BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Benign Prostatic Hyperplasia
atau lebih dikenal dengan singkatan BPH
merupakan kelainanan adenofibromatoushyperplasia paling sering pada pria walaupun tidak mengancam jiwa namun cukup menggangu aktivitas dan menurunkan kualitas hidup (Gerber,2004; Rosette et al, 2004). Kelainan ini pada proses lama dapat menimbulkan perubahan struktur vesika urinaria maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun bawah (Maruschke et al., 2009).BPH sering ditemukan pada pria yang menapak usia lanjut, sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka ini akan meningkat hingga 90% pada pria berusia di atas 80 tahun (Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2003) Istilah BPH sebenarnya merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapatnya hiperplasi sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Secara anatomi BPH didefinisikan sebagai pembesaran kelenjar prostat yang bukan disebabkan oleh kanker pada zona transisional prostat dan atau pada spingter periuretral preprostatik (Maruschke et al, 2009) BPH secara klinis dapat menimbulkan beberapa kondisi yang disebut dengan prostatismus yang mempunyai komponen benign prostat
enlargement (BPE),
bladder outlet obstruction (BOO) dan lower urinary tract symptoms (LUTS). BPEadalah pembesaran prostat yang disebabkan oleh BPH dan tidak terdapat sel
ganas.BOO adalah obstruksi pada bladder outlet yang penyebabnya tidak spesifik sedangkan LUTS adalah gejala-gejala yang mengubah fungsi bladder yang sering terjadi dan mengganggu pasien serta menyebabkan pasien konsultasi pada dokter (Maruschke et al, 2009). BPE, BOO dan LUTS dikatakan sebagai Triad of Prostatic Hyperplasia (Perera et al, 2008 ; Cho et al, 2007). Definisi LUTS berdasarkan pada skor gejala yang secara spesifik didesain untuk menghitung gejala-gejala khusus pada pria dengan prostatisme. Ada beberapa skor yang biasa digunakan namun yang paling umum digunakan adalah International Prostate symptom score (IPSS). IPSS terdiri atas tujuh items yang menanyakan tentang gejala-gejala spesifik yang berkaitan dengan berkemih selama 1 bulan terakhir, skor berkisar antara 0 – 35. Skor 0-7 diklasifikasikan sebagai bergejala ringan, skor 8-20 sebagai bergejala sedang dan skor 21-35 sebagai bergejala berat.Gejala-gejala spesifik dapat dibedakan menjadi storage symptoms (gejala iritatif) dan voiding symptom (gejala obstruktif).Storage symptom yang terdiri dari urgency, frequency dan nocturia sedang voiding symptom terdiri atas pancaran urin yang lambat, hesitancy dan postvoid dribbling (Maruschke etal, 2009; Ikatan Ahli Urologi Indonesia, 2003) Seperti telah disebutkan sebelumnya BOO merupakan obstruksi pada bladder outlet tanpa penyebab yang spesifik sedangkan istilah BPO digunakan untuk menjelaskan adanya obstruksi pada bladderoutlet akibat penyebab spesifik yaitu BPH. Obstruksi ini akan menyebabkan perubahan struktur khususnya pada vesika urinaria (Maruschke et al., 2009).
Bladder outlet obstruction (BOO) ditandai dengan adanya peningkatan aktifitas ototdetrusor dan pengurangan kecepatan aliran dan pancaran urin. Pemeriksaan BOO dapat melalui metode non invasif terbagi menjadi 2 kategori, yaitu pengukuran non urodinamik dan urodinamik. Pemeriksaan baku emas untuk menentukan BOO adalah pemeriksaan Pressure Flow study (PFS) yang merupakan pemeriksaan urodinamik. Kekurangan dari pemeriksaan PFSmeliputi bersifat invasif, memerlukan waktu yang lama serta mahal ,tidak nyaman dan kemungkinan terdapat komplikasi seperti infeksi saluran kemih, hematuria, kesulitan berkemih (D’Ancona et al., 2012; Keqin et al., 2007; Reis et al., 2008; Aganovic et al, 2012). Pemeriksaan urodinamik selain PFS yang sering dilakukan untuk menilai BOO adalah
pemeriksaan
uroflowmetri.
Pemeriksaan
uroflowmetri
merupakan
pemeriksaan yang bersifat non invasif dan penggunaannya lebih sering daripada PFS walaupun pemeriksaan terbaik tetap pada PFS (Ding etal, 1998). Uroflowmetri memiliki sensitivitas 79% dan spesifisitas 35% (95% confident interval) yang dapat digunakan secara luas sebagai pemeriksaan rutin BOO akibat BPH (Malik ,2010). Namun keberadaan uroflowmetri masih terbatas jumlahnya dan hanya terdapat di rumah sakit besar. Pemeriksaan non urodinamik antara lain post void residual urine (PVR), Prostate Specific Antigen (PSA) dan pemeriksaan ultrasonografi seperti
pengukuran yang diperoleh dari
volume prostat, ketebalan dinding kandung
kemih, berat kandung kemih (bladder weight) dan protrusi prostat (Reis et al., 2008). BOO menyebabkan perubahan struktur dan fungsi otot detrusor. Hipertrofi otot detrusor dapat disebabkan karena kontraksi otot yang berulang terhadap adanya
sfinkter uretra yang tertutup (Cruz et al, 2009). Baru-baru ini telah dilakukan penelitian pemeriksaan non urodinamik yang bersifat non invasif untuk evaluasi terhadadap BOO, yaitu pemeriksaan otot detrusor vesika urinaria/ Detrusor Wall Thickness (DWT) dengan USG Transabdominal. Pengukuran DWT dilaporkan mempunyai akurasi sebesar 89% dalam mendeteksi BOO (Oelke etal,2007; Kuei etal, 2011). Pemeriksaan non urodinamik ini memiliki beberapa keuntungan karena merupakan teknik yang bersifat noninvasif, mudah dilakukan oleh pemeriksa, dapat dikerjakan dalam waktu singkat, dan murah (Valentini et al, 2011). B. Perumusan Masalah 1. BPH merupakan masalah yang sering dihadapi oleh pria yang berusia lanjut karena menimbulkan berbagai komplikasi, komplikasi utama yang paling dikeluhkan adalah Bladder Outlet Obstruction (BOO). Jika komplikasi tidak segera tertangani maka dapat dan bisa menimbulkan komplikasi yang lebih berat mulai dari infeksi, urolithiasis bahkan sampai terjadi gagal ginjal. 2. Pemeriksaan uroflowmetri untuk mendiagnosis BOO yang diakibatkan oleh BPH merupakan pemeriksaan urodinamik. Tidak semua rumah sakit memiliki alat ini, hanya di rumah sakit besar saja yang menyediakan alat ini. Uroflowmetri bersifat non invasif, dalam pelaksanaan pemeriksaannya banyak dipengaruhi kondisi – kondisi tertentu misalnya pasien harus dalam kondisi rileks saat pemeriksaan, pasien tidak diperkenankan mengejan saat miksi, dan yang terpenting adalah volume vesika urinaria saat pemeriksaan harus memenuhi syarat tidak kurang dari 150 cc, untuk mengetahui volume vesika urinaria sudah terisi cukup, dilakukan
pemeriksaan USG Transabdominal sebelum pemeriksaan uroflowmetri. Kondisi ini menyebabkan bertambah lamanya waktu pemeriksaan sehingga menyebabkan pasien merasa kurang nyaman. 3. Pemeriksaan tebal otot detrusor vesika urinaria dengan modalitas USG Transabdominal merupakan pemeriksaan non urodinamik yang digunakan untuk untuk
menilai adanya obstruksi saluran kemih yang diakibatkan oleh
BPH,
memiliki keunggulan diantaranya cepat, mudah dikerjakan, aman, murah serta pasien merasa nyaman,
namun metode
ini belum menjadi prosedur untuk
menegakkan diagnosis BOO pada rumah sakit – rumah sakit yang ada di Indonesia. C. Pertanyaan Penelitian Berapakah nilai diagnostik pemeriksaan tebal otot detrusor vesika urinaria dalam mendiagnosis
Bladder
Outlet
Obstruction
dibandingkan
hasil
pemeriksaan
uroflowmetri pada pasien BPH ? D. Keaslian Penelitian Penelitian untuk menilai uji diagnostik antara pemeriksaan tebal otot detrusor vesika urinaria terhadap hasil uroflowmetri pada pasien BPH, menurut sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Beberapa penelitian yang tekait dengan BPH, DWT, dan uroflowmetri yang dijadikan acuan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1.Keaslian penelitian Peneliti (Tahun)
Subyek
Desain
Topik
Hasil
Oelke, etal (2007)
160
Prospektif
Membandigkan kekuratan diagnostik penebalan DWT, , PVR, dan volume prostat dengan pressure flow studies untuk mendeteksi BOO pada laki-laki Penelitian penebalan otot detrusor terhadap kejadian BOO terkait BPH
Pengukuran DWT dapat mendeteksi BOO secara lebih baik dibandingkani, PVR, atau volume prostat
Mirone et al (2007)
70
Tidak disebutkan
Tokgöz etal, (2012)
243
prospektif
Mengukur nilai diagnostik DWT, PVR, dan volume prostat pada laki-laki dengan LUTS
Juwono.R.B.A (2012)
40
Prospektif
Menghubungkan pembesa ran prostat jinak pada sono grafi transabdominal de ngan derajat sumbatan leher kandung kemih pada uroflowmetri
BOO sebagai awal proses fisiopatologi utama perubahan struktur dan fungsi vesika urinaria Pengukuran DWT, PVR, volume vesika urinaria dan prostat dengan ultrasonografi merupakan alat yang menjanjikan untuk mendiagnosis LUTS atau BOO pada laki-laki Terdapat hubungan negatif pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan uroflowmetri
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai diagnostik pemeriksaan tebal otot detrusor vesika urinaria untuk menegakkan diagnosis BOO pada penderita BPH F. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pelayan Kesehatan : Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Dokter Radiologi dalam membantu penegakan diagnosis
akibat BPH dengan menggunakan modalitas
USG dan sebagai alternatif utama diantara modalitas lainnya karena mempunyai keunggulan lebih dibandingkan dengan modalitas lainnya
2. Bagi peneliti : Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti khususnya dalam pemeriksaan ultrasonografi bidang urologi, sehingga peneliti dapat memahami teknik yang benar, parameter pemeriksaan USG, informasi yang diperlukan bagi teman sejawat lain dalam bidang urologi. 3. Bagi pengembangan penelitian : Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu dasar untuk penelitianpenelitian selanjutnya di bidang Urologi dan Radiologi, khususnya pada pemeriksaan imejing ultrasonografi