BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Ikan Cyprinid salah satu yang populer diantaranya adalah ikan mas atau
common carp (Cyprinus carpio) merupakan ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan cukup digemari di masyarakat untuk dikonsumsi sebagai sumber protein hewani. Ikan Cyprinid memiliki banyak ragam dan jenis yang bermacammacam, untuk ikan Cyprinid konsumsi yang biasanya banyak beredar di pasaran diantaranya adalah ikan mas strain Majalaya, Subang, dan Rajadanu. Ikan mas konsumsi di Indonesia mulai dipelihara sekitar tahun 1920 yang mulanya dibawa dari China, Taiwan, Jepang, dan Eropa kemudian didomestikasi di perairan Indonesia. Ikan mas strain Majalaya dan Punten adalah ikan mas hasil seleksi di Indonesia, hingga saat ini banyak ragam dan jenis ikan mas yang dapat dibedakan berdasarkan karakteristik fenotip atau morfologinya (Kemenristek 2000). Kegiatan budidaya ikan mas mulai berkembang di masyarakat Jawa Barat sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1860an (Murtidjo 2001). Ditinjau dari keragaman jenis ikan Cyprinid yang melimpah hal ini membuat ikan Cyprinid memiliki banyak fungsi lain selain sebagai ikan konsumsi bagi masyarakat. Ikan Cyprinid terkenal juga memiliki banyak jenis yang dijadikan sebagai ikan hias untuk dipelihara di akuarium maupun kolam-kolam rumahan contohnya adalah ikan Giant barb (Catlocarpio siamensis), ikan yang masih termasuk kedalam keluarga Cyprinidae ini merupakan ikan asli dari perairan Indo-China, di tempat asalnya ikan ini juga dijadikan sebagai sumber protein untuk dikonsumsi. Selain sebagai ikan hias dan ikan konsumsi ada pula Grass carp (Ctenopharyngodon idella) yang dapat digunakan sebagai pengendali pertumbuhan gulma air (eceng gondok) yang mengganggu di perairan umum serta banyak fungsi lain yang bisa dimanfaatkan dari ikan jenis ini. Sebagai jenis ikan yang cukup digemari di masyarakat membuat permintaan pasar akan ikan Cyprinid juga cukup tinggi, maka banyak diadakan usaha-usaha untuk meningkatkan tingkat produksi ikan Cyprinid, terutama ikan
1
2
mas agar bisa memenuhi kebutuhan pasar baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kegiatan budidaya secara intensif dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pasar akan ikan Cyprinid, agar tersedia banyak benih untuk kegiatan budidaya maka dilakukan pembenihan ikan secara buatan di panti-panti pembenihan rakyat maupun Balai Benih Ikan milik pemerintah. Program pembenihan secara selektif pada ikan mas jarang dilakukan, umumnya program pembenihan pada ikan ini lebih mengutamakan persilangan strain yang berbeda melalui perkawinan silang (cross breeding), tingkat heterosis yang tinggi berhubungan dengan karakteristik pertumbuhan (Nielsen et al. 2010). Pembenihan secara buatan sangat membantu meningkatkan nilai produksi benih ikan mas, meskipun demikian cross breeding kemungkinan dapat memberikan dampak negatif bila indukan yang digunakan ternyata masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Pembenihan yang dilakukan menggunakan indukan dengan jumlah terbatas dari jenis yang sama secara terus menerus di panti-panti pembenihan dapat menyebabkan penurunan kualitas genetik pada ikan, yang kemungkinan
disebabkan
oleh
adanya
fenomena
perkawinan
sekerabat
(inbreeding), hanyutnya sifat genetik (genetic drift), dan penurunan jumlah populasi (bottleneck effect) (Jewel et al. 2006). Penurunan kualitas genetik pada kegiatan hibridisasi atau cross breeding terjadi karena sifat genetik yang diturunkan dari indukan ikan mengalami degradasi. Hal ini memicu lebih banyak gen yang bersifat homozigot resesif muncul pada keturunan ikan yang dikawinkan secara buatan, sehingga gen yang bersifat dominan pada ikan mulai berkurang. Gen yang bersifat dominan akan diekspresikan menjadi fenotip, sedangkan gen yang bersifat homozigot resesif tidak akan terekspresikan menjadi fenotip, variasi gen yang terekspresi disebut sebagai polimorfisme (keragaman genetik). Beberapa metode PCR (polymerase chain reaction) dapat digunakan sebagai cara untuk mengetahui tingkat polimorfisme (keragaman genetik) pada suatu organisme, diantaranya adalah metode Allozim, mtDNA (mitokondria DNA), RFLP (restriction fragment length polymorphism), AFLP (amplified fragment length polymorphism), Mikrosatelit, RAPD (random amplified
3
polymorphic DNA), dan lainnya. Metode PCR memanfaatkan enzim DNA polymerase yang secara alami berperan dalam pengadaan DNA pada proses replikasi (Liu and Cordes 2004). Random amplified polymorphic DNA atau dikenal dengan sebutan RAPD adalah metode yang cukup sering digunakan untuk menganalisa keragaman genetik (polimorfisme) dan hubungan kekerabatan antar spesies pada suatu organisme. Penggunaan metode ini memerlukan primer RAPD sebagai titik permulaan dalam mengamplifikasi fragmen DNA polimorfik secara acak (Liu and Cordes 2004). Keragaman genetik (polimorfisme) yang terjadi antar individu atau jenis dapat dikenali melalui perbedaan pada fragmen DNA yang diamplifikasi oleh primer, dengan diketahuinya keragaman genetik (polimorfisme) pada ikan Cyprinid uji, maka diharapkan dapat membantu memudahkan seleksi calon indukan ikan Cyprinid terutama ikan mas dengan memberikan informasi untuk melakukan pembenihan secara selektif melalui pendekatan genetik. 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian di atas masalah yang dapat dirumuskan adalah
seberapa banyak tingkat keragaman genetik (polimorfisme) dari ikan mas (strain Majalaya, Rajadanu, Subang), grass carp, dan giant barb serta hubungan kekerabatan antar jenis ikan tersebut dengan menggunakan metode RAPD-PCR. 1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan ikan Cyprinid uji
yang memiliki tingkat polimorfisme tertinggi dan jenis primer yang ideal untuk menggambarkan hubungan kekerabatan dari ikan Cyprinid yang diteliti. 1.4
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para
pembudidaya dan peneliti mengenai keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antara ikan mas (strain Majalaya, Rajadanu, Subang), grass carp, dan giat barb, untuk mencari potensi sifat unggul dari ikan tersebut dalam upaya
4
mencegah kemungkinan terjadinya penurunan kualitas genetik. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sifat-sifat genetik dari beberapa jenis ikan Cyprinid dalam perlindungan terhadap pelestarian plasma nutfah biota akuatik. 1.5
Kerangka Pemikiran Ikan mas konsumsi merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar
unggulan yang dibudidayakan di Indonesia selain ikan nila, patin, lele dan gurame. Permintaan pasar terhadap ikan mas cukup tinggi sehingga mendorong banyak orang untuk melakukan kegiatan produksi ikan mas baik sekala kecil, sekala menengah maupun sekala besar. Kegiatan budidaya ikan mas secara intensif dilakukan guna memenuhi kebutuhan pasar. Maraknya kegiatan budidaya membuat permintaan pasokan benih ikan mas juga meningkat, sehingga pembenihan dan pembenihan ikan mas secara buatan dilakukan sebagai alternatif yang dinilai mampu untuk menyediakan permintaan benih ikan mas bagi para pembudidaya dalam jumlah yang banyak. Kegiatan budidaya ikan mas yang masif dilakukan dapat megakibatkan dampak negatif bagi ikan mas itu sendiri. Kegiatan budidaya yang bersifat mono kultur dapat berpengaruh terhadap tingkat keragaman genetiknya. Hilangnya keragaman genetik pada populasi kecil bisa jadi merupakan konsekuensi dari adanya penyimpangan genetik dan inbreeding, yang umumnya ditemukan pada stok budidaya (Sbordoni et al. 1986 dalam Freitas and Galetti 2005). Barker (1994) dalam Freitas et al. (2007), berpendapat bahwa ada dua fenomena yang sangat berpengaruh terhadap berkurangnya keragaman genetik dalam populasi kecil dan terisolasi pada kegiatan budidaya di balai pembenihan adalah adanya efek perintis (founder effect) dan terjadinya perkawinan sekerabat (inbreeding). Keragaman genetik penting untuk kelangsungan hidup jangka panjang suatu spesies, serta dapat memperkuat ketahanan suatu spesies atau populasi dengan memberikan spesies atau populasi tersebut kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan (Dunham 2002 dalam Asih dkk. 2006). Oktarianti dan Pristiwindari (2007) menyatakan bahwa tingkat keragaman genetik
5
dipengaruhi oleh habitat dan sejarah penyebaran suatu takson. Habitat yang kurang baik akan menyebabkan perkembangan populasinya tertekan dan akibatnya kemampuan reproduksi juga menurun. Menurunnya kemampuan reproduksi akan menyebabkan keragaman genetik juga menurun. Langkah yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas genetik diantaranya adalah dengan mempelajari karakteristik morfologi dan genotip dari ikan mas yang akan dibudidayakan atau dijadikan sebagai calon indukan dalam program pembenihan ikan secara buatan. Secara genotip untuk mengetahui tingkat keragaman genetik (polimorfisme) dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan molekuler dengan berbagai macam metode berbasis PCR (polymerase chain reaction) seperti Allozim, mtDNA, RFLP, AFLP, mikrosatelit, RAPD, dan lain-lain (Asih dkk. 2006). Aplikasi
RAPD-PCR
(random
amplified
polymorphism
DNA
–
polymerase chain reaction) cukup banyak digunakan untuk menganalisa keragaman genetik maupun hubungan kekerabatan antar jenis ikan dari keluarga Cyprinid, beberapa contoh hasil penelitian menggunakan RAPD-PCR pada ikan Cyprinid diantaranya adalah penelitian Muharam (2012), telah berhasil meneliti hubungan kekerabatan antar strain mas koi (Cyprinus carpio koi) dengan ikan mas Majalaya (Cyprinus carpio) menggunakan primer OPA-2 dan OPA-3. Rafsanjani (2011), menganalisa keragaman genetik ikan mas (Cyprinus carpio) endemik di Waduk Saguling, Jawa Barat menggunakan primer OPA-3 dan OPA-13. Yon and Park (2001), meneliti tingkat kesamaan dan keragaman genetik pada crucian carp (Carassius carassius) di alam liar dan di kolom budidaya, dengan menggunakan beberapa jenis primer OPA (OPA-1, OPA-2, OPA-3, OPA-4, OPA-5, OPA-6). Silas et al. (2005), juga menggunakan metode ini pada ikan Malabar mahseer (Tor malabaricus) dengan beberapa jenis primer OPA (OPA-2, OPA-3, dan OPA-7). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penggunaan primer OPA-2, OPA3, OPA- 5 dan OPA-13 telah berhasil memunculkan banyak pita polimorfik pada beberapa jenis ikan Cyprinid yang diuji (Lampiran 1). Secara skematis kerangka pemikiran di atas dapat diringkas dalam bagan (Gambar 1).
6
Gambar 1. Kerangka Pemikiran 1.6
Hipotesis Ketiga strain ikan mas uji (Majalaya, Rajadanu, Subang) memiliki
hubungan kekerabatan yang dekat, dan ketiga strain ikan mas ini juga memiliki hubungan kekerabatan yang agak jauh dengan giant barb dan kerabat jauh dengan grass carp, berdasarkan analisa menggunakan primer yang paling ideal (OPA-3).