BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Permasalahan Arsitektur merupakan suatu lingkungan buatan manusia, yang secara teknis berfungsi sebagai tempat berteduh, tempat tinggal, dan tempat beraktivitas. Selain dari fungsi teknis tersebut, arsitektur juga merupakan lembaga budaya dasar yang mengikuti hukum dan mencerminkan kebudayaan manusia yang bersangkutan. Arsitektur merupakan suatu pandangan tentang teknik bangunan yang menyangkut faktor sosio-budaya, iklim, teknologi, bahan baku, dan ekonomi sehingga arsitektur lebih dari hanya objek kebendaan atau struktur. Tidak seperti ilmu pada umumnya, arsitektur sebagai ilmu tidak memiliki pembuktian matematis semata. Arsitektur sebagai ilmu merupakan ilmu dalam mencernakan dan memadukan bermacam ragam unsur dalam cara-cara baru dan keadaankeadaan baru namun tidak dapat menjamin hasilnya (Snyder, 1984 : 37). Beberapa hal tentang arsitektur yang dapat diketahui dalam pengertian ilmiah adalah bahwa ilmu arsitektur dapat menentukan reaksi-reaksi psikologis terhadap ruangan yang panas atau lembab, dapat meramalkan rangka pada struktur bangunan dan memperkirakan penangkapan bunyi dalam suatu ruangan. Arsitektur sebagai ilmu dapat juga dijelaskan dengan menggunakan analogianalogi seperti, Analogi Matematis; Analogi Linguistik dengan Model Tata bahasa, Model Ekspresionis, Model Semiotik; Analogi Pemecahan Masalah; dan Analogi Bahasa Pola. Salah satu aspek dalam arsitektur adalah penataan ruang.
1
Ruang dapat dianggap sebagai serangkaian hubungan antara benda dengan benda lain, benda dengan manusia, manusia dengan manusia lain dalam ruang. Ruangan diperlukan sebagai tempat penanda teritori dan interaksi sosial. Arsitektur tradisional merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang lahir dari kehidupan masyarakat tradisional yang dikembangkan berdasarkan pada pengalaman empiris dan revolusioner. Arsitektur Tradisional Batak Toba merupakan salah satu kekayaan negara Indonesia dalam hal seni dan rancang bangun yang secara teknis adalah sebuah bangunan berbentuk persegi panjang yang berdiri di atas pilar-pilar, dicapai dengan melewati pintu dari bawah lantai. Arsitektur Tradisional Batak Toba bagi masyarakat Batak Toba memiliki arti yang luas. Arsitektur Tradisional Batak Toba bagi orang Batak Toba didirikan bukan hanya tempat bernaung dan berteduh dari hujan dan panas terik matahari, tetapi sarat dengan nilai filosofis yang dapat dimanfaatkan sebagai pedoman hidup. Beragam pengertian dan nilai luhur yang melekat dan dikandung dalam rumah adat dimaknai dan dipegang sebagai pandangan hidup dalam tatanan kehidupan sehari-hari dan dalam rangka pergaulan antar individu. D.W.N. De Boer dalam bukunya Het Toba-Bataksche Huis – De Boer tahun 1920 halaman 1 yang dikutip oleh B.A. Simandjuntak mengutarakan mengenai dampak dari pengaruh paradigma luar (Barat) dalam budaya asli pribumi terutama arsitekturnya.
“bahwa pada suatu saat arsitektur pribumi akan hilang dari wilayah jajahan Belanda (Indonesia yang sekarang). Termasuk dari wilayah tanah Batak. Dikatakannya bahwa bagi orang Batak ruma (rumah) adalah suatu bangunan monumental yang sangat bernilai tinggi, di mana ornamen yang
2
diukirkan di rumah tersebut berkaitan erat dengan kepercayaan asli kesukuan mereka yang bernilai mistik” (Simandjuntak, 1985 : V)
Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sebagai Gereja Protestan terbesar di kalangan masyarakat Batak, bahkan juga di antara Gereja-gereja Protestan yang ada di Indonesia, menjadikannya sebagai organisasi keagamaan terbesar ketiga setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Gereja ini tumbuh dari misi RMG (Rheinische Missions-Gesselschaft) dari Jerman dan resmi berdiri 7 Oktober 1861. Kekristenan secara umum, khususnya Lutheran merupakan pandangan teologis yang dapat diterima luas oleh masyarakat Batak Toba. Hal tersebut secara perlahan menyingkirkan sebagian besar bentuk kebudayaan yang berlandaskan kepercayaan lama yang asli. Seperti yang diungkapkan oleh De Boer di atas bahwa Arsitektur Tradisional Batak Toba adalah bangunan yang berkaitan erat dengan kepercayaan asli kesukuan Batak, jadi perubahan paradigma dari keyakinan asli kepada keyakinan yang baru pastilah memberikan dampak yang signifikan kepada perkembangan Arsitektur Tradisional Batak Toba. Penelitian ini dilakukan berangkat dari permasalahan di atas mengenai korelasi antara nilai gereja HKBP dengan aspek keilmuan dari Arsitektur Tradisional Batak Toba. Arsitektur Tradisional Batak Toba sebagai bagian penting dalam budaya Batak Toba memiliki peran sebagai penyampai pesan/makna dalam ritus-ritus keagamaan dan sistem kekerabatan suku Batak Toba yaitu, Dalihan Natolu, penyelidikan mengenai peran agama kristen yang dibawa missionaris Jerman (RMG) menjadi penting terhadap keilmuan Arsitektur Tradisional Batak Toba. Penelitian akan dilakukan dengan pendekatan kajian
3
filsafat ilmu khususnya aksiologi ilmu mengenai peran nilai gereja dikaji dari aspeknya sebagai faktor eksternal yang memengaruhi ilmu Arsitektur Tradisional Batak Toba. Berdasarkan pemahaman ini, menurut peneliti “Pengaruh Nilai Sola Scriptura dalam Huria Kristen Batak Protestan pada Arsitektur Tradisional Batak Toba” layak untuk diteliti.
2. Rumusan Masalah Muncul pertanyaan mengenai perubahan yang terjadi pada Arsitektur Tradisional Batak Toba, terutama korelasi antara HKBP dengan Arsitektur Tradisional Batak Toba. Berdasarkan hasil pemaparan di atas peneliti menemukan tiga rumusan masalah, yang tercantum sebagai berikut :
a. Nilai-nilai HKBP apa yang memengaruhi tata ruang Arsitektur Ruma Tradisional Batak Toba? b. Bagaimana hubungan antara tata ruang Arsitektur Ruma Tradisional Batak Toba dengan tatanan kehidupan Batak Toba sebelum HKBP?
c.
Bagaimana bentuk perubahan tata ruang Arsitektur Ruma Tradisional Batak Toba yang dipengaruhi oleh HKBP?
3. Keaslian Penelitian
Setelah peneliti melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, terdapat tiga penelitian yang serupa, tiga
4
penelitian tersebut memiliki objek material yang sama dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut antara lain : 1. Drs. S.P. Napitupulu. dkk, 1981, Inventarisasi Dan Dokumentasi Arsitektur Tradisional Suku Batak Toba, Suku Melayu, dan Suku Batak Karo daerah Sumatera Utara, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional. Dalam buku ini penulisnya berusaha untuk menjelaskan Arsitektur Tradisional Batak Toba secara teknis mengenai jenis-jenisnya, teknik mendirikan, ragam hias, upacara yang dilakukan sebelum mendirikan dan sesudahnya dan disertai dengan analisis mengenai nilai-nilai budaya, pengaruh luar dan masa depan arsitektur tradisionalnya. Namun buku ini tidak menjelaskan secara khusus mengenai paradigma gereja terutama HKBP dalam tata ruang rumah adat Batak Toba, penulis sepertinya menulis Arsitektur Tradisional secara umum yang disertai dengan penjelasan yang singkat tentang aspek-aspek yang terdapat dalam rumah adat Batak Toba. 2. Napitupulu, S.P, 1986, Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Seperti buku yang dijelaskan di atas, buku ini penulisnya berusaha untuk menjelaskan Arsitektur Tradisional Batak Toba secara teknis mengenai jenis-jenisnya, teknik mendirikan, ragam hias, upacara yang dilakukan sebelum mendirikan dan sesudahnya dan disertai dengan analisis mengenai nilainilai budaya, pengaruh luar dan masa depan arsitektur tradisionalnya penulis sepertinya menulis Arsitektur Tradisional secara umum yang
5
disertai dengan penjelasan yang singkat dan lebih padat tentang aspekaspek yang terdapat dalam rumah adat Batak Toba. Namun seperti buku yang sebelumnya penulis belum menemukan penjelasan secara khusus mengenai paradigma gereja terutama HKBP dalam tata ruang rumah adat Batak Toba 3. Marpaung. Philipus, Pasaribu. Bien, 2009, Rumah Gorga (Sosok Pribadi Orang Batak), Penerbit Papas Sinar Sinanti, Jakarta. Ragam Hias atau Gorga menjadi fokus dari penulisan buku ini disamping adanya beberapa penjelasan teknis mengenai tata ruang dan bagian-bagian bangunannya, penulis mencoba untuk menjelaskan kaitan antara rumah adat Batak Toba dengan nilai-nilai kehidupan yang dipegang oleh Suku Batak Toba. Namun buku ini tidak menjelaskan kaitan paradigma gereja dengan tata ruang rumah adat Batak Toba.
Berdasarkan paparan hasil penelitian di atas, objek material berupa rumah adat Batak Toba pernah diteliti sebelumnya namun belum menyentuh pengaruh paradigma gereja pada tata ruangnya. Objek formal berupa nilai eksternal dalam aksiologi ilmu juga tidak dipergunakan oleh penulis-penulis di atas, sehingga penelitian ini memiliki kekhasan dikarenakan penelitian ini berusaha untuk menggambarkan dampak dari masuknya keyakinan baru dalam konsep tata ruang seperti letak, fungsi dan makna yang ada. Penggunaan aksiologi ilmu untuk menjelaskan perubahan tata ruang menjadi hal baru dari penelitian-penelitian yang serupa. Peneliti berargumen belum ada penelitian yang melakukan penelitian yang
6
sama,
sehingga
keaslian
analisis
dalam
penelitian
ini
dapat
dipertanggungjawabkan keontentikannya.
B. Faedah Penelitian Penelitian ini mengarah kepada pengetahuan tentang filsafat pada umumnya dan filsafat ilmu pada khususnya. Hasil dan proses dari penelitian ini, diharapkan memberikan manfaat yang signifikan bagi berbagai pihak, beberapa manfaat tersebut antara lain : a. Bagi peneliti Memberikan motivasi untuk lebih memahami kerumitan permasalahan keilmuan dalam arsitektur tradisional dan meneliti hal-hal lain yang belum terkaji di dalamnya. b. Bagi Akademisi Memperkaya pemahaman yang menyeluruh mengenai aspek keilmuan Arsitektur Tradisional Batak Toba dan korelasinya dengan nilai-nilai oleh gereja serta perubahan yang terjadi dan sebabnya. c. Bagi Masyarakat Batak Toba Menjadi diskursus wacana pengembangan dan pelestarian Arsitektur Tradisional Batak Toba.
7
C. Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini memiliki tujuan : a. Mengkaji hasil analisis nilai-nilai Gereja HKBP yang mempengaruhi Arsitektur Tradisional Batak Toba. b. Menjelaskan hasil interpretasi relasi Arsitektur Ruma Tradisional Batak Toba dengan tatanan kehidupan Batak Toba sebelum HKBP. c. Memaparkan bentuk perubahan tata ruang Arsitektur Ruma Tradisional Batak Toba yang dipengaruhi oleh HKBP. D. Tinjauan Pustaka Ruangan (Jabu) dalam arsitektur tradisional Batak Toba tidak memiliki sekat atau pembatas, namun secara tidak terlihat terdapat batas-batas imajiner, yang terbagi menurut posisi dalam adat atau sistem kekerabatan, antara lain pertama, Jabu Bona yang terletak di sudut kanan di belakang dari pintu masuk rumah lalu Jabu Soding yang terletak di daerah sudut kiri di belakang pintu rumah. Jabu Suhat di sudut kiri dekat pintu masuk, yang keempat adalah Jabu Tampar Piring di sudut kanan di bagian depan dekat dengan pintu masuk, yang kelima adalah Jabu jumhur terletak di antara jabu soding dan jabu suhat dan yang keenam Jabu Tonga-tonga, terletak di antara jabu bona dan jabu tampar piring (Soeroto Myrtha, Ir, 2003 : 96) Ruangan tersebut mempunyai fungsi masing-masing, Jabu Bona diperuntukan untuk tempat tinggal pemilik rumah dan dipergunakan sebagai tempat menerima para tamu, juga untuk menerima pemberian adat dalam setiap
8
upacara adat serta memiliki fungsi sebagai tempat pembelajaran dengan memberikan bimbingan atau petuah-petuah kepada anak pemilik rumah. Adapula Jabu soding yang diperuntukan untuk tempat anak perempuan pemilik rumah, baik yang sudah menikah ataupun belum menikah yang juga digunakan sebagai tempat istri-istri tamu yang datang dan tempat diadakannya upacara adat. Jabu suhat berfungsi sebagai tempat bagi keluarga dari anak sulung dan keluarga dari anak bungsu, ketika anak sulung berkeinginan untuk mandiri dengan mendirikan rumah baru atau merantau maka anak bungsulah yang menjadi penghuni ruangan tersebut. Di atas jabu suhat terdapat tempat yang berfungsi untuk tempat penyimpanan alat-alat rumah tangga. Selanjutnya adalah Jabu Tampar Piring dipergunakan untuk tempat saudara laki-laki dari pihak istri yang sudah menikah atau yang belum dan sebagai tempat bagi anggi ni partubu (saudara semarga yang bungsu) yang merupakan bagian dongan tubu yang biasanya bertindak menjadi juru bicara bagi pemilik rumah atau raja panise dan tempat bagi dongan sahuta atau teman sekampung. Yang terakhir adalah Jabu tonga-tonga yang diperuntukan untuk tempat berkumpul seluruh anggota keluarga dan tempat dapur berada. (Napitupulu, 1986 : 51-53) Ruangan-ruangan tersebut diperlukan sebagai tempat penanda teritori dan interaksi sosial karena ruang adalah ekspresi dari proses kognitif manusia. (Ruangan yang berbeda fungsi tersebut memperlihatkan sebuah ritus sosial seperti, ketika hendak melintas dari ruang satu ke ruang yang lain yang menandai transisi sosial). Arsitektur memperjelas transisi ruang, yang memiliki arti sosial dan konseptual. Segala bentuk bagian dari arsitektur seperti tembok, pintu,
9
gerbang, dan sebagainya seringkali menandakan transisi antara di dalam/di luar, suci/duniawi, pria/wanita, umum/pribadi, dan jenis-jenis domain lainnya (Snyder, 1984 : 5-7) Menurut tingkatannya arsitektur tradisional Batak Toba dibagi menjadi tiga bagian yaitu bagian bawah atau Tombara yang terdiri dari batu pondasi atau ojahan tiang-tiang pendek, pasak atau rancang yang menusuk belatuk atau tiang tangga, bagian tengah atau Tonga yang terdiri dari dinding depan, dinding samping, dan belakang, dan bagian atas atau Ginjang yang terdiri dari atap atau tarup di bawah atap urur di atas urur membentang lais, ruma yang lama atapnya adalah ijuk (Napitupulu, 1986 : 35) Dilihat dari bentuk susunan ruangnya dan jenis warna yang digunakan, melambangkan pikiran, kepercayaan, dan harapan yaitu tritunggal benua, tritunggal Dalihan Natolu, tritunggal Dewa dan tritunggal warna (putih, merah, hitam). Bentuk pembagian bagian arsitektur tradisional Batak Toba terdiri dari bagian atas rumah adalah penaung, bagian tengahnya yaitu benua tengah sebagai dinding tempat unsur Dalihan Na Tolu hidup dan berkembang, sedang bagian bawahnya merupakan tempat hewan peliharaan hidup dan berkembang. susunan ruang tersebut juga menentukan bentuk pembagian bagian binatang yang disembelih dalam upacara adat (jambar) (Napitupuli, 1981 : 207)
10
E. Landasan Teori Filsafat Ilmu berkaitan dengan penyelidikan terhadap kegiatan-kegiatan keilmuan atau pemikiran reflektif terhadap permasalahan mengenai segala hal yang menyangkut ilmu. Di antaranya, dengan lebih memfokuskan perhatiannya kepada proses penelitian, dan hubungan ilmu dengan nilai. Hubungan ilmu dan nilai secara khusus dibahas dalam aksiologi ilmu. Aksiologi ilmu merupakan analisis secara filosofis yang mencoba menggambarkan, membatasi, dan memberikan kriteria nilai-nilai yang ada dalam, dan di sekitar ilmu. Aksiologi ilmu, mengemuka persoalan apakah ilmu bebas nilai ataukah nilai melekat pada ilmu. Ada dua pandangan tentang nilai yang melekat pada ilmu yaitu values about science yang membahas tentang bagaimana memahami dan menilai pentingnya ilmu pengetahuan pada kehidupan manusia dan bagaimana ilmu dipraktekkan dan values within science. Rescher menjelaskan bahwa values within science adalah nilai tidak dapat dipisahkan dalam penelitian ilmiah sebagai satu bagian. Posisi nilai menurut Rescher tidak dapat terbantahkan merupakan bagian dari ilmu itu sendiri. Karena ilmuwan yang melakukan penelitian merupakan bagian dari masyarakat yang dipengaruhi oleh persoalan nilai, sosial, politik dan agama yang berkembang dalam masyarakat bahkan dalam ilmu itu sendiri. Nilai dalam proses penelitian ilmiah menurut Rudner terkait dengan posisi ilmuwan ketika akan menerima suatu hipotesis. Dengan menerima sebuah hipotesis, seorang peneliti memperlihatkan bukti bahwa keputusan untuk menerima sebuah hipotesis merupakan sebuah kepentingan, dan kepentingan merupakan persoalan
11
nilai. (Boersema, 2008 : 409-420) . Dalam penelitian ini values within science digunakan sebagai landasan untuk menjelaskan jenis nilai yang dibahas. Nilai sebagai faktor yang melatarbelakangi perubahan ilmu dalam pandangan values within science merupakan faktor eksternal. Faktor eksternal menjelaskan bagaimana struktur dari luar keilmuan memengaruhi aspek-aspek di dalam ilmu terkait melalui nilai personal yang dibawa ilmuwan. Perubahan Ilmu yang dilatarbelakangi oleh faktor eksternal berbeda dengan perubahan ilmu yang dilatarbelakangi dalam cara persepsi, interpretasi, atau standar penilaian yang berlangsung dalam scientific research (Barnes, 1974 : 99-100). Agama merupakan faktor eksternal yang memengaruhi ilmu. Ketika seorang ilmuwan yang menerima atau menolak suatu hipotesis melakukannya dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang agamanya. Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) merupakan Gereja yang berasal dari misi RMG (Rheinische Missions-Gesselschaft) dari Jerman yang menjadi Gereja Protestan terbesar di kalangan masyarakat Batak, sekaligus di antara Gereja-gereja Protestan yang ada di Indonesia. Ajaran HKBP tidak bisa dilepaskan dari pemahaman Lutheran mengenai Alkitab. Sola Scriptura merupakan prinsip yang dibangun oleh Lutherenisme sebagai landasan berpikir tentang sumber kebenaran. Dalam Sola Scriptura alkitab merupakan satu-satunya kebenaran, memiliki ototritas yang lebih tinggi dari gereja, dan merupakan sumber kebenaran kristus. Arsitektur dapat dijelaskan secara singkat dengan analogi-analogi, sebagai berikut : (1) Analogi Matematis analogi didasarkan pada ilmu hitung dan
12
geometri; (2) Analogi Linguistik yang menyampaikan informasi dengan bentuk pemodelan, Model Tata, Model Ekspresionis, Model Semiotik; (3) Analogi Pemecahan Masalah yang menggambarkan bahwa arsitektur menuntut banyak pengetahuan
faktual (Borgnis,
1823)
(4)
Analogi
Bahasa
Pola
yaitu
penggambaran bahwa manusia secara biologis adalah serupa. Pendekatan tipologis atau pola menganggap bahwa hubungan lingkungan perilaku dapat dipandang dalam pengertian satuan-satuan yang digabungkan untuk membangun sebuah bangunan atau suatu rona kota (Snyder, 1984). Oleh karena itu, dengan mengasumsikan arsitektur rumah adat Batak Toba sebagai alat penyampai informasi yang berperan sebagai wadah arsitek (masyarakat Batak Toba) dalam mengungkapkan sikapnya dengan aturan yang tersusun dalam tata bahasa dan sintaksis sebagai tanda penyampaian informasi berkaitan erat dengan fungsi arsitektur sebagai bentuk penalaran faktual yang tersusun oleh kesepakatankesepakatan (Dalihan Natolu) dalam mengidentifikasi pola-pola kebutuhan yang didasari oleh ilmu hitung dan geometri. Ruang dalam arsitektur telah dikemukakan oleh beberapa filsuf, antara lain oleh Lao Tzu yang pada bab-bab awal bukunya Tao Teh Ching, dia menyatukan konsep Being (yang ada) dan Non-Being (yang tak ada) ke dalam satu konsep yang terus bergema dalam seluruh perkembangan peradaban manusia, seperti kutipan di atas, mengandung lebih dari hanya prinsip dari dua elemen yang bertentangan lebih dari itu karena bagian yang bertentangan itu juga menjelaskan superioritas yang terkandung, yakni ruang di dalamnya. Aristoteles dalam merangkumkan karakteristik ruang dalam lima poin di antaranya adalah ruang
13
sebagai tempat untuk melingkupi objek yang berada padanya, sebagai bagian dari tempat yang dilingkupinya, sebagai tempat dari sesuatu objek yang tidak lebih besar dan tidak lebih kecil dari objek tersebut (Cornelis van de, 1987 : 3-19). Oleh karena itu tata ruang dalam arsitektur tradisional Batak Toba yang berfungsi sebagai tempat untuk melingkupi penghuni/barang di dalamnya dan menyatu dengan penghuni/barang
yang dapat dipisahkan serta
melekat
dengan
penghuninya yang sama ukurannya menjadi penting sebagai objek material dalam kajiannya untuk penelitian ini. Arsitektur tradisional Batak Toba merupakan penggambaran kehidupan sosial
masyarakat
Batak
Toba
yang
sekaligus
simbolisasi
kehidupan
makrokosmos yang terbagi atas tiga bagian yaitu bawah, tengah, dan atas. Berkaitan dengan fungsinya arsitektur tradisional Batak Toba dapat dikatakan sebagai tempat pendidikan pertama dan pengenalan kepada nilai budaya Dalihan Na Tolu. Susuran ruang pada arsitektur tradisional Batak Toba tidak memliki sekat pembatas berupa dinding, namun hal tersebut bukan berarti rumah tersebut tidak memiliki pembatasan atau ruang transisi. Ruang-ruang yang tak kasat mata tersebut memiliki fungsi yang diperuntukan untuk anggota Dalihan Na Tolu. Jadi ruang dalam arsitektur rumah adat Batak Toba merupakan tempat dimana Dalihan Na Tolu mengembangkan diri (Napitupulu, 1986 : 50) Arsitektur tradisional Batak Toba sebagai alat penyampai informasi yang berperan sebagai wadah arsitek pande dalam mengungkapkan sikapnya dengan aturan yang tersusun dalam tata bahasa dan sintaksis sebagai tanda penyampaian informasi berkaitan erat dengan fungsi arsitektur sebagai bentuk penalaran faktual
14
yang
tersusun
oleh
kesepakatan-kesepakatan
Dalihan
Na
Tolu
dalam
mengidentifikasi pola-pola kebutuhan yang didasari oleh ilmu hitung dan geometri menjadi penting dalam meneliti korelasi antara nilai gereja terutama HKBP dengan aspek keilmuan dari arsitektur tradisional Batak Toba. Agama kristen sebagai faktor eksternal dalam ilmu arsitektur tradisional Batak Toba yang dibawa missionaris Jerman (RMG) yang dilanjutkan oleh HKBP berdampak pada arsitektur tradisional Batak Toba yang berfungsi sebagai penyampai pesan/makna dalam ritus-ritus keagamaan dan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam menghasilkan perubahan dalam persepsi dan interpretasi, atau dalam standar penilaian keilmuan arsitektur tradisional Batak Toba.
F. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian mengenai problem keilmuan arsitektur yang dikaji menurut aksiologi ilmu. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. 1. Materi Penelitian Penelitian ini terdiri dari 2 unsur materi penelitian yakni, studi kepustakaan dan studi di lapangan sebagai pendukung. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka membahas objek formal dari penelitian yakni aksiologi ilmu yang dalam hal ini lebih kepada persoalan values within science. Peran nilai sebagai faktor eksternal yang memengaruhi keilmuan arsitektur tradisional Batak Toba. Studi kepustakaan juga digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai
15
sejarah, perkembangan dan nilai-nilai filosofis arsitektur tradisional Batak Toba. Studi lapangan dilakukan dalam rangka mempertegas teori-teori yang menyangkut mengenai perubahan apa yang terjadi dalam arsitektur tradisional Batak Toba dan untuk menelusuri paradigma yang melatarbelakangi perubahan di dalamnya. Data ini nantinya akan dibagi ke dalam dua jenis yakni, a. Data primer yang berasal dari pengumpulan data lapangan yang berhubungan dengan Rumah Adat Batak Toba. literatur yang menjadi rujukan aksiologi ilmu Is Science Value Free? : values and scientific understanding terbitan Routledge tahun 1999 karangan Hugh Lacey, dan Philosophy of Science : Text with readings terbitan Pearson Education Inc tahun 2008 karangan David Boersema, literatur yang berkaitan dengan Arsitektur Tradisional Batak Toba buku karangan Drs. S.P. Napitupulu berjudul Inventarisasi Dan Dokumentasi Arsitektur Tradisional Suku Batak Toba, Suku Melayu, dan Suku Batak Karo daerah Sumatera Utara terbitan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional tahun 1981, serta buku mengenai HKBP salah satunya adalah buku karangan van den End dan J. Weitjens berjudul Ragi Carita 2 : Sejarah Gereja Di Indonesia 1860an – sekarang terbitan BPK Gunung Mulia, buku dengan judul Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja karangan Pdt. Dr. Jan S. Aritonang terbitan BPK Gunung Mulia, dan buku karangan Paul Bodholdt Pedersen dengan judul Batak Blood and Protestant Soul : The Development of National Batak Churches in North Sumatra terbitan Wm B.Eerdmans Publishing Co.
16
b. Data Sekunder yang berupa literatur untuk menopang data primer yaitu The Sociology of Science : Theoretical and Empirical Investigations terbitan The University of Chicago Press tahun 1973 karangan Robert K Merton; literatur yang membahas mengenai objek materialnya yaitu Arsitektur Tradisional Daerah Sumatera Utara, 1986 dengan editor S.P Napitupulu; Indonesian houses: Vol. 1, 2003 oleh Schefold & G Domenig; The House In Southeast Asia : A Changing Social, Economic and Political Domain yang ditulis oleh Stephen Sparkes & Signe Howell; serta Rumah Gorga (Sosok Pribadi Orang Batak), 2009 penelitian yang dilakukan oleh Philipus Marpaung dan Bien Pasaribu 2. Jalannya Penelitian Penelitian diawali dengan pengumpulan data yang berhubungan dengan tema penulisan baik data tertulis maupun lapangan, inventarisir data dan pengklarifikasian menurut penggunaan. Selanjutnya, dilakukan analisis guna memperoleh hasil penelitian yang diinginkan. a. Inventarisasi atau pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data sebanyak mungkin baik data pustaka maupun data lapangan yang berkaitan dengan tema penelitian. b. Pengklasifikasian dan pengolahan data, yaitu setelah mengolah data terkumpul, meliputi klasifikasi dan deskripsi sesuai dengan apa yang dibahas di dalam penelitian.
17
c. Penyusunan penelitian, yaitu melakukan penyusunan data-data yang meliputi analisis data mengenai Arsitektur Tradisional Batak Toba yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk laporan yang sistematis. Adapun unsur metodis penelitian yang akan digunakan sebagai berikut : a. Deskripsi, yaitu memaparkan seluruh data penelitian baik dari pustaka ataupun lapangan dan dilihat dari beberapa aspek. b. Intepretasi, yaitu penulis berusaha memberikan pemahaman mengenai perubahan yang terjadi dalam tata ruang Ruma Arsitektur Tradisional Batak Toba. c. Holistika, yaitu menganalisis perubahan dalam arsitektur tradisional Batak Toba dengan membandingkannya dengan nilai baru yang telah digunakan di dalamnya agar kemudian kita dapat memposisikan dan mengetahui peranan nilai Gereja HKBP dalam perubahan yang dimaksud.
G. Hasil Yang Telah Dicapai
Hasil yang dicapai dalam penelitian ini adalah pemahaman yang mendalam mengenai hal-hal seperti berikut : a. Kajian analisis nilai HKBP yang yang memengaruhi tata ruang Arsitektur Tradisional Batak Toba. b. Penjelasan tentang interpretasi relasi tata ruang Arsitektur Ruma Tradisional Batak Toba dan hubungannya dengan tatanan kehidupan Batak Toba sebelum HKBP.
18
c. Pemaparan bentuk perubahan tata ruang Arsitektur Ruma Tradisional Batak Toba yang dipengaruhi oleh HKBP.
H. Sistematika Penulisan Hasil penelitian akan dilaporkan dalam lima bab sebagai berikut : Bab I :
Berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penilitian, tinjauan pustaka,
landasan
teori,
metode penelitian
yang
digunakan, hasil yang telah dicapai, dan sistematika penulisan. Bab II :
Membahas tentang pengertian nilai dan aksiologi ilmu, pengertian dan perkembangan nilai Sola Scriptura Lutheran dalam HKBP yang memengaruhi masyarakat Batak Toba.
Bab III :
Membahas
pengertian
arsitektur
sebagai
ilmu
dan
seni,
menjelaskan topologi dan penganalogian arsitektur tradisional, pengertian fungsi dan ruang dalam arsitektur. Pengertian, fungsi, bagian-bagian, dan aturan-aturan dalihan na tolu. Dan korelasi antara dalihan na tolu dengan arsitektur tradisional Batak Toba. Bab IV :
Membahas tentang pengaruh gereja HKBP dalam proses pendirian, ukuran, dan pembagian ruang ruma. Menjelaskan nilai yang memengaruhi tata ruang dalam ruma.
Bab V:
Berisi Kesimpulan.
19