1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Peradaban dunia dimulai dengan pendidikan. Pendidikan menarik minat manusia untuk mendatangi suatu pusat ilmu pengetahuan dan menjadi suatu peluang pembangunan tersendiri bagi wilayah tersebut. Hal itulah yang terjadi dengan Provinsi DI Yogyakarta. DI Yogyakarta merupakan suatu provinsi yang dikenal sebagai Kota Pelajar. Zaman kemerdekaan Republik Indonesia menjadi saksi di mana DI Yogyakarta telah banyak memberikan peranan dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kemajuan pendidikan turut memicu kemajuan pembangunan suatu wilayah dikarenakan kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan akan sejalan dengan kebutuhan terhadap fasilitas – fasilitas yang mendukung q. Wilayah di DI Yogyakarta yang menunjukkan pembangunan seiring kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah Kabupaten Sleman. Kabupaten Sleman merupakan salah satu pusat akademis di DI Yogyakarta Tiga perguruan tinggi negeri dan beberapa perguruan tinggi swasta terdapat di kabupaten Sleman, sehingga wilayah ini menjadi salah satu pusat aktivitas penduduk di DI Yogyakarta. Peningkatan jumlah pendatang dengan tujuan ilmu pengetahuan dan pendidikan terjadi tiap tahunnya, baik dari dalam Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Tuntutan fasilitas hidup tentunya turut berkembang di wilayah ini seiring dengan meningkatnya aktivitas penduduk terkait ilmu pengetahuan dan pendidikan di Kabupaten Sleman. Fasilitas ini terus membutuhkan ketersediaan lahan dalam pembangunannya. Banyak lahan di wilayah ini yang semula berupa lahan terbuka hijau bermetamorfosa menjadi area pertokoan dan permukiman. Terlihat di mana perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Sleman cenderung mengikuti lokasi pusat pendidikan. Terdapat
perbedaan
penggunaan
lahan
di
wilayah
Sleman
yang
2
terkonsentrasi di wilayah Sleman bagian utara dan tengah, dimana wilayah tersebut merupakan lokasi beberapa perguruan tinggi besar di DI Yogyakarta Kemajuan pendidikan di Kabupaten Sleman telah memberi dampak positif terhadap pembangunan sehingga tentu memberi pengaruh besar terhadap perekonomian di wilayah ini. Akan tetapi sangat perlu diperhatikan dimana perubahan penggunaan lahan yang terjadi di suatu wilayah tentunya memiliki dampak secara tidak langsung terhadap lingkungan. Salah satu dampak dari pembangunan adalah perubahan suhu udara . Peningkatan suhu cukup terasa di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun. Perubahan penggunaan lahan yang mengurangi ruang terbuka hijau diperkirakan menjadi salah satu pemicu utama dari peningkatan suhu kota yang cukup drastis ini. Ruang terbuka hijau sendiri dibutuhkan sebagai suatu sistem pendingin alami di alam terkait siklus hidup vegetasi yang berperan dalam menjaga keseimbangan kelembaban dan suhu lingkungan. Kondisi pembangunan di Kabupaten Sleman yang cenderung mengikuti keberadaan pusat pendidikan di wilayah ini tentu menyebabkan perbedaan suhu yang cukup bervariasi antara wilayah Kabupaten Sleman. Hal ini menarik dikaji terkait perpersebaran suhu di Kabupaten Sleman, di mana diduga wilayah ini memiliki suhu permukaan tinggi di lokasi dengan aksesibilitas baik terhadap pusat pendidikan, serta memiliki suhu permukaan rendah di lokasi yang cukup jauh/ sulit menjangkau pusat pendidikan. Studi terkait hubungan antara penggunaan lahan terhadap suhu permukaan bumi dapat dilakukan dengan Penginderaan Jauh. Citra satelit penginderaan jauh memfasilitasi kebutuhan kajian terkait suhu bumi dengan teknologi saluran inframerah termal yang mampu merekam nilai spektral untuk mengidentifikasi suhu. Citra yang memfasilitasi kebutuhan tersebut di antaranya adalah citra satelit ASTER, LANDSAT, dan MODIS. Penelitian yang berjudul “Pemetaan Persebaran Suhu Permukaan Terkait Penggunaan Lahan Menggunakan Citra Satelit ASTER di Kabupaten Sleman Tahun 2007” ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan lahan terhadap persebaran suhu permukaan lahan.
3
1.2. Rumusan Masalah Peningkatan suhu Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun yang dapat dirasakan saat ini faktor yang mendorong penelitian ini untuk dikaji. Suhu permukaan lahan yang turut mempengaruhi suhu udara menjadi objek penelitan kali ini. Adanya pengaruh penggunaan lahan dalam persebaran suhu permukaan lahan menjadi perkiraan awal penelitian. Pemanfaatan Penginderaan Jauh dilakukan untuk mengetahui pengolahan citra satelit dengan saluran inframerah thermal (TIR) dalam memetakan persebaran suhu permukaan terhadap penggunaan lahan di Kabupaten Sleman tahun 2007. Pengaruh penggunaan lahan terhadap suhu permukaan lahan di Kabupaten Sleman diharapkan dapat terjawab dari penelitian yang berjudul “Pemetaan Persebaran Suhu Permukaan Terkait Penggunaan Lahan Menggunakan Citra Satelit ASTER di Kabupaten Sleman Tahun 2007” ini. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana peran Penginderaan Jauh dalam pemetaan persebaran suhu Kabupaten Sleman dengan menggunakan citra ASTER? 2. Bagaimana persebaran suhu permukaan lahan terhadap kondisi penggunaan lahan di Kabupaten Sleman?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan 1. Mengetahui peran penginderaan jauh dalam pemetaan suhu permukaan lahan 2. Mengetahui pengaruh kondisi penggunaan lahan terhadap suhu permukaan lahan di Kabupaten Sleman tahun 2007 1.3.2. Manfaat 1. Mengetahui kondisi suhu permukaan lahan di Kabupaten Sleman tahun 2007. 2. Sebagai referensi untuk pengembangan penelitian sejenis.
4
1.4. Tinjauan Pustaka 1.4.1. Penginderaan Jauh Digital Kegiatan survei – pemetaan dan pemodelan untuk pengelolaan sumberdaya, dan wilayah, dewasa ini sudah tidak dapat dilepaskan dari dua macam teknologi, yaitu penginderaan jauh dan sistem informasi geografis. Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni dalam memperoleh informasi mengenai suatu obyek, area, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa suatu kontak langsung (Lillesand et al, 2008). Sistem Informasi Geografis (selanjutnya disingkat SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan, mengelola, menganalisis, dan mengaktifkan atau memanggil kembali data yang mempunyai informasi keuangan, untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan pemetaan dan perencanaan. Kedua macam teknologi tersebut sangat bermanfaat dalam pengelolaan informasi keuangan mengenai kondisi permukaan (dan dekat permukaan) bumi. Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya, teknologi tersebut cenderung diintegrasikan demi peningkatan efisiensi Perolehan serta akurasi hasil pemetaannya, sebagai masukan dalam proses perencanaan dan pengelolaan wilayah. Gagasan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu ilmu, bukan sekedar teknologi, telah lama diperdebatkan. Sutanto (1986) mengutip pemikiran Dahlberg dan Jensen (1986) yang menyatakan bahwa penginderaan jauh dan kartografi merupakan teknik dalam disiplin geografi. Dalam perkembangannya, kedua teknik ini tumbuh menjadi disiplin baru yang dicirikan oleh tanda – tanda yang cukup jelas, meliputi metodologi, teknik, dan orientasi intelektual yang perkembangannya mengikuti kurva perkembangan ilmu. Penginderaan jauh digital bukanlah sekedar kumpulan teknik pengolahan citra digital. Lebih dari itu, penginderaan jauh digital dipandang sebagai suatu kerangka kerja dalam memahami masalah di dunia nyata yang bersifat multidimensional (spasial, ekologis,
5
dan kewilayahan), serta menawarkan alternatif solusi melalui perspektif analisis citra(Danoedoro, 2002).
Perkembangan dari Manual ke Digital Penginderaan jauh pada awalnya dikembangkan dari teknik interpretasi foto udara. Pada 1919 upaya pemotretan melalui pesawat terbang dan interpretasi foto udara (Howard, 1990) telah dimulai. Dalam tiga puluh tahun terakhir, penggunaan teknologi satelit dan teknologi komputer untuk menghasilkan informasi keuangan (atau peta) suatu wilayah semakin dirasakan manfaatnya. Ketika berbagai Negara berkembang masih memiliki akses terbatas ke sistem komputer untuk pengolahan citra digital, pemanfaatan produk penginderaan jauh satelit masih berupa citra tercetak (hard copy) yang diinterpretasi secara visual atau manual. Teknik interpretasi semacam ini telah berkembang pesat dalam penginderaan jauh sistem fotografik dan hingga saat ini merupakan teknik yang dipandang mapan. Prinsip – prinsip interpretasi fotografis dapat diterapkan pada citra satelit yang telah dicetak dan memberikan banyak informasi mengenai fenomena spasial di permukaan bumi pada skala regional. Citra – citra satelit yang telah tercetak ini memberikan keuntungan terutama dalam hal (a) kemudahan analisis regional secara cepat (karena dimungkinkannya synoptic overview pada satu lembar citra berukuran 60 km x 60 km sampai dengan 180 km x 185 km), dan (b) kemudahan pemindahan hasil interpretasi (plotting) ke peta dasar karena tidak memerlukan banyak lembar dengan skala yang berbeda – beda dan secara umum mempunyai distorsi geometri yang relatif lebih rendah dibandingkan foto udara. Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer yang semakin pesat dewasa ini – di mana banyak perusahaan telah melakukan downsizing (beralih dari komputer mainframe ke komputer mini, dan dari komputer mini ke komputer mikro/ PC/ laptop) – maka akses berbagai kelompok praktisi dan akademisi ke otomatisasi pengolahan citra digital pun
6
semakin besar. Semakin banyak paket perangkat lunak pengolah citra digital dan SIG yang dioperasikan dengan PC/ komputer jinjing. Hampir bersamaan dengan perkembangan teknik analisis data keuangan melalui teknologi SIG, kebutuhan akan citra digital yang diperoleh melalui perekaman sensor satelit sumberdaya pun semakin meningkat. Perolehan data penginderaan jauh melalui satelit menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan melalui pemotretan udara, antara lain dari segi harga, periode ulang perekaman daerah yang sama, pemilihan spektrum panjang gelombang untuk mengatasi hambatan atmosfer, serta kombinasi saluran spektral (spektral band, atau sering disingat dengan band) yang dapat diatur sesuai dengan tujuan.
Sistem Penginderaan Jauh Sistem penginderaan jauh menyajikan kenampakan permukaan bumi dari pantulan energi yang dipancarkan suatu objek di permukaan bumi berdasarkan gelombang elektromagnetik tertentu. Penginderaan jauh semakin berkembang dengan dihasilkannya citra – citra multispektral/ hiperspektral yang memanfaatkan saluran dengan jangkauan spektrum elektromagnetik yang semakin luas sehingga memiliki kepekaan yang semakin beragam terhadap objek di permukaan bumi.
Gambar 1.1. Sistem Penginderaan Jauh
7
Sistem penginderaan jauh memanfaatkan energi yang dipantulkan/ dipancarkan oleh objek baik dengan bantuan energi matahari maupun energi yang dikirimkan oleh sensor satelit. Energi ini terkait dengan emisivitas objek yang diradiasikan oleh suatu permukaan pada suhu tertentu. Gambar 1.4. menunjukkan emisivitas energi yang diradiasikan benda hitam pada berbagai suhu.
Gambar 1.2. Emisivitas energi benda hitam pada berbagai suhu (Sumber: Michaelsen, 2010)
Gambar
1.2.
menampilkan
pembagian
spektrum
gelombang
elektromagnetik. Spektrum elektromagnetik secara umum terbagi atas radiasi UV (ultraviolet), radiasi cahaya tampak (visibel), dan radiasi inframerah.
Gambar 1.3. Spektrum Elektromagnetik
8
Penjelasan tiap spektrum adalah sebagai berikut: a. UV (ultraviolet) Merupakan radiasi yang memiliki panjang gelombang terpendek. Beberapa material bumi seperti batuan dan mineral mampu teriluminasi oleh radiasi UV.
Gambar 1.4. Jangkauan Spektrum UV
b. Cahaya Tampak Radiasi ini adalah radiasi yang dikenali oleh mata manusia. Radiasi ini terdiri atas spektrum violet, biru, hijau, kuning, jingga, dan merah. Gelombang cahaya tampak dapat difungsikan dengan baik untuk vegetasi dan identifikasi objek berbeda dari warna yang terlihat.
9
Gambar 1.5. Jangkauan Spektrum Cahaya Tampak
c. Radiasi Inframerah (IR) Jangkauan gelombang inframerah sangat luas yaitu sekitar 0,7 mm – 10 mm. Berdasarkan karakteristik radiasinya, gelombang inframerah dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu inframerah sebagai reflected, dan inframerah sebagai emitted atau inframerah termal. Fungsi emitted ini dapat dicontohkan sebagaimana kayu bakar tidak menampakkan cahaya, tapi memancarkan radiasi inframerah yang dirasakan menjadi suhu. Gelombang inframerah biasa digunakan untuk memantau kesehatan vegetasi hingga kebakaran hutan.
10
Gambar 1.7. Jangkauan Spektrum Inframerah
d. Radiasi Gelombang Mikro Gelombang dengan jangkauan spektrum terluas adalah gelombang mikro. Karakteristik gelombang mikro terpendek hampir sama dengan gelombang inframerah termal, di mana gelombang yang lebih panjang dimanfaatkan sebagai saluran radio.
Pengolahan Citra Penginderaan Jauh Jensen (2007), menyatakan bahwa posisi penginderaan jauh di geografi adalah serupa dengan posisi matematika di ilmu – ilmu alam. Artinya, penginderaan jauh berdiri sendiri sebagai suatu disiplin dan sekaligus melayani sebagai alat analisis dalam geografi. Gagasan bahwa
11
perkembangan penginderaan jauh mengikuti ciri – ciri suatu tubuh pengetahuan yang berupa ilmu (sains) dapat diperbandingkan dengan pendapat Zen (1979), yang menyatakan bahwa suatu pengetahuan disebut sains kalau pengetahuan tersebut mampu memformulasikan gejala keteraturan di alam, menyusunnya dalam bentuk teori, dan mempunyai mekanisme untuk menguji diri sendiri (self testing). Hal tersebut sejalan dengan kenyataan sistem penginderaan jauh yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana pantulan energi dari permukaan bumi menjadikan dasar kenampakan yang diperoleh pada citra penginderaan jauh. Logika yang menyertai konsep sistem penginderaan jauh ini menjadi dasar pengembangan algoritma untuk pengolahan citra secara digital. Penginderaan jauh diaplikasikan secara matematis dan memberikan informasi yang lebih variatif, cepat diperoleh, dan akurat baik dalam keperluan koreksi citra maupun untuk aplikasi lebih lanjut. Pengolahan matematis ini dikembangkan menjadi beberapa pengolahan citra digital seperti klasifikasi citra dan ekstraksi suhu permukaan bumi.
a. Klasifikasi Multispektral Klasifikasi multispektral adalah salah satu bagian dari pengolahan citra penginderaan jauh yang paling sering dibahas, digunakan, dan dalam praktisi dipandang mapan. Lebih dari itu, hasil utama klasifikasi multispektral adalah peta tematik (yang pada umumnya merupakan peta penutup atau penggunaan lahan), yang kemudian biasanya dijadikan masukan dalam pemodelan spasial dalam lingkungan sistem informasi geografis (SIG). Secara ringkas, algoritma klasifikasi sederhana memuat langkah – langkah sebagai berikut: (i) menentukan nilai spektral representatif tiap obyek dengan cara sampling. Nilai rerata tiap sampel akan dijadikan pegangan untuk pengenalan obyek.
12
(ii) menempatkan nilai representatif obyek (sampel) pada diagram multidimensional. (iii) menentukan batas toleransi berupa jarak spektral dari nilai representatif. Artinya, vektor piksel yang terhiting pada posisi di luar jarak ini akan dikelaskan sebagai bukan obyek yang dimaksud. (iv) Pengambilan keputusan berupa penghitungan seluruh nilai piksel dan memasukkan ke kelas yang tersedia, selama mereka lebih pendek atau sama dengan jarak toleransi masing – masing obyek, dan mengkelaskan sebagai ‘tak terklasifikasi’ selama mereka tidak masuk kelas mana pun. Piksel yang bersangkutan akan ditandai sebagai kelas A, bila jarak spektral piksel tersebut adalah yang terdekat dibandingkan jarak spektral ke kelas lain.
Proses klasifikasi multispektral dengan bantuan komputer masih dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan tingkat otomasinya. Keduanya ialah klasifikasi terselia (supervised clasification) dan klasifikasi tak – terselia (unsupervised classification). Klasifikasi tersedia meliputi sekumpulan algoritma yang didasari pemasukan contoh obyek (berupa nilai spektral) oleh operator. Contoh ini disebut sampel, dan lokasi geografis kelompok piksel sampel ini disebut sebagai daerah contoh (training area). Tiga hal penting yang harus dipertimbangkan dalam klasifikasi terselia ialah sistem klasifikasi, kriteria sampel dan algoritma, yaitu sebagai berikut:
Sistem atau Skema Klasifikasi Klasifikasi
multispektral
secara
langsung
hanya
dapat
diterapkan untuk pemetaan penutp lahan (landcover), dan bukan penggunaan lahan. Aspek penggunaan lahan secara deduktif dapat diturunkan dari informasi penutup lahannya, atau – dengan cara lain – melalui pemasukan informasi bantu atau
13
ancillary data (rotasi tanaman, citra multitemporal, faktor bentuklahan, dan sebagainya). Oleh karena itu, skema klasifikasi yang disiapkan harus berisi kelas – kelas penutup lahan (misalnya padi, jagung, hutan campuran, semak, padang rumput, lahan terbuka, dan sebagainya); bukan penggunaan lahan (sawah, tegalan, hutan lindung) karena aspek fungsi ini tidak dapat dipresentasikan secara langsung melalui nilai piksel, kecuali untuk kasus – kasus khusus.
Kriteria Sample Sama dengan metode penelitian ataupun survei yang lain, sampel
haruslah
homogen.
Homogentas
sampel
dalam
klasifikasi digital ditunjukkan oleh homogenitas nilai piksel pas tiap kelompok piksel yang dipilih. Artinya, nilai simpangan baku kelompok piksel tiap sampel haruslah rendah untuk tiap saluran. Cara termudah untuk mengambil sampel yang memenuhi kriteria ini adalah dengan mengambil piksel murni yaitu piksel yang di bagian tengah kenampakan objek. Di samping itu kriteria statistik pun diperlukan untuk menilai sampel. Sampel yang baik umumnya memiliki homogenitas nilai piksel yang tinggi, yang ditunjukkan oleh kecilnya simpangan baku, bentuk histogramnya, dan tentu saja juga bentuk gugusnya yang mengelpmpok pada feature space. Jumlah piksel minimum menurut Campbel adalah 100 piksel untuk setiap kategori. Di samping itu Joyce (1978, dalam Campbel, 2002) mensyaratkan bahwa setiap daerah contoh yang berbeda setidak – tidaknya harus memuat luasan area 10 hektar dan sebaliknya mencapai 16 hektar untuk citra Landsat MSS. Apabila persyaratan ini diterjemahkan dalam ukuran piksel maka nilai itu setara dengan 10 – 40 piksel per daerah contoh. Selanjutnya, Campbell mensyaratkan lokasi daerah contoh yang sebaiknya menyebar secara merata pada seluruh liputan citra,
14
dengan harapan variablitias spektral obyek di seluruh citra dapat mewakili dengan baik.
Gambar 2.11. Diagram alir proses klasifikasi secara terselia (modifikasi dari Gao, 2010)
15
Algoritma Klasifikasi Dalam menjalankan proses klasifikasi terselia, dibutuhkan suatu algoritma tertentu untuk menghasilkan klasifikasi citra sesuai yang diinginkan. Algoritma ini telah banyak dikembangkan, dan setiap algoritma memiliki karakteristik masing – masing.
Algoritma Kemungkinan Maksimum (Maximum Likelihood Algorithm) Algortima kemungkinan maksimum merupakan algoritma yang secara statistik paling mapan. Algoritma ini menggunakan dasar perhitungan probabilitas. Asumsi dari algoritma ini ialah bahwa obyek homogen selalu menampilkan histogram yang terdistribusi normal (Bayesian). Pada algoritma ini piksel dikelaskan sebagai obyek tertentu bukan karena jarak euklidiannya, melainkan oleh bentuk, ukuran, dan orientasi sampel pada feature space (yang berupa elipsoida) (Shresta, 1991). Jensen
(2005)
menjelaskan
bahwa
algoritma
kemungkinan
maksimum bekerja dengan cara berikut. Pertama, program secara ringkas menandai setiap piksel yang mempunyai hasil pengukuran pola atau kenampakan X ke dalam kelas i yang satuannya paling mungkin dikelompokkan sebagai vektor X. Dengan kata lain, probabilitas suatu piksel untuk menjadi milik sejumlah kelas yang sudah didefinisikan dalam proses pengampilan sampel dihitung, kemudian piksel ini ditandai sebagai salah satu kelas yang nilai probabilitas piksel tersebut untuk menjadi anggotanya merupakan nilai
yang
tertinggi.
Algoritma
kemungkinan
maksimum
mengasumsikan bahwa statistik setiap sampel bersifat Gaussian (terdistribusi normal). Dengan kata lain, sampel yang membentuk histogram bimodal atau multimodal dalam suatu saluran tunggal tidaklah ideal. Untuk memutuskan klasifikasi, dibutuhkan informasi statistik berupa rerata dan simpangan baku tiap sampel, serta variansi (ragam) dan
16
kovariansi. Rerata dan simpangan baku tiap sampel secara otomatis tersimpan pada waktu melakukan pengambilan sampel. Nilai vektor rerata menentukan posisi elipsoida sampel pada feature space multisaluran. Ukuran elipsoida ditentukan oleh nilai variansi pada tiap saluran, sedangkan bentuk dan orientasi elipsoida tersebut ditentukan oleh kovariansinya (Shresha, 1991). Cara memperoleh informasi probabilitas yang diperlukan dari sampel yang sudah dikumpulkan ialah dengan menggunakan fungsi kerapatan probabilitas (probability density function). Sebagai contoh, jika ada satu sampel hutan yang diambil dari suatu saluran tunggal maka sampel tersebut dapat dihitung histogramnya dan kemudian berdasarkan
histogram
ini
dapat
dihitung
pula
perkiraan
distribusinya melalui suatu fungsi kerapatan probabilitas normal.
b. LST (Land Surface Temperature) Salah satu sensor yang dikembangkan dalam sistem penginderaan jauh adalah sensor inframerah thermal. Kepekaan inframerah thermal terhadap suhu permukaan memungkinkan ekstraksi suhu dari suatu citra penginderaan jauh. Ekstraksi ini secara garis besar melewati dua tahapan, yaitu perhitungan pantulan spektral dan perhitungan suhu. Pada setiap suhunya, sebuah benda akan memancarkan panjang gelombang elektromagnetik yang berbeda, yang dinyatakan dengan Hukum Pergeseran Wien. Penentuan suhu sebuah massa dapat diketahui dari pengukuran pancaran gelombang elektromagnetiknya. Untuk mengenali suhu obyek diperlukan langkah konversi suhu Konversi ini bertujuan untuk menghilangkan pengaruh atmosfer terhadap suhu absolut, mengingat obyek sebenarnya ada di permukaan tanah sedangkan sensor berada di luar angkasa. Persamaan yang digunakan untuk mengkonversi digital number (DN) ke top of atmosphere (TOA) radiance adalah sebagai berikut:
17
. . . . . . . . . . . . (1.1) dengan L_ adalah TOA radiance pada sensor (W/m2 sr μm), Lmax adalah TOA radiance terskala terhadap Qcalmax, Lmin adalah TOA radiance terskala terhadap Qcalmin, Qcalmax/Qcalmin adalah nilai pixel maximum / minimum. Konversi top of atmosphere (TOA) radiance ke radiance yang meninggalkan permukaan menggunakan persamaan berikut [4]:
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (1.2) dengan LT : radiance dari kinetik blackbody obyek pada suhu T, Lμ : upwelling (radiance di atmosfer) (W/m2 sr μm), Ld : downwelling (radiance di angkasa) (W/m2 sr μm),τ : transmisivitas atmosfer dan ǫ : emisivitas obyek. Tahapan perhitungan pantulan spektral menjadi suhu permukaan yaitu: (i) Perhitungan ini menggunakan persamaan dengan melihat ukuran panjang gelombang di suatu panjang gelombang j; di mana j adalah nomor dari saluran ASTER; dan DNj sebagai digital number dari setiap band j; UCCj adalah koefisien unit konversi (W m-2 sr-1 μm-1) dari ASTER user’s handbook. Lradj = (DNj – 1) x UCCj . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (1.3) Re – kalibrasi ditujukan untuk koreksi permasalahan temporal terhadap respon detector antara perubahan konsekutif dalam koefisien kalibrasi radiometrik (RCC) telah diaplikasikan untuk versi RCC 3.x atau lebih tinggi. Produk ASTER TIR (produksi sebelum 8 Februari 2006) dengan versi RCC 1.x dan 2.x (2,17; 2,18; dan 2,20) membutuhkan re – kalibrasi untuk masalah ini menggunakan fungsi linear berikut:
Lradj (e)= Aj x Lradj + Bj. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (1.4)
18
dimana Lradj menunjukkan nilai re-kalibrasi radiansi spekral, A dan B sebagai koefisien rekalibrasi untuk satu band j, dari http://www.science.aster.ersdac.or.ip/RECAL. (ii) Tahap ini adalah merubah nilai radiansi spektral menjadi nillai Pantulan TOA (Top Of Atmosphere)/ reflektans di sensor. Perhitungan dilakukan dengan standard formula Landsat yaitu: . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(1.5) Dimana: pToA = nilai pantulan atmosphere Lrad = Radiansi spektral di sensor D = jarak Matahari – Bumi menggunakan nilai di Tabel 3 (Achard dan D’souza 1994; Eva dan Lambin, 1998) Esun = Rerata iradian matahari di Tabel 4 λ = panjang gelombang di band j ϴs = Derajat sudut matahari, ditemukan di header Aster (iii) Merupakan tahapan lanjutan yaitu merubah nilai radian menjadi suhu kecerahan dalam suhu Kelvin. Persamaan diperoleh dengan algoritma yang merupakan hasil penurunan persamaan konstanta Planck, yaitu:
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(1.6) dimana C1=1.19104356×10-16 W m2; C2=1.43876869×10-2 m K. Tanpa efek atmosfer, suhu dari permukaan lahan dapat diturunkan dari persamaan:
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(1.7) Penyederhanaan rumus tersebut dapat dilakukan menjadi:
19
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .(1.8)
Citra Satelit ASTER Salah satu sensor yang sekarang banyak digunakan dalam sistem penginderaan jauh adalah adalah ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer). ASTER merupakan sensor generasi terbaru yang dipasang pada satelit TERRA dan dikembangkan oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri – Jepang bekerjasama dengan Amerika Serikat. Tujuan ASTER adalah untuk melakukan observasi permukaan bumi dalam rangka Monitoring lingkungan
hidup
dan
sumber
daya
alam
pada
level
global
(http://www.aster-indonesia.com).
Tabel 1.1. Karakteristik sensor dan saluran pada citra ASTER.
Sumber: ASTER L1B Handbook
20
Citra ASTER telah digunakan secara luas untuk berbagai keperluan, antara lain Monitoring suhu permukaan laut/ bumi dan identifikasi mineral dan batuan dengan memanfaatkan sub-sistem TIR, klasifikasi jenis tanah dengan memanfaatkan sub-sistem SWIR, monitoring aktivitas gunung berapi dengan kombinasi sub-sistem VNIR dan SWIR, serta berbagai aplikasi lain. ASTER terdiri atas tiga sub-sistem yang berbeda, yaitu Visible and NearInfrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer (SWIR), dan Thermal Infrared Radiometer (TIR). Karakteristik subsistem ASTER ditampilkan pada Tabel 1.1.
1.4.2. Penutup/ Penggunaan Lahan dalam Penginderaan Jauh Beberapa tahun terakhir, penelitian tentang lahan di Indonesia semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknlogi Penginderaan Jauh. Sebagai contoh: Pemetaan Penggunaan Lahan di Sumatera Selaatan – Bakosurtanal 1975, Penelitian Dasar Sungai Serayu – UGM 1976, Penelitian Delta Sungai Upang – IPB 1976, dan lainnya. Walaupun foto udara telah digunakan dalam beberapa dekade, terdapat trend yang cukup meningkat dalam intensifikasi dan penggunaan teknologi baru yaitu penginderaan jauh multispektral, radar, dan citra satelit lainnya. Lahan menurut Mabbut, 1968 adalah gabungan dari unsur – unsur permukaan dan dekat permukaan bumi yang penting bagi kehidupan manusia. Pengertian lahan meliputi seluruh kondisi lingkungan dimana tanah merupakan salah satu bagiannya. Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa lahan sangat berkaitan dengan penggunaan pada suatu lahan tersebut. Penggunaan lahan sendiri memiliki karakteristik optikal (image). Karakteristik inilah yang berkaitan dengan penutup lahan. Tiga natural elemen yang mendasari penutup lahan sebagai karakteristik optikal suatu lahan adalah air, tanah, dan vegetasi, atau pada adanya singkapan batuan pada selain daerah tropis. Dalam penginderaan jauh, proporsi dari ketiga
21
elemen itu menjadi penciri suatu citra. Berbagai metode untuk identifikasi
penutup
lahan
bergantung
pada
pemahaman
pada
karakterisitik spasial dan spectral dari setiap elemen pembangun citra.
Klasifikasi Penutup Lahan Menurut Malingreau, 1978 Malingreau, 1978, menekankan bahwa klasifikasi lahan mengacu pada suatu kerangka kerja klasifikasi dengan cara membagi lahan ke dalam tingkatan – tingkatan tertentu menjadi kelompok – kelompok sebagai berikut: a.
Penutup/ penggunaan lahan Order (tipe penutup lahan)
b.
Penutup/ penggunaan lahan Classes
c.
Penutup/ penggunaan lahan Sub-Classes
d.
Penutup/ penggunaan lahan Management Units (tipe pemanfaatan lahan) Klasifikasi tersebut oleh Malingreau dimodifikasi menjadi 6 kategori berikut:
a.
Penutup/ penggunaan lahan Order seperti area bervegetasi
b.
Penutup/ penggunaan lahan Sub-Order seperti area pertanian
c.
Penutup/ penggunaan lahan Family seperti area pertanian permanen
d.
Penutup/ penggunaan lahan Class seperti sawah tadah hujan
e.
Penutup/ penggunaan lahan Sub-Class seperti sawah irigasi
f.
Penutup/ penggunaan lahan Management Unit seperti penanaman padi berkelanjutan
Pengkategorian pada tingkat yang lebih tinggi dimaksudkan untuk tipe penutupan lahan dan yang lebih rendah untuk tipe penggunaan lahan.
1.4.3. Suhu Penggunaan Lahan Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan pada penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Satuan-satuan penutup lahan
22
kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami. Penggunaan lahan memiliki suhu tersendiri yang didukung oleh objek yang mendominasi lahan tersebut. Objek yang secara umum berperan dalam suhu suatu lahan adalah tubuh air, tanah, vegetasi, dan atap/ material bangunan. Penggunaan lahan, atau dalam hal ini berkaitan erat dengan tutupan lahan, memiliki daya yang berbeda terkait karakteristik fisika suatu objek yaitu emisivitas, kapasitas panas jenis, dan konduktivitas termal. Jika suatu objek memiliki kapasitas panas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas termalnya rendah maka suhu permukaan objek tersebut akan menurun, contohnya pada permukaan berupa perairan. Sedangkan jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang rendah sedangkan konduktivitas termalnya tinggi maka suhu permukaan objek tersebut akan meningkat, contohnya pada permukaan berupa daratan (Sutanto, 1994). Beberapa penelitian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan menunjukkan bahwa bagian tengah kota menunjukkan suhu yang lebih tinggi 3-4° Celcius dibandingkan dengan wilayah sekitarnya (Caldwell, 1981 dalam Widyawati et al 2006). Perbedaan ini terjadi sepanjang tahun. Namun pada musim panas, perbedaan suhu tersebut nampak lebih tajam. Ada beberapa hal yang menyebabkan gejala ini terjadi. Hal utama yang ditemukan oleh Caldwell adalah luasnya tutupan lahan yang berupa pengerasan (seperti semen dan aspal). Semakin kering tanah, semakin sedikit panas yang dipancarkan melalui evaporasi. Sementara itu, kota cenderung memiliki udara yang lebih buruk untuk melepaskan panas dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal ini terjadi karena luasnya daerah tutupan berupa pengerasan dan rapatnya bangunan. Hasil penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya penataan ruang yang baik agar masyarakat dapat hidup nyaman (Widyawati et al, 2006). Di sisi lain, tumbuhan hijau mampu menjaring CO2 dan melepas O2 kembali ke udara. Grey dan Deneke (1978) dalam Irwan (2005)
23
mengemukakan bahwa setiap tahun tumbuh-tumbuhan di bumi ini. mempersenyawakan sekitar 150.000 juta ton CO2 dan 25.000 juta hidrogen dengan membebaskan 400.000 juta ton oksigen ke atmosfer, serta menghasilkan 450.000 juta ton zat-zat organik. Setiap jam 1 ha daun-daun hijau menyerap 8 kg CO2 yang ekuivalen dengan CO2 yang dihembuskn oleh napas manusia sekitar 200 orang dalam waktu yang sama. Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa suhu di di bawah pohon teduh, dibanding dengan suhu di luarnya, bisa mencapai perbedaan angka sampai 2-4 derajat celcius. Dwiyanto (2009) menyatakan bahwa ruang terbuka hijau membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya ruang terbuka hijau, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang diatas kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat.
24
1.5.
Penelitan Sebelumnya Penelitian dengan pemanfaatan penginderaan jauh untuk memperoleh informasi suhu permukaan bumi baik dataran maupun kelautan telah dilakukan sebelumnya dengan berbagai sumber citra satelit. Beberapa penelitian yang menjadi acuan dan sumber referensi penyusun adalah: Tabel 1.2. Penelitian Terkait Pemetaan Suhu Permukaan Lahan Menggunakan Penginderaan Jauh No. 1.
Peneliti
Judul
Lingkup Penelitian
Utama, Widya Analisis Citra Landsat
Ekstraksi suhu permukaan
dkk. 2012.
ETM+ untuk Kajian Awal
bumi dengan citra Landsat
Penentuan Daerah Potensi
ETM +, analisis
Panas Bumi di Gunung
geomofologi untuk panas
Lamongan, Tiris,
bumi di Gunung Lamongan.
Probolinggo 2.
Sekar, 2007
Aplikasi Penginderaan
Ekstraksi suhu permukaan
Jauh dan Sistem Informasi
bumi dengan citra ASTER
Geografis Untuk Mengkaji
TIR menggunakan software
Temperatur Permukaan
ER Mapper, perbandingan
Terhadap Penutup Lahan
suhu permukaan lahan
Kota Magelang
terkait penggunaan lahan di Kota Magelang.
3.
Rini, 2012.
Pemetaan Suhu
Ekstraksi suhu permukaan
Permukaan Laut (SPL)
laut dengan software ENVI
Menggunakan Citra
dan ILWIS, ekstraksi suhu
ASTER di Perairan Laut
permukaan laut dengan
Jawa Bagian Barat Madura menggunakan citra ASTER