BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi merupakan salah satu prosedur operasi yang sering pada anak di negara-negara barat. Studi yang dilakukan oleh Van Den Akker et al (2004), menunjukan bahwa rata-rata adenotonsilektomi sangat bervariasi antar negara dan tidak ada bukti definitif yang menunjukan bahwa penurunan angka adenotonsilektomi pada anak dihubungkan dengan penyakit adenotonsilitis dan operasi. Adenotonsilektomi di Kanada pada tahun 1998 dilaporkan 19 kasus per 10.000 anak-anak dan 19 kasus per 10.000 orang dewasa, di Irlandia Utara 118 kasus per 10.000 anak-anak, di Inggris 65 kasus per 10.000 anak-anak, di Belanda 115 kasus per 10.000 anakanak dan di Finlandia didapatkan 76 per 10.000 orang dewasa (Van Den Akker et al., 2004). Data dari National Center for Health Statistic menunjukkan sebanyak 418.000 tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi di Amerika Serikat pada tahun 1996 (Nelson et al., 2010). Data
nasional
mengenai
jumlah
operasi
tonsilektomi
atau
adenotonsilektomi di Indonesia belum ada. Di RSUP dr. SardjitoYogyakarta, selama 5 tahun terakhir (2006-2011) sebanyak 332 kasus (Rekam medis RSUP dr. Sardjito Yogyakarta). Di RSCM Jakarta, selama 5 tahun terakhir (1999-2003) terdapat 427 kasus (Hermaniet al., 2004). Indikasi dan rata-rata operasi tonsilektomi bervariasi antar negara (Wilson et al., 2012), tetapi tujuan pokoknya adalah untuk meningkatkan status kesehatan dan kualitas hidup (Baugh et al.,
1
2
2011). Menurut Health technology assessment (HTA) Indonesia tahun 2004, indikasi operasi tonsilektomi dibagi menjadi indikasi absolut dan relatif. Sejak berkembangnya penggunaan antibiotik dan perbaikan guideline untuk observasi dan pemantauan penyakit infeksi, terjadi penurunan jumlah operasi karena indikasi infeksi tetapi indikasi yang paling sering pada populasi anak-anak adalah sumbatan jalan napas (Bhattacharyya et al., 2010; Parker et al., 2011). Meskipun banyak keuntungan dari tonsilektomi, tetapi perlu juga diperhatikan komplikasi dari operasi seperti sakit pada tenggorok, mual dan muntah setelah operasi, tertundanya asupan makan, perdarahan dan perubahan suara serta kematian walaupun jarang terjadi (Baugh et al., 2011). Tonsila palatina terletak pada traktus vokalis diantara plika palatoglosus dan plika palatofaringeal. Traktus vokalis berperan sebagai resonator dengan frekuensi yang dapat dimodulasi oleh artikulator-artikulator yang membentuk formant vokal sehingga vokal dapat dikenali (Sundberg & Nordstrom, 1977). Karakteristik resonansi traktus vokalis dicerminkan oleh frekuensi formant yang ditentukan oleh ukuran dan bentuk traktus vokalis tersebut (Warren, 2008). Tonsilektomi dapat menyebabkan perubahan pada struktur dalam rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator pada proses pembentukan speech. Perubahan pada struktur resonator setelah tonsilektomi dapat menyebabkan perubahan pada karakteristik speech pada individu yang dilihat dari parameter analisis suara yaitu frekuensi formant, jitter, shimmer, harmonic noice ratio (HNR) (Ilk et al., 2002; Kandogan et al., 2006; Mora et al., 2007; Salami et al., 2008), voice turbulence index (VTI), soft phonation index (SPI), degree of
3
voiceless (DUV), dan degree of voice breaks (DVB) (Mora et al., 2007; Salami et al., 2008). Analisis suara telah mulai digunakan untuk menilai perubahan karakteristik speech pada pasien yang menjalani operasi di daerah saluran napas atas khususnya tonsilektomi dengan hasil yang bervariasi, sementara di Indonesia belum ada studi seperti ini sebelumnya. Karakteristik suara manusia dibagi menjadi dua jenis, yaitu 1) karakteristik non akustik: contohnya adalah pulsa dan waktu, 2) karakteristik akustik: terdiri dari pitch, formant dan formant bandwidth. Pitch merupakan formant kenol (F0). Formant didefinisikan sebagai spektrum puncak gelombang ke puncak gelombang suara manusia. Formant bandwidth merupakan lebar dari suatu formant. Pada saat manusia berbicara dan mengucapkan bunyi vokal dapat menghasilkan lebih dari empat formant. Untuk membedakan suatu bunyi vokal diperlukan dua formant, yaitu formant kesatu (F1), yang berhubungan dengan posisi lidah terhadap palatum mole saat berbicara dan formant kedua (F2), yang berhubungan dengan posisi lidah di depan atau di belakang saat berbicara. Formant ketiga (F3), formant keempat (F4) dan seterusnya, berpengaruh terhadap warna (timbre) suara yang dihasilkan (Adhi et al n.d). Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan analisis karakteristik speech sebelum dan sesudah dilakukan tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi secara obyektif sehingga dapat dijadikan landasan untuk menjelaskan tentang perubahan karakteristik speech berdasarkan parameter analisis suara setelah dilakukan tonsilektomi. Pada studi ini menilai pengaruh
4
tonsilektomi terhadap traktus vokalis yang menggunakan parameter analisis suara yaitu frekuensi formant (F1, F2 dan F3). B. Perumusan Masalah 1.
Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi merupakan operasi yang sering dilakukan dibidang THT terutama pada anak-anak.
2.
Salah satu komplikasi dari tindakan tonsilektomi adalah perubahan suara.
3.
Pada individu
yang
berkerja dengan mengandalkan suara sebagai
profesionalnya seperti pada penyanyi, pembicara profesional dan sebagainya akan menjadi masalah bagi mereka. 4.
Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi mempengaruhi volume resonator dan posisi lidah terhadap pergerakan palatum mole saat berbicara yang mungkin mempengaruhi F1, F2 dan F3, sehingga diperlukan analisis suara yang obyektif berupa parameter frekuensi formant. C. Pertanyaan Penelitian Apakah tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi mempengaruhi
frekuensi formant suara? D. Tujuan Penelitian Menentukan pengaruh tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi terhadap frekuensi formant suara. E. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan landasan dalam memberikan informasi mengenai kemungkinan terjadi perubahan suara pada pasien yang menjalani tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi.
5
F. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai pengaruh tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi pada speech sudah pernah dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Ilk et al., 2002, melaporkan penelitiannya tentang efek tonsilektomi pada spektrum speech pada 10 pasien yang menjalani tonsilektomi. Hasilnya terdapat perubahan terutama F3 dan formant bandwidth ketiga (B3) untuk vokal /o/ dan /a/, penurunan yang ringan pada formant bandwidth kesatu (B1) dan formant bandwidth kedua (B2) untuk vokal /a/, penurunan yang ringan pada NHR yang berarti berkurangnya vokal nasalized, dan konsonan fikatif dan glotal /h/ juga berubah. Kandogan et al., 2006, melaporkan penelitiannya tentang efek tonsilektomi pada parameter akustik pada 20 pasien yang menjalani tonsilektomi. Hasilnya menunjukan F0, F1, F2 dan F3 setelah operasi secara statistik tidak berubah signifikan pada perempuan tetapi berubah secara signifikan pada laki-laki. Penelitian pendahuluan Bertino et al., 2006, tentang perubahan akustik suara setelah operasi jalan napas atas pada pasien OSAS, hasilnya menunjukan F0 tidak berubah, F1 untuk vokal /a/ dan F2 untuk vokal /e/ signifikan lebih tinggi, F1 untuk vokal /i/ dan F2 untuk vokal /o/ dan /u/ signifikan lebih rendah dibanding sebelum operasi. Penelitian Mora et al., 2007, tentang efek adenotonsilektomi pada spektrum speech pada 40 anak usia 4-14 tahun (25 pasien laki-laki, 15 pasien perempuan), hasilnya menunjukan Fo, jitter, shimmer, NHR, VTI, SPI, DUV, dan DVB 1 bulan setelah operasi menurun secara signifikan dan terdapat perbedaan yang
6
signifikan dari NHR, VTI, dan DVB sesudah operasi, yaitu mendekati nilai pada kelompok sehat. Test mirror-fogging menunjukkan penurunan hipernasality dari rata-rata 3,2 sebelum operasi menjadi 0 sesudah operasi, test Gutzman menunjukan nilai 1 sebelum dan 0 setelah operasi, rata-rata nasality severity index dari 3,7 sebelum operasi menjadi 0,6 setelah operasi. Penelitian Salami et al., 2008, tentang pengaruh tonsilektomi terhadap speech pada 40 anak usia 4-12 tahun yang dibagi menjadi 2 kelompok: kelompok A adenotonsilektomi dan kelompok B tonsilektomi dengan kelompok kontrol anak sehat, hasilnya menunjukan kelompok A terdapat penurunan yang signifikan dari F0, jitter, shimmer, NHR, VTI, SPI,DUV, DVB, dan peak amplitudo variation (vAm) sesudah operasi dan terdapat perbedaan yang signifikan dari F0, jitter, shimmer, NHR, VTI, DUV, DVB, dan vAm sesudah operasi, yaitu mendekati nilai pada kelompok sehat. Test mirror-fogging menunjukkan penurunan hipernasality dari rata-rata 3,1 sebelum operasi menjadi 1,4 setelah operasi, test Gutzman menunjukan nilai 1 sebelum dan 0 setelah operasi, rata-rata voice handicap index (VHI) sebelum operasi 94 menjadi 26 setelah operasi. Pada kelompok B terdapat penurunan yang tidak signifikan dari F0, jitter, shimmer, NHR, VTI, SPI, DUV, DVB, dan vAm sesudah operasi dan terdapat perbedaan yang signifikan dari jitter, DUV, DVB, dan vAm sesudah operasi, yaitu mendekati nilai pada kelompok sehat. Test mirror-fogging menunjukkan penurunan hipernasality dari rata-rata 1,5 sebelum operasi menjadi 1,3 setelah operasi, test Gutzman menunjukan nilai 1 sebelum dan setelah operasi, rata-rata VHI sebelum operasi 96 menjadi 46 setelah operasi.
7
Mora et al., 2009, melaporkan penelitiannya tentang perubahan suara setelah tonsilektomi yang dilakukan pada 40 pasien laki-laki dengan tonsil hipertrofi usia antara 18-60 tahun dengan kelompok kontrol 40 laki-laki tanpa tonsil hipertrofi. Sebelum dan 1 bulan setelah tonsilektomi dilakukan:1) test nasality dengan test mirror-fogging dari Glatzel, test Gutzman dan nasality severity index, 2) VHI, 3) evaluasi artikulasi dengan test picture-naming, 4) penilaian phonetik dengan menggunakan multi-dimensional voice program (MDVP). Hasil penelitiannya menunjukkan F0, jitter, shimmer, NHR, VTI, SPI, DUV, DVB, dan vAm setelah operasi menurun secara signifikan, test mirror-fogging menunjukan penurunan hipernasality dari rata-rata 3,3 sebelum operasi menjadi 1,6 setelah operasi, test Gutzman menunjukan nilai 1 sebelum operasi dan menjadi 0 setelah operasi, ratarata VHI sebelum operasi 3,6 menjadi 0,5 setelah operasi. Penelitian yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan vokal dalam bahasa Inggris. Pada penelitian ini analisis speech dikhususkan menilai frekuensi formant yang menggunakan vokal dalam bahasa Indonesia. Apakah akan terdapat perbedaan hasil dengan penelitian sebelumnya, dengan adanya perbedaan bahasa yang digunakan dalam penelitian ini.