BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Batu bata merah merupakan salah satu material yang masih cukup banyak
digunakan dalam praktek konstruksi, karena cukup mudah mendapatkannya dan harganya relatif murah. Penggunaan material bata merah pada bangunan tidak hanya dijumpai di pedesaan saja, tetapi juga dapat ditemui di daerah perkotaan. Peran pasangan dinding bata sebagai sekat pemisah atau partisi membuat pasangan dinding bata mempunyai fungsi yang berperan sebagai bagian dari konstruksi atau struktur bangunan. Sehingga hal – hal yang berkaitan dengan pekerjaan pasangan dinding, merupakan hal yang perlu diperhatikan, terutama dalam penggunaan material penyusunnya, baik pada kualitas bata, kualitas semen, dan komposisi susunannya yang perlu direncanakan dengan tepat. Pada bangunan sederhana, pasangan dinding bata mudah sekali mengalami keruntuhan akibat gaya lateral, seperti beban angin dan beban gempa (seismik) yang dikarenakan sifat dari pasangan bata tersebut sangat getas. Selain menerima gaya lateral dari arah bidang samping karena pengaruh interaksi dinding pasangan bata dengan portal, pasangan dinding bata juga dapat menerima gaya lateral dari arah bidang muka pasangan bata (lateral in-plane load). Dalam menahan gaya lateral dari arah bidang muka ini, dinding pasangan bata akan mengalami lentur ke arah tegak lurus bidang. Untuk bisa menahan lentur, maka kapasitas kekuatan lentur pasangan dinding bata perlu diperhitungkan dalam perencanaan agar terhindar dari keretakan bahkan keruntuhan. Melihat hal itu, maka perlu diadakannya pengujian kuat lentur terhadap pasangan dinding bata tersebut. Suatu penampang yang mengalami lentur akan menimbulkan tegangan tarik dan tegangan tekan pada serat penampangnya. Untuk menahan tegangan tarik diperlukan peranan tulangan baja yang dipasang pada serat tariknya. Untuk itulah penelitian ini juga akan menguji kuat lentur pasangan dinding bata yang diberi tulangan pada serat yang tertarik.
1
Bahan bata merah yang ditinjau akan diperoleh dari salah satu desa pengerajin bata merah di Bali yaitu bata merah Keramas, Gianyar. Di Keramas, pembuatan batu bata merah masih menggunakan cara yang tradisional dan belum mengikuti standart dan pengujian teknis. Karakteristik bata merah yang diproduksi belum diketahui, baik itu kuat tekan unit bata dan serapan airnya. Kapasitas lentur pasangan dinding bata dengan dan tanpa tulangan akibat gaya lateral ke arah bidang muka yang menggunakan bata lokal dari daerah Keramas sejauh ini belum diketahui, sehingga perlu diadakan penelitian. Studi eksperimental ini nantinya akan membahas perilaku lentur pasangan dinding bata akibat gaya lateral ke arah bidang muka dari 3 jenis spesimen pasangan dinding, yaitu pasangan dinding tanpa tulangan tanpa plesteran (TTTP), pasangan dinding tanpa tulangan dengan plesteran (TTDP) dan pasangan dinding dengan tulangan dengan plesteran (DTDP) . Pengujian kuat lentur pasangan dinding mengacu pada SNI-03-4165-1996.
1. 2
Rumusan Masalah
A. Berapakah kuat lentur pasangan dinding bata dari masing – masing jenis variabel benda uji, yaitu pasangan dinding bata tanpa tulangan tanpa plesteran, pasangan dinding bata tanpa tulangan dengan plesteran, dan pasangan dinding bata dengan tulangan dengan plesteran. B. Bagaimanakah pola retak dan lendutan yang terjadi pada masing – masing benda uji. 1.3
Tujuan Penelitian
A. Untuk mengetahui kuat lentur pasangan dinding bata dari masing – masing jenis variabel benda uji, yaitu pasangan dinding bata tanpa tulangan tanpa plesteran, pasangan dinding bata tanpa tulangan dengan plesteran, dan pasangan dinding bata dengan tulangan dengan plesteran. B. Untuk mengetahui pola retak dan lendutan yang terjadi pada masing – masing benda uji.
2
1.4
Manfaat Penelitian
A. Bagi Mahasisiwa. Secara
akademis
dapat
memberikan
wawasan
pengembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya mengenai perilaku pasangan dinding bata. B. Bagi Masyarakat. Sebagai panduan atau referensi perencanaan pasangan dinding bata di masyarakat agar terhindar dari keruntuhan lentur. 1.5 a.
Batasan Masalah Bata merah yang ditinjau adalah bata merah produksi dari desa Keramas, Gianyar.
b.
Semen yang digunakan semen portland tipe I merk Gresik
c.
Tulangan yang digunakan wire mesh M5 (U50)
d. Pengaruh luas tulangan tidak diperhitungkan. e.
Adukan mortar yang digunakan 1PC : 3Psr, fas= 0,7 dan 1PC : 4Psr, fas = 1,5
f.
Tebal spesi 15 mm dan plesteran 25 mm.
g.
Pengujian kuat lentur pasangan bata mengacu pada SNI-03-4165-1996.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pasangan Dinding Pasangan dinding merupakan suatu struktur pejal yang menentukan dan
kadangkala melindungi (sebagai tembok) sesuatu kawasan atau ruangan. Biasanya dinding berfungsi sebagai sempadan bangunan dan menyokong strukturnya, memisahkan ruang dalam bangunan kepada bilik dan melindungi atau menggariskan ruang pada kawasan terbuka. Pasangan dinding tersusun dari material dasar berupa bata merah, batako, bata ringan, dll, serta mortar yang merupakan campuran dari pasir dan semen yang digunakan sebagai spesi dan plesteran. Mortar untuk spesi digunakan sebagai perekat bata yang satu dengan bata yang lain sedangkan plesteran digunakan untuk meratakan permukaan dinding. 2.2
Jenis Retak Pada Dinding Pasangan Bata Menurut Gray (2002) dalam Satriyani (2004) bahwa hampir 80% dari
keretakan dinding pasangan pada struktur bangunan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu : 1.
Retak Horizontal Retak jenis ini seringkali berhubungan dengan struktur, tetapi besar atau kecilnya pengaruh dari retak ini tergantung pada ada atau tidaknya pergerakan lateral dari struktur tersebut. Jika tembok sudah bergerak kirakira sepertiga dari tebalnya sehingga tembok tersebut tidak tegak lagi, maka tembok ini kemungkinan akan runtuh.
2.
Retak Vertikal Retak vertikal atau hampir vertikal hanya berhubungan dengan struktur apabila terjadi pergerakan lateral pada konstruksi tersebut. Retak ini memiliki lebar yang sama dari atas sampai ke bawah dan biasanya tidak begitu lebar. 4
Ini disebabkan oleh pergerakan yang biasa terjadi pada bahan bangunan. Semakin kaku suatu bahan semakin besar kemungkinan terjadi retak. Bahan yang berpori dan bahan yang tidak begitu padat biasanya lebih fleksibel dan lebih kecil kemungkinannya untuk retak. 3
Retak Diagonal Retak diagonal ini biasanya berhubungan dengan struktur. Retak ini disebabkan oleh penurunan yang tidak merata pada pondasi yang menyangga tembok tersebut. Pada saat terjadi penurunan pada beberapa titik yang lemah, sedangkan titik lain pada tembok yang sama tidak terjadi penurunan karena ditopang oleh tanah atau pondasi yang kuat, maka terjadilah retak diagonal ini.
2.3
Penyebab Terjadinya Keretakan Pasangan Dinding Bata Frick (1999) dalam Satriyani (2004) menyatakan bahwa jika daya dukung
tanah tidak mampu menerima beban diatasnya, maka akan terjadi penurunan yang tidak merata pada konstruksi. Hal ini memicu terjadinya ketimpangan – ketimpangan pada bangunan yang salah satunya yaitu keretakan dinding. Untuk itu sebelum pelaksanaan pembangunan dimulai perlu diadakan suatu perbaikan mutu tanah terhadap tanah yang keadaannya kurang baik. Pondasi adalah bagian dari bangunan yang berfungsi untuk meneruskan beban yang dipikulnya termasuk beratnya sendiri ke permukaan tanah. Untuk menghindari penurunan yang tidak merata maka pondasi harus diperhitungkan dengan tepat. Seperti yang dikatakan Zainal (2000) dalam Satriyani (2004), bahwa untuk menghindari terjadinya keretakan pada dinding dan agar penurunan menjadi merata, maka perlu dipasang sloof beton pada pondasi. Kesalahan dalam pengerjaan juga merupakan penyebab terjadinya keretakan dinding. Beberapa contoh kesalahan yang sering terjadi di lapangan adalah tidak dipenuhinya syarat – syarat berikut : Untuk satu kali proses pengerjaan, tinggi dinding tidak boleh melebihi satu meter. Syarat diatas dimaksudkan agar berat sendiri yang dipikul oleh dinding itu tidak terlalu berat selama proses pengikatan antara campuran spesi dan bata merah yang digunakan masi berlangsung. Jika hal ini tidak 5
dipenuhi, maka dikawatirkan proses pengikatan itu tidak terjadi dengan maksimal sehingga secara otomatis kekuatan tembok tersebut dalam menerima beban akan berkurang. Pada dinding bata merah, sebelum pemasangan, bata merah harus direndam
terlebih dahulu hingga cukup air. Ketentuan ini berkenaan dengan proses pembuatan bata merah itu sendiri yaitu melalui pembakaran. Proses ini menyebabkan bata merah memiliki tingkat penyerapan air yang sangat tinggi. Apabila hal ini tidak dilakukan sebelum pemasangan, dikawatirkan bata merah akan menyerap air dari campuran spesi sehingga proses pengikatan spesi menjadi terganggu karena adukan spesi menjadi kering. Mutu bahan yang digunakan harus tidak ada cacat. Batu bata merah yang digunakan adalah batu bata dengan tingkat kematangan yang sedang sehingga akan berwarna merah tua. Selain itu ukuran bata merah harus seragam, sehingga ketebalan spesi pun menjadi seragam dan tidak kurang dari satu sentimeter. Perhitungan terhadap beban – beban yang dipikul dinding juga perlu dilakukan agar bisa direncanakan kapasitas dinding dalam memikul beban sehingga tidak terjadi keretakan bahkan keruntuhan pada dinding akibat kekuatan material penyusunnya terlampaui. 2.4
Perilaku Lentur Pasangan Dinding Dalam banyak peristiwa untuk contoh panel dinding, pasangan dinding
harus melawan gaya yang dihasilkan beban lateral seperti tekanan angin dan gempa. Dimensi geometrik
dan kondisi pendukung panel dinding sering
menghasilkan 2 arah lenturan. Pasangan yang memiliki sifat non isotropik menghasilkan kekuatan lentur dan bentuk kegagalannya yang berbeda dalam arah horisontal dan vertikal (Gambar 2.1). Bentuk kegagalan dari lenturan vertikal sederhana terjadi bersama keretakan yang meluas sepanjang siar datar dan lenturan horisontal bersama keretakan yang meluas sepanjang siar tegak. Pasangan non isotropik menghasilkan 2 bentuk prinsip dari kegagalan lentur yang harus dipertimbangkan, yaitu : • Kegagalan sejajar siar datar. 6
• Kegagalan tegak lurus siar datar
(a) Kegagalan sejajar siar datar
(b) Kegagalan tegak lurus siar datar
Gambar. 2.1 Kegagalan lentur pasangan dinding Sumber : McKenzie (2001)
Rasio perbandingan kekuatan lentur sejajar siar datar dengan kekuatan lentur tegak lurus siar datar diketahui sebagai orthogonal ratio (µ) dan biasanya mempunyai nilai 0,33 untuk bata lempung, bata kalsium silikat, dan bata beton, dan 0,6 untuk blok beton. Penelitian mengindikasikan bahwa kekuatan lentur dari batu bata sangat dipengaruhi oleh karakteristik serapan air dari setiap unit. Dalam kasus pada blok beton kekuatan lentur tegak lurus siar datar sangat dipengaruhi oleh kekuatan tekan masing – masing unit. Dalam semua kasus kekuatan lentur pasangan dinding dari kedua arah tergantung oleh kekuatan mortar yang digunakan dan khususnya lekatan antara unit dan mortar. Lekatan sangat tidak tetap dan penelitian memperlihatkan bahwa itu tergantung dari propertinya, seperti kerapatan struktur dari unit dan mortar, gradasi mortar dan kadar kelembaban dari mortar saat digunakan.
7
Dalam British Standart 5628 : Part 1 : 1992 Tabel 3, Karakteristik kuat lentur pasangan dinding (fkx) untuk unit bata merah ditentukan berdasarkan mortar design dan persentase penyerapan air unit bata merah yang digunakan, seperti ditunjukan pada tabel berikut. Tabel 2.1 Karakteristik Kuat Lentur Pasangan Bata Persentase serapan air unit bata merah < 7% 7% ≤ x ≤ 12% 12% <
fkx arah vertikal (N/mm²) fkx arah horisontal (N/mm²) Mortar design (i) (ii), (iii) (iv) (i) (ii), (iii) (iv) 0,7 0,5 0,40 2,0 1,5 1,2 0,5 0,4 0,35 1,5 1,1 1,0 0,4 0,3 0,25 1,1 0,9 0,8
Sumber : McKenzie (2001)
2.5
Pasangan Bata bertulang Pasangan bata bertulang (reinforced brick masonry) memiliki keserupaan
dengan konstruksi beton bertulang. Batang penulangan baja terdeformasi, yang serupa dengan yang digunakan pada beton, ditempatkan pada siar kearah yang dipertebal untuk memperkuat dinding atau lintel batanya. Dinding bata bertulang diciptakan dengan membangun dua dinding pisah – tengah (Cavity wall) yang terpisah sejarak 50 – 100 mm, dengan menempatkan batang – batang tulangan di dalam rongganya, lalu mengisi rongga tersebut dengan adukan encer (Mortar) seperti terlihat pada Gambar 2.2. Penting untuk kita ketahui bahwa mortar itu cukup encer sehingga akan mudah mengalir ke dalam rongga – rongga yang sempit dan mengisinya secara sempurna. Air berlebih dalam adukan encer yang dibutuhkan untuk memperoleh tingkat keenceran seperti ini secara cepat diserap oleh bata, dan tidak akan memperlemah kekuatan akhir adukan encer itu sebagaimana layaknya beton yang dituang ke dalam bekisting. Walaupun dinding bata tak bertulang sudah cukup kuat untuk kebanyakan struktur, dinding bata bertulang jauh lebih kuat melawan beban tegak, beban lentur, dari angin atau tekanan tanah, beban seismik, dan beban geser (Edward Allen, 2005).
8
Gambar. 2.2 Pasangan bata bertulang Sumber: Edward Allen (2005)
Meskipun telah diperkenalkan sejak abad 19, kegunaan baja dalam meningkatkan kekuatan pekerjaan bata belum pernah diteliti dan dikembangkan lebih dalam seperti pada beton dan penggunaannya belum secara ekstensif di Inggris atau diseluruh Eropa. Konsep disainnya sangat serupa dengan beton bertulang, tetapi tidak seperti beton, pasangan bata tidak isotropik maupun homogen tidak pula karakteristik fisiknya seperti penyusutan, pemuaian, dll. sama dan ketelitian harus diambil bila mencocokan 2 unit material beton dan bata (MCKenzie, 2001). Proses penulangan pasangan bata pada umumnya secara langsung dan dalam banyak kasus melibatkan sedikit usaha dibanding beton. Sedikit usaha ini yaitu dengan memanfaatkan celah – celah yang dapat dibuat dengan menggunakan pola hubungan khusus untuk meletakan tulangan. Terdapat
9
beberapa jenis pemasangan tulangan pada pasangan bata yang tergantung dari pola hubungan pasangan bata seperti ditunjukan pada Gambar 2.3.
Gambar. 2.3 Hubungan pasangan bata bertulang Sumber: McKenzie (2001)
2.6
Bata Merah Bata merah merupakan suatu unsur bahan bangunan yang terbuat dari
bahan tanah liat dengan atau tanpa campuran bahan lainnya, yang dibakar pada suhu yang cukup tinggi sehingga tidak hancur lagi bila direndam dalam air (Daryanto, 2000). Syarat-syarat bata merah yang baik buatan industri rumah tangga maupun perusahaan bata merah harus mempunyai rusuk-rusuk yang tajam dan siku, bidang-bidang sisi harus datar, tidak terjadi perubahan bentuk yang berlebihan setelah dibakar, permukaan bata merah harus kasar, warnanya merah seragam (secara merata) dan bunyinya nyaring bila diketok (Frick, 1999). Dalam penggunaannya sebagai bahan bangunan yang banyak dipakai oleh masyarakat, bata merah memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Berikut adalah beberapa kelebihan dan kekurangannya : a.
Kelebihan : • Kedap air, sehingga jarang terjadi rembesan pada dinding akibat air hujan. 10
• Kuat dan tahan lama. • Dapat menyerap panas pada musim panas dan menyerap dingin pada musim dingin. • Merupakan bahan tahan panas dan dapat menjadi perlindungan terhadap api/kebakaran. • Tidak memerlukan keahlian khusus untuk memasang bata. • Ukurannya yang kecil memudahkan untuk pengangkutan untuk jumlah kecil atau membentuk bidang-bidang yang kecil. • Murah dan mudah ditemukan. b.
Kekurangan : • Waktu pemasangan lebih lama dibandingkan bahan dinding lainnya. • Tidak tahan terhadap perubahan suhu yang besar. • Menimbulkan beban yang cukup besar pada struktur bangunan. • Sulit untuk membuat pasangan bata yang rapi sehingga dibutuhkan plesteran yang cukup tebal untuk menghasilkan dinding yang cukup rata. • Kualitas yang beragam dan ukuran yang jarang sama membuat sisa material dapat lebih banyak. Bata merah sebagai hasil industri rumah tangga yang biasanya dilakukan
oleh masyarakat di desa, dibuat dengan menggunakan bahan-bahan dasar sebagai berikut : • Tanah liat (lempung) 6 bagian bagian berat yang mengandung silika sebesar 50% sampai dengan 70%. • Abu sekam padi atau abu gergaji kayu 2 bagian berat yang manfaatnya sebagai alas pencetakan supaya bata merah tidak melekat pada tanah, dan permukaan bata merah akan cukup kasar tetapi sekam padi juga dicampur pada bata merah yang masih mentah. • Air 4 bagian digunakan untuk melunakkan dan merendam adonan bata
merah, serta sebagai pelicin adonan bata merah agar memudahkan dalam pencetakan. Bahan dasar (tanah liat, abu sekam padi, air) dicampur dan diaduk sampai rata. Campuran yang telah dibersihkan direndam selama satu hari satu malam, dan
11
selanjutnya dilakukan pencetakan di atas permukaan tanah yang sudah diberi sekam padi. Pencetakan bata merah biasanya dilakukan pada musim kemarau dan di bawah sinar matahari agar cepat kering, setelah kering ditumpuk dalam susunan setinggi 10–15 batu dengan tujuan agar bata merah dapat diangin-anginkan. Pembakaran bata merah pada suhu ± 800⁰C selama 6 hari membuat bata merah menjadi tahan air dan cuaca. Tujuan pemanasan dengan suhu tinggi pada pembuatan bata merah adalah untuk mengubah kekerasan pada bata merah yang memenuhi persyaratan untuk keperluan penggunaannya yaitu sebagai konstruksi dinding. 2.6.1 Jenis – jenis Bata Merah Berdasarkan kegunaan dari bata merah ini, ada beberapa jenis menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia, yaitu : a.
Common brick (Bata Biasa) Batu bata yang terbuat dari tanah liat. Tanah liat dibentuk dengan cetakan, dikeringkan, kemudian dibakar pada suhu yang relatif rendah. Proses pembakaran ini menyebabkan bata menjadi cukup kuat dan keras serta permukaannya menjadi kasar. Bata biasa digunakan di bagian dalam struktur, kemudian ditutup dengan lapisan plester atau bata muka. Bata ini berwarna merah karena besi di dalam tanah liat mengalami oksidasi ketika dibakar. Bila kandungan besinya sedikit, bata itu akan berwarna jingga atau kuning.
b.
Face brick (Bata Muka) Batu bata yang digunakan untuk menutup muka dinding, baik bagian luar/eksterior maupun interior bangunan. Dalam aplikasi arsitektur, ukuran, warna dan tekstur bata ini diperhatikan. Meskipun kadang – kadang hanya untuk dekorasi, bata ini harus tahan terhadap perubahan suhu.
c.
Calsium Silicate brick (Bata Kalsium silikat) Batu bata yang terbuat dari campuran pasir dan kapur, dengan perbandingan 10 : 1. Bata ini tidak sekuat bata yang terbuat dari tanah liat.
d.
Fire brick (Bata api) Merupakan salah satu jenis batu bata yang terbuat dari tanah liat bakar, dengan bahan tambahan silika dan alumina yang tahan terhadap suhu lebih
12
dari 1000ºC. Bata api ini memiliki ketahanan terhadap panas lebih tinggi dibandingkan dengan bata konvensional. Bata api dibidang konstruksi digunakan untuk elemen bangunan seperti dinding untuk tangga darurat. Bata api ini dapat bertahan lama bila digunakan dibawah suhu maksimal ketahanan dari bata api tersebut. Bata api ini hanya perlu diganti apabila sudah terjadi keretakan atau bahkan kerusakan. 2.6.2
Penyerapan Air Bata Merah Pada SNI 15–068–1989 ditentukan cara mencari persentase penyerapan air
bata merah. Dalam standar tersebut masing-masing benda uji direndam dalam air hingga jenuh kemudian ditimbang beratnya (A). kemudian contoh uji dikeringkan dalam dapur pengering pada suhu 100-110⁰C selama 24 jam (hingga beratnya tetap). Setelah itu contoh dikeluarkan dari dapur pengering lalu didinginkan diruang sampai suhu kamar, kemudian masing-masing beratnya ditimbang (B). Penyerapan air masing-masing dihitung dengan persamaan 2.1 berikut: ……………..……………….........……….2.1 Penyerapan air masing-masing contoh ini dicatat dan dihitung harga ratarata dari semua contoh yang diuji, dinyatakan dalam persen. Pada Tabel 2.2 dapat dilihat persentase penyerapan air maksimum dari masing-masing kelas bata merah. Tabel 2.2 Persentase penyerapan air maksimum dari masng-masing kelas bata merah menurut SNI 15–0686–1989 Kelas 50 100 150 200 250
Penyerapan Air Maksimum (%) 22 20 20 20 20
2.6.3 Kuat Tekan Bata Merah Kuat tekan bata merah didifinisikan sebagai kemampuan bata untuk menerima tekan persatuan luas. Menurut SNI 15–0686–1989 benda uji yang dipergunakan dalam pengujian kuat tekan adalah bata merah dengan keadaan 13
utuh, kemudian bidang yang akan ditekan diterap dengan adukan setebal 6 mm. Setelah dicetak benda uji keesokan harinya direndam dalam air bersih (suhu ruangan) selama 24 jam. Bata merah yang telah direndam diangkat dan bidangbidangnya dibersihkan dengan kain lembab untuk menghilangkan air yang berlebihan. Pada pembuatan adukan yang akan digunakan dalam menerap bata merah, dibuat dengan campuran 1 bagian berat semen portland ditambah dengan 3 bagian berat pasir dan air seberat 60 – 70% berat semen, yang diaduk sehingga merupakan campuran yang merata betul. Pasir kwarsa yang dipakai butir-butirnya berada diantara ayakan bermata 0,3 dan 0,15 mm. Benda-benda uji ditekan hingga hancur dengan kecepatan penekanan diatur hingga sama dengan 2 kg/cm²/detik. Kuat tekan benda uji diperoleh sebagai hasil bagi beban tekan tertinggi dan luas bidang tekan terkecil. Kuat tekan ratarata adalah jumlah kuat tekan benda uji dibagi dengan banyaknya benda uji (30 buah). Kuat tekan bata merah dihitung dengan persamaan 2.2 : ………………………………………..……….....…2.2 Keterangan : = Kuat tekan, satuan N/mm² P
= Berat tekan, satuan N
A = Luas bidang tekan mm² Kuat tekan karakteristik bata merah dirumuskan dengan rumusan sebagai berikut : f’c = fcr – 1,64.s ………………………………………….……………..2.3 dimana : fcr =
………………………………….……….........2.4
s=
……………………………........….2.5
14
dengan : f’c = kuat tekan karakteristik (N/mm²) s
= standar deviasi (N/mm²)
fcr = kuat tekan rata-rata (N/mm²) n
= jumlah benda uji
Dalam SNI 15–0686–1989 dijelaskan beberapa klasifikasi bata merah menurut kekuatannya dibagi dalam 5 (lima) kelas. Berdasarkan nilai rata-rata kuat tekan bruto terendah, diantaranya: kelas 50, 100, 150, 200, dan 250. Batu bata kelas 50, 100, 150, 200, dan 250 masing-masing memiliki kuat tekan sebesar 5 N/mm², 10 N/mm², 15 N/mm², 20 N/mm², dan 25 N/mm², seperti yang terlihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Kuat tekan rata-rata dan koefisien variasi yang diijinkan dalam pengujian kuat tekan bata merah Kela s
50 100 150 200 250
Kuat Tekan bruto rata-rata minimum dari 30 buah yang di uji dalam keadaan utuh Kg/cm² N/mm² 50 5 100 10 150 15 200 20 250 25
Koefisien variasi yang diijinkan dari kuat tekan bata yang diuji % 22 22 15 15 15
ASTM C140 mensyaratkan kuat tekan bata diperoleh dari kuat tekan rata – rata hasil tes dengan minimum 10 buah sampel bata merah. Untuk kuat tekan bata minimum yang boleh digunakan, Indonesia Earthquake Study merekomendasikan minimum kuat tekan rata – rata bata merah sebesar 3 Mpa dan Batako sebesar 1,5 Mpa. Sedangkan berdasarkan standard Eurocode 6 minimum kuat tekan rata – rata bata yang digunakan sebagai dinding struktural adalah 2,5 Mpa . 2.7
Mortar Mortar adalah campuran yang terdiri dari agregat halus, bahan pengikat
dan air dengan cara diaduk sampai homogen. Mortar sering digunakan sebagai bahan plesteran, pekerjaan pasangan dan banyak pekerjaan lainnya. Bahan perekat yang digunakan dapat bermacam – macam, yaitu tanah liat, kapur, semen merah (bata yang dihaluskan) maupun semen portland (Tjokrodimuljo, 1996 dalam 15
Wibowo, 2007). Dalam pasangan dinding, mortar digunakan sebagai spesi yang berfungsi untuk melekatkan bata menjadi satu kesatuan yang kuat dan kaku. Mortar dapat juga digunakan untuk meratakan permukaan dinding yang terpasang. Untuk pemasangan dinding bata, mortar yang digunakan umumnya mortar yang diolah secara manual atau disebut mortar konvensional. Campuran mortar konvensional untuk dinding bata misalnya 1 : 5, artinya 1 takaran semen dicampur 5 takaran pasir ayakan. Tebal mortar yang menyatukan bata berkisar antara 0.65 – 2 cm. Seiring dengan berkembangnya teknologi, muncul inovasi berupa mortar yang sudah dikemas atau mortar siap pakai. Mortar siap pakai adalah campuran bahan – bahan baku mortar antara lain semen, pasir, dan aditif yang dibuat di pabrik dengan teknologi modern, yang kualitasnya lebih baik dan dapat digunakan di lokasi dengan cukup menambahkan air. Mortar siap pakai ini diciptakan untuk mempermudah pekerjaan pemasangan dinding serta mempercepat waktu penyelesaian bangunan. Mortar yang baik harus memenuhi sifat-sifat sebagai berikut: a. Murah. b. Tahan lama (awet) dan tidak mudah rusak oleh pengaruh cuaca. c. Mudah dikerjakan (diaduk, diangkut, dipasang dan diratakan). d. Melekat dengan baik dengan bata, batako, batu dan sebagainya. e. Cepat kering dan keras. f. Tahan terhadap rembesan air. g. Tidak timbul retak-retak setelah dipasang. Pemakaian mortar pada bangunan tertentu disyaratkan untuk memenuhi mutu adukan yang tertentu pula. Sebagai contoh untuk bangunan yang bertingkat banyak disyaratkan menggunakan mortar yang kuat tekan minimumnya 3,0 N/mm². Yang perlu diperhatikan dalam mortar adalah: a. Mudah dikerjakan (workability). b. Sifat penyusutan (shrinkage) yang kecil. c. Kekuatan (strength) yang cukup. 2.7.1 Jenis – jenis Mortar 16
Tjokrodimulyo (1996) mengelompokan mortar berdasarakan jenis bahan ikatnya menjadi empat jenis, yaitu : a.
Mortar lumpur Mortar lumpur dibuat dari campuran pasir, tanah liat/lumpur dan air. Pasir, tanah liat dan air tersebut dicampur sampai rata dan mempunyai kelecekan yang cukup baik. Jumlah pasir harus diberikan secara tepat untuk memperoleh adukan yang baik. Terlalu sedikit pasir menghasilkan mortar yang retak - retak setelah mengeras sebagai akibat besarnya susutan pengeringan. Terlalu banyak pasir menyebabkan adukan kurang dapat melekat. Mortar ini biasanya dipakai sebagai bahan tembok atau bahan tungku api di desa.
b.
Mortar kapur Mortar kapur dibuat dari campuran pasir, kapur dan air. Kapur dan pasir mula - mula dicampur dalam keadaan kering, kemudian ditambahkan air. Air diberikan secukupnya agar diperoleh adukan yang cukup baik (mempunyai kelecakan baik). Selama proses pengerasan kapur mengalami susutan, sehingga jumlah pasir umumnya dipakai 2 atau 3 kali volume kapur. Mortar ini biasa dipakai untuk pembuatan tembok bata.
c.
Mortar semen Mortar semen dibuat dari campuran pasir, semen portland dan air dalam perbandingan campuran yang tepat. Perbandingan antara volume semen dan volume pasir berkisar antara 1 : 2 dan 1 : 6 atau lebih besar. Mortar ini kekuatannya lebih besar dari pada mortar kapur dan lumpur, oleh karena itu biasa dipakai untuk tembok, pilar, kolom atau bagian lain yang menahan beban. Karena mortar ini rapat air maka juga dipakai untuk bagian luar dan yang berada dibawah tanah. Pasir dan semen mula - mula dicampur secara kering sampai merata diatas suatu tempat yang rata dan rapat air, kemudian sebagian air yang diperlukan ditambahkan kemudian diaduk lagi.
d.
Mortar khusus Mortar khusus dibuat dengan menambahkan bahan khusus pada mortar kapur dan mortar semen dengan tujuan tertentu. Mortar ringan diperoleh dengan menambahkan asbestos fibers, jute fibers (serat rami), butir kayu, serbuk 17
gergajian kayu dan sebagainya. Mortar ini digunakan untuk bahan isolasi panas atau peredam suara. Selain itu ada juga mortar tahan api, diperoleh dengan menambahkan bubuk bata-api dengan aluminous cement, dengan perbandingan satu aluminous cement dan dua bubuk bata-api. Mortar ini biasanya dipakai untuk tungku api dan sebagainya. 2.7.2 Kuat Tekan Mortar Kuat tekan adalah kemampuan mortar untuk menahan gaya luar yang datang pada arah sejajar serat yang menekan mortar. Kuat tekan mortar semen terutama dipengaruhi oleh jumlah semen dalam campuran, fas, perbandingan volume semen : pasir dan karakteristik pasir. Menurut Gani dalam Kusumawardaningsih (2003) kuat tekan mortar semen yang tinggi didapat dari fas yang rendah, jumlah semen yang tinggi dan pasir yang kasar. Mortar yang digunakan untuk bahan bangunan harus mempunyai kekuatan terutama untuk pasangan dinding batu bata, pasangan batako atau pasangan dinding yang lainnya. Pasangan dinding menerima beban tekan yang diakibatkan oleh pengaruh dari atas, angin atau gaya samping lainnya. Di Indonesia sampai sekarang belum ada persyaratan yang mengisyaratkan kekuatan adukan mortar. Beberapa negara sudah mencantumkan kekuatan adukan mortar. Menurut ASTM C 270 standar mortar berdasarkan kekuatannya dibedakan sebagai berikut : a.
Mortar tipe M Mortar tipe M adalah adukan dengan kuat tekan yang tinggi, dipakai untuk pasangan yang dikenai beban lateral atau tekan tinggi, dinding bata bertulang, dinding dekat tanah, pasangan pondasi, adukan pasangan pipa air kotor, adukan dinding penahan dan adukan untuk jalan. Kuat tekan minimumnya adalah 17,25 Mpa.
b.
Mortar tipe S Mortar tipe S adalah adukan dengan kuat tekan tinggi sedang, dipakai bila tidak disyaratkan menggunakan tipe M, tetapi diperlukan daya ikat lentur yang tinggi serta adanya gaya tekan normal. Kuat tekan minimumnya adalah 12,15 Mpa.
c.
Mortar tipe N 18
Mortar tipe N adalah adukan dengan kuat tekan sedang, dipakai untuk pasangan terbuka diatas tanah. Kuat tekan minimumnya adalah 5,17 Mpa. d.
Mortar tipe O Mortar tipe O adalah adukan dengan kuat tekan rendah sedang, dipakai untuk konstruksi dinding yang tidak menahan beban yang lebih dari 7 kg/cm2 dan gangguan cuaca tidak berat. Kuat tekan minimumnya adalah 2,4 Mpa.
e.
Mortar tipe K Mortar tipe K adalah adukan dengan kuat tekan rendah, dipakai untuk pasangan dinding terlindung dan tidak menahan beban, serta tidak ada persyaratan mengenai kekuatan. Kuat tekan minimumnya adalah 0,5 Mpa. Dalam BS 5628–1–1992, disebutkan ada 4 jenis campuran mortar (semen :
pasir), yaitu : 1:3 (i), 1:4 (ii), 1:5 (iii), 1:6 (iv) yang masing-masing memiliki kuat tekan minimum 16 N/mm², 6,5 N/mm², 3,6 N/mm², 1,5 N/mm² seperti yang terlihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Klasifikasi motrar menurut BS 5628–1–1992 Mortar designation
Types of mortar (proportion by volume)
Mean Compressive Strength at 28 days (N/mm2) Preliminary Site (Laboratory Test tests)
Cement: Lime: Sand
Masonry Cement: Sand
Cement:Sand with plasticizer
(i)
1 : 0to1/4 : 3
-
1:3
16.0
11.0
(ii)
1 : 1/2 : 4to41/2
1 : 21/2to31/2
1:3to4
6.5
4.5
(iii)
1 : 1 : 5to6
1:4to5
1:5to6
3.6
2.5
(iv)
1 : 2 : 8to9
1:51/2to61/2
1:7to8
1.5
1.0
Eurocode 8 dalam Aryanto ( 2008 ) mensyaratkan minimum kuat tekan mortar sebesar 5 Mpa untuk unreinforced dan confined masonry, sedangkan untuk reinforced masonry minimum mortar harus memiliki kuat tekan minimum sebesar 10 Mpa. Sedangkan berdasarkan rekomendasi Indonesia Earthquake Study, pada penggunaan bata merah, mortar harus memiliki minimum kuat tekan sebesar 3 Mpa dengan rasio semen dan pasir 1 : 6. Dengan kata lain Indonesia Earthquake Study merekomendasikan minimum kuat tekan mortar memiliki kekuatan yang sama dengan kuat tekan bata. 19
Menurut Tjokrodimulyo (1996), uji kuat tekan dilakukan dengan membuat kubus mortar berukuran 50 mm sampai 100 mm. Pengujian dilakukan setelah mortar mengeras dengan menggunakan mesin uji tekan. Nilai kuat tekan didapat dengan membagi besar beban maksimum (N) dengan luas tampang (mm2). Gambar 2.4 menunjukkan kubus mortar ukuran 50 mm yang akan dipakai untuk pengujian kuat tekan.
Gambar 2.4 Benda uji mortar 2.8
Pasir Agregat halus (pasir) adalah bahan batuan halus yang terdiri dari butiran
berukuran 0,15-5 mm yang didapat dari hasil disintegrasi batuan alam (natural sand) atau dengan memecahkannya (artificial sand). Pasir alam menurut Soetjipto (dalam Komarudin, 2004) dibedakan atas : pasir galian, pasir sungai dan pasir laut (butir-butir pasir yang dibawa ke pantai). Menurut SNI 03-6820-2002 (2002) dalam Wibowo (2007), agregat halus adalah agregat berupa pasir alam sebagai hasil disintegrasi batuan atau pasir buatan yang dihasilkan oleh alat-alat pemecah batu dan mempunyai butiran sebesar 4,76 mm. Menurut Nevill (1997) dalam Wibowo (2007) agregat halus merupakan agregat yang besarnya tidak lebih dari 5 mm sehingga pasir dapat berupa pasir alam atau berupa pasir dari pemecahan batu yang dihasilkan oleh pemecah batu. Persyaratan agregat halus secara umum menurut SNI 03-6821-2002 adalah sebagai berikut: a.
Susunan butir agregat halus mempunyai kehalusan antara 2,0 - 3,0.
b.
Agregat halus terdiri dari butir-butir tajam dan keras.
c.
Butir-butir halus bersifat kekal, artinya tidak pecah atau hancur oleh pengaruh cuaca. Sifat kekal agregat halus dapat diuji dengan larutan jenuh garam. Jika 20
dipakai natrium sulfat bagian yang hancur maksimum 10% berat, sedangkan jika dipakai magnesium sulfat yang hancur maksimum 15% berat. d.
Agregat halus tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5% (terhadap berat kering). Jika kadar lumpur melebihi 5% pasir harus dicuci. Kekasaran pasir dapat dibagi menjadi empat kelompok menurut gradasinya
seperti pada Tabel 2.3 Tabel 2.5 Gradasi pasir menurut SK-SNI-T-15-1991-03 Lubang Ayakan
% Tembus kumulatif
( mm )
Zone 1
Zone 2
Zone 3
Zone 4
9.50
100
100
100
100
4.75
90-100
90-100
90-100
95-100
2.38
60-95
75-100
85-100
95-100
1.18
30-70
55-90
75-100
90-100
0.60
15-34
35-59
60-79
80-100
0.30
5-20
8-30
12-40
15-50
0.15
0-10
0-10
0-10
0-15
Pasir yang termasuk zone 2 dan zone 3 adalah pasir yang dapat dipakai untuk campuran spesi, sedangkan pasir zone 4 termasuk kedalam pasir halus yang lebih banyak membutuhkan air untuk campuran spesinya. 2.8.1 Jenis – jenis Pasir Alam Menurut Soetjipto (dalam Komarudin, 2004) agregat halus berupa pasir alam, secara garis besar dapat dibedakan menjadi : a.
Pasir galian (pasir gunung) Pasir ini diperoleh langsung dari permukaan tanah atau dengan cara menggali. Pasir ini memiliki permukaan yang tajam, bersudut, berpori dan bebas dari kandungan garam, tetapi banyak mengandung tanah sehingga sebaiknya dicuci dulu sebelum dipergunakan.
b. Pasir sungai
21
Pasir ini diperoleh langsung dari dasar sungai, pada umumnya berbutir halus, berbentuk bulat akibat proses gesekan antara sesamanya, daya lekat antar butir pasir agak berkurang akibat bentuk butirannya bulat-bulat. c.
Pasir laut Pasir laut adalah pasir yang diambil dari tepian pantai, bentuk butirannya halus dan bulat akibat gesekan dengan sesamanya. Pasir ini merupakan pasir yang terjelek, karena banyak mengandung garam. Sifat garam-garaman menyerap kandungan air dari udara dan mengakibatkan pasir selalu agak basah dan juga menyebabkan pengembangan bila sudah menjadi material bangunan (seperti paving block), disarankan sebaiknya pasir jenis ini tidak dipakai untuk bahan bangunan, tanpa pengujian dan pengolahan lebih lanjut.
d. Pasir buatan Pasir ini diperoleh dengan cara memecah batu dengan mesin pemecah batu. Batu besar digiling dengan mesin pemecah batu stone crusher hingga menjadi butiran halus berdiameter antara 0,15 – 5,00 mm. e.
Pasir abu terbang Agregat ini merupakan hasil proses pemanasan abu terbang sampai meleleh dan mengeras lagi, sehingga membentuk butiran-butiran kecil menyerupai pasir.
2.9
Semen Portland Semen portland ialah semen hidrolis yang dihasilkan dengan cara
menghaluskan klinker terutama dari silikat-silikat kalsium yang bersifat hidrolis (dapat mengeras jika bereaksi dengan air) dengan gips sebagai bahan tambahan (SK SNI S-04-1989, 1989: 1 dalam Wibowo 2007). Persentasi dari oksida oksida yang terkandung didalam semen portland adalah sebagai berikut : 1. Kapur ( CaO) : 60 - 66 % 2. Silika (SiO2) : 16 - 25 % 3. Alumina (Al2O3) : 3 - 8 % 4. Besi : 1 - 5 % Semen berfungsi untuk merekatkan butir-butir agregat menjadi massa yang kompak dan padat. Menurut Sutaji (1994) dalam Taufik (2005) fungsi semen 22
dalam pembuatan beton atau mortar, selain sebagai perekat adalah untuk mengisi rongga-rongga antar butir agregat, oleh karena itu untuk mendapatkan beton dengan kekuatan tinggi harus dipakai kadar semen yang tepat. Silikat dan aluminat yang terkandung dalam semen portland jika bereaksi dengan air akan menjadi perekat yang memadat lalu membentuk massa yang keras.
Reaksi
membentuk
media
perekat
ini
disebut
dengan
hidrasi
(Tjokrodimulyo, 1996). Reaksi kimia semen bersifat exothermic dengan panas yang dihasilkan mencapai 110 kalori/gram. Akibatnya dari reaksi exothermic terjadi perbedaan temperatur yang sangat tajam sehingga mengakibatkan retakretak kecil (microcrack) pada beton. Sesuai dengan tujuan pemakaiannya semen portland dibagi 5 jenis (Supriyanti, 2004 dalam Taufik, 2005), yaitu : 1). Jenis I (Ordinat Portland Cement) Semen portland untuk penggunaan umum, yang tidak memerlukan persyaratan khusus seperti yang disyaratkan pada jenis-jenis lain. 2). Jenis II (Moderate Heat Hardening Portland Cement) Semen portland yang dalam penggunaannya memerlukan ketahanan terhadap sulfat dan panas hidrasi sedang. 3). Jenis III (High Aertly Strength Hardening Portland Cement) Semen portland yang dalam penggunaannya menuntut persyaratan kekuatan awal yang tinggi. 4). Jenis IV (Low Heat of Hardening Portland Cement) Semen portland yang dalam penggunaannya menuntut persyaratan panas hidrasi yang rendah. 5). Jenis V (Sulfur Resistence Portland Cement) Semen portland yang dalam penggunaannya menuntut persyaratan sangat tahan terhadap sulfat. 2.10
Air Air mempunyai 2 fungsi, yang pertama untuk memungkinkan reaksi kimia
yang menyebabkan pengikatan dan berlangsungnya pengerasan dan yang kedua 23
berfungsi sebagai pelicin campuran kerikil, pasir dan semen agar memudahkan pencetakan. Air diperlukan untuk bereaksi dengan semen serta menjadi bahan pelumas antara butir-butir agregat sehingga mudah dipadatkan. Di dalam penggunaannya, air tidak boleh terlalu banyak karena akan menyebabkan menurunnya kekuatan beton atau mortar. Air yang digunakan untuk pembuatan mortar/beton harus bersih dan tidak mengandung minyak, tidak mengandung alkali, garam-garaman, zat organis yang dapat merusak beton atau baja tulangan. Air tawar yang biasanya diminum baik air diolah oleh PDAM atau air dari sumur yang tanpa diolah dapat digunakan untuk membuat mortar. Air tersebut harus memenuhi syarat menurut SKSNI S04-1989-F dalam Wibowo (2007), persyaratan air sebagai bahan bangunan harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1.
Tidak mengandung lumpur atau benda tersuspensi lebih dari 2 gram/liter.
2.
Tidak mengandung garam-garaman yang merusak beton (asam dan zat organik) lebih dari 15 gram/liter. Kandungan khlorida (Cl) tidak lebih dari 500 ppm dan senyawa sulfat tidak lebih dari 1.000 ppm sebagai SO3.
3.
Air harus bersih.
4.
Derajat keasaman (pH) normal ± 7.
5.
Tidak mengandung lumpur, minyak dan benda terapung lainnya yang dapat dilihat secara visual.
6.
Jika dibanding dengan kekuatan tekan adukan beton yang memakai air suling, penurunan kekuatan adukan yang memakai air yang diperiksa tidak lebih dari 10%.
7.
Semua air yang mutunya meragukan dianalisa secara kimia dan dievaluasi mutunya menurut pemakaian.
8.
Khusus untuk beton pratekan, kecuali syarat-syarat di atas, air tidak boleh mengandung khlorida lebih dari 50 ppm. Air diperlukan untuk bereaksi dengan semen, serta sebagai bahan pelumas
butir-butir agregat supaya mortar atau beton mudah dikerjakan dan dipadatkan. Untuk bereaksi dengan semen, diperlukan air sekitar 0,30 kali berat semen, namun 24
kenyataannya jika dipakai nilai fas kurang dari 0,35 adukan mortar atau beton menjadi sulit dikerjakan, sehingga umumnya berat air lebih dari 0,35 berat semen. Adanya kelebihan air berfungsi sebagai pelumas. Terlalu sedikit air menyebabkan proses pembuatan campuran sulit dikerjakan, sedangkan bila terlalu banyak air menyebabkan kekuatan beton banyak berkurang serta terjadi penyusutan yang besar setelah campuran mengeras (Murdock, 1991 dalam Taufik, 2005). 2.11
Tulangan Baja Untuk keperluan penulangan digunakan bahan baja yang memiliki sifat
teknis menguntungkan, dan baja tulangan yang digunakan dapat berupa batang baja lonjoran ataupun kawat rangkaian las (wire mesh) yang berupa batang kawat baja yang dirangkai dengan teknik pengelasan. Ada dua jenis baja tulangan yaitu, baja tulangan polos dan baja tulangan ulir (deformed). Baja tulangan ulir berfungsi untuk menambah lekatan antara beton dengan baja. Baja tulangan ulir yaitu batang tulangan baja yang permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip teratur dengan pola tertentu atau batang tulangan yang dipilin pada proses produksinya
Gambar 2.5 Jenis – jenis tulangan baja. Baja merupakan material yang memiliki kekuatan tarik yang cukup besar. Kekuatan tarik baja hampir sama dengan kekuatan tekannya. Dua karakteristik utama yang menentukan karakter baja adalah titik leleh (fy) dan modulus 25
elastisitasnya (E). Modulus elastisitas baja biasanya mempunyai nilai E = 200.000 Mpa. Berikut adalah hubungan nilai regangan dan tegangan baja :
Gambar 2.6 Diagram tegangan regangan baja. Garis O-A menunjukkan fase elastis, pada fase ini hubungan antara tegangan dan regangan adalah berbanding lurus (linier). Titik A disebut batas proporsional, tegangan dititik A disebut tegangan proporsional yang nilainya sangat dekat dengan tegangan leleh (fy). Gradien kemiringan yang di bentuk oleh garis O-A menunjukkan modulus elastisitas (E) yang dikenal juga sebagai young modulus. Garis A-B menunjukkan keadaan plastis yang merupakan garis yang relatif lurus mendatar, dimana tegangan yang terjadi relatif konstan sedangkan regangannya terus bertambah. Setelah melampaui titik B tegangan dan regangan meningkat kembali dan mencapai tegangan maksimum dititik C. Pada titik C disebut tegangan ultimit (kuat tarik baja) dengan nilai regangan berbeda tergantung mutu bajanya. Fase B-C disebut pergeseran regangan (strain hardening). Setelah melampaui titik C, penampang baja mengalami penyempitan (necking) yang mengakibatkan tegangan menurun dan akhirnya baja putus di D dengan nilai regangan yang berbeda tergantung mutu bajanya. Fase C-D disebut pelunakan regangan (strain softening)
26
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Bahan dan Struktur Jurusan
Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana di Kampus Bukit Jimbaran. 3.2
Bahan – bahan Penelitian Dalam penelitian ini bahan – bahan yang digunakan antara lain : 1. Bata merah dari Desa Keramas Kabupaten Gianyar.
2. Semen portland tipe I merk Gresik. 3. Agregrat halus, yaitu pasir Nusa Dua. 4. Air dari PDAM di Laboratorium Bahan dan Struktur Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik Universitas Udayana. 5. Tulangan wiremesh M5. 3.3
Alat – alat Penelitian Alat – alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Mesin siever atau ayakan
2. Timbangan Timbangan digunakan untuk mengukur berat bahan penyusun mortar. 3. Mesin aduk beton ( rotating drum mixer ) Mesin ini digunakan untuk mengaduk bahan penyusun mortar. 4. Cetakan benda uji mortar Cetakan yang digunakan berukuran 50x50x50 mm untuk satu sampel. Cetakan ini terbuat dari multiplex yang dirancang berbentuk kubus. 5. Mesin Uji Tekan Mesin uji tekan mortar dan bata dengan bidang tumpuan baja 60 HRB 6. Mesin Uji Lentur Mesin uji lentur kapasitas 150 KN 27
7. Dial - gate 8. Bak perendam bata. 9. Wadah adukan mortar 10. Alat pemotong bata 11. Alat penyipat datar / waterpas.
12. Alat ukur. 13. Archo 14. Cetok atau sendok adukan / spesi 15. Skop 16. Alat bantu seperti benang, papan tripleks, roll baja, baja INP.
3.4
Kerangka Penelitian Kegiatan yang pertama dilakukan dalam penelitian ini adalah persiapan
alat dan bahan yang digunakan, lalu diikuti dengan pemeriksaan bahan apakah sudah memenuhi persyaratan penggunaan dalam penelitian. Tahapan ketiga yaitu pengujian kuat tekan bata dan serapan air bata. Tahapan selanjutnya yaitu pembuatan benda uji mortar, lalu diikuti pembuatan benda uji pasangan bata. Setelah itu dilakukan pengujian kuat tekan mortar dan diikuti pengujian kuat lentur pasangan bata. Setelah semua pengujian, diantaranya pengujian kuat tekan bata, pengujian serapan air bata, pengujian kuat tekan mortar dan pengujian kuat lentur pasangan bata dilakukan, data – data dari hasil pengujian yang diperoleh dikumpulkan dan kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data. Setelah selesai menganalisa data lalu kemudian dilakukan pembahasan terhadap analisa yang diperoleh. Tahapan terakhir yaitu menarik kesimpulan dan mengajukan saran terhadap penelitian yang dilakukan. Adapun tahapan kegiatan yang dilaksanakan pada penelitian ini dinyatakan dalam diagram alir sebagai berikut :
28
Persiapan Alat dan Material
Pemeriksaan Material
1. Pengujian kuat tekan bata 2. Pengujian serapan air bata
Pembuatan benda uji pasangan bata Pembuatan benda uji mortar
1. Pasangan bata tanpa tulangan dan plesteran. 2. Pasangan bata dengan
Pengujian kuat tekan mortar
plesteran dan tanpa tulangan. 3. Pasangan bata dengan plesteran dan tulangan.
Pengujian kuat lentur pasangan bata
Data / Hasil Pengujian
Analisa data dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Gambar 3.1 Digram alir Kerangka Penelitian 29
3.4.1 Persiapan Dan Pemeriksaan Material •
Semen Portland tipe I merk Gresik 40 kg, diperiksa secara visual. Semen diamati warna dan kehalusan butirnya, kemudian jika terdapat gumpalan, berarti semen tersebut tidak dapat digunakan.
•
Pemeriksaan terhadap air dilakukan secara visual yaitu air harus bersih, tidak mengandung lumpur, minyak dan sesuai dengan persyaratan air untuk minum. Air yang digunakan dalam penelitian ini adalah air dari Laboratorium Mekanika Bahan Jurusan Teknik Sipil Universitas Udayana.
•
Persiapan Batu bata merah dilakukan dengan pemeriksaan visual, warna merah merata, bersuara nyaring yang menandakan susunannya padat dan utuh, tidak pecah, tidak retak, dan tidak melengkung. Sebelum digunakan bata direndam terlebih dahulu agar pada saat pemasangan tidak banyak menyerap air yang terkandung dalam spesi.
•
Persiapan tulangan digunakan wiremesh produksi pabrik ukuran M5 dengan tegangan ijin 5000 kg/m² yang terhindar dari korosi.
•
Persiapan pasir yang digunakan, yaitu mengayak pasir sampai pasir lolos lubang ayakan 5 mm, kemudian pasir dikondisikan dalam keadaan jenuh kering muka atau SSD (Saturated Surface Dry) dan memiliki kadar lumpur yang rendah. Pasir tersebut selanjutnya disimpan untuk digunakan pada pengujian selanjutnya. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap agregat halus (pasir) meliputi : -
Berat Jenis (specific grafity) dan penyerapan air (absorption).
-
Berat satuan (unit weight).
-
Kadar lumpur.
-
Kadar air (surface moisture content)
-
Gradasi butiran (sieve analysis) Gradasi pasir dirancang memenuhi zone 2 menurut SK. T-151990-03. 30
Metode pemeriksaan material dapat dilihat pada Lampiran A
3.4.2 Pengujian Kuat Tekan Bata
Benda uji yang dipergunakan dalam pengujian kuat tekan adalah bata merah dengan keadaan utuh, yang mana bidang yang akan ditekan diterap dengan adukan setebal 6 mm. Setelah dicetak benda uji keesokan harinya direndam dalam air bersih (suhu ruangan) selama 24 jam, kemudian diangkat dan bidangbidangnya dibersihkan dengan kain lembab untuk menghilangkan air yang berlebihan. Adukan dibuat dengan campuran 1 bagian berat semen Portland ditambah dengan 3 bagian berat pasir dan air seberat 60–70% berat semen, diaduk hingga merupakan campuran yang merata. Pasir Kwarsa yang butir-butirnya berada diantara ayakan bermata 0,3 dan 0,15 mm. Benda-benda uji ditekan hingga hancur dengan kecepatan penekanan diatur hingga sama dengan 2 kg/cm²/detik. Kuat tekan benda uji diperoleh sebagai hasil bagi beban tekan tertinggi dan luas bidang tekan terkecil. Kuat tekan ratarata adalah jumlah kuat tekan benda uji dibagi dengan banyaknya benda uji (30 buah). Kuat tekan karakteritik bata merah dihitung dengan persamaan 2.3 seperti yang sudah dijelaskan pada Bab II
3.4.3 Pengujian Penyerapan Air Bata
Untuk mengetahui daya serap air, pertama-tama masing-masing benda uji direndam dalam air hingga jenuh kemudian ditimbang beratnya (A). kemudian contoh uji dikeringkan dalam dapur pengering pada suhu 100 - 110⁰C selama 24 jam (hingga berat tetap), setelah itu contoh dikeluarkan dari dapur pengering lalu didinginkan diruang sampai suhu kamar, kemudian masing-masing beratnya ditimbang (B). Penyerapan air rata-rata adalah jumlah persentase penyerapan air bata merah dibagi dengan banyaknya benda uji (10 buah).
31
Penyerapan air masing-masing dihitung dengan Persamaan 2.1 yang tercantum dalam Bab II. Penyerapan air masing-masing contoh ini dicatat dan dihitung harga rata-rata dari semua contoh yang diuji, dinyatakan dalam persen.
3.4.4 Pembuatan dan Pengujian Mortar
Bahan dipersiapkan sesuai komposisi yang direncanakan yaitu dengan perbandingan dalam berat semen dan pasir 1 : 3 untuk spesi dan 1 : 5 untuk plesteran, dengan faktor air semen masing-masing 0, 7 dan 1,5. Semen dan pasir dicampur dan diaduk dalam keadaan kering hingga merata dalam bak adukan. Air dituangkan sebanyak faktor air semen yang direncanakan secara bertahap sambil diaduk hingga didapatkan adukan yang merata dan kelecekan yang cukup, kemudian didiamkan selama kurang lebih 1 menit, di dalam bak adukan, dan diaduk kembali hingga benar-benar tercampur merata. Alat cetak dengan pelat alasnya disiapkan, dioles tipis-tipis bagian dalam cetakannya dengan minyak solar atau pelumas. Bahan-bahan penyusun mortar yang telah tercampur merata, selanjutnya dimasukkan kedalam cetakan. Pengisian cetakan dilakukan sebanyak 2 lapis dan setiap lapis dipadatkan ± 32 kali. Pencetakan kubus mortar harus sudah dimulai paling lambat 2 ½ menit setelah pengadukan. Permukaan atas kubus benda uji diratakan dengan menggunakan sendok perata. Simpan kubus benda uji dalam tempat yang lembab selama 24 jam. Setelah itu cetakan dibuka dan direndam dalam air bersih sampai saat pengujian kuat tekan dilakukan. Pada umur 28 hari benda uji diangkat dari tempat perendaman kemudian permukaannya dikeringkan dengan cara dilap dan dibiarkan selama ± 15 menit. Benda uji ditimbang, kemudian dicatat beratnya, setelah itu lakukan pengujian kuat tekan. Kecepatan penekanan dari mulai pemberian beban sampai benda uji hancur diatur sehingga tidak kurang dari satu menit dan tidak lebih dari dua menit. Benda uji yang digunakan berukuran 50 x 50 x 50 mm masing-masing sebanyak 9 buah. •
Rumus kuat tekan : 32
σ=
Pmaks A
Dimana :
σ = Kekuatan tekan mortar Pmaks = Gaya tekan maksimum A = Luas penampang benda uji ( 2500 mm)
Gambar 3.2. Pengujian kuat tekan mortar 3.4.5 Pembuatan dan Pengujian Pasangan Dinding
Benda uji yang akan diuji kekuatan lenturnya terdiri dari 3 spesimen yaitu: 1. Pasangan bata tanpa tulangan tanpa plesteran. 2. Pasangan bata tanpa tulangan dengan plesteran. 3. Pasangan bata dengan tulangan dengan plesteran. Tabel. 3.1 Tipe Spesimen No
Spesimen
Sample
1
Pasangan bata tanpa tulangan tanpa plesteran
TTTP1 TTTP2 TTTP3
2
Pasangan bata tanpa tulangan dengan plesteran.
TTDP1 TTDP2 TTDP3 33
3
Pasangan bata dengan tulangan dengan plesteran
DTDP1 DTDP2 DTDP3
Pengujian dinding pasangan bata merah dalam penelitian ini mengacu pada standar yang ditetapkan dalam SNI
03–4165–1996 tentang Metode
pengujian kuat lentur dinding pasangan bata merah di laboratorium. Pengujian kuat lentur dinding pasangan bata merah menggunakan benda uji berbentuk prisma persegi dengan ukuran ( B = 8b, L = b dan H = 5b ) dimana b adalah lebar bata merah. Tebal spesi dipakai 1,5 cm dan tebal plesteran untuk benda uji Pasangan bata tanpa tulangan dengan plesteran (TTDP) dan Pasangan bata dengan tulangan dengan plesteran (DTDP) diambil setebal 2,5 cm. Potongan masing-masing spesimen dapat dilihat pada Gambar 34,35, dan 36.
A
5b
A 8b 34
Gambar 3.2 Benda uji
S pe si 1 .5 cm
b
B ata m e rah
5b Gambar 3.3 Pot. A-A Spesimen no. 1
Bata merah
b
Plesteran 2.0 cm
5b
35
Gambar 3.4 Pot. A-A Spesimen no. 2
Spesi 1.5 cm Bata merah
b
Plesteran 2.0 cm
Gambar 3.5 Pot. A-A Spesimen no. 3
Langkah – langkah pengujian pasangan dinding yaitu : a. Persiapkan adukan mortar dan batu bata yang sudah direndam. b. Susun pasangan dinding bata sesuai Gambar 3.2
c. Jaga kelembaban benda uji pada suhu kamar, dengan cara menutupinya dengan karung basah. d. Simpan benda uji sampai umur perawatan 28 hari. e. Plester permukaan dinding khusus untuk benda uji TTDP dan DTDP yang diikuti pemasangan tulangan. f. Lakukan pengujian pada saat benda uji sudah berunur 56 hari dengan
posisi sesuai dengan Gambar 3.6. dengan kecepatan pembebanan yang konstan merata dan dapat diatur sehingga gerakan pembebanan antara 150 – 210 N/mm/menit 36
g. Catat lendutan yang terjadi dengan menggunakan dial gate yang diletakan
seperti pada gambar 3.6
Dial gate 1/16 L ½L
37
L
Gambar 3.6 Posisi pengujian kuat lentur
•
Rumus kuat lentur : Pu + W l c flt = × × 2 4 I I=
1 Hb 3 12
Dimana :
flt = kuat lentur pasangan dinding Pu = Beban maksimum W = Massa alat bantu l = Bentang tumpuan c = Jarak antara garis netral dengan serat tarik terluar I = Inersia penampang dinding H = Tinggi benda uji b = Lebar bata merah
3.4.6
Analisa Hasil
Hasil pengujian yang di dapat dari penelitian ini adalah berupa data pengujian kuat tekan bata, absorpsi bata, kuat tekan mortar, lendutan dan kuat lentur pasangan dinding dari 3 jenis spesimen. Dari data-data tersebut akan dibahas dan dibandingkan dengan literatur-literatur yang ada.
38