BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 13.466 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km. Oleh karenanya, Indonesia memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar, baik hayati maupun nonhayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya. Ekosistem mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak. Ekosistem mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Bila dibandingkan dengan ekosistem hutan yang lain, maka ekosistem mangrove memiliki flora dan fauna yang spesifik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Luas ekosistem mangrove di Indonesia pada tahun 1982 tercatat seluas 5.209.543 ha. Luasan tersebut menyusut sampai 46,96 % atau tersisa 2.496.158 ha pada tahun 1993 (Dahuri dkk., 2001). Berbagai fungsi mangrove sepertinya juga menjadi hal yang perlu dipertimbangkan mengapa hutan mangrove harus diselamatkan dari kerusakan. Mulai dari fungsi untuk merendahkandampak dari tsunami dan gelombang tinggi, mampu mengikat sedimen dari sungai, produktivitas perikanan, mampu menekan intrusi air laut kedarat, mengurangi perkembangbiakan nyamuk Anopheles sp akibat kebukanya lahan mangrove menjadi lahan tinggalnya berbagai habitat satwa.
1
tambak, hingga tempat
Pada tahun 2006 terjadi kebocoran gas yang menghasilkan lumpur yang mempunyai volume sangat banyak, sehingga dapat menenggelamkan daerah yang ada di sekitar kejadian tersebut. Maka lumpur tersebut kemudian dibuang ke laut dengan melalui aliran Sungai Porong. Hal ini berdampak terjadinya sedimentasi yang cukup besar di Muara Sungai Porong. Adanya penampung lumpur di Muara Sungai Porong dapat mengurangi efek gelombang dari Selat Madura. Dan sedimentasi yang dibawa oleh aliran Sungai Porong membawa cukup bahan organik sehingga mangrove dapat tumbuh di Muara Sungai Porong. Dari permasalahan di atas diperlukan suatu pemetaan yang detail daerah mangrove tersebut agar dapat diketahui secara pasti berapa luasan serta tingkat kerusakan hutan mangrove di daerah tersebut, serta dapat digunakan oleh pemerintah setempat dalam perencanaan tata ruang ekosistem tersebut yang merupakan suatu kawasan konservasi, seperti yang tertuang dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 maupun di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu hutan konservasi atau biasa disebut sebagai kawasan konservasi didifinisikan sebagai kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun
perairan,
yang
mempunyai
fungsi
pokok
untuk
pengawetan
keanekaragaman hayati (flora dan fauna) serta ekosistemnya. Penginderaan jauh telah banyak digunakan untuk bidang kehutanan (Lilesand dan Kiefer,1990; Sutanto, 1994; Lo, 1996). Hal ini dikarenakan sarana ini memberikan keuntungan yaitu mampu memberikan data yang unik diperoleh dengan mengggunakan sarana lainnya, mempermudah pekerjaan lapangan dan mampu menyajikan data-data yang lengkap dan akurat dalam waktu yang relative cepat dengan biaya yang relative murah. Aplikasi penginderaan jauh satelit dalam bidang kehutanan secara efektif dimulai dengan peluncuran satelit teknologi sumberdaya bumi Amerika Serikat (Earth Resources Technological Sattelite/ERTS-1) pada tahun 1972, untuk kemudian satelit itu diberi nama Landsat (Howard,1996) . Sedangkan menurut Jaya (1997), secara garis besar aplikasi penginderaan jauh dalam bidang kehutanan dapat dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu untuk kegiatan pemetaan, inventarisasi hutan dan manajemen hutan.
2
Pada hutan mangrove aplikasi penginderaan jauh dapat dibagi menjadi 3 tingkatan perencanaan, yaitu tingkat nasional, tingkat lokal, dan tingkat operasional (FAO, 1993). Dengan menggunakan data penginderaan jauh, vegetasi hutan mangrove dapat diklasifikasikan menurut keadaan rapat, normal dan jarang berdasarkan
perbedaan
ronanya
(Ishaq-Mirza
ef.al,
1986)
dan
juga
diklasifikasikan berdasarkan jenisnya (Chaudhury, 1986) Saat ini data yang paling banyak digunakan untuk studi tutupan mangrove adalah data dari satelit Landsat yaitu sekitar 50,52 % (Hanggono, 2000). Namun saat ini Landsat 7 ETM+ telah mengalami kerusakan pada Scan Line Corrector (SLC) dan hasil rekamannya banyak yang terganggu dimana suatu daerah akan terekam dua kali sedangkan untuk daerah lain tidak terekam sama sekali menyebabkan banyak piksel yang cacat pada citra. Hal ini menyebabkan data dari Landsat 7 ETM+ tidak lagi optimal jika akan digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai tutupan mangrove. Seiring dengan perkembangan waktu, maka data satelit makin berkembang kemampuannya dalam informasi secara spasial yang dihasilkan dan kemampuan spektralnya dalam mengklasifikasikan obyek. Untuk mengoptimalkan hasil yang akan diharapkan maka digunakan Landsat 8 yang rilis pada bulan Februari 2013. 1.2.Rumusan Masalah Metode analisis vegetasi menggunakan klasifikasi supervised bukanlah hal yang baru lagi. Sudah banyak penelitian yang menggunakan klasifikasi ini sebelumnya. Metode ini digunakan untuk mengetahui perubahan tutupan lahan pada citra multispektral. Data yang digunakan adalah Landsat 7 ETM 2003, dan LANDSAT 8 2013. Kedua citra mempunyai resolusi spasial yang sama yaitu 30m. Pertumbuhan mangrove di Muara Sungai Porong cukup pesat. Hal ini karena aliran Sungai Porong membawa sedimen lumpur yang cukup banyak serta mengandung banyak bahan organik yang dibutuhkan oleh pertumbuhan mangrove. Dari kedua citra yang digunakan diharapkan dapat mengetahui perubahan dari tahun ke tahun.
3
1.3.Pertanyaan Penelitian 1. Berapa tingkat keakuratan citra Landsat untuk identifikasi tutupan mangrove? 2. Apakah tutupan mangrove di Muara Sungai Porong mengalami perubahan? 1.4.Tujuan 1. Mengetahui tingkat keakuratan data penginderaan jauh untuk identifikasi tutupan mangrove. 2. Identifikasi perubahan tutupan mangrove dari tahun 2003-2013. 1.5.Manfaat Penelitian 1. Agar dapat diketahui secara pasti berapa luasan serta tingkat kerusakan hutan mangrove di daerah tersebut. 2. Serta dapat digunakan oleh pemerintah setempat dalam perencanaan tata ruang ekosistem tersebut yang merupakan suatu kawasan konservasi.
4
1.6. Tinjauan Pustaka 1.6.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan senin untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand
dan
Kiefer,
1990).
Caranya dengan
mendeteksi
gelombang
elektromagnetik yangdatang dari objek tersebut, baik yang dipantulkan, diemisikan maupun dihamburkan balik. Tiga macam proses yang dikenal dalam penginderaan jauh yaitu pengumpulan data, pengolahan data serta analisa data. Proses pengumpulan data meliputi energi, perjalanan energi melalui atmosfer, interaksi energi dengan kenampakan di permukaan bumi, sensor, wahana yang dapat berupa pesawat terbang, satelit atau wahana lain dan hasil bentukan data yang berupa cetak kertas atau data digital (Lillesand dan Kiefer, 1990). Sistem penginderaan jauh satelit secara umum terdiri dari objek permukaan bumi yang diindera atau diamati menggunakan sensor pengamat yangdiletakkan pada wahana satelit yang bergerak pada orbitnya dengan pengamatanyang berulang dan liputan yang luas. Penginderaan jauh secara garis besar dibedakan menjadi dua jenis. Pertama adalah sensor pasif. Sensor ini merekam energi radiasi yang dipantulkanoleh objek atau wilayah yang diindera. Pantulan energi matahari adalah sumberenergi radiasi yang paling umum direkam oleh sensor pasif. Contoh daripenginderaan jauh sensor pasif adalah mata, teleskop optik dan radiometer. Keduaadalah
Sensor
aktif
yang
menggunakan
tenaga
sendiri
untuk
mendapatkanrekaman dari objek yang diindera. Sensor aktif akan memancarkan radiasi kepadaobjek yang diindera dan kemudian mendeteksi dan mengukur radiasi yangdipantulkan atau dihamburkan oleh objek. Salah satu Penginderaan jauh sensor aktif yang paling umum adalah RADAR. Pada RADAR, sensor mengeluarkan gelombang radio dan merasakan energi yang kembali dari hasil pantulan objek. Diketahuinya kecepatan cahaya dan waktu jeda antara pancaran dan kembalinya gelombang, jarak ke objek dapat diketahui (Wikipedia, 2007).
5
a. Resolusi Spektral Resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan objek berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya. Semakin banyak dan sempit saluran yang digunakan maka semakin tinggi kemungkinannya dalam mengenali objek berdasarkan respon spektralnya. Semakin banyak jumlah salurannya, semakin tinggi resolusi spektralnya (Danoedoro, 1996) b. Resolusi Radiometrik Resolusi Radiometrik adalah kemampuan sensor dalam mencatat responspektral objek. Respon spektral objek yang dinyatakan dalam satuan mWatt cm-2sr1μm-1 datang mencapai sensor dengan intensitas bervariasi. Kemampuan sensor ini secara langsung dikaitkan dengan kemampuan koding, yaitu mengubah intensitas pantulan Satau pancaran spektral menjadi angka digital. Kemampuan ini dinyatakan dalam bit (Danoeodoro, 1996) c. Resolusi Temporal Resolusi temporal adalah kemampuan suatu sistem untuk merekam ulangdaerah yang sama. Satuan resolusi temporal adalah jam atau hari. 1.6.2. Penginderaan Jauh Multispektral Mata manusia memiliki tiga sensor penangkap warna untuk merah, hijau dan biru. Penginderaan jauh multispektral menggunakan konsep warna ini dimana saluran dengan berbagai panjang gelombang tertentu dikombinasikan untuk mendapatkan informasi tertentu. Citra multispektral adalah citra yang direkam dengan menggunakan banyak sensor dengan panjang gelombang yang berbeda secara bersamaan. Julat panjang gelombang yang digunakan 0,1 μm. Sistem ini memungkinkan kita untuk mendapatkan informasi tambahan yang tidak bias ditangkap oleh mata manusia. Multispektral berkebalikan dengan pankromatik yang merekam suatuobjek dengan julat panjang gelombang yang lebar dan memanfaatkan seluruh spektrum visibel dalam perekamannya (0,4 μm – 0,7 μm). Pada umumnya satelit memiliki 3 hingga 7 radiometer atau sensor yang masingmasing merekam satu citra secara digital dari spektrum tampak (0,4 μm – 0,7 μm) yang disebut RGB (red-green-blue) hingga spektrum inframerah yang panjang
6
gelombangnya lebih dari 0,7 μm. Spektrum inframerah ini dibagi menjadi Inframerah Dekat (NIR), Inframerah Tengah (MIR) dan Inframerah Jauh (FIR) atau Thermal (Wikipedia,2007). 1.6.3. Koreksi Citra Koreksi
citra diperlukan
apabila kualitas
citra
yang digunakan
tidakmencukupi dalam mendukung studi tertentu. Namun sebenarnya semua citra yangdiperoleh melalui perekaman sensor tak lepas dari kesalahan, yang diakibatkanoleh mekanisme perekaman sensornya, gerakan dan wujud geometri bumi sertakondisi atmosfer pada saat perekaman. Kesalahan yang terjadi pada saatpembentukan citra ini perlu untuk dikoreksi, supaya aspek geometrik danradiometri
yang
dikandung
oleh
citra
tersebut
benar-benar
dapat
mendukungpemanfaatan untuk aplikasi yang berkaitan dengan pemetaan sumberdaya.(Danoedoro,1996). 1.6.3.1.Koreksi Radiometrik Tidak
konsistennya
detektor
dalam
menangkap
informasi
jugamenghasilkan kesalahan berupa anomali piksel. Piksel ini bernilai jauh lebihtinggi atau lebih rendah dari yang seharusnya. Keterlambatan dalam memulaibaris perekaman baru juga menghasilkan baris-baris perekaman yang cacat.Kesalahan tersebut diakibatkan oleh mekanisme internal sensor.Koreksi radiometrik diperlukan atas dasar dua alasan, yaitu untukmemperbaiki kualitas visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai pikselyang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yangsebenarnya. Koreksi radiometrik citra yang ditujukan untuk memperbaiki kualitasvisual citra berupa pengisian kembali baris yang kosong karena drop-out barismaupun masalah awal pelarikan. Koreksi radiometrik yang ditujukan untukmemperbaiki nilai piksel supaya sesuai dengan yang seharusnya biasanyamempertimbangkan faktor gangguan atmosfer sebagai sumber kesalahan utama.Pada koreksi ini diasumsikan bahwa nilai piksel terendah pada suatu kerangkaliputan seharusnya nol, sesuai dengan bit-coding sensor. Apabila nilai terendahpiksel pada citra tersebut bukan nol, maka nilai penambah
tersebut
dipandangsebagai
(Danoedoro, 1996).
7
hamburan
(offset)
dari
atmosfer.
1.6.3.2.Koreksi Geometrik Koreksi geometrik dilakukan untuk memberi sifat peta pada citra danmenghilangkan distorsi geometrik sehingga tiap-tiap piksel pada citra berada padalokasi sebenarnya di permukaan bumi. Hal ini memungkinkan informasi yangdiperoleh dari citra digabungkan dengan informasi tematik lain dalam system Informasi Geografis (SIG) dan spatial decision support systems (SDSS). Citrayang telah terkoreksi geometrik dapat digunakan untuk memperoleh informasijarak, luas dan arah dengan akurat.Citra penginderaan jauh pasti memiliki kesalahan geometrik baik internalmaupun eksternal. Sangat penting untuk mengetahui sumber dari kesalahaninternal dan eksternal tersebut dan apakah kesalahan itu berupa kesalahan yangbersifat sistematik (bisa diprediksi) atau tidak sistematik (random). Kesalahangeometrik yang bersifat sistematik pada umumnya lebih mudah diidentifikasi dandikoreksi dibandingkan dengan kesalahan non sistematik.Kesalahan Geometrik internal ditimbulkan oleh sistem dari penginderaanjauh itu sendiri, karakteristik lengkung bumi serta rotasi bumi. Kesalahan inibiasanya bisa diprediksi (sistematik) dan bisa diidentifikasi dan dikoreksimenggunakan sistem yang ada pada sensor setiap wahana. Kesalahan geometric eksternal ditimbulkan oleh fenomena alam yang bervariasi dan tidak bias diperkirakan (non sistematik). Variabel eksternal yang paling penting dalammempengaruhi kesalahan geometrik adalah pergerakan acak dari wahana padasaat perekaman. Pergerakan tersebut dapat berupa perubahan ketinggian terbangwahana (altitude change) dan perubahan pergerakan wahana (attitude change)yang berupa roll, pitch dan yaw.Data penginderaan jauh komersial biasanya sudah terkoreksi kesalahangeometrik sistematiknya namun kesalahan geometrik yang non sistematik belumterkoreksi. Hal ini menyebabkan piksel pada citra tidak berada pada posisi yangsesuai dengan posisi aslinya di permukaan bumi atau peta. Untuk itu perludilakukan koreksi geometrik. Prosedur yang paling sering digunakan untukmelakukan koreksi geometrik adalah : • Image-to-map rectification • Image-to-image registration
8
Teknik
yang
paling
sering
digunakan
adalah
image-to-map
rectificationkarena dengan teknik ini, citra penginderaan jauh akan memiliki sistem proyeksidan sistem koordinat standar peta sehingga mampu digabungkan dengan data lainuntuk pengambilan keputusan dalam SIG. Teknik ini menghilangkan semuakesalahan yang disebabkan oleh topographic relief displacement pada citra.Teknik image-to-map rectification membutuhkan Ground Control Point (GCP)pada citra dan koordinatnya dari peta referensi untuk titik yang
sama.Teknik
image-to-image
registration
digunakan
ketika
kita
tidakmembutuhkan setiap piksel pada citra untuk mempunyai koordinat x dan y sepertipada peta. Contoh penggunaan teknik ini adalah saat kita ingin memeriksa duacitra daerah
yang sama dengan tanggal perekaman
yang berbeda
untukmengetahui.perubahan yang telah terjadi. (Jensen, 2004). 1.6.4. Klasifikasi Multispektral Klasifikasi multispektral merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan kriteria tertentu. Pada klasifikasi multispektral kriteria yang digunakan adalah nilai spektral pada beberapa saluran sekaligus. Asumsi awal dalam klasifikasi multispektral ialah bahwa tiap objek dapat dibedakan dari yanglain berdasarkan nilai spektralnya. Fakta yang diperoleh melalui penelitian eksperimental menunjukkan bahwa tiap objek cenderung memberikan polarespons spektral yang spesifik. (Danoedoro, 1996) Klasifikasi multispektral dibedakan menjadi dua jenis yaitu klasifikasi terselia dan klasifikasi tak terselia. Klasifikasi terselia meliputi sekumpulan algoritma yang didasari pemasukan contoh objek atau sampel. Hal yang perlu diperhatikan dalam klasifikasi terselia adalah sistem klasifikasi yang digunakandan kriteria sampel. Klasifikasi tak terselia secara otomatis diputuskan oleh komputer tanpa campur tangan operator. Campur tangan operator terutama setelahgugus-gugus spektral terbentuk, yaitu menandai tiap gugus sebagai objek tertentu (Danoedoro, 1996).
9
1.6.5. Penginderaan Jauh Untuk Studi Vegetasi Ahli kehutanan dan geologi telah menggunakan terapan penginderaan jauh secara operasional dalam pengumpulan data selama bertahun-tahun. Saat ini hampir tidak mungkin inventarisasi hutan dilakukan dengan tanpa menggunakan data penginderaan jauh Sistem penginderaan jauh dapat memberikan data spesifik yang tidak dapat diperoleh dari sumber data lainnya, terutama dapat digunakan untuk mengumpulkan data tanpa banyak kerja lapangan. Sehingga hasil yang diperoleh dapat lebih efektif dan efisien. Pengumpulan data secara langsung di lapangan biasanya lebih akurat dan cermat, tetapi pengumpulan data dengan cara ini akan membutuhkan waktu yang lama. Pada medan yang sulit dijangkau, kerja lapangan tidak mungkin dilakukan secara menyeluruh sehingga hanya dilakukan pada sampel lapangan yang terbatas jumlahnya. Kombinasi antara data penginderaan jauh, data lapangan, dan uji silang hasil analisis citra dengan sampel lapangan dapat digunakan untuk tujuan praktis dalam bidang kehutanan. Sebelum citra satelit digunakan, data citra penginderaan jauh untuk invetarisasi hutan diawali dengan penggunaan foto udara. Foto udara digunakan secara langsung untuk pengganti peta planimetrik dan topografi. Pemahaman mengenai dasar-dasar fotogrametri juga dapat digunakan untuk memperoleh peta tematik
sederhana yang berkaitan dengan tegakan hutan. Analisis citra akan
memberikan informasi tentang tutupan hutan, tipe hutan, kondisi hutan, parameter tegakan pohon dan hutan, informasi bentuk lahan, penggunaan dan potensi lahan, serta dapat dikaitkan dengan tabel volume tegakan kayu dan biomassa. Pemanfaatan ini dapat diperluas untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan sumberdaya air, degradasi lahan, pengelolaan padang pengembalaan, hutan kemasyarakatan, hutan pesisir, dan lain-lain. Terapan penginderaan jauh sistem satelit untuk bidang kehutanan sangat berkembang pesat selaras dengan perkembangan pemrosesan citra digital sumberdaya bumi. Penginderaan jauh sistem satelit telah meningkatkan percepatan terhadap perolehan data dan hasil. Pemrosesan citra secara digital telah memungkinkan pengembangan suatu sistem analisis dengan bantuan komputer dengan biaya rendah. Namun, kelemahan dari penggunaan citra satelit adalah
10
penilaian hasil ditentukan oleh ukuran piksel serta bergantung pada perbedaan nilai spektral (Howard, 1991) 1.6.6. Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove memiliki lingkungan yang sangat kompleks sehingga diperlukan beberapa adaptasi baik morfologi, fisiologi, maupun reproduksi terhadap kondisi tersebut. Beberapa adaptasi yang dilakukan terutama untuk beberapa aspek sebagai berikut: 1.
Bertahan dengan konsentrasi garam tinggi Organisme yang hidup di ekosistem mangrove terutama pohon mangrove memiliki kelebihan untuk dapat bertahan pada kondisi dengan salinitas lingkungan yang tinggi. Ada tiga mekanisme yang dilakukan oleh pohon mangrove untuk bertahan terhadap kelebihan garam dari lingkungannya yaitu : •
Mensekresi Garam (Salt Secretor) Jenis mangrove ini menyerap air dengan kadar salinitas tinggi
kemudian mengeluarkan atau mensekresikan garam tersebut keluar dari pohon. Secara khusus pohon mangrove yang dapat mensekresikan garam memiliki salt glands di daun yang memungkinkan untuk mensekresi cairan Na+ dan Cl-. Beberapa contoh mangrove yang dapat mensekresikan garam adalah : Aegiceras, Aegialitis, Avicennia, Sonneratia, Acanthus, dan Laguncularia.
11
Gambar 1.1 Salt Gland/Kelenjar pengeluaran garam pada daun mangrove (Sumber: http://web.ipb.ac.id) •
Tidak dapat mensekresi garam (Salt Excluder) Jenis mangrove ini menyerap air dengan menggunakan akarnya tetapi
tidak mengikutsertakan garam dalam penyerapan tersebut. Mekanisme ini dapat terjadi karena mangrove jenis ini memiliki ultra filter di akarnya sehingga air dapat diserap dan garam dapat dicegah masuk ke dalam jaringan. Beberapa contoh mangrove yang dapat melakukan mekanisme ini adalah: Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguiera, Excoecaria, Aegiceras, Aegialitis, Acrostichum, Lumnitzera, Hibiscus, Eugenia. •
Mengakumulasi Garam (Accumulator) Mangrove memiliki mekanisme untuk mengakumulasi garam di
dalam jaringannya. Jaringan yang dapat mengakumulasi cairan garam terdapat di akar, kulit pohon, dan daun yang tua. Daun yang dapat mengakumulasi garam adalah daun yang sukulen yaitu memiliki jaringan yang banyak mengandung air dan kelebihan garam dikeluarkan melalui jaringan metabolik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa daun yang jatuh dari pohon diduga merupakan suatu mekanisme untuk mengeluarkan kelebihan garam dari pohon yang dapat menghambat pertumbuhan dan
12
pembentukan buah. Garam yang terdapat di dalam pohon mangrove dapat mempengaruhi enzim metabolik dan proses fotosintesis, respirasi, dan sintesa protein. Konsentrasi garam yang tinggi tersebut dapat menghambat ribulose difosfat karboksilase suatu enzim dalam proses karboksilase. Beberapa jenis mangrove yang memiliki mekanisme dapat mengakumulasi garam adalah : Xylocarpus, Excoecaria, Osbornia, Ceriops, Bruguiera. Tabel 1.1 Toleransi salinitas pada beberapa jenis mangrove. Spesies
Batas Atas
Referensi Keterangan
A. marina
90‰
a
90‰
a
C. tagal
72‰
b
Sehat tapi tidak tinggi
R. mucronata
55‰
a
Tua (gnarled)
R. apiculata
65‰
b
R. stylosa
74‰
b
B. gymnorrhiza
10-25‰
a
S. alba
» 35‰
a
L. racemosa
kerdil, tinggi kurang dari 1 m
Range pertumbuhan normal Lebih menyukai air laut normal
(Sumber: Macnae dan Wells 1982) 2.
Pemeliharaan Air Desalinasi Kelebihan garam yang diserap oleh pohon mangrove sebagian besar disimpan di daun. Beberapa adaptasi yang dilakukan oleh daun diuraikan sebagai berikut : •
Xeromorphic : Kutikel tebal di atas daun, rambut2, wax coating, sunken stomata, distribusi dari cutinized dan sclerenchymatous cell di daun, succulence (tempat penyimpanan air di jaringan daun) merupakan respons terhadap keberadaan Cl-
•
Transpiration : transpirasi rate rendah jika dibandingkan dengan non saline plant.
13
Gambar 1.2 Daun dan Morfologi daun yang sukulen (Sumber: http://web.ipb.ac.id) 3. Spesialisasi Akar Akar mangrove memiliki beberapa adaptasi untuk mempertahankan keberadaannya terhadap kondisi dengan salinitas tinggi. Adaptasi tersebut dirinci sebagai berikut : •
Kadar garam tinggi (halofit).
Akarnya dapat menyaring NaCl dari air.
Gambar 1.3 Peg Root (Sumber: http://web.ipb.ac.id) •
Kadar oksigen rendah.
Sistem perakaran yang khas : akar nafas (pneumatofora) untuk mengambil oksigen dari udara (Avicennia spp., Xylocarpus spp., Sonneratia spp.); penyangga yang memiliki lentisel (Rhizophora spp); akar lutut untuk mengambil oksigen dari udara (Bruguiera spp. dan Ceriops spp).
14
Gambar 1.4 Pneumatofor dan Lentisel pohon mangrove (Sumber: http://web.ipb.ac.id) •
Tanah Kurang Stabil dan adanya pasang surut.
struktur akar ekstensif dan jaringan horizontal yang lebar untuk memperkokoh pohon, mengambil unsur hara, menahan sedimen.
Gambar 1.5 Beberapa bentuk akar mangrove (Bengen, 2003) 4.
Reproduktif •
Pembungaan dan polinasi.
Pembungaan dimulai pada umur 3-4 tahun dan dipengaruhi oleh alam bukanukuran. Polinasi terjadi melalui kerjasama angin, serangga, dan burung. 15
•
Produksi Propagule.
Pembuahan terjadi hanya 0-7,2% dari bunga yang dihasilkan •
Vivipary dan Cryptovivipary
Vivipary : Embrio keluar dari pericarp dan tumbuh diantara pohon atau tidak berkecambah selama masih berada pada induknya (Bruguiera, Ceriops, Rhizophora, Kandelia, Nypa)
Gambar 1.6 Buah yang Vivipary dan Cryptovivipary (Sumber: http://web.ipb.ac.id) Cryptovivipary: Embrio berkembang melalui buah tidak keluar dari pericarp (Aegialitis, Acanthus, Avicennia, Laguncularia) •
Penyebaran Propagule
Propagule tersebar melalui burung, arus, pasang surut Kerusakan propagule diakibatkan oleh substrat yang tidak sesuai, penenggelaman oleh organisme, pelukaan oleh organisme atau gelombang, salinitas tanah tinggi. 5.
Respon Terhadap Cahaya •
Cahaya dan Bentuk
Kondisi tampilan xeromorphic diakibatkan oleh respon terhadap intensitas cahaya yang tinggi •
Fotosintesis
Daun cahaya memiliki kecepatan fotosintesis lebih cepat dibandingkan daun naungan
16
•
Cahaya dan Faktor-faktor Fisik Lain
Spesies-spesies yang toleran naungan : Aegiceras, Ceriops, Bruguiera, Osbornia, Xylocarpus, Excoecaria •
Spesies-spesies yang intoleran naungan
Acrostichum, Acanthus,Aegialitis, Rhizophora, Lumnitzera, Sonneratia, Avicennia anakan intoleran naungan; Avicennia pohon toleran naungan 1.6.7. Zonasi dan Penggenangan Spesies mangrove yang terdapat di suatu lokasi dapat berbentuk monospesies (tunggal) atau spesies campuran yang paralel terhadap garis pantai. Aspek-aspek yang menyebabkan terjadinya zonasi mangrove menjadi perdebatan dan Santos et al (1997) menyatakan bahwa untuk meneliti zonasi mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan pola berdasarkan : a. Suksesi Tumbuhan Pola zonasi spasial dihasilkan dari sekuens suksesi mangrove berdasarkan waktu sampai mencapai klimaksnya. b. Perubahan Geomorfologi Asumsi yang digunakan adalah perkembangan pola zonasi berdasarkan waktu dan spasial yang dinamis sebagai akibat dari perubahan fisik dan lingkungan pada zona mid littoral seperti perubahan ukuran, konfigurasi, topografi dan geologi. c. Fisiologi-Ekologi Masing-masing spesies memiliki kondisi lingkungan yang optimum dan terbatas pada segmen tertentu untuk perubahan lingkungan yang terjadi. d. Dinamika populasi Zonasi merupakan respons terhadap perubahan faktor biotik seperti kompetisi interspesifik, reproduksi tumbuhan, strategi kolonisasi. Temperatur air dan udara serta banyaknya curah hujan menentukan jenisjenis mangrove yang terdapat di suatu lokasi. Macnae (1966) berpendapat bahwa distribusi dan zonasi mangrove merupakan interaksi antara : 1.
rekuensi pasang surut yang menggenangi,
2.
kadar garam air lahan/tanah; dan,
17
3.
kadar air lahan (drainase). Walter
dan
Steiner
(1936)
mempertimbangkan
derajat
tingkat
penggenangan, kadar garam dan keadaan alami lahan sebagai faktor penting. Berkenaan dengan pasang, Chapman (1976) mempertimbangkan bahwa faktor yang paling utama adalah banyaknya hari tidak ada pasang surut.Johnstone dan Frodin (1983) mengusulkan enam tipe yang menyebabkan terjadinya zonasi yaitu: •
kedalaman air dan penggenangan - ombak
•
pengeringan
•
salinity/freshwater mendominasi
•
substrat
•
Biota dan interaksi biotik Beberapa atau semua di atas faktor sudah sering dikemukakan tetapi faktor
terakhir sering diabaikan. Pengetahuan tentang zonasi bermanfaat secara ekologis dan manajemen silvikultur dimana kebutuhan tentang posisi hutan untuk memilih habitat yang sesuai untuk jenis-jenis pohon tertentu dapat diketahui. Contohnya adalah
Rhizopora
apiculata
ditanam
menuju
ke
zona
darat
untuk
pengembangannya secara marginal. Beberapa contoh zonasi diuraikan sebagai berikut: 1.
Watson ( 1928) membagi komunitas mangrove Malaysia bagian barat di
dalam lima kelas berdasar pada frekwensi penggenangan. Secara Silvicultural arti penggolongan ini adalah bahwa suatu jenis dibagikan untuk kelas penggenangan tertentu berdasar pada kemampuannya untuk regenerasi. 2.
De Hann (1931) membagi zonasi berdasarkan kadar garam yang
dipertimbangkan sebagai faktor yang utama dalam pengendalian distribusi. Zonasi tersebut dibagi menjadi dua bagian utama sebagai berikut: A. Zonasi dari payau ke laut dengan kadar garam pada pasang naik antara 10-30 promil dan menggenangi •
A1. sekali atau dua kali sehari-hari dalam waktu 20 hari per bulan
•
A2. 10-19 kali per bulan
•
A3. 9 kali atau lebih sedikit per bulan
•
A4. hanya beberapa hari per bulan
18
Gambar 1.7 Zonasi Mangrove B. Zona perairan tawar ke air payau dengan berkadar garam antara 0-10 promil •
B1. kurang atau lebih dibawah pengaruh pasang surut
•
B2. tiap musim terkena penggenangan.
3. Macnae (1966), membagi zonasi mangrove sebagai berikut : - menuju ke darat •
(a) zone Ceriops semak belukar
•
(b) zone Bruguiera hutan
•
(c) zone Rhizophora hutan
- menuju ke laut •
(a) Avicennia zone
•
(b) Sonneratia zone Putz dan Chan (1986) dalam sebuah analisis pertumbuhan yang dinamis
dari hutan yang matang di Malaysia, di pantau sejak 1920, menyimpulkan bahwa pola penggantian spesies yang diamati menyerupai proses suksesi yang diamati dan dikemukakan oleh Watson. Rhizophora apiculata, spesies yang dapat tumbuh tetapi memiliki toleransi tempat bernaung yang sempit perlahan-lahan digantikan oleh spesies lain yang cepat tumbuh tetapi toleransi terhadap tempat bernaung sempit, misalnya Bruguiera gymnorhiza (Rhizophoraceae) sama baiknya dengan spesies khusus ”landward” lainnya. Penelitian yang sama menyarankan bahwa toleransi bernaung dan penyebaran karakteristik haruslah termasuk dalam faktorfaktor ekologi yang mempengaruhi distribusi dari spesies pohon di hutan-hutan mangrove. Endapan lumpur dalam jumlah besar secara normal akan menghasilkan pengikisan garis pantai yang telah diperiksa secara fisik oleh aksi erosi gelombang dan arus pasang surut di mulut sungai. Muatan lumpur yang tinggi pada run – off 19
menyediakan lumpur pada hutan, memberikan kesubuiran tanah dan produktivitas hutan. Analisis mekanis terhadap sampel tanah mengindikasikan bahwa sampel tanah yang berlokasi dekat kepada mulut sungai memiliki persentase pasir yang tinggi yang biasanya meningkatkan kekuatan tanah dan aerasi. Tempat tersebut mendukung tumbuhnya R harrisonii dan P. rhizophorae. Lingkungan pasang surut sangat dinamis dan berubah-ubah tingkat perubahan lingkungan fisik dalam penempatan diperkirakan bahkan melebihi proses perubahan faktor endogen ekologi (perubahan secara siklikal, kesenjangan regenerasi/suksesi). Dalam vegetasi mangrove yang dinamis haruslah diperlihatkan cara pandang awal bahwa berdasarkan vegetasi terrestrial dimana lingkungan stabil dalam hubungan nya pada berbagai proses. Banyak pembelajaran pada pola vegetasi ekologis analisis pada level spesies (tumbuh-tumbuhan berdiri sendiri) untuk menunjukkan segregrasi dan peningkatan dalam dominansi berdasarkan pada asumsi bahwa spesies yang berbeda memerlukan relung yang berbeda pula (sensu Grubb,1977). Terdapat sedikit keraguan bahwa terjadi perubahan spesies. Dalam hal ini, hal tersebut dapat diamati dengan perubahan pada tipe hidup individu bersama seperti perubahan struktur komunitas. Silvikultur, beberapa perubahan penting adalah 1.
potensi biomassa atas-bawah ( kualitas tempat/ produktivitas)
2.
komposisi spesies pohon (spesifikasi tempat) dan
3.
Struktur komunitas (kualitas struktur). Walaupun tampaknya menjadi kisaran yang optimum untuk tempat bagi
spesies tambahan, kompetisi interspesies mungkin berkurang karena jumlah yang kecil, bentuk fisiognomi mereka mungkin berubah dari hutan yang tinggi menjadi belukar. Kemungkinan dari adanya pengaruh aluvial adalah faktor lain yang menyebabkan perubahan pada mikrohabitat dan banyak proses lainnya yang belum dimengerti benar sebagai contoh ’banjir besar’ dibeberapa area (Noakes, D.S.P. 1956 hal 187) dan peristiwa ”estructuras circulares de vegetation” in Gabon (Legigre, J.M. 1983). Di daerah Matang sepanjang pantai barat Peninsular Malaysia, hutan gundul karena pohon-pohon yang mati akibat pencahayaan umum ditemukan khususnya terhadap daerah yang mengarah ke laut. Di Malaysia, kondisi dimana Rhizophora spp membentuk pertumbuhan stok ekonomi yang
20
terbesar dianggap sebagai tahap optimum dari perkembangan rawa mangrove. Kondisi ini secara singkat: 1.
Penggenangan pasang surut harian
2.
Salinitas yang cukup
3.
Aerasi dan pengayaan tanah oleh akumulasi bahan organik Sejumlah besar saluran dan aliran untuk membantu penyebaran propagul
dan pembilasan pasang surut yang efisien. Potensi regenerasi secara alamiah biasanya baik. Mangrove dan permukaan lumpur di sekelilingnya atau lagun merupakan tempat perlindungan yang ideal untuk berbagai spesies krustasea. Juga biasanya terdapat populasi aktif kepiting, khususnya fidder crab, Uca sp dan berbagai spesies Sesarma. Liang-liang mereka yang tak terkira banyaknya membantu dalam mengaerasi dalam tanah. Beberapa bahan organik juga ditransfer ke dalam tanah, sebagai konsekuensinya tanah dapat memiliki lapisan yang lebih tinggi akan bahan organiknya. Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa hutan yang lebih baik biasanya tidak memiliki akar berdiri, dan ini dibenarkan dengan hasil observasi Watson bahwa perkembangan akar yang panjang lebih ditekankan di dalam tanah atau area banjiran yang dalam. Sebagai spesies yang relatif tidak bertoleransi pada tempat teduh normal ditemukan di tanah yang belum matang dan lebih halus di sepanjang tepi sungai yang cerah, dimana ia tumbuh secara bebas. Pada tanah yang kuat dan lebih tinggi, digantikan oleh spesies lain seperti Pelliciera rhizophorae, yang lebih toleran dan dapat di temukan di tanah berpasir. Pada sungai dan terusan dengan pencahayaan yang rendah dan lebih lembut, hutan mungkin merupakan paduan dari R. mangle dan R. harrisonii. Pada permukaan lumpur yang baru terbentuk, Laguncularia racemosa terkadang sebagai spesies perintis. Lahan pinggiran adalah sebuah zona yang sangat bervariasi dan tidak mengandung banyak spesies mangrove yang bernilai ekonomis. Spesies utama adalah Avicennia germinans, yang secara umum memiliki bentuk sederhana. L. racemosa dan P. rhizophorae juga terbentuk di daerah ini. Di Asia Tenggara, spesies pelopor biasanya adalah Avicennia alba atau Sonneratia alba.
21
1.7.Penelitian Terdahulu Tabel 1.2 Penelitian Terdahulu PenulPen ulis Tengku Afnilita, 2014
Judul
Tujuan
Metode Analisis
Hasil
Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Analisis Perubahan Tutupan Lahan Mangrove di Sungai Jangkang
Pemetaan ekosistem mangrove tahun 2009 dengan menggunakan citra ALOS dan tahun 2011 dengan menggunakan citra RapidEye. Menguji ketelitian peta ekosistem mangrove tahun 2009 dengan menggunakan cita ALOS dan tahun 2011 dengan menggunakan citra RapidEye. Mengetahui perubahan penutup lahan ekosistem mangrove Sungai Jangkang dari tahun 2009 – 2011. Mengetahui penyebab perubahan ekosistem mangrove Sungai Jangkang dari tahun 2009 - 2011
Klasifkasi tidak terbimbing ISODATA (Iterative SelfOrganizing Data Analysis Technic) dan dilanjutkan dengan klasifikasi terbimbing Maximum Likelihood.
Peta Klasifikasi Tutupan Lahan Mangrove di Sungai Jangkang Tahun
Rajif Iryadi 2011
Integrasi Penginderaan Jauh Multitemporal dan Sistem Informasi Geografis untuk
Mengetahui kemampuan citra multitemporal (Landsat MSS, ASTER VNIR, dan ALOS AVNIR-2) untuk klasifikasi
Klasifikasi multispektral citra Landsat tahun 1972, ASTER tahun 2006, dan ALOS tahun 2008 untuk identifikasi penutup/
Peta Zonasi Arahan Konservasi Mangrove Pesisir Sidoarjo
22
Januar Panca Saputra 2015
Penyusunan Zonasi Arahan Konservasi Mangrove Pesisir Sidoarjo
penutup/ penggunaan lahan. Pemetaan sebaran mangrove untuk mengkaji tutupan lahan mangrove menggunakan citra Landsat MSS tahun 1972, ASTER tahun 2006 dan ALOS tahun 2008. Menentukan lahan potensial untuk mangrove berdasarkan variabel-variabel penentu tumbuhnya mangrove. Pemanfaatan citra Landsat, ASTER dan ALOS serta aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk penyusunan zonasi arahan konservasi mangrove.
penggunaan lahan dengan metode hibryd classification penggabungan metode klasifikasi terkontrol (menggunakan sampel training area) dan tak terkontrol (pendekatan pengelompokan nilai spektral) Pembuatan peta tentatif bentuklahan, lereng, tekstur, fluktuasi pasang surut, salinitas tanah/ perairan, durasi genangan, penutup/pengguna an lahan serta kerapatan vegetasi. Kalibrasi citra ASTER dan ALOS untuk analisis dan transformasi NDVI.
Citra Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Perubahan Tutupan Mangrove di Muara Sungai Porong
Mengetahui tingkat keakuratan data penginderaan jauh untuk identifikasi tutupan mangrove. Identifikasi perubahan tutupan mangrove.
Klasifikasi multispektral supervised dengan menggunakan algoritma klasifikasi maximum likelihood
23
Peta Persebaran Tutup Mangrove di Muara Sungai Porong
1.8.Kerangka Pemikiran Mangrove didefinisikan sebagai tumbuhan berkayu dan semak-semak yang habitat hidupnya didaerah pasang surut walaupun tidak semuanya. Istilah Mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies dengan klasifikasi taksonomi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam. Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan terkena fluktuasi pasang surut dan tanaman tersebut juga mempunyai cara reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya (Irwanto, 2006). Masalah yang dihadapi adalah wilayah pesisir sangat dikenal sebagai wilayah yang sarat dengan konflik kepentingan, sehingga ketiga ekosistem di atas menghadapi berbagai ancaman dan masalah pengrusakan yang diakibatkan oleh aktifitas manusia, seperti pekerjaan reklamasi pantai, pemboman dan peracunan terumbu karang, pencemaran limbah rumah tangga, penebangan dan konversi mangrove menjadi lahan pertanian, tambak, kolam ikan, daerah industri, dan sebagainya sehingga menghilangkan sebagian mangrove terutama di negara tropis berkembang seperti Indonesia (Dixon, 1989, Bell dan Garbic, 1990). Guna mencegah atau meminimalkan kerusakan yang terjadi, maka perlu dilakukan usaha pemantauan dan evaluasi terhadap ekosistem di wilayah pesisir. Hasil analisa yang diperoleh dari kegiatan pemantauan dan evaluasi dapat dibuat rekomendasi-rekomendasi yang berguna bagi pengambil keputusan dalam mengelola wilayah pesisir secara berkelanjutan. Pada tahun 2006 terjadi kebocoran gas yang menghasilkan lumpur yang mempunyai volume sangat banyak, sehingga dapat menenggelamkan daerah yang ada di sekitar kejadian tersebut. Maka lumpur tersebut kemudian dibuang ke laut dengan melalui aliran Sungai Brantas. Hal ini berdampak terjadinya sedimentasi yang cukup besar di Muara Sungai Brantas. Adanya penampung lumpur di Muara Sungai Brantas dapat mengurangi efek gelombang dari Selat Madura. Dan sedimentasi yang dibawa oleh aliran Sungai Brantas membawa cukup bahan organik sehingga mangrove dapat tumbuh di Muara Sungai Brantas.
24
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra LANDSAT. Menggunakan Citra LANDSAT karena pada citra ini memiliki resolusi spectral yang cukup baik untuk memetakan kerapatan mangrove. Satelit LANDSAT memiliki 7 kanal saluran dengan masing-masing kanal memiliki kharakteristik tertentu. Pada penelitian ini kanal yang memiliki peran penting adalah kanal 4 dengan
panjang
gelombang
0,76-0.90
yang memiliki
kelebihan
untuk
membedakan jenis tumbuhan, aktifitas dan kandungan biomassa. Untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah.
25
Dinamika DAS dan
Citra Penginderaan
Pesisir
Jauh
Sedimentasi di Muara
Citra Multitemporal
Sungai tahun 2003-
Pada Lokasi yang
2013
Sama
Perubahan Tutupan
Pemrosesan Citra
Lahan Mangrove
Digital Klasifikasi Citra Digital
Monitoring Perubahan Tutupan Mangrove tahun 2003-2013 Akurasi Klasifikasi Citra Landsat untuk Perubahan Mangrove di Muara Sungai
Gambar 1.8 Kerangka Pemikiran
26
1.9. Batasan Istilah Penginderaan Jauh : Ilmu memperoleh informasi tentang objek,daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpakontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand danKiefer, 2004). Klasifikasi Multispektral : Suatu metode yang dirancang untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan kriteria tertentu. (Danoedoro, 2012) Mangrove : Tumbuhan berkayu dan semak-semak yang habitat hidupnya didaerah pasang surut walapun tidak semuanya. Mangrove memiliki habitat yang spesifik berbeda dengan tumbuhan lain yang hidup di hutan hujan. Vegetasi yang ada di dalam ekosistem mangrove memiliki kemampuan hidup di daerah lumpur, salinitasnya tinggi dan rawa. Mangrove sendiri terdiri atas 54 spesies dalam 20 genus dan 16 famili. Beberapa dari mangrove banyak ditemukan tanaman epifit seperti : anggrek, pakis, tumbuhan yang menjalar dan lain sebagainya (Hogarth, 1999).
27