BAB. I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pegunungan Menoreh terletak di ujung utara pegunungan Kulon Progo, bagian timur dari zona jajaran punggungan “oblong domes / ridges”, di sebelah barat perbatasan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pembentukan pegunungan ini berkaitan dengan tektonik aktif yang dibentuk oleh tumbukan lempeng Australia di Samudera Hindia bergerak relatif ke utara menumbuk dan masuk ke bawah lempeng Eurasia. Hasil awal tumbukan lempeng di Pulau Jawa menghasilkan busur Gunung api tua, dikenal dengan nama formasi Andesit Tua / OAF (Van Bemmelen, 1949). Proses tumbukan lempeng tersebut yang terus menerus menyebabkan peningkatan gaya tekan, kompresi dan deformasi disertai dengan terbentuknya patahan pada Formasi Andesit Tua dan lipatan pada formasi batuan yang lebih muda yaitu formasi Jonggrangan dan Sentolo sampai dengan Pliosen akhir. Berikutnya adalah pengendapan Breksi Gunung Api Kuarter sebelum ditutup oleh Aluvial (Rahardjo dkk, 1977). Proses tektonik tersebut disertai dengan aktifitas magmatik dan hidrotermal diketahui dari adanya intrusi dan kontak metamorfisme oleh batuan andesit dan dasit pada Oligosen-Miosen (Van Bemmelen, 1949). Aktifitas magmatik di Pegunungan Kulon Progo sebagian terjadi di Perbukitan Menoreh. Penemuan bukti-bukti aktifitas hidrotermal dapat diamati dengan ditemukan batuan yang telah mengalami ubahan, urat sulfida - urat kuarsa berlapis yang mengandung mineral emas serta perak daerah Gupit dan Kaliasat. Bukti aktifitas hidrotermal lain yaitu adanya sumber mata air panas, asin dan gas di beberapa lokasi yaitu di Dusun Kaliduren, Dusun Kasuran dan Dusun Asinan yang kemungkinan keluar melewati jalur struktur patahan (Murwanto dkk, 2001). Penelitian awal oleh Idrus dkk, (2013) tentang endapan mineralisasi tipe epitermal dilakukan untuk menindak lanjuti penemuan butiran emas (nugget gold) oleh penambang rakyat yang mendulang sedimen sungai di daerah Gupit. Penelitian ini menyatakan bahwa endapan mineralisasi terjadi dalam sistem epitermal tipe sulfida tinggi (HS) pada batuan yang telah mengalami ubahan argilik lanjut (AA) 1
pada satuan batuan lava andesit dan lava dasit. Mineralisasi terjadi pada urat silika berlapis berorientasi struktur relatif timurlaut – baratdaya dengan kadar tertingi adalah 42.4 g/t untuk emas dan 112 g/t untuk perak ditemukan di bukit Gupit, Dusun Gupit, Desa Kebonsari, Kecamatan Borobudur. Penelitian yang lebih luas dan detail dilakukan untuk mengetahui keterkaitan secara geologi antara dua karakteristik dua tipe endapan tersebut. Penelitian tersebut menggunakan metode langsung berupa tinjauan lapangan untuk, yaitu pemetaan, mengambil data dan metode tidak langsung yaitu analis laboratorium XRF untuk mengetahui kadar oksida utama, XRD untuk mengetahui mineral alterasi, ASD (Terraspect) untuk mengetahui mineral oksida, alterasi lempung, angka Indeks Kubler (KI) dan indeks kristalinitas kaolin (KCI). Metode AAS dan ICP-OES untuk menetahui kadar mineral berupa emas, perak, tembaga dan unsur-unsur yang lain (multielements). Analisis inklusi fluida dilakukan untuk mengetahui karakteristik larutan hidrotermal meliputi salinitas, temperatur, kedalaman dan tekanan hidrostatis. Analisis petrologi dan petrografi juga dilakukan untuk mengetahui jenis mineral pembentuk batuan dan nama batuan sedangkan analisa mineralografi digunakan untuk identifikasi mineral bijih. 1.2. Lokasi dan Kesampaian Daerah Lokasi penelitian secara administrasi masuk Kecamatan Borobudur meliputi Desa Kebonsari, Desa Kembanglimus, Desa Ngadiharjo, Desa Karangrejo dan Kecamatan Salaman
meliputi Desa Menoreh, Desa Kalijero dan Desa Paripurno, Kabupaten
Magelang, Propinsi Jawa Tengah (Gambar I.1 dan I.2). Secara geografis terletak pada koordinat 404.000 mE sampai dengan 410.000 mE Bujur Timur dan 9.156.000 mN sampai dengan 9.160.500 mN Lintang Selatan, zona 49S (UTM-WGS 84). Daerah penelitian dapat ditempuh melewati jalan aspal lintas provinsi dengan menggunakan kendaraan roda empat dari Kota Yogyakarta ke Kabupaten Magelang sejauh ± 40 km selama ± 1 jam. Dari Kabupaten Magelang menuju kawasan Candi Borobudur melewati jalan aspal ±20 km selama ± ½ jam. Dari Borobudur ke lokasi penelitian Bukit Gupit ± ¼ jam atau ke Dusun Kalisat melewati jalan aspal lintas kecamatan selama lebih kurang tiga puluh menit.
2
Gambar I.1. Peta lokasi penelitian di Propinsi Jawa Tengah.
Gambar I.2. Peta lokasi penelitian di Kecamatan Borobudur dan Salaman Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
3
1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah-masalah yang muncul dan harus dipecahkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Hubungan kontrol geologi yang meliputi litologi, struktur dan stratigrafi, dalam distribusi alterasi dan mineralisasi pada kedua tipe endapan ini. 2) Karakteristik - variasi alterasi dan mineralisasi masing-masing tipe endapan. 3) Kondisi geokimia batuan asal yang mengalami alterasi dan mineralisasi kedua tipe endapan ini. 4) Kondisi temperatur dan tekanan ketika proses hidrotermal terjadi pada komposisi (salinitas) serta tingkat keasaman dari larutan hidrotermal saat terbentuk dua tipe endapan tersebut. 5) Model genetik kedua endapan tersebut sehingga kita dapat mengetahui evolusi antara endapan sulfida tinggi dan sulfida rendah dan pada akhirnya kita dapat membuat model konseptual endapan ini. 1.4. Batasan Masalah Penelitian ini dibatasi oleh permasalahan yang berkaitan dengan kontrol geologi berupa litologi dan struktur terhadap distribusi batuan yang teralterasi dan termineralisasi serta karakteristiknya. Analisis dengan menggunakan beberapa metode petrografi, mineralografi, geokimia, spectra dan analisis larutan hidrotermal. Keberadaan pertambangan marmer dan mangan di daerah penelitian tidak termasuk dalam pembahasan penelitian ini. 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk dapat menjawab permasalahan yang telah diuraikan diatas, yaitu sebagai berikut:
1. Mengetahui dan menjelaskan kontrol geologi terhadap pembentukan deposit epitermal di lokasi penelitian. 4
2. Dapat menjelaskan karakteristik alterasi dan mineralisasi tipe endapan, baik secara geokimia maupun yang berhubungan dengan topografi dan pola aliran sungai. 3. Menginterpretasikan
paleosurface
berdasarkan
kumpulan
mineral
yang
ditemukan dilapangan maupun laboratorium dan dapat menginterpretasi genesa pembentukan endapan sulfidasi rendah dan sulfidasi tinggi berdasarkan bukti data lapangan dan atau laboratorium. 4. Mengetahui karakteristik larutan hidrotermal dan dapat menginterpretasi model genetik kedua endapan tersebut, serta kita dapat mengetahui evolusi antara endapan sulfida tinggi dan sulfida rendah dan pada akhirnya kita dapat membuat model konseptual endapan ini.
1.6. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian untuk bidang ilmu pengetahuan adalah dapat menjelaskan lebih detail atas penemuan daerah mineralisasi ini terhadap kontrol geologi kaitanya dengan adanya mineralisasi tipe sulfida rendah dan tinggi dalam jarak yang relatif dekat dan hubungan antar kedua tipe tersebut. Selain itu juga dapat menjelaskan karakteristik mineral dan geokimia daerah termineralisasi ini. Sedangkan manfaat secara ekonomis adalah dengan identifikasi adanya daerah yang termineralisasi diharapkan dapat ditindaklanjuti dengan eksplorasi lanjut yang melibatkan dunia industri. 1.7. Peneliti Terdahulu Daerah ini telah diteliti sebelumnya oleh Idrus, dkk (2013) dengan topik “Mineralisasi Emas di Gunung Gupit, Magelang, Jawa Tengah: Sebuah penemuan baru prospek emas tipe epitermal sulfida tinggi pada rangkaian Pegunungan Kulon Progo – Menoreh”. Daerah penelitian ini sebagian besar masuk dalam wilayah Kecamatan Borobudur terdiri dari Desa Kebonsari, Desa Kembanglimus, Desa Karangrejo, Desa Ngadiharjo dan Desa Karanganyar dan sebagian kecil masuk Kecamatan Salaman. Dalam resume penelitian tersebut dikatakan bahwa batuan di daerah telitian terdiri dari lava andesit dan lava dasit dari Formasi Kebo Butak anggota dari Formasi Andesit 5
Tua, breksi autoklastik dan breksi andesitik dari endapan muda Gunung Sumbing. Batuan di daerah ini telah terubah oleh aktifitas hidrotermal. Dari pekerjaan lapangan ditemukan urat kuarsa dan batuan samping yang tersilisifikasi mempunyai arah timurlaut-baratdaya yang dikontrol oleh adanya patahan geser dengan arah yang sama. Batuan ubahan yang ditemukan di lapangan adalah silisifikasi, argilik lanjut, argilik dan propilitik. Argilik lanjut dicirikan dengan adanya alunit, jarosit, belerang, piropilit dickit dan halloisit. Tekstur silika vuggy banyak dijumpai. Mineral bijih yang ditemukan adalah enargit, kalkopirit, emas murni, magnetit dan hematit. Hasil analisis laboratorium menunjukkan kadar yang bervariasi dari 0,006 g/t sampai 42,4 g/t Au dan <1 g/t sampai 112 g/t Ag, sedangkan dari sampel sedimen sungai dari 304 ppb Au dan 980 ppb Ag. Dari karakteristik tersebut dikatakan bahwa endapan tersebut adalah tipe epitermal sulfida tinggi. Endapan tipe epitermal sulfida tinggi tersebut secara genetik dekat dengan potensi endapan tipe porpiri yang terdapat di bagian bawahnya. Sebagaimana kesimpulan dalam penelitian terdahulu bahwa penelitian ini masih sangat awal sehingga direkomendasikan untuk melakukan penelitian detail beberapa aspek genetik endapan dan / atau kegiatan eksplorasi lanjut, maka penelitian terdahulu ini menjadi latar belakang yang dipakai untuk penelitian selanjutnya. Perbandingan luas daerah penelitian sebelumnya dan daerah penelitian saat ini lebih kurang 1:3, sedangkan cakupan daerah penelitian saat ini lebih kurang 85% dari seluruh daerah Pegunungan Menoreh (Gambar I.3).
6
Gambar I.3. Peta Perbandingan peta alterasi penelitian terdahulu (Idrus dkk, 2013) dengan penelitian saat ini menunjukkan perbandingan kurang lebih 1:3, yang dilatarbelakangi oleh peta batas Kecamatan Borobudur (hijau muda) dan Kecamatan Salaman (jingga) beserta nama desa yang terdapat di dalamnya.
7