal. Umumnya, nutrisi untuk pertumbuhan mikroorganisme berupa makroelemen (C, H, O, N, S, P, K, Ca, Mg, Fe) dan mikronutrien atau trace elements (Mn, Zn, Co, Mb, Ni, Cu) (Prescott, 2002). Menurut konsistensinya, media fermentasi dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: a) Media cair, contohnya media gula, media kaldu, media pepton, dan kaldu darah; b) Media semi padat, contohnya SSS (Semi Solid Sucrose), Corry & Blair medium, dan Fletcher’s medium; c) Media padat, pada media padat dibuat dengan menambahkan suatu bahan pembeku (solidifying agent) seperti agar (Pratiwi, 2008). 9.
Senyawa Bioaktif Fungi Endofit Diantara keuntungan penggunaan mikroba endofit dalam penemuan senyawa bioaktif adalah dapat diperoleh senyawa yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien serta dalam jumlah yang cukup banyak tanpa tergantung pada tanaman asalnya. Mikroba endofit dapat menghasilkan berbagai senyawa bioaktif seperti senyawa terpenoid, alkaloid, fenolik, flavonoid, fenil propanoid, poliketida, senyawa alifatik dan peptida (Mousa dan Raizada, 2013). Senyawa golongan terpenoid dan poliketida adalah yang paling banyak diisolasi dari fungi endofit, sedangkan flavonoid cukup jarang ditemukan dari golongan fungi. Senyawa terpenoid yang banyak diisolasi dari fungi endofit adalah seskuiterpen, diterpen, dan triterpen (Mousa dan Raizada, 2013). Contoh
29
senyawa seskuiterpen dari fungi adalah trikodermin dan phomenone. Senyawa paclitaxel atau taxol, sordaricin, scoparasin, diaporthein merupakan beberapa contoh senyawa diterpen yang telah berhasil diisolasi dan ditentukan strukturnya. Senyawa helvolic acid merupakan contoh senyawa triterpen. Beberapa fungi endofit dapat memproduksi senyawa alkaloid seperti senyawa peramine, phomopsichalasin, phomoenamide dan cryptocin (Mousa dan Raizada, 2013). Senyawa phomoenamide diisolasi dari fungi endofit Phomopsis sp. pada tanaman G. dulcis (Rukachaisirikul dkk., 2008). Senyawa flavonoid termasuk turunan senyawa fenolik yang banyak ditemukan dalam tumbuhan (Harborne, 1987) namun jarang ditemukan pada fungi endofit (Mousa dan Raizada, 2013). Meski begitu, Ju dkk. (1998) telah berhasil mengisolasi senyawa Tricin dari Poa ampla yang bersimbiosis dengan fungi Neotyphodium typhnium. Senyawa Tricin dilaporkan toksik terhadap larva nyamuk Culex pipiens. Senyawa fenolik lain yang telah diisolasi antara lain senyawa colletotric acid, cytonic acids A dan B, altenusin, senyawa isokumarin seperti (R)-mellein, serta senyawa lignan seperti podophyllotoxin (Mousa dan Raizada, 2013). Senyawa-senyawa tersebut telah diteliti aktivitasnya dan terbukti sebagai antibakteri, antifungi, antiprotozoa, antivirus dan insektisida. Sebagai contoh adalah senyawa Altenusin yang diisolasi dari fungi Alternaria sp., aktif melawan parasit Trypanosoma dan Leishmania (Cota dkk., 2008). Fungi Alternaria sp. berasosiasi dengan tumbuhan suku Asteraceae seperti Trixis vauthieri. Fungi
30
Alternaria sp. juga ditemukan pada tanaman mangrove Sonneratia alba dan dapat menghasilkan senyawa Xanalteric acid I dan II. Senyawa ini termasuk golongan poliketida dan memperlihatkan aktivitas antibiotik lemah terhadap S. aureus (Kjer dkk., 2009).
Colletotric acid Cystonic acid: A (R1 = Rt, R2 = H) dan B (R1 = H, R2 = Et)
Altenusin
(R)-Mellein
Tricin
Podophyllotoxin
Gambar 3. Contoh struktur senyawa bioaktif yang diisolasi dari berbagai macam fungi endofit (Mousa dan Raizada, 2013)
31
Xanalteric acid I
Xanalteric acid II
Helvolic acid Gambar 3 (Lanjutan). Contoh struktur senyawa bioaktif yang diisolasi dari berbagai macam fungi endofit (Mousa dan Raizada, 2013)
Senyawa fenolik memiliki ciri khas cincin aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksil. Deteksi umum senyawa fenol dapat dilakukan dengan menambahkan larutan FeCl3 1% pada cuplikan dan menimbulkan warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam yang kuat (Harborne, 1987). Kebanyakan senyawa fenol (terutama flavonoid) dapat dideteksi pada kromatogram berdasarkan warna atau fluoresensinya di bawah sinar UV. Hal ini karena semua senyawa fenol berupa senyawa aromatik sehingga menunjukkan serapan kuat di daerah spektrum UV. Senyawa fenil propanoid dan turunannya memberikan fluoresensi biru hingga hijau di bawah sinar UV. Senyawa fenol juga dapat diidentifikasi dengan cara spektrofotometri (Harborne, 1987). Deteksi dengan menggunakan pereaksi semprot terkadang juga diperlukan untuk mengetahui golongan suatu senyawa. Vanilin-H2SO4
32
digunakan untuk deteksi senyawa terpenoid, steroid, komponen minyak atsiri seperti senyawa alkohol dan fenol dengan hasil positif berupa warna biru, hijau, merah atau coklat di bawah sinar tampak (Wagner dan Bladt, 1996; Sutrisno, 1986). Reagen sitroborat dapat digunakan untuk deteksi senyawa fenolik yang memiliki gugus orto dihidroksi dan orto hidroksi karbonil seperti pada senyawa kumarin, flavonoid dan kuinon (benzokuinon, naftokuinon dan antrakuinon). Hasil positif ditandai dengan terbentuknya fluoresensi bercak di bawah sinar UV 365 nm (Pramono, 1989). Reagen SbCl3 digunakan untuk deteksi senyawa triterpen yaitu saponin dan glikosida jantung (Wagner dan Bladt, 1996), flavonoid, vitamin A, D, karotenoid, steroid, dan derivat terpen (Stahl, 1969). Hasil positif untuk senyawa triterpen, saponin dan glikosida jantung ditunjukkan dengan bercak berwarna merah muda dan ungu di bawah sinar tampak serta merah-ungu, hijau, atau biru di bawah sinar UV 365 nm (Waksmundzka-Hajnos dkk., 2008). Pereaksi Dragendorff digunakan untuk deteksi senyawa alkaloid dan senyawa nitrogen heterosiklik. Hasil positif ditunjukkan dengan bercak berwarna merah jingga atau coklat jingga dengan latar belakang kelabu pucat atau kuning (Wagner dan Bladt, 1996). Pereaksi DNPH (2,4-Dinitrophenylhydrazin) digunakan untuk deteksi senyawa keton dan aldehida (Wagner dan Bladt, 1996). Senyawa DNPH akan bereaksi dengan menyerang gugus karbonil keton dan aldehida sehingga
33
terbentuk senyawa hidrazon yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi lebih panjang dari sebelumnya dan terlihat di bawah sinar tampak. Senyawa dengan gugus keton dan aldehid akan menghasilkan warna kuning hingga oranyekuning di bawah sinar tampak (Jork dkk., 1990).
F. Keterangan Empiris Dari penelitian ini, diharapkan dapat diisolasi fungi endofit dari tanaman jinten (Coleus amboinicus Lour.) yang mampu menghasilkan senyawa antimikroba baru serta dapat diketahui potensi aktivitas antimikrobanya dengan parameter nilai KHM dan KBM dan dapat diketahui golongan senyawa yang bertanggung jawab terhadap aktivitas tersebut.