BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk yang besar, sehat dan produktif merupakan potensi dan kekuatan efektif bangsa. Begitu pula sebaliknya penduduk yang besar tetapi sakit-sakitan, tidak sehat, dan tidak produktif akan menjadi beban negara. Kesehatan tidak saja penting untuk kesejahteraan hidup individu akan tetapi lebih penting lagi untuk kelangsungan hidup bangsa. Kesehatan bukanlah komoditi yang bisa dilayankan oleh seseorang kepada orang lain, kesehatan dapat diperoleh dengan usaha yang nyata, serta keterlibatan aktif dari individu. Di banyak negara berkembang seperti Indonesia upaya kesehatan lebih mengutamakan pelayanan kesembuhan penyakit dari pada upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Indonesia sebagai negara berkembang dihadapkan pada lingkungan yang terus menerus berubah yang menuntut penyesuaian diri yang terus menerus pula. Perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industrial diwarnai perkembangan teknologi dan perubahan sosial tersebut berpengaruh terhadap fisik atau mental yang berkaitan dengan penyakit spesifik dan perilaku perilaku bermasalah misalnya perilaku seksual beresiko tertular penyakit menular seksual (PMS). Penyakit menular seksual merupakan masalah utama yang dialami banyak negara berkembang yang mempunyai sumber daya, dana serta tempat fasilitas
1
terbatas. Penyakit Menular Seksual (PMS), yang berarti suatu infeksi atau penyakit yang kebanyakan ditularkan melalui hubungan seksual (oral, anal atau lewat vagina). PMS juga diartikan sebagai penyakit kelamin, atau infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Menurut Daili (1999) berdasarkan laporan laporan yang dikumpulkan oleh WHO setiap tahun diseluruh negara terdapat sekitar 250 juta penderita baru yang meliputi penyakit menular seksual dan jumlah tersebut cenderung mangalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan insiden penyakit menular seksual tidak terlepas dari perilaku seksual beresiko. Hasil penelitian Daili (1999) menunjukkan bahwa penderita sifilis melakukan hubungan seksual rata rata sebanyak 5 pasangan seksual yang tidak diketahui asal usulnya, sedangkan penderita gonore melakukan hubungan seksual dengan rata rata 4 pasangan seksual. Ada beberapa kelompok masyarakat yang karena perilaku tidak sehat memiliki resiko tertular penyakit menular seksual, kelompok pertama adalah kelompok masyarakat yang karena perilakunya mempunyai resiko untuk tertular. Kelompok tersebut terdiri atas penjaja seks komersial, pecandu narkotik dan homoseksual. Kelompok kedua adalah kelompok masyarakat yang karena sikap dan perilakunya secara tidak langsung ikut menyebarkan penyakit menular seksual itu sendiri. Kelompok ini terdiri dari laki laki pelanggan penjaja seks komersial misalnya anak buah kapal dan sopir truk (Budiyono, 2005). Dunia sopir truk mempunyai norma norma tersendiri berkaitan dengan perilaku seksual. Bagi mereka yang melakukan hubungan seksual di tengah-
2
tengah perjalanan tidak dengan pasangan syahnya adalah merupakan suatu kelaziman (Budiyono, 2005). Rekan sesama sopir memaklumi jika ada rekan sopir lain melakukan hubungan seksual dan terkadang hal seperti itu dibicarakan secara terbuka tanpa sedikitpun rasa bersalah. Hasil penelitian Griya Asa (2003) menunjukkan 88 % dari 120 sopir truk yang melayani jalur pantura melakukan hubungan seksual dengan pelacur di tempat-tempat persinggahan. Dari temuan tersebut menunjukkan bahwa hubungan seksual selama dalam perjalanan merupakan bagian yang sangat dekat dan termasuk dalam perilaku beresiko tertular penyakit menular seksual (Budiyono, 2005). Masalah penyakit menular seksual erat kaitannya dengan dunia prostitusi, dalam masalah ini dikenal istilah 3M yaitu : man (orang ), money (uang) dan mobility (perpindahan). Sopir merupakan salah satu kelompok yang termasuk memiliki peluang tersebut, dalam hal ini tentunya sopir sopir yang melakukan perjalanan jauh, bukan hanya dalam hitungan jam melainkan perjalanan yang memakan waktu sampai berhari hari dengan tingkat stres dan kejenuhan yang cukup tinggi. Perjalanan yang panjang dan jauh dengan berbagai macam kondisi jalan mulai dengan jalan yang lurus sampai kemacetan lalu lintas merupakan tantangan tersendiri, belum lagi masalah keamanan yang terjadi selama dalam perjalanan. Akan tetapi mereka mampu melupakan itu semua dengan cara mereka sendiri sebagai suatu kebiasaan yang lazim diantara mereka. Mereka selalu meluangkan waktu untuk istirahat setidaknya menepikan armadanya sambil mengisi perut
3
ditempat tempat yeng mudah dijangkau mereka, misalnya warung pinggir jalan atau pangkalan truk. Tidak semua sopir truk mampu menghilangkan rasa lelahnya hanya dengan istirahat, merokok maupun tidur, sebagian sopir truk memerlukan terapi lain agar syaraf syarafnya menjadi kendor, semacam hiburan atau rekreasi seksual. Hukum ekonomi menyatakan “dimana ada permintaan disitu pasti ada penawaran”. Fenomena ini terjawab dengan sendirinya dengan banyaknya penjaja sek komersia (PSK) yang berada di sepanjang jalur trucker, selain warung remang-remang sopir truk juga bisa mengakses PSK yang mangkal di jalan atau terminal. bagi sebagian sopir seksual menjadi obat yang mujarab untuk mengatasi kelelahan dan mereka menganggap bahwa seksual adalah sebuah rekreasi. Berbagai masalah banyak ditimbulkan karena perilaku seksual yang tidak aman yaitu masalah kesehatan yang berkaitan dengan infeksi menular seksual (IMS). Seksual tidak aman maksudnya adalah hubungan seksual dengan berganti ganti pasangan dan tidak memperhatikan aspek keselamatan atau tidak memakai kondom. Fungsi utama kondom adalah alat pencegah kehamilan tetapi dapat juga digunakan untuk perlindungan diri terhadap penyakit menular seksual. Perilaku sebagian sopir truk yang disinyalir sering menggukanan jasa PSK yang sudah pasti sering berganti ganti pasangan tentu saja memiliki resiko yang sangat tinggi tertular berbagai macam penyakit kelamin. Data yang diperoleh dari GRIYA ASA Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Semarang menyebutkan bahwa 38% dari 80 orang potensial klien yang sebagian besar
4
berprofesi sebagai kru armada transportasi terindikasi tertular penyakit kelamin. Data yang diperoleh dari survey Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Tengan tahun 2003 terhadap 1200 sopir truk beserta kernetya dengan variabel penggunaan kondom dalam satu ketika melakukan hubungan seksual hanya 20 % yang konsisten menggunakan kondom, selebihnya mereka tidak menggunakan kondom dengan berbagai alasan. Data yang diperoleh dari Dinas kesehatan Kota Semarang yang bersumber dari 10 rumah sakit yang rutin mengirimkan laporan tentang penyakit menular seksual dari tahun 2003 sampai tahun 2005 pada umumnya mengalami peningkatan yang cukup merisaukan. Jumlah pasien yang menderita penyakit menular seksual sebanyak 73 pasien kemudian pada tahun 2004 meningkat menjadi 151 pasien dan terakhir data yang diperoleh hingga bulan oktober 2005 sebanyak 167 pasien. Meluasnya penyebaran penyakit menular seksual dapat disebabkan oleh tidak adanya pengetahuan yang akurat yang dimiliki masyarakat tentang pola penularan penyakit, pencegahan dan cara pengobatan. Faktor yang mempengaruhi perilaku seksual beresiko pada sopir truk karena kurang pengetahuan tentang penyakit menular seksual. Dengan tingkat mobilitas yang cukup tinggi dan tantangan yang banyak dihadapi dalam perjalanan terkadang para sopir truk tidak mempunyai cukup waktu untuk memperoleh informasi terutama mengenai penyakit menular seksual. Berdasarkan wawancara, di kalangan sopit truk terdapat mitos yang mengatakan bahwa penyakit menular seksual hanya menular dari pria ke wanita,
5
tetapi tidak menular dari wanita ke pria. Mitos ini kemudian turut mempengaruhi pandangan dan perilaku seksual para sopir truk. Selama ini pengetahuan sopir truk hanya terbatas pada mitos mitos yang salah dan didukung oleh lingkungan sekitar, misalnya mitos tentang oli rem bisa mengobati penyakit sifilis, mitos meminum abu daun kelapa untuk mengobati penyakit gonorhe (GO), ataupun mitos seputar antibiotik yang mampu mengobati berbagai macam penyakit kelamin, dan masih banyak lagi mitos yang mengakar dalam lingkungannya. Permasalahan yang dapat dilihat dari keterangan diatas adalah masih rendahnya tingkat pengetahuan sopir truk tentang penyakit menular seksual. B.
Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan maka yang menjadi rumusan masalah penelitian adalah “Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan tentang penyakit menular seksual terhadap perilaku seksual beresiko dikalangan sopir di pangkalan truk BANYU PUTIH Kabupaten Batang”.
C.
Tujuan penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain : 1. Tujuan umum Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan sopir angkutan barang tentang penyakit menular seksual terhadap perilaku seksual beresiko.
6
2. Tujuan khusus a. Mendeskripsikan tingkat pengetahuan sopir angkutan barang tentang penyakit menular seksual di pangkalan truk BANYU PUTIH. b. Mendeskripsikan perilaku seksual beresiko yang dilakukan oleh sopir angkutan barang di pangkalan truk BANYU PUTIH. c. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan sopir angkutan barang tentang penyakit menular seksual terhadap perilaku seksual beresiko di pangkalan truk BANYU PUTIH.
D.
Manfaat penelitian 1. Bagi masyarakat Sebagai sumber informasi tentang resiko penularan penyakit menular seksual dikalangan masyarakat luas 2. Bagi instansi pemerintah Sebagai sumber informasi bagi instansi terkait khususnya dalam upaya penanggulangan penyakit menular 3. Bagi pengembangan penetitian Memberikan masukan bagi penelitian yang akan datang
E. Bidang ilmu Bidang ilmu yang diteliti keperawatan dengan lingkup bidang keperawatan komunitas.
7