BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan unit yang ideal untuk perencanaan dan pengelolaan sumberdaya tanah dan air yang dapat mendukung kebutuhan hidup manusia pada saat ini dan yang akan datang. Daerah aliran sungai merupakan suatu wilayah ekosistem yang dibatasi oleh pemisah air topografis dan berfungsi sebagai pengumpul, penyimpan, dan pengaluran air, sedimen, dan unsur hara dalam sistem sungai yang kesemuanya keluar melalui outlet tunggal (Linsley et al., 1986). Berbagai cara dilakukan manusia memanfaatkan sumberdaya yang terdapat pada suatu DAS. Salah satu cara untuk memanfaatkan sumberdaya air suatu DAS yaitu dengan membangun bendungan. Kebutuhan air seperti memanfaatkan aliran sungai untuk irigasi, navigasi, air minum, pengendali banjir, atau pembangkit listrik sering membutuhkan waduk beserta retensi dan fasilitas penjagaan. Pembangunan bendungan memainkan peran yang sangat vital dalam pengembangan ekonomi dan pengendalian banjir (He et al., 2008). Bendungan maupun bangunan-bangunan rekayasa
lainnya
kadang-kadang
mengalami
kegagalan.
Meskipun
tingkat
kegagalannya kecil, bukan berarti tidak ada. Lemahnya desain, peraturan yang tidak jelas, konstruksi yang cacat, kualitas kontrol penjagaan yang tidak memadai, kurangnya pemeliharaan dan faktor-faktor lainnya yang bersifat aktif maupun aktif yang berkontribusi terhadap kondisi pembangunan yang dapat menyebabkan masalah serius atau kegagalan terhadap bendungan (Samaras et al., 2014). Membangun bendungan berarti pula membangun suatu bangunan yang berisiko tinggi. Meskipun pembangunan bendungan berperan mengurangi risiko banjir sungai di bagian hilir suatu bendungan namun bisa menimbulkan risiko lain jika terjadi kegagalan bendungan (Wirutystuko & Nugroho, 2013; Dogan et al.,
2014). Puncak dan volume banjir akibat kegagalan bendungan kemungkinan beberapa kali lebih besar dari Probable Maximum Flood (PMF) (Dogan et al., 2014). Sebuah bendungan tidak ada yang akan bertahan selamanya sehingga dapat menimbulkan bencana yang besar bagi masyarakat yang berada di daerah hilir suatu DAS. Hal ini menyebabkan keamanan bendungan menarik perhatian banyak orang beberapa tahun terakhir ini (Zhang et al., 2009). Kejadian kegagalan bendungan (dam failure) terbukti telah menyebabkan kerugian sangat besar baik itu skala global maupun skala lokal. Banjir yang terjadi pada suatu waduk dapat menyebabkan retakan ataupun pelimpahan (overtopping) pada bendungan yang bisa mengakibatkan kerentanan terhadap kehidupan manusia, infrastruktur, dan kegiatan ekonomi terhadap masyarakat yang berada di daerah hilir sungai (Evans & Hohl, 2010). Beberapa kejadian keruntuhan bendungan yang telah terjadi terbukti menimbulkan korban jiwa dan harta yang tidak sedikit. Dalam seratus tahun terakhir, banjir-banjir terdahsyat yang tercatat merupakan hasil dari kegagalan bendungan (Teegavarapu, 2012). Daftar kejadian kegagalan bendungan dari Tahun 1800 hingga saat ini yang signifikan dapat dilihat pada Tabel 1.1. Kegagalan bendungan dapat disebabkan oleh beberapa faktor baik itu faktor struktur bendungan maupun faktor alami. Salah satu contohnya yaitu tingkat sedimentasi yang tinggi pada waduk. Penyebab utama berkurangnya kapasitas tampungan air di bendungan-bendungan Indonesia adalah tingginya tingkat sedimentasi (Asrib et al., 2011). Dari kejadian kegagalan bendungan tersebut, setiap DAS yang memiliki bendungan harus memperhatikan upaya pengelolaan Kawasan Hilirnya terhadap banjir akibat kegagalan bendungan. Bencana banjir pada DAS pada umumnya dengan DAS yang memiliki bendungan besar tentu berbeda. Pada DAS yang tidak berbendungan, kemungkinan bencana banjirnya dapat terjadi secara berkala. Sedangkan pada DAS yang memiliki bendungan besar, bencana banjirnya berasal dari peristiwa keruntuhan bendungan. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
2010 menyatakan bahwa setiap
pembangunan bendungan harus mempunyai rencana tindak darurat. Salah satu syarat
untuk menyusun rencana tindak darurat yaitu dengan memetakan wilayah banjir pada daerah hilir bendungan dan mengetahui risiko yang ada pada wilayah tersebut. Kerentanan banjir di wilayah perkotaan lebih besar dibandingkan wilayah pedesaan karena kegiatan ekonomi dan kepadatan penduduk yang signifikan (Gallegos et al., 2009). DAS Jeneberang adalah DAS yang yang mencakup tiga kabupaten/kota di Sulawesi Selatan yaitu Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, dan Kota Makassar. Di DAS Jeneberang dibangun Bendungan Bili-Bili yang pengerjaannya dimulai pada Tahun 1991 dan mulai beroperasi pada Tahun 1998. Bendungan Bili-Bili ini dimanfaatkan untuk irigasi, pembangkit listrik, dan persediaan air minum untuk wilayah Kabupaten Gowa, Kabupaten Takalar, dan Kota Makassar (JICA, 2005). Tinggi bendungan bili-bili adalah 76,6 meter dengan luas 384,4 km2
dengan
perencanaan umur 50 tahun (JRBDP, 2004). Pada Tahun 2004 terjadi bencana longsor di hulu Sungai Jeneberang tepatnya di kaki Gunung Bawakaraeng. Bencana longsor ini tentunya menyebabkan sedimentasi yang tinggi pada Bendungan Bili-Bili. Data yang diperoleh dari Asrib et al. (2011), pada bulan April 2001 volume sedimentasi Bendungan Bili-Bili hanya 8.376.000 m3. Setelah terjadi longsoran Bendungan Bili-Bili pada Tahun 2004, volume sedimen meningkat tajam pada Tahun 2005 menjadi 60.959.000 m3. Hingga tahun 2008, volume sedimentasi Bendungan Bili-Bili mencapai 65.652.098 m3. Volume aliran sedimen di Bendungan Bili-Bili pada Tahun 2004-2008 (Asrib et al., 2011) dapat dilihat pada Tabel 1.2. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (2008), Waduk Bili-Bili yang terletak di DAS Jenebrang, Sulawesi Selatan merupakan salah satu waduk di Indonesia yang mengalami tingkat sedimentasi yang tinggi.
Tabel 1. 1. Kejadian Keruntuhan Bendungan Nama Bendungan South Fork
Tahun Pembangunan 1839
Tahun Keruntuhan Mei 1889
Jumlah Korban Jiwa >2000
Keterangan Terjadi overtopping dan keruntuhan akibat ketidakmampuan spillway
1863
11 Maret 1864
150
Kegagalan tanggul akibat pengerjaan konstruksi yang buruk dengan volume
(Johnstown) Dam, USA Dale Dyke Dam, UK
hantaman gelombang ~0,09 mm3 Habra Dam, Algeria
1873
Desember 1881
209
Keruntuhan bendungan disebabkan oleh kapasitas spillway yang tidak memadai. Kejadian hujan dengan curahan yang tinggi 165 mm dalam satu malam menyebabkan limpasan tiga kali lebih besar dari reservoir
Banqiao dan
1952
1975
>171.000
Shimantan Dam
Kegagalan bendungan ini merupakan kegagalan terparah sepanjang sejarah. Penyebab keruntuhan yakni tingginya curah hujan yang melampaui kemampuan daya tampung dam
Belci dam, Romania
1958-1962
1991
197
Terjadi overtopping dan keruntuhan pada bendungan
Sempor Dam,
1967
1967
>2000
Overtopping akibat banjir bandang pada saat dam masih dalam konstruksi
1996
4 Juni 2002
22
Terjadi keretakan pada tanggul bendungan yang melepaskan sekitar 71 mm3
Indonesia Zeyzoun Dam, Syria
air. Runtuhnya tembok air setinggi 3,3 m menenggalamkan area lebih dari 80 km2. Lebar akhir keretakan pada bendungan adalah 80 m Situ gintung,
1933
2009
Indonesia Sumber: He et al. (2008), Asrib et al. (2011)
98
Pemeliharaan dam yang buruk dan hujan monsun yang deras.
Tabel 1. 2. Volume Aliran Sedimen di Bendungan Bili-Bili Pada Tahun 2004-2008 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 Total
Volume erosi tahunan (m3) 0 2.192.642 5.147.673 5.834.397 5.038.250 18.212.962
Volume aliran sedimen (m3) 45.027.954 15.198.525 450.477 3.059.472 1.915.671 65.652.098
Volume endapan tahunan (m3) 45.027.954 17.391.167 5.598.149 8.893.869 6.953.921 83.865.060
Sumber: Asrib et al., 2008 Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka diperlukan pengelolaan kawasan hilir DAS Jeneberang berbasis analisis risiko banjir akibat kegagalan bendungan. Hal ini perlu dilakukan selain untuk mengurangi risiko banjir tetapi juga untuk memanfaatkan sumberdaya air dan tanah di Kawasan Hilir DAS Jeneberang.
1.2. Permasalahan Penelitian Beberapa kota besar di Indonesia berada pada dearah dataran banjir, salah satunya adalah Kota Makassar (Siswoko, 2005 dalam Setiawan, 2008). Kota Makassar terletak di dataran banjir Sungai Jeneberang. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak kerugian yang besar jika terjadi kegagalan Bendungan BiliBili. Berdasarkan sensus Tahun 2013, jumlah penduduk Kota Makassar saat ini berjumlah 1.407.982 (BPS, 2014). Besarnya jumlah penduduk Kota Makassar yang terletak di hilir Sungai Jeneberang, bisa menimbulkan risiko yang besar jika terjadi bencana banjir akibat kegagalan bendungan. Untuk itu, diperlukan upaya pengelolaan Kawasan Hilir berbasis risiko banjir kegagalan bendungan. Hal ini bisa bermanfaat karena banjir akibat kegagalan bendungan bisa terjadi kapan saja. Belum tersedianya rencana tanggap darurat banjir akibat kegagalan bendungan, maka diperlukan pendekatan analisis risiko untuk memulai penyusunan rencana tanggap darurat. Pendekatan analisis risiko ini berhubungan dengan tingkat bahaya dan tingkat kerentanan banjir akibat kerentanan bendungan. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:
1. bagaimana ancaman banjir jika terjadi kegagalan bendungan di hilir DAS Jeneberang? 2. bagaimana tingkat risiko banjir jika terjadi kegagalan bendungan di hilir DAS Jeneberang? 3. bagaimana upaya pengelolaan Kawasan Hilir DAS jeneberang berbasis risiko banjir akibat kegagalan bendungan?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan di atas, maka tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah: 1. memetakan ancaman banjir jika terjadi kegagalan bendungan di hilir DAS Jeneberang 2. menganalisis tingkat risiko banjir akibat kegagalan bendungan di hilir DAS Jeneberang 3. menentukan alternatif pengelolaan Kawasan Hilir DAS Jeneberang berbasis risiko banjir akibat kegagalan bendungan
1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat, yaitu: 1. Memberikan informasi kepada pemerintah sebagai pertimbangan pembuatan perencanaan wilayah dan tata ruang untuk sempadan sungai yang memilki bendungan. 2. Sebagai dasar pembuatan rencana tindak darurat jika terjadi kegagalan bendungan bili-bili dengan adanya peta risiko banjir akibat kegagalan bendungan Bili-Bili.