BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan bagian dari bentanglahan (landscape) yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi, hidrologi, tanah dan keadaan vegetasi alami yang secara potensial akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan lahannya. Bentuk penggunaan lahan didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan dapat ditinjau kembali melalui proses evaluasi sumberdaya lahan sehingga dapat diketahui potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya (Soedjoko, 2008). Sumberdaya adalah suatu nilai atau potensi yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Sehingga lahan merupakan sumberdaya alam yang penting dalam menunjang kehidupan manusia, karena di atas lahan inilah manusia beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidupnya. Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung sejak 300 tahun yang lalu, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan bijih timah tersebar dalam bentang wilayah sejauh 800 kilometer yang membujur dari daratan semenanjung Malaysia hingga Kepulauan Bangka Belitung yang disebut The Indonesian Tin Belt (PT. Timah Tbk, 2011). Provinsi Kepualauan Bangka Belitung adalah penghasil Timah utama di Indonesia, sekaligus merupakan penghasil devisa (BPS, 2004). Kabupaten Bangka merupakan salah satu kabupaten di Pulau Bangka yang memiliki cadangan bijih timah yang melimpah. Kegiatan penambangan timah telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan perekonomian di Kabupaten Bangka dan merupakan salah satu andalan bagi pemasukan devisa dalam negeri selain hasil tambang lainnya. Namun aktivitas penambangan timah ini mengakibatkan kerusakan lingkungan pada areal pasca tambang. Penambangan timah ilegal dilaporkan mencapai 20% di Pulau Bangka dan mendapat publikasi negatif karena merusak lingkungan (Nurtjahya, 2008). Banyaknya penambangan timah illegal yang dikelola perusahaan swasta dan rakyat membuka lahan untuk menambang timah sehingga
konversi atau perubahan penggunaan lahan sangat mungkin terjadi. Banyak lahan pertanian, perkebunan dan bahkan hutan yang dialih fungsikan menjadi lahan tambang timah. Alih fungsi lahan ini kedepannya akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Salah satu cara untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan penataan dan penggunaan lahan menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 Pasal 23 adalah dengan cara pembuatan neraca sumberdaya lahan yang berfungsi untuk menghitung dan melihat seberapa efektifkah pembangunan yang dilaksanakan dapat berjalan. Dengan Neraca sumberdaya lahan ini akan dapat diketahui perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan lahan menurut fungsi kawasan tertentu yang dibuat dari dua titik tahun sehingga akan dapat diketahui bentuk penggunaan beserta luasan perubahan penggunaan lahannya dari dua titik tahun yang berbeda. Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan suatu pedoman yang bersifat spasial dan kuantitatif yang dapat menyajikan informasi tentang kekayaan sumberdaya alam baik yang actual maupun potensial serta keberadaannya dalam suatu lingkup wilayah. Penyajian informasi ini salah satunya adalah dengan neraca sumberdaya alam yang dapat disusun dengan melaksanakan pendataan tentang kekayaan alam. Hal ini sangat penting karena Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang. Salah satu kelemahan pengelolaan sumberdaya alam di Negara berkembang adalah usaha mencapai pertumbuhan ekonomi dengan cara eksploitasi besar-besaran dari sumberdaya alamnya tanpa memperhatikan akibat sampingannya. Negara berkembang juga menghadapi masalah yang cukup serius mengenai pengelolaan sumberdaya alam, yaitu mengenai kesinambungan dari sumberdaya tersebut dan kesinambungan pemanfaatannya.
1.2 Rumusan Masalah Penambangan Timah yang terdapat di Pulau Bangka khususnya di Kabupaten Bangka memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi Kabupaten Bangka dan merupakan andalan bagi pemasukan devisa
dalam negeri. Aktivitas penambangan timah banyak terdapat di Kabupaten Bangka yang dikelola perusahaan swasta, pemerintah maupun oleh rakyat. Sumberdaya lahan yang terdapat di kabupaten Bangka ini banyak memiliki kandungan bijih timah sehingga terus dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan ekonomi dan memenuhi kebutuhan manusia. Namun semakin banyaknya aktivitas penambangan timah tanpa izin yang dikelola oleh pihak swasta maupun masyarakat setempat mengakibatkan eksploitasi timah pada lahan-lahan tertentu semakin intensif terjadi dari tahun ke tahun. Hal tersebut akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh konversi atau alih fungsi lahan menjadi penambangan timah. Lahan-lahan yang sebelumnya sebagai pertanian produktif, perkebunan, maupun hutan dialih fungsikan untuk penambangan timah. Hal tersebut apabila tidak dikontrol akan mengakibatkan degradasi lingkungan akibat penambangan timah sehingga diperlukan upaya penanggulangan untuk mengendalikan alih fungsi lahan tersebut. Dengan menganalisis neraca sumberdaya lahan spasial yang ada di Kabupaten Bangka akan diketahui perubahan lahan dan bentuk penggunaan lahannya akibat aktivitas penambangan timah beserta luasannya dari dua titik tahun untuk mengetahui perkembangannya. Dari pemikiran tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Bagaimanakah perubahan penggunaan lahan akibat penambangan timah yang terdapat di daerah penelitian dengan menggunakan neraca sumberdaya lahan spasial? (2) Berapakah luasan lahan yang telah dialih fungsikan menjadi lahan penambangan timah? Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang sudah disampaikan tersebut maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul “KAJIAN PERUBAHAN
PENGGUNAAN LAHAN
AKIBAT
PENAMBANGAN
TIMAH BERDASARKAN ANALISIS NERACA SUMBERDAYA LAHAN SPASIAL DI KABUPATEN BANGKA”
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: (1) Menganalisis perubahan penggunaan lahan akibat penambangan timah yang terdapat di daerah penelitian berdasarkan neraca sumberdaya lahan spasial; dan (2) Mengevaluasi luasan lahan yang dialih fungsikan menjadi lahan penambangan timah.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis Manfaat akademis dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui perubahan alih fungsi lahan akibat aktivitas penambangan timah dan dapat menjadi referensi terkait studi sumberdaya lahan. Dengan pembuatan neraca sumberdaya lahan spasial akan dapat diketahui jenis penggunaan lahan yang berubah fungsi menjadi penambangan timah yang dilihat dari dua periode tahun. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pentingnya mengontrol alih fungsi lahan menjadi penambangan timah untuk mencegah terjadinya degradasi lahan pasca tambang. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan informasi dalam penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan arahan kebijaksanaan pengembangan wilayah di lokasi penelitian.
1.5 Telaah Pustaka 1.5.1 Sumberdaya Lahan Sitorus (2001) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan.Lahan merupakan matrik dasar kehidupan manusia dan pembangunan karena hampir semua aspek kehidupan dan pembangunan, baik langsung maupun tak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan. Sumberdaya lahan adalah segala potensi dari system ruang yang mengandung unsur-unsur lingkungan fisik,
kimia, dan biologis yang saling berinteraksi terhadap tataguna lahan (BSN, 2002). Lahan merupakan sumberdya alam yang mempunyai sifat terbatas baik ketersediaan maupun kemampuannya. Ketersediaan Lahan dibatasi oleh luas permukaan yang tetap, namun kemampuannya dibatasi oleh karakteristik lahan tersebut. Akibat keterbatasan lahan tersebut, maka pengelolaan sumberdaya lahan menjadi sangat penting bagi manusia. Agar fungsi lahan berkelanjutan maka pengggunaan lahan harus dilakukan dengan optimal dan sesuai dengan kemampuannya. Penggunaan lahan didefinisikan oleh Arsyad (1989) sebagai bentuk campur tangan manusia terhadap lahan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik material maupun spiritual. Pengertian lahan sering kali dicampur adukkan dengan pengertian tanah (soil). Padahal pengertiannya sangat berbeda. Lahan adalah konsep yang dinamis, dimana di dalam lahan terkandung unsur ekosistem, tetapi lahan sendiri adalah bagian dari ekosistem (Rustiadi, 1996). Istilah lahan dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi yang mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berbeda di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang, yang kesemuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan di masa sekarang dan di masa mendatang (FAO, 1976 dalam Hardjowigeno, et al. 1999). Penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralih fungsi seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia. Hal tersebut mengakibatkan permasalahan yang kompleks akibat penemuan dan pemanfaatan teknologi serta dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi untuk bercocok tanam beralih fungsi menjadi pemanfaatan nonpertanian. Fenomena ini akan mengakibatkan masalah yang cukup serius. Vink dalam Gandasasmita (2001) mengemukakan bahwa lahan adalah suatu konsep yang dinamis. Lahan bukan hanya merupakan tempat dari berbagai ekosistem tetapi juga merupakan bagian dari ekosistem-ekosistem tersebut. Lahan juga merupakan konsep geografis karena dalam pemanfaatannya selalu terkait dengan ruang atau lokasi tertentu, sehingga karakteristiknya juga akan sangat berbeda tergantung dari lokasinya. Dengan demikian kemampuan atau daya
dukung lahan untuk suatu penggunaan tertentu juga akan berbeda dari suatu tempat ke tempat lainnya. 1.5.2 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk campur tangan manusia terhadap sumber daya lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual (Vink 1975 dalam Gandasasmita 2001). Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu: (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut, seperti tegalan, sawah, kebun, padang rumput, hutan dan sebagainya; (2) penggunaan lahan non pertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya. Sebagai wujud kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan lahan. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut. Sedangkan penggunaan lahan secara umum didefinisikan sebagai penggolongan penggunaan lahan yang dilakukan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum tergantung pada kemampuan lahan dan pada lokasi lahan. Untuk aktivitas pertanian, penggunaan lahan tergantung pada kelas kemampuan lahan yang dicirikan oleh adanya perbedaan pada sifat-sifat yang menjadi penghambat bagi penggunaannya seperti tekstur tanah, lereng permukaan tanah, kemampuan menahan air dan tingkat erosi yang telah terjadi. Penggunaan lahan juga tergantung pada lokasi, khususnya untuk daerah-daerah pemukiman, lokasi industri, maupun untuk daerah-daerah rekreasi (Suparmoko, 1995). Menurut Barlowe (1986) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktor fisik dan biologis, faktor pertimbangan ekonomi dan faktor institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup kesesuaian dari sifat fisik seperti keadaan geologi, tanah, air, iklim, tumbuh-tumbuhan, hewan dan
kependudukan. Faktor pertimbangan ekonomi dicirikan oleh keuntungan, keadaan pasar dan transportasi. Faktor institusi dicirikan oleh hukum pertanahan, keadaan politik, keadaan sosial dan secara administrasi dapat dilaksanakan.
1.5.3 Neraca Sumberdaya Lahan Spasial Neraca sumberdaya lahan spasial adalah suatu “timbangan” aktiva dan pasiva dari sumberdaya lahan. Neraca sumberdaya lahan disusun untuk mengetahui besarnya cadangan awal sumber daya lahan yang dinyatakan dalam aktiva, dan besarnya pemanfaatan yang dinyatakan dalam pasiva. Sehingga perubahan cadangan dapat diketahui besarnya sisa cadangan yang dinyatakan dalam saldo di suatu daerah dalam kurun waktu tertentu. Neraca sumberdaya lahan dibuat dalam bentuk table model tabulasi statistik berupa tabel skronto seperti neraca keuangan (BSN, 2002). Neraca sumberdaya lahan yang terdapat di suatu daerah luasan totalnya tidak mengalami perubahan. Namun yang mengalami perubahan adalah luasan perubahan fungsi lahan. Klasifikasi sumber daya lahan mencakup penggunaan lahan, status penguasaan lahan, kawasan lindung dan budidaya. Neraca sumberdaya lahan dapat berfungsi sebagai input pertimbangan dalam menentukan prioritas dan rencana tataruang, karena seiring dengan pertumbuhan dan perubahan yang terjadi perlu adanya masukan maupun revisi terhadap tataruang terdahulu (Andrianto dkk. 2010). Penyusunan neraca sumberdaya lahan juga membangun kesamaan persepsi dan institusi pelaksana pembangunan mengenai sumberdaya lahan yang ada di wilayah pembangunannya serta menjadi dasar untuk melaksanakan pembangunan yang mempunyai sifat yang sustainable atau berkelanjutan. Penyusunan neraca sumberdaya lahan spasial diatur dalam pertemuan koordinasi penyusunan neraca sumberdaya alam daerah di Depdagri tanggal 19 Januari 1991, yang kemudian dikuatkan dalam Inmendagri Nomor 39 Tahun 1995. Klasifikasi berbagai jenis penggunaan lahan yang digunakan dalam penyusunan neraca sumberdaya lahan spasial menurut klasifikasi SNI (2002) diantaranya sebagai berikut ini. (1) Lahan Permukiman adalah areal lahan yang digunakan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan, serta merupakan bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang merupakan pemukiman perkotaan maupun pedesaan. (2) Lahan Sawah adalah areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kegiatan pertanian lahan basah / lahan kering, digenangi air secara periodik atau terus menerus dengan vegetasi yang diusahakan berupa : padi, tebu, tembakau, rosela, sayur-sayuran. (3) Sawah Tadah Hujan adalah sawah tanpa irigasi yang hanya menghandalkan air hujan, yang biasanya terlihat sistem penanaman padi 1 (satu) kali per tahun + palawija atau termasuk didalamnya sawah bera (tidak ditanami) (4) Sawah Pasang Surut adalah sawah yang diusahakan oleh pengaruh air pasangsurut air laut atau sungai. (5) Pertanian Lahan Kering adalah areal pertanian yang tidak pernah diairi, yang ditanami dengan jenis tanaman umur pendek dan tanaman keras yang mungkin ada pada pematang-pematang (6) Tegalan adalah pertanian lahan kering dengan penggarapan secara permanen. (7) Ladang adalah pertanian lahan kering dengan penggarapan secara temporer atau berpindah-pindah. Lahan yang digarap setelah tiga tahun atau kurang kemudian ditinggalkan. (8) Lahan Kebun adalah areal/bidang lahan yang diusahakan untuk budi daya berbagai jenis tanaman keras atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim, dominasi dari setiap jenis tanaman yang diusahakan kurang jelas terlihat. (9) Kebun Campuran adalah areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kebun dengan tidak ada dominasi jenis tanaman yang diusahakan atau diusahakan untuk tanaman sejenis. (10) Kebun Sejenis adalah Areal atau bidang lahan yang diusahakan untuk kebun dengan tanaman sejenis. (11) Kebun sayuran adalah Lahan yang sebagian besar ditanami sayur-mayur. (12) Kebun Bunga-bungaan adalah lahan yang sebagian tersebar ditanami jenisjenis bunga.
(13) Kebun Buah-buahan adalah lahan yang sebagian terbesar ditanami jenis buah-buahan. (14) Lahan Perkebunan adalah areal atau bidang lahan yang ditanami jenis tanaman keras dengan tanaman sejenis, dan cara pengambilan hasil bukan dengan menebang pohon. (15) Perkebunan Besar adalah perkebunan yang diusahakan secara komersil dengan investasi dan teknologi yang cukup besar, dilaksanakan oleh badan usaha swasta atau pemerintah, yang biasanya dicirikan dari status tanah Hak Guna Usaha (HGU). (16) Perkebunan Rakyat adalah perkebunan yang diusahakan oleh rakyat (masyarakat atau perorangan) dan biasanya dikelola secara tradisional. (17) Lahan Pertambangan adalah areal lahan untuk usaha pertambangan (eksploitasi bahan galian atau mineral) yang dilakukan secara terbuka atau dapat diidentifikasi dari permukaan bumi. (18) Lahan Industri dan Pariwisata adalah areal lahan yang digunakan untuk kegiatan ekonomi berupa proses pengelolaan bahan-bahan baku menjadi barang-barang jadi atau setengah jadi dan atau barang setengah jadi menjadi barang jadi. (19) Perhubungan adalah lahan perhubungan berupa areal pelabuhan udara, pelabuhan laut, pelabuhan sungai, terminal bis, stasiun kereta api. (20) Lahan Berhutanadalah areal hutan yang ditumbuhi pohon-pohonan yang tingkat pertumbuhannya mencapai maksimum.Pengertian areal berhutan bukan berarti kawasan hutan, tetapi areal hutan yang ada tegakannya. Areal berhutan bisa merupakan hutan alami (lebat), belukar, sejenis, bisa juga merupakan hutan rawa. (21) Hutan Lebat adalah areal atau bidang lahan yang secara alami ditumbuhi berbagai jenis pepohonan besar dengan tingkat pertumbuhan yang maksimum. (22) Hutan Belukar adalah areal atau bidang yang secara alami ditumbuhi berbagai jenis pepohonan yang masih dalam bentuk belukar.
(23) Hutan Sejenis adalah areal atau bidang lahan yang ditumbuhi pepohonan yang terbentuk secara alami dan/atau binaan dengan dominasi oleh satu jenis pohon tanpa memandang tingkat pertumbuhannya. (24) Hutan Rawa adalah areal atau bidang lahan yang berupa hutan lebat berawarawa,permukaan lahan tergenang selama emam bulan dan lebih kumulatip dalam setahun dan pada kurun waktu tidak terjadi penggenangan (surut) tanah senantiasa jenuh air. (25) Lahan Terbuka adalah areal atau bidang lahan yang tidak ada tutupan vegetasi maupun bangunan, terbentuk karena kondisi fisiknya yang jelek, karena terjadi proses alami (erosi, bencana alam, dan lain-lain), dan bukan bukaan sementara akibat land clearing. (26) Lahan Tandus adalah areal lahan bila kondisi fisik tanahnya tidak subur, sulit untuk digarap karena adanya faktor pembatas seperti areal berbatu-batu, lahar, pasir. (27) Lahan Rusak adalah areal lahan yang sebelumnya pernah digarap kemudian ditinggal karena tererosi berat dan padat, bekas galian, bekas sawah rawa yang kemudian asin, dampak letusan gunung api. (28) Padang adalah areal atau bidang lahan yang terbuka dan hanya ditumbuhi jenis-jenis tanaman perdu dari keluarga rumput dan semak. (29) Padang Rumput adalah areal terbuka dengan kenampakan menonjol ditumbuhi jenis rumput, bisa jenis rumput yang tinggi seperti alang-alang, gelagah, dan bisa jenis rumput rendah seperti sabana. (30) Padang Semak adalah areal atau bidang lahan yang didominasi tumbuhan jenis semak-semak. (31) Perairan Darat adalah areal perairan didaratan dengan penggenangan air yang dalam dan permanen, penggenangan dangkal termasuk fungsinya. (32) Danau, Situ, Telaga adalah areal perairan dengan penggenangan air yang dalam, permanen, dan alami. (33) Waduk, Bendungan, Embung adalah areal perairan yang terjadi karena pembendungan yang dibuat manusia.
(34) Rawa adalah areal lahan dengan penggenangan permanen dan dasar yang dangkal tetapi belum cukup dangkal untuk ditumbuhi tumbuhan besar dan biasaya ditumbuhi jenis rerumputan rawa. (35) Tambak adalah areal lahan dengan penggenangan yang berfungsi untuk perikanan tambak. (36) Lahan Penggaraman adalah areal lahan dengan penggenangan air asin yang berfungsi untuk membuat garam.
1.5.4 Pemetaan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan dapat dipetakan melalui bantuan citra satelit. Citra penginderaan jauh sebagai sumber data pembuatan peta penggunaan lahan. Citra penginderaan jauh tersebut selanjutnya dilakukan interpretasi atau penafsiran yang ada di dalam citra tersebut. Interpretasi dapat dilakukan secara visual maupun digital. Penafsiran citra merupakan kegiatan yang didasarkan pada deteksi dan identifikasi obyek dipermukaan bumi pada citra satelit dengan mengenali obyekobyek tersebut melalui unsur-unsur utama spektral dan spasial serta kondisi temporalnya. Penafsiran citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya (Ali & Tesgaya 2010). Penafsiran citra secara visual merupakan hubungan interaktif (langsung) antara penafsir dengan citra, artinya ada proses perunutan dari penafsir untuk mengenali obyek hingga proses pendeliniasian batas obyek untuk medefinisikan obyek tersebut. Penafsiran citra secara manual pada awalnya dengan cara deliniasi obyek pada citra cetak kertas (hardcopy) yang telah dilakukan preprocessing lebih dulu. Perkembangan teknologi hardware dan software memungkinkan penafsiran langsung di komputer dengan metode on screen digitize. Meskipun memanfaatkan komputer, metode ini masih termasuk interpretasi secara visual. Hasil dari metode ini adalah data klasifikasi tematik dalam format vektor. Kodifikasi data (encoding) dapat secara langsung dilakukan. Sehingga metode ini sering dikenal juga sebagai metode penafsiran interaktif.
Menurut Sutanto (1986), teknik penafsiran citra penginderaan jauh dilakukan dengan menggunakan komponen penafsiran yang meliputi (1) data acuan, (2) kunci interpretasi citra atau unsur diagnostik citra, (3) metode pengkajian, dan (4) penerapan konsep multispektral. (1) Data acuan Data acuan diperlukan untuk meningkatkan kemampuan dan kecermatan seorang penafsir, data ini bisa berupa laporan penelitian, monografi daerah, peta, dan yang terpenting adalah data di atas dapat meningkatkan local knowledge pemahaman mengenai lokasi penelitian. (2) Kunci Interpretasi Citra Pengenalan obyek merupakan bagian vital dalam interpretasi citra. Untuk itu identitas dan jenis obyek pada citra sangat diperlukan dalam analisis memecahkan masalah yang dihadapi. Karakteristik obyek pada citra dapat digunakan untuk mengenali obyek yang dimaksud dengan unsur interpretasi. Unsur interpretasi yang dimaksud disini adalah (a) rona/warna, (b) bentuk, (c) ukuran, (d) tekstur, (e) pola, (f) bayangan, (g) situs, (h) asosiasi dan (i) konvergensi bukti. (a) Rona/warna Rona dan warna merupakan unsur pengenal utama atau primer terhadap suatu obyek pada citra penginderaan jauh. Fungsi utama adalah untuk identifikasi batas obyek pada citra. Rona merupakan tingkat/gradasi keabuan yang teramati pada citra penginderaan jauh yang dipresentasikan secara hitamputih. (b) Bentuk Bentuk menunjukkan konfigurasi umum suatu obyek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh. Bentuk mempunyai dua makna yakni bentuk luar/umum dan bentuk rinci atau susunan bentuk yang lebih rinci dan spesifik. (c) Ukuran Ukuran merupakan bagian informasi konstektual selain bentuk dan letak. Ukuran merupakan atribut obyek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng dan volume (Sutanto 1996).
(d) Tekstur Tekstur merupakan frekuensi perubahan rona dalam citra. Tekstur dihasilkan oleh kelompok unit kenampkan yang kecil, tekstur sering dinyatakan kasar, halus, ataupu belang-belang (Sutanto 1996). Contoh hutan primer bertekstur kasar, hutan tanaman bertekstur sedang, dan tanaman padi bertekstur halus. (e) Pola Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan beberapa obyek alamiah. Hal ini membuat pola unsur penting untuk membedakan pola alami dan hasil budidaya manusia. Sebagai contoh perkebunan karet dan kelapa sawit sangat mudah dibedakan dari hutan dengan polanya dan jarak tanam yang seragam. (f) Bayangan Bayangan merupakan unsur sekunder yang sering membantu untuk identifikasi obyek secara visual, misalnya untuk mengidentifikasi hutan jarang, gugur daun, tajuk. (g) Situs Situs merupakan konotasi suatu obyek terhadap faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan atau keberadaan suatu obyek. Situs bukan ciri suatu obyek secara langsung, tetapi kaitannya dengan faktor lingkungan. Contohnya hutan mangrove selalu bersitus pada pantai tropik, ataupun muara sungai yang berhubungan langsung dengan laut (estuaria). (h) Asosiasi Asosiasi menunjukkan komposisi sifat fisiogonomi seragam dan tumbuh pada kondisi habitat yang sama. Asosiasi juga berarti kedekatan erat suatu obyek dengan obyek lainnya. Contoh permukiman kota identik dengan adanya jaringan transportasi jalan yang lebih kompleks dibanding permukiman pedesaan. (i) Konvergensi Bukti Dalam proses penafsiran citra penginderaan jauh sebaiknya digunakan unsur diagnostik citra sebanyak mungkin. Hal ini perlu dilakukan karena
semakin banyak unsur diagnostik citra yang digunakan semakin menciut lingkupnya untuk sampai pada suatu kesimpulan suatu obyek tertentu. Konsep ini yang sering disebut konvergensi bukti. (3) Metode Pengkajian Penafsiran citra lebih mudah apabila dimulai dari pengkajian dengan pertimbangan umum ke pertimbangan khusus/lebih spesifik dengan metode konvergensi bukti. (4) Penerapan Konsep Multispektral Konsep ini menganjurkan untuk menggunakan beberapa alternatif penggunaan beberapa band secara bersamaan. Kegunaannya adalah untuk meningkatkan kemampuan interpretasi dengan mempertimbangkan kelebihan masing masing penerapan komposit band tersebut. Sebagai contoh citra dengan komposit band 543 (RGB), dapat dengan mudah dibedakan antara obyek vegetasi dengan non vegetasi. Obyek bervegetasi dipresentasikan dengan warna hijau, dan tanah kering dengan warna merah. Citra dengan komposit band 432 (RGB), mempunyai kelebihan untuk membedakan obyek kelurusan seperti jalan dan kawasan perkotaan. Jaringan jalan dipresentasikan dengan warna putih. Citra dengan komposit band 543 (RGB), mempunyai kelebihan mudah untuk membedakan obyek yang mempunyai kandungan air atau kelembapan tinggi. Obyek dengan tingkat kelembapan atau kandungan air tinggi akan dipresentasikan dengan rona yang lebih gelap secara kontras. Contohnya obyek tambak akan tampak berwarna biru kehitaman dengan bentuk kotak teratur. Menurut Sutanto (1996), menyebutkan bahwa terdapat dua factor yang harus diperhatikan interpretasi visual yaitu: (1) Kaidah Perbesaran (zooming) Tingkat ketelitian pemetaan disesuaikan dengan tingkat skala yang digunakan. Semakin besar skala pemetaannya semakin rinci informasi yang harus disajikan dan sebaliknya. Penafsiran manual sangat tergantung dari visualisasi citra. Berbeda dengan penafsiran digital yang tidak memperhitungkan skala. Satu hal yang menjadi kelemahan metode ini adalah luas visualisasi monitor komputer, dimana semakin besar skala visualisasi semakin kecil luas citra yang tergambarkan begitu pula sebaliknya. Konsekuensi dari hal ini adalah kegiatan
melakukan penggeseran visual citra setiap kali berpindah lokasi interpretasi. (2) Kartografi pemetaan dalam penafsiran citra.
Akurasi geometrik pemetaan melaui penafsiran citra ditentukan oleh dua hal yaitu akurasi geometrik citra dan akurasi deliniasi antar obyek yang dipetakan. Akurasi geometrik ditentukan oleh koreksi geometris yang dilakukan pada citra. Akurasi deliniasi ditentukan oleh penafsir, apabila kedua hal ini telah dilakukan kaidah kartografis yang harus diperhatikan adalah ukuran luas polygon yang yang harus dideliniasi. Luasan sangat tergantung pada tujuan skala pemetaan yang direncanakan. Proses ini dikenal dengan nama generalisasi pemetaan. Aturannya menentukan luas poligon terkecil adalah 0,5 x 0,5 x skala pemetaan. Berikut adalah skala generalisasi pemetaan pada tiap skala peta : (a) Skala pemetaan 1 : 50.000 luas poligon terkecil 1,25 ha (b) Skala pemetaan 1 : 100.000 luas poligon terkecil 2,5 ha (c) Skala pemetaan 1 : 250.000 luas poligon terkecil 6,25 ha (d) Skala pemetaan 1: 500.000 luas poligon terkecil 12,5 ha
1.5.5 Penambangan Timah Indonesia adalah produsen timah terbesar di dunia yang banyak tersebar di wilayah Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian daratan Sumatera, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, hingga Sebelah Barat Kalimantan sehingga merupakan jalur timah Indonesia yang disebut “The Indonesian Tin Belt” (PT. Timah Tbk, 2011). Semenjak Indonesia merdeka, tambang timah dinasionalisasikan menjadi PN. Timah (1945-1965) dan kemudian pada masa orde baru (1966-1998) berubah namanya menjadi PT. Timah Bangka Tbk. Awalnya penambangan timah di pulau Bangka dilakukan oleh VOC dengan mendatangkan etnis Cina sebagai buruh karena penduduk asli Pulau Bangka saat itu relative masih sedikit (Heidhues, 2008). Saat ini penambangan timah di Kabupaten Bangka dilakukan oleh PT Timah, perusahaan joint venture Indonesia-Malaysia (dulu joint venture Indonesia-Australia) yaitu PT Kobatin dan masyarakat umum yang membuka tambang timah inkonvensional (TI). Disebut dengan tambang inkonvensional (TI) karena metode penambangannya hanya menggunakan mesin penyedot tanah dan air dengan kebutuhan modal yang relatif
kecil, luas areal tambang yang juga relatif kecil dibandingkan dengan areal tambang perusahaan (Sukandarrumidi 2009). Pada perkembangan selanjutnya, TI tumbuh tidak terkendali dan penambangan tidak hanya dilakukan pada wilayah kuasa penambangan yang sudah ditetapkan sebelumnya, namun mulai merambah ke areal lain termasuk hutan. Semakin maraknya TI ini juga sejalan dengan bergulirnya era reformasi dan dikeluarkannya Keputusan Meperindag No. 146/MPP/Kep/4/1999 tanggal 22 April 1999 yang menyatakan bahwa timah merupakan barang bebas dan tidak diawasi serta kebijakan otonomi daerah yang memungkinkan pemerintah daerah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pengelolaan tambang di wilayahnya (Budimanta 2007). Bijih timah memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Bijih Timah mempunyai nilai jual yang tinggi dan menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan. Sumber pendapatan yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan pendapatan atau penghasilan para penambang bijih timah. Indonesia juga mengandalkan bijih timah ini sebagai sumber devisa Negara disamping bahan tambang lainnya sebagai pengekspor bijih timah ke Negara-negara lain.
1.5.6 Alih Fungsi Lahan Permasalahan utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan adalah perubahan penggunaan atau alih fungsi lahan yang lebih lanjut akan mengakibatkan degradasi lahan. Implikasi dari alih fungsi lahan yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dah bahkan dalam jangka panjang menimbulkan kerugian sosial (Iqbal dan Sumaryanto, 2007). Penggunaaan lahan saat ini berpengaruh terhadap elastisitas lahan untuk berubah penggunaannya. Penggunaan lahan untuk permukiman, industri, dan fasilitas sosial ekonomi memiliki elastisitas yang rendah untuk berubah. Sedangkan penggunaan lahan pertanian, perkebunan, dan kehutanan memiliki elastisitas yang tinggi untuk berubah kearah penggunaan lahan lainnya. Pemahaman tentang perubahan penggunaan lahan dapat didekati dari sisi struktur utama yang berkaitan langsung dengan perubahan lahan. Menurut Saefulhakim, et al (1999) secara umum struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan dapat dibagi tiga yaitu (1) struktur permintaan atau kebutuhan
lahan, (2) struktur penawaran atau ketersediaan lahan dan (3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktifitas sumberdaya lahan. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan terhadap tujuh propinsi di Indonesia diketahui bahwa secara umum terdapat dua faktor penting yang berperan penting dalam perubahan penggunaan lahan yaitu factor kelembagaan dan faktor non kelembagaan (Saefulhakim, 1996). Faktor kelembagaan yang berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah menyumbang 70% dalam mendorong terjadinya alih guna lahan. Sedangkan factor non kelembagaan hanya berperan sebesar 30% dalam mendorong alih guna lahan pertanian ke penggunaan lahan non-pertanian (Winoto, et al.,1996). Penggunaan lahan saat ini berpengaruh terhadap elastisitas lahan untuk berubah penggunaannya. Penggunaan lahan untuk permukiman, industri, dan fasilitas sosial-ekonomi memiliki elastisitas yang rendah untuk berubah. Sedangkan penggunaan lahan untuk pertanian, kehutanan dan perkebunan memiliki elastisitas yang lebih tinggi untuk berubah kearah penggunaan lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan efisiensi dalam penggunaan lahan, dimana penggunaan lahan untuk permukiman, industri, dan fasilitas sosialekonomi memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan lahan pertanian, kehutanan, dan perkebunan.
1.6 Kerangka Pemikiran Penambangan timah yang terdapat di Kabupaten Bangka menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Dengan menggunakan neraca sumberdaya lahan akan dapat diketahui perubahan tiap penggunaan lahan yang dialih fungsikan menjadi penambangan timah dan trend perubahannya yang dilihat dari dua periode tahun tertentu. Penyusunan neraca sumberdaya lahan di Kabupaten Bangka ini pada akhirnya akan memberikan informasi besarnya cadangan sumberdaya lahan yang ada di Kabupaten Bangka sebagai keadaan awal atau aktiva dan besarnya pemanfaatan sumberdaya lahan pada keadaan akhir atau passiva. Neraca sumberdaya lahan biasanya disusun oleh pemerintah daerah untuk mengetahui pemanfaatan sumberdaya lahan baik penambahan atau pengurangan. Sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk
mengatasi pengendalian alih fungsi lahan akibat penambangan timah di Kabupaten Bangka.
Kegiatan Penambangan Timah di Kabupaten Bangka
Dampak Aktivitas Penambangan Timah
Alih Fungsi Lahan
Pola Sebaran Lokasi Penambangan
Analisis Spasial
Neraca Sumberdaya Lahan Spasial
Perubahan Penggunaan Lahan Akibat Penambangan Timah
Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pemikiran Penelitian 1.7 Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai neraca sumberdaya lahan masih belum banyak dikaji oleh peneliti di Indonesia dan masih dalam proses menuju perkembangan. Penelitian mengenai neraca penggunaan lahan pernah dilakukan oleh Bintang Hamonangan pada tahun 2000 di Taman Nasional Kerici Seblat, Sumatera untuk mengetaui perubahan penggunaan lahan dan implikasinya terhadap penataan ruang dan pengembangan wilayah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan analisis GIS , penilaian kesesuaian dan status lahan. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu adalah neraca penggunaan lahan dan peluang perubahannya. Penelitian mengenai penambangan timah juga pernah diteliti di Kabupaten Belitung oleh Monang Sidabuke pada tahun 2011 untuk mengetahui factor yang melatar belakangi terjadinya penambangan timah dan dampak ekologinya dengan metode kualitatif melalui wawancara terhadap informan yang
terlibat langsung dalam penambangan timah. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah dengan memberikan upaya penanggulangan dan pencegahan dari penambangan timah tanpa izin pada kawasan hutan lindung. Penelitian tenatang neraca sumberdaya lahan pernah dilakukan oleh Agung Iswadi di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pada tahun 2005 dengan judul Pemanfaatan citra digital landsat dan SIG untuk penyusunan neraca Sumberdaya Lahan Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Tujuan dari penelitian ini untuk membuat neraca sumberdya lahan dengan pemanfaatan citra landsat. Metode yang dilakukan dengan adalah metode kuantitatif dengan interpretasi citra landsat. Hasil dari Penelitian ini berupa peta perubahan penggunaan lahan dan neraca sumberdaya lahan. Penelitian selanjutnya mengenai penambangan timah pernah dilakukan oleh Yulita pada tahun 2011 dengan judul penelitian Perubahan Penggunaan Lahan dalam Hubungannya dengan Aktivitas Pertambangan di Kab. Bangka Tengah. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui hubungan aktivitas pertambangan dengan perubahan penggunaan lahan Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan intertpretasi citra landsat. Hasil yang diperoleh adalah peta perubahan penggunaan lahan. Pada tahun 2014 penelitian mengenai perubahan penggunaan lahan dilakukan oleh Muhammad Rahmanda Yunito di Kabupaten Bangka dengan judul Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Akibat Penambangan Timah Berdasarkan Analisis Neraca Sumberdaya Lahan Spasial Di Kabupaten Bangka. Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui perubahan penggunaan lahan akibat penambangan timah dengan analisis neraca sumberdaya lahan spasial. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan analisis data sekunder dan interpretasi citra. Hasil penelitian berupa neraca sumberdaya lahan spasial dan peta perubahan penggunaan lahan. Berikut ini disajikan tabel mengenai beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan pada Tabel 1.1
Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Sekarang No
Lokasi, Tahun
Judul Penelitian
1
Bintang Hamonangan
Taman Nasional Kerinci Seblat, 2000
Analisis Neraca Penggunaan Lahan dan Pola Perubahannya serta implikasinya terhadap penataan ruang dan pengembangan wilayah
Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan serta implikasinya terhadap penataan ruang
Kuantitatif, dengan analisis GIS, penilaian kesesuaian dan status lahan
Neraca Penggunaan Lahan dan peluang perubahannya
2
Monang Sidabuke
Kecamatan Badau, Kabupaten Belitung, 2011
Penambangan Timah tanpa Ijin Pada Kawasan Hutan Lindung
Mengetahui factor yang melatar belakangi terjadinya penambangan timah dan dampak ekologinya
Kualitatif, wawancara dengan pelaku illegal mining dan kelompok masyarakat
Upaya penanggulangan dan pencegahannya
Agung Iswadi
Kab. Rembang Jawa Tengah, 2005
Pemanfaatan citra digital landsat dan SIG untuk penyusunan neraca sumberdaya Lahan Kab. Rembang Jawa Tengah
Membuat neraca sumberdaya lahan dengan pemanfaatan citra landsat
Kuantitatif, interpretasi citra landsat
Peta perubahan penggunaan lahan, neraca sumberdaya lahan
Yulita
Kab. Bangka Tengah, 2011
Perubahan Penggunaan Lahan dalam Hubungannya dengan Aktivitas Pertambangan di Kab. Bangka Tengah
Menganalisis hubungan aktivitas pertambangan dengan perubahan penggunaan lahan
Kuantitatif, interpretasi citra landsat
Peta Perubahan Penggunaan Lahan
Kab. Bangka, 2014
Kajian Perubahan Penggunaan Lahan akibat Penambangan Timah berdasarkan analisis Neraca Sumberdaya Lahan Spasial di Kab. Bangka
Menganalisis alih fungsi lahan akibat penambangan timah
Kuantitatif, dan analisis spasial dan komparatif, interpretasi visual citra Landsat
Neraca Sumberdaya Lahan spasial dan Peta perubahan penggunaan lahan
3
4
5
Peneliti
M. Rahmanda Yunito
Sumber: Studi Pustaka (2015)
Tujuan
Metode
Hasil