BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran urine dan menimbulkan gangguan miksi. BPH ini dapat dialami oleh sekitar 70 % pria diatas usia 60 tahun. Walaupun jarang menyebabkan kematian tetapi dapat menurunkan kualitas hidup penderita secara signifikan. Menurut data dari WHO 1995 angka prevalensi dari penderita BPH antara 0,5-1,5/100.000 penduduk dunia, dengan angka kematian yang sangat jarang. Di RSUP Sanglah Denpasar selama tahun 2013 terdapat 103 penderita dengan BPH yang menjalani operasi, diantara 1161 total keseluruhan penderita urologi yang menjalani operasi. Sampai sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan ada hubungan erat dengan peningkatan hormon dihidrotestosteron dan proses ketuaan. Faktor-faktor resiko terjadinya BPH masih belum jelas, beberapa penelitian mengarah pada predisposisi genetik atau perbedaan ras. Sekitar 50% laki-laki berusia dibawah 60 tahun yang menjalani operasi BPH memiliki faktor keturunan yang kemungkinan besar bersifat autosomal dominan, dimana penderita dengan orang tua yang menderita BPH memiliki resiko 4x lipat lebih tinggi dibandingkan dengan yang normal (Cooperberg dkk,2012). Terdapat beberapa hipotesa mengenai penyebab
1
2
terjadinya hiperplasia prostat. Salah satu hipotesa yang banyak dibahas akhirakhir ini adalah teori inflamasi, di mana teori ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1937. Dengan adanya berbagai penyebab, sel-sel inflamasi yang terdapat pada jaringan prostat dapat teraktivasi dan mencetuskan pengeluaran mediatormediator inflamasi, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan, memacu pembentukan growth factor, peningkatan proliferasi dan diferensiasi sel, sehingga terjadi hiperplasia kelenjar prostat (De Nunzio, dkk. 2011). Prostate Spesific Antigen (PSA) adalah protease yang diproduksi sebagian besar di sel epitel prostat, sehingga PSA dianggap sebagai suatu pemeriksaan yang spesifik untuk organ prostat. Dari berbagai penelitian, didapatkan bahwa nilai PSA serum secara konsisten dapat memprediksi risiko pembesaran prostat yang berhubungan dengan adanya retensi urin dan tindakan operasi. Nilai normal kadar PSA serum adalah <4 ng/ml. Pada pasien dengan PSA serum lebih dari 4 ng/ml, angka kejadian obstruksi karena prostat adalah 89%, sementara pasien dengan PSA kurang dari 2 ng/ml, angka kejadian obstruksi karena prostat adalah 33% (Oelke dkk, 2012). Peningkatan kadar PSA serum menjadi penanda penting dari berbagai penyakit prostat, termasuk diantaranya BPH, prostatitis, dan kanker prostat (Carroll dkk, 2013). Pada pasien dengan BPH, 25% di antaranya memiliki PSA serum di atas 4 ng/ml. Dikatakan bahwa pada pasien dengan PSA di antara 4,1 sampai 10 ng/ml dan dengan pemeriksaan colok dubur yang normal, 80% adalah jinak (Ozden dkk, 2007). Adanya kerusakan pada struktur jaringan prostat dapat menyebabkan lebih banyak PSA yang memasuki sistem sirkulasi, sehingga terjadi peningkatan kadar PSA
3
serum. Penyakit pada prostat yang paling umum terjadi adalah prostatitis, BPH, dan kanker prostat, di mana penyakit-penyakit tersebut dapat dihubungkan dengan peningkatan kadar PSA serum. Kondisi lain yang dapat meningkatkan kadar PSA secara sekunder di antaranya adalah aktifitas fisik, infeksi, dan pemakaian obatobatan (Oelke dkk, 2000). Oleh karena peningkatan serum PSA dipengaruhi oleh beberapa sebab atau penyakit seperti yang dijelaskan diatas, maka untuk mendeteksi dan menegakkan kanker prostat secara dini selain dengan pengukuran kadar PSA yang tinggi diperlukan juga biopsy prostat dengan transrektal biopsi (Ornstein dkk, 2001). Terdapat suatu dugaan bahwa PSA merupakan antigen yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya proses inflamasi pada prostat. Sebuah penelitian menemukan bahwa PSA memberikan respon pada proliferasi dari CD4 sel T pada pasien dengan prostatitis (Ponniah dkk, 2000). Inflamasi pada prostat atau prostatitis seringkali tidak terdiagnosa dan cenderung diabaikan, terutama pada pasien dengan BPH. Seringkali prostatitis ditemukan secara tidak sengaja setelah penderita menjalani operasi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi pada jaringan prostat. Hal ini disebabkan karena keluhan pasien dengan prostatitis dan BPH saling tumpang tindih, sehingga sulit dibedakan antara keluhan saluran kemih bagian bawah yang muncul disebabkan oleh BPH atau prostatitis. Selain itu, tidak semua prostatitis menimbulkan gejala. Prostatitis kategori IV merupakan prostatitis asimtomatis dan hanya bisa didiagnosa dengan biopsi jaringan prostat. Prostatitis kategori IV ditemukan pada 45-98% dari spesimen jaringan prostat yang diperiksa secara histologi pasca
4
operasi (Yalcinkaya dkk, 2011). Terdapat kemungkinan bahwa diagnosa protatitis lebih awal dapat mendeteksi adanya proses inflamasi pada prostat yang dapat memperburuk keluhan dan kondisi pasien (Sauver dkk, 2008). Pasien dengan prostatitis dilaporkan mengalami hiperplasi prostat jinak sebanyak 83%. Secara umum, adanya prostatitis meningkatkan risiko terjadinya BPH sebesar 8 kali lipat (Krieger dkk, 2008). Inflamasi pada jaringan prostat diklasifikasikan menurut gambaran histologi dan menurut agresivitasnya. Menurut gambaran histologi, tidak adanya gambaran inflamasi prostat dikategorikan menjadi derajat 0, derajat 1 adanya infiltrat sel inflamasi yang tersebar tanpa adanya nodul, derajat 2 terdapat nodul tanpa berhubungan satu sama lain, dan derajat 3 bila terdapat area inflamasi yang luas dengan penyatuan. Sementara menurut agresivitasnya, inflamasi prostat dibagi menjadi derajat 0 bila tidak terdapat hubungan antara sel inflamasi dengan epitel, derajat 1 bila terdapat hubungan sel inflamasi dengan epitel, derajat 2 bila terdapat infiltrasi interstitial dengan kerusakan glandular, dan derajat 3 bila terjadi kerusakan glandular lebih dari 25% (De Nunzio dkk, 2011). Obesitas merupakan suatu kelainan kompleks pengaturan nafsu makan dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologis spesifik. Pada obesitas terutama obesitas sentral berkaitan dengan sindroma metabolik, sindroma metabolik merupakan suatu kelompok kelainan metabolik meliputi obesitas, resistensi insulin, gangguan toleransi glukosa, dislipidemia dan hipertensi (Sugondo dkk, 2014). Pada obesitas terjadi insulin resisten sehingga mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar insulin yang diproduksi oleh pankreas, insulin menginduksi
5
terjadinya proliferasi jaringan prostat (Gokce dkk, 2010). Selain itu pada pasien dengan obesitas terjadi peningkatan jaringan adipose yang berakibat peningkatan sekresi hormone leptin, hormone leptin menstimulasi proliferasi sel jaringan prostat dan kemudian terjadi BPH (Mohammed dkk, 2012). Dari keterangan hal diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa peningkatan kadar PSA pada pasien dengan BPH berhubungan atau dipengaruhi dengan banyak faktor, pada penelitian ini penulis mencoba mencari apakah peningkatan kadar PSA lebih sering terjadi pada pasien BPH dengan usia >50 tahun, infeksi saluran kemih, inflamasi , obesitas. Dengan mengontrol faktor resiko diatas seperti infeksi saluran kemih, inflamasi, obesitas, kita dapat menghambat progresivitas dari BPH sehingga dapat memberikan terapi yang efektif dan meningkatkan kualitas hidup penderita. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPHdengan usia> 50 tahun? 2. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH dengan infeksi saluran kemih ? 3. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH dengan inflamasi prostat ? 4. Apakah peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH dengan obesitas?
6
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui apakah peningkatan kadar PSA pada penderita BPH lebih sering terjadi dengan bertambahnya usia (> 50 tahun), infeksi saluran kencing, inflamasi, obesitas . 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH dengan peningkatan usia . 2. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH dengan infeksi saluran kemih. 3. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH dengan inflamasi prostat. 4. Mengetahui peningkatan serum PSA lebih sering terjadi pada penderita BPH dengan obesitas. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Akademis Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa peningkatan kadar PSA lebih sering terjadi pada pasien BPH dengan bertambahnya usia, infeksi saluran kemih, inflamasi, obesitas. 1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian Dengan mengetahui bahwa peningkatan kadar serum PSA lebih sering terjadi pada pasien BPH dengan bertambahnya usia, infeksi saluran kemih, inflamasi, obesitas, kita dapat mengontrol faktor-faktor diatas sehingga dapat
7
menghambat progresivitas dari BPH, oleh karena peningkatan kadar PSA berbanding lurus dengan peningkatan volume prostat pada BPH. Dengan mengetahui bahwa peningkatan kadar serum PSA lebih sering terjadi pada pasien BPH dengan bertambahnya usia, infeksi saluran kemih, inflamasi, obesitas dapat disimpulkan bahwa peningkatan PSA diatas nilai normal tidak bisa dipakai sebagai acuan satu-satunya untuk mendiagnosa ke arah kanker prostat tanpa disertai dengan biopsi prostat.