BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pengelolaan DAS sebagaimana diamanatkan dalam SK Menhut Nomor :
P. 39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS terpadu mencakup 4 tahap pengelolaan yaitu diawali dengan proses perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan
dan
monitoring
dan
evaluasi.
Tahapan
perencanaan dalam pengelolaan DAS tersebut membutuhkan ketersediaan data yang akurat, supaya hasil yang diperoleh menjadi tepat sasaran dan efektif. Pelaksanaan kegiatan Reboisasi dan Penghijauan, sebagai bagian dari pengelolaan DAS, memerlukan juga proses perencanaan yang harus dilandasi dengan ketersediaan data mengenai kondisi biofisik DAS, khususnya adalah ketersediaan data lahan kritis. Disisi lain terdapat beberapa perbedaan persepsi mengenai pengertian lahan kritis, sehingga mengakibatkan rendahnya akurasi data lahan kritis yang ada (Endang Savitri dan Priyono, 1998). Untuk menjawab ketidakpastian tentang lahan kritis dan untuk memperoleh data yang akurat tentang luasan lahan kritis, maka telah disepakati kriteria lahan kritis yang ditetapkan dalam Lokakarya Penetapan Lahan kritis tahun 1997 yang lalu. Ketersediaan data yang akurat mengenai lahan kritis tidak cukup hanya diketahui luasannya saja. Data mengenai kondisi lahan kritis, juga harus diketahui lokasinya secara geografis dan juga sebaran (distribusinya) dalam wilayah tesebut. Atau dengan kata lain data lahan kritis harus dapat disajikan dalam bentuk peta yaitu peta sebaran lahan kritis. Peta sebaran lahan kritis memiliki manfaat yang sangat besar. Antara lain adalah dengan diketahuinya pola sebaran lahan kritis tersebut, maka dengan mudah akan dapat dihitung berapa luas lahan kritis per wilayah administrasi atau per Sub DAS, yaitu dengan cara menumpangsusunkan peta lahan kritis tersebut dengan peta wilayah administrasi atau dengan peta batas DAS. Pola sebaran lahan kritis tersebut mungkin terkait dengan permasalahan biofisik lahan itu sendiri atau permasalahan sosial ekonomi (tingkat kemiskinan penduduk). Analisis yang bisa
1
dilakukan misalnya dengan mengkorelasikan pola sebaran lahan kritis dengan aspek biofisik seperti tingkat kemampuan lahan atau dengan aspek sosial ekonomi seperti tingkat tekanan penduduk, adanya konflik kepentingan atau permasalahan sosial ekonomi lainnya. GIS (Geographic Information System) atau lazimnya dikenal dengan sistem informasi kebumian merupakan suatu sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan menghasilkan suatu informasi yang dapat digunakan untuk perencanaan, pengelolaan serta pemantauan perkembangan pekerjaan yang berkaitan dengan kebumian. Secara garis besar GIS mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan, menyimpan, menggabungkan, mengatur, mentransformasi, memanipulasi, serta menganalisis data-data yang berkaitan dengan bidang spasial. Akhir-akhir ini pengguanaan GIS semakain meningkat seiring dengan kebutuhan manusia. Beberapa komponen penting pada GIS anatara lain : 1. Hardware : sistem perangkat keras yang digunakan berupa seperangkat komputer yang digunakan untuk menyimpan,mengolah, dan menyajikan data. 2. Software : sistem perangkat lunak yang mendukung pekerjaan GIS yang digunakaan alat atau tools yang mendukung pekerjaan GIS. 3. Data : dalam GIS terdapat 2 jenis data yaitu data spasial dan atribut, data spasial adalah data yang terkait dengan informasi keruangan (koordinat, elevasi,luas,dll), data atribut adalah data yang digunakan sebagai data pelengkat yang melekat pada data spasial (nama lokasi, no identifikasi,dll) 4. Metode : berkaitan erat dengan bagaimana GIS tersebut dirancang mengacu pada kepentingan dan kegunaan serta user sebagai penggunaa akhir sistem tersebut. 5. Manusia : manusia merupakan komponen terpenting, yang menentukan sukses tidaknya suatu sistem informasi, apakah sistem tersebut bekerja sesuai dengan keinginan dan kinerja yang direncanakan. Perkembangan teknologi infomasi yang sangat pesat membawa pengaruh dibidang GIS dewasa ini, terutama pada komponen hardware dan software. Namun hal tersebut tidakalah cukup tanpa didukung dengan sumber daya manusia yang memadai. Aplikasi GIS dalam pengelolaan daerah aliran sungai terutama
2
dalam pengorganisasian data, dalam hal ini adalah basis data Sub DAS Glagah untuk kepentingan pengelolaan DAS. Basis data lahan kritis dan tingkat kemiskinan penduduk Sub DAS Glagah merupakan salah satu sarana yang sangat penting bagi suatu wilayah untuk dapat menjawab setiap pertanyaan yang terkait dengan potensi sumberdaya wilayah antara lain: potensi apa saja yang dimiliki oleh wilayah, berapa jumlahnya, bagaimana persebaran secara keruangan, dan bagaimana pemanfaatan dan pengelolaannya secara terpadu. Berbagai pertanyaan dapat dijawab melalui suatu langkah yang kongkrit yaitu dengan penyusunan basis data sumberdaya wilayah. Sehubungan penyusunan basis data telah dilaksanakan, untuk langkah selanjutnya adalah pengelolaan basis data, agar informasi yang diberikan ke masyarakat dan instansi terkait merupakan informasi yang akurat. Pengelolaan basis data ekosistem DAS adalah kegiatan yang amat penting untuk menata ulang informasi yang ada pada basis data sumberdaya wilayah agar dapat memberikan informasi yang up to date bagi instansi dan masyarakat di Sub DAS Glagah mengenai potensi wilayah yang dimilikinya dan kemungkinan manfaat dalam pembangunan. Sub DAS Glagah adalah bagian DAS Bogowonto yang terletak di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kulonprogo. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo pada tahun 2007 menunjukkan bahwa DAS Bogowonto merupakan DAS kritis dan prioritas pertama untuk direhabilitasi. Kondisi fisik SUB DAS Glagah dilihat dari kemiringan lereng sebagian besar memiliki kemiringan lereng lebih dari 15% 65% (miring hingga curam) dan bentuklahan asal struktural (kompleks perbukitan struktural), curah hujan yang tinggi adalah pemicu terjadinya proses erosi. Tingkat erosi yang tinggi memicu terjadinya kekritisan lahan SUB DAS Glagah. Oleh sebab itu perlu pendataan secara keruangan mengenai tingkat kekritisan lahan di SUB DAS Glagah. Keakurasian informasi tingkat kekritisan SUB DAS Glagah yang diberikan perlu diperhatikan agar informasi dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pengguna informasi, sehingga harus ada suatu sistem informasi yang bersifat interaktif dan dinamis. Selain tingkat keakurasian yang tinggi sistem informasi
3
basis data yang telah tersusun secara operasional harus dapat diakses oleh berbagai pihak. Oleh karena itu penyampaian informasi kepada instansi dan masyarakat pengguna sangat penting. Seiring dengan kemajuan teknologi dan ilmu pengetahun maka penyampaian informasi secara mudah dapat dilakukan oleh instansi penyaji kepada pengguna informasi. Salah satu teknologi informasi yang saat ini sudah sangat memasyarakat adalah teknologi internet. Dasar bagi upaya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan perlu disusun suatu konsepsi perencanaan yang berbasis pendekatan ekologi dan ekonomi
serta
berimbang
(ecology
and
economic
balance),
sehingga
pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat dicapai. Berkaitan dengan program otonomi daerah, maka satuan daerah aliran sungai yang tidak sama dengan batas administrasi kabupaten dan kota, seringkali menjadi kendala utama dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan karena tidak adanya misi dan visi yang sama antar wilayah administrasi tersebut.
1.2.
Perumusan Masalah Daerah aliran sungai memiliki beberapa fungsi, yaitu: (a) fungsi
keruangan, produksi dan habitat; (b) fungsi hidrologi yang mengatur siklus hidrologi; (c) fungsi ekosistem yang merupakan keterpaduan sistem yang terbentuk berbagai komponen lingkungan hidup. Beberapa hal yang menjadi masalah dalam Sub DAS Glagah antara lain : 1. pemanfaatan sumberdaya lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan dan tataruang wilayah, dapat
menyebabkan erosi dan
longsor lahan,
simpanan air berkurang, dan meningkatkan limpasan permukaan, serta menimbulkan masalah yang lebih lanjut berupa sedimentasi, banjir dan kekeringan; 2. tingkat kemiskinan penduduk tinggi adalah salah satu pemicu terjadinya kerusakan lahan.
4
1.3.
Maksud dan Tujuan Maksud penulisan tentang Analisis Spasial hubungan tingkat kekritisan
DAS dengan tingkat Kemiskinan penduduk adalah mengetahui hubungan tingkat kekritisan DAS dan tingkat Kemiskinan penduduk di Sub DAS Glagah. Adapun tujuannnya adalah : 1. Mengetahui sebaran keruangan mengenai tingkat kekritisan lahan Sub DAS Glagah dan tingkat kemiskinan penduduk. 2. Mengevaluasi tingkat kekritisan Sub DAS Glagah dan hubungannya dengan tingkat kemiskinan penduduk.
1.4.
Manfaat Manfaat penelitian adalah: 1. Tersedianya data lahan lahan kritis secara keruangan (spasial) dan luasnnya yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis, misalnya dalam kegiatan pengusulan lokasi kegiatan rehabilitasi lahan kritis dan pembuatan perencanaan kegiatan rehabilitasi lahan kritis. 2. Data spasial lahan kritis dan Tingkat Kesejahteraan penduduk dapat digunakan untuk memantau kegiatan pengelolaan DAS yang sudah atau akan dilaksanakan. Dengan tersedianya data lahan sebaran lahan kritis dan tingkat Kesejahteraan penduduk maka dapat dihindari adanya tumpang tindih (overlaping) lokasi rehabilitasi lahan kritis.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
1.5.1. Ruang Lingkup Waktu dan Wilayah Kajian Wilayah Kajian meliputi seluruh DAS Glagah yang meliputi Kecamatan Loano, Bener, dan Kaligesing. 1.5.2. Ruang Lingkup Sasaran Ruang lingkup kajian adalah : 1. Menganalisis spasial tingkat kekritisan SUB DAS Glagah, 2. Menganalisis tingkat Kemiskinan penduduk di Sub DAS Glagah
5
1.6.
Batasan Istilah
a) Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan dengansungai dan anak-anak sungainya yang dibatasi oleh pemisah topografis yang berfungsimenampung air yang berasal dari curah hujan, menyimpan dan mengalirkannya melalui kedanau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan. (SK Menhut Nomor : P. 39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS terpadu) b) Sub DAS adalah bagian DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS – Sub DAS (SK Menhut Nomor : P. 39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS terpadu). c) Pengelolaan DAS Secara Terpadu adalah suatu proses formulasi dan implementasi kebijakan dan kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan manusia dalam suatu DAS secara utuh dengan mempertimbangkan aspek-aspek fisik, sosial, ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS untuk mencapai tujuan yang diinginkan (SK Menhut Nomor : P. 39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS terpadu). d) Lahan kritis adalah lahan yang keadaan biofisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi maupun sebagai media tata air (Arsyad,2006). e) Konservasi tanah adalah upaya mempertahankan, merehabilitasi dan meningkatkan daya guna lahan sesuai dengan peruntukannya (Arsyad,2006). f) Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) adalah upaya manusia untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan daya dukung lahan agar berfungsi optimal sesuai dengan peruntukannya. g) Lahan
merupakan tanah/lahan yang dihubungkan
dengan arti atau
fungsimsosio-ekonominya bagi masyarakat, dapat berupa tanah/lahan terbuka, tanah/lahan garapan maupun tanah/lahan yang belum diolah atau diusahakan.
6
h) Data keruangan adalah data tentang fenomena di permukaan bumi yangmemiliki referensi keruagan (baik dalam bentuk koordinat geografis atau disajikan dalam peta). i) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu system yang berbasis komputer yang memeberikan empat kemampuan untuk menangani datayang bereferensi geografis, yaitu pemasukan (input), pengolahan atau manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dananalisis, serta keluaran (output). j) Penginderaan Jauh adalah ilmu, seni dan teknologi untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganilisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau gejala yang dikaji. k) Data atribut adalah karakterisitik dari sebuah obyek dalam peta berupa data kuantitatif atau kualititasi yang tersimpan dalam bentuk table. Antara obyek dengan data atributnya dihubungkan dengan sebuah identitas (id)tertentu yang bersifat unik. Misalnya data atribut dari peta wilayah kecamatan adalah luas, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dll, yang dihubungkan dengan identitas (id) kode pos (karena kode pos bersifat unikuntuk masing-masing kecamatan). l) Analisa keruangan adalah suatu proses untuk mengolah data keruangan yang bertujuan untuk mendapatkan data/informasi baru dari data-data tersebut yang memenuhi persyaratan atau kondisi yang ditentukan. m) Kemiskinan absolut, kondiai dimana seseorang memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja. n) Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan. o) Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha
7
memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
1.7.
Keaslian Penelitian Ruslan Wirosoedarmo, dkk, (2007), Penggunaan sistem informasi
geografi (SIG) pada Penentuan lahan kritis di wilayah sub das lesti Kabupaten malang dengan tujuan membuat sistem informasi geospasial yang berkaitan dengan lahan kritis di wilayah Sub DAS Lesti Kabupaten Malang, serta mengkaji perolehan informasi geospasial lahan kritis di wilayah Sub DAS Lesti untuk keperluan analisa data lebih lanjut mengenai perencanaan rehabilitasi lahan kritis. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif meliputi survei lapangan yang dilaksanakan dalam penelitian ini untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada
dan
metode
deskriptif
berkesinambungan
yang
dilakukan
dengan
menggunakan teknik panel berupa wawancara (interview method). Hasil yang diperoleh adalah Tingkat kekritisan lahan wilayah Sub DAS Lesti. Tingkat kekritisan DAS Lesti di kategorikan menjadi potensial kritis seluas 4654 ha, agak kritis seluas 1120 ha dan kritis seluas 531 ha, tersebar di setiap Sub-Sub DAS dengan tingkat erosi yang terjadi 1.733.109,18 ton per tahun. Anik sarminingsih, (2007) Evaluasi kekritisan lahan daerah aliran sungai (das) dan Mendesaknya langkah-langkah konservasi air. Penelitian tersebut bertujauan untuk menyusun rencana pola konservasi baik structural maupun non structural dalam rangka menunjang program Nasional GN-KPA (Gerakan Nasional - Kemitraan Pengelolaan Air). Evaluasi kondisi lahan Sub DAS Cisangkuy ditinjau dari pemanfaatan dan tataguna lahan, kondisi hidrologis dan parameter lain seperti erosi dan sedimentasi Terpeliharanya kelestarian sumber air dan pemanfaatannya, baik kuantitas maupun kualitasnya di dalam sub DAS Cisangkuy. Hasil yang diharapkan adalah Terwujudnya keterpaduan penggunaan lahan dan berbagai kegiatan di sub DAS Cisangkuy secara berkelanjutan. Terpenuhinya kebutuhan akan sumber daya air secara optimal dari berbagai sektor yang memerlukannya dan Terhindarnya bencana alam yang berhubungan dengan permasaiahan air, seperti : banjir, kekeringan dan longsoran, gerakan tanah dan pencemaran.
8
Didi Yuda Sutanto (2008), Analisis lahan kritis di kecamatan bulu Kabupaten sukoharjo propinsi jawa tengah. Tujuan penelitian antara lain 1. Mengetahui tingkat lahan kritis di daerah penelitian, 2. Mengetahui penyebaran lahan kritis di daerah penelitian. 3. Mengetahui faktor-faktor fisik yang berpengaruh terhadap lahan kritis. Metode yang digunakan adalah metode survey dan hasil yang diperoleh meliputi tingkat lahan kritis, penyebaran lahan kritis, faktor-faktor fisik yang berpengaruh terhadap lahan kritis. Tingkat lahan kritis di daerah penelitian adalah sangat berat hingga ringan. Satuan lahan yang mempunyai tingkat kekritisan sangat berat adalah SIIVGRP, berat adalah SIIVGRT, S1IVLIT, S2IIILIT, S3IIGRT, S3IILIT, D7IVGRT dan D7IVLIT, sedang terdapat di satuan lahan S1IVLIP, S1IVLIS, S2IIIGRP, S2IIIGRS, S2IIILIP,
S2IIILIS,
S3IIGRP,
S3IIGRS,
S3IILIP,
S3IILIS,
D7IVGRP,
D7IVGRS, D7IVLIP, D7IVLIS, F1IALP, F1IALT, F1IGRT dan F1ILIT. Satuan lahan yang mengalami kekritisan ringan adalah F1IALS, F1IGRP, F1IGRS, F1ILIP dan F1ILIS. 2) faktor yang fisik berpengaruh terhadap kekritisan lahan adalah kedalaman tanah, kemiringan lereng dan tingkat erosi Yogi Sunarso, (2008), penelitian dengan judul Analisis tingkat erosi tanah di Kecamatan jenar kabupaten sragen. Tujuan penelitian adalah mengetahui tingkat erosi tanah di daerah penelitian dan Menganalisis tingkat erosi di daerah penelitian. Dalam penelitian ini metode yang dipakai adalah metode survey dana analisa laboratorium. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan dan hasil analisa laboratorium, sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur, analisa peta dan data dari instansi-instansi terkait. Metode pengambilan sampel dengan menggunakan stratified sampling dengan strata satuan lahan. Analisis data dilakukan terhadap bentuk konservasi (yang tercermin dari indek faktor pengelolaan tanaman dan lahannya) pengaruhnya terhadap tingkat erosi tanah. Analisa pengaruh bentuk konservasi tanah terhadap tingkat erosi tanah ditentukan dengan analisa diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat erosi tanah yang ada di daerah daerah penelitian mempunyai kelas erosi sangat ringan hingga sangat berat dengan tingkat erosi 0,1 – 767,7 ton/ha/th. Satuan lahan yang termasuk dalam tingkat erosi sangat ringan adalah
9
F1IAlS,S1IVMRH, S2IIMRH,S3IVMRH,S4IVM RH,S5IIIMRH dan S1IVRgH. Satuan lahan yang termasuk dalam tingkat erosi ringan adalah F1IAlP, S1IVMRP, S1IVRgT, S2IIMRP,S4IVMRP dan S5IIIMRP. Satuan lahan yang termasuk dalam tingkat erosi sedang adalah S5IIIMRT dan S2IIMRT. Satuan lahan yang termasuk dalam tingkat erosi berat adalah S3IVMRT dan S4IVMR. Tingkat erosi yang termasuk dalam kelas sangat berat terdapat di satuan lahan S1IVMRT. Rencana penelitian Wuryanto, (2014) dengan judul Analisis spasial Hubungan tingkat kekritisan lahan dengan tingkat kemisikanan penduduk di SUB DAS Glagah. Tujuan penelitian meliputi Bagaimana sebaran keruangan mengenai kekritisan lahan Sub DAS Glagah dan tingkat kemiskinan penduduk dan Mengevaluasi tingkat kekritisan Sub DAS Glagah dan hubungannya dengan tingkat kemiskinan penduduk. Metode kerja yang dilakukan untuk analisa lahan kritis adalah berdasarkan atas Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis tahun 2004 oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) dan Surat Direktur Jenderal RLPS No. S.296/V-SET/2004 tanggal 5 Oktober 2004. Pada dasarnya teknik yang digunakan dalam analisa keruangan (spatial analysis) adalah dengan metoda overlay/tumpang susun dan pengecekan/survey langsung di lapangan. Hasil yang diharapkan mengetahui hubungan antara tingkat kekritisan Sub DAS Glagah dengan tingkat kemiskinan penduduk, serta sebaran keruangan tingkat kekritisan DAS dan tingkat kemiskinan penduduk.
10
Tabel 1.1. Gambaran Penelitian Terdahulu dan Rencana Penelitian (revisi hasilnya) Nama/ Tahun
Judul
Tujuan
Metode metode deskriptif meliputi survei lapangan yang dilaksanakan dalam penelitian ini untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala yang ada dan metode deskriptif berkesinambungan yang dilakukan dengan menggunakan teknik panel berupa wawancara
Ruslan Wirosoedarmo, Bambang Rahadi dan Dony Anggit Sasmito (2008) (Jurnal)
Penggunaan sistem informasi geografi (sig) pada Penentuan lahan kritis di wilayah sub das lesti Kabupaten malang
membuat sistem informasi geospasial yang berkaitan dengan lahan kritis di wilayah Sub DAS Lesti Kabupaten Malang, serta mengkaji perolehan informasi geospasial lahan kritis di wilayah Sub DAS Lesti untuk keperluan analisa data lebih lanjut mengenai perencanaan rehabilitasi lahan kritis
Anik sarminingsih, (2007)
Evaluasi kekritisan lahan daerah aliran sungai (das) dan Mendesaknya langkahlangkah konservasi air
untuk menyusun rencana pola konservasi baik structural maupun non structural dalam rangka menunjang program Nasional GNKPA (Gerakan Nasional - Kemitraan Pengelolaan Air).
Hasil Tingkat kekritisan DAS Lesti di kategorikan menjadi potensial kritis seluas 4654 ha, agak kritis seluas 1120 ha dan kritis seluas 531 ha, tersebar di setiap Sub-Sub DAS dengan tingkat erosi yang terjadi 1.733.109,18 ton per tahun.
(interview method) evaluasi kondisi lahan Sub DAS Cisangkuy ditinjau dari pemanfaatan dan tataguna lahan, kondisi hidrologis dan parameter lain seperti erosi dan sedimentasi
Tingkat erosi masing-masing sub DAS menunjukkan kecenderungan semakin kritis untuk wilayah sub DAS Cisangkuy tengah hingga hulu dan termasuk sangat kritis untuk wilayah tengah hingga hilir. Beberapa sub DAS kecil di dalam Sub DAS Cisangkuy mempunyai potensi erosi dari kritis hingga sangat kritis, sehingga diperlukan upaya pengendalian sedimen baik secara struktural maupun non struktural Adanya pemanfaatan lahan dengan kemiringan lebih dari 40% sebagai lahan budidaya, hal ini melanggar kaidah konservasi dimana seharusnya sebagai kawasan lindung.
11
Nama/ Tahun Didi Yuda Sutanto, (2008)
Yogi Sunarso, (2008)
Judul Analisis lahan kritis di kecamatan bulu Kabupaten sukoharjo propinsi jawa tengah
Analisis tingkat erosi tanah di Kecamatan jenar kabupaten sragen
Tujuan 1. Mengetahui tingkat lahan kritis di daerah penelitian 2. Mengetahui penyebaran lahan kritis di daerah penelitian. 3. Mengetahui faktor-faktor fisik yang berpengaruh terhadap lahan kritis.
mengetahui tingkat erosi tanah di daerah penelitian dan Menganalisis tingkat erosi di daerah penelitian
Metode metode survei
Dalam penelitian ini metode yang dipakai adalah metode survey dana analisa laboratorium
Hasil tingkat lahan kritis di daerah penelitian adalah sangat berat hingga ringan. Satuan lahan yang mempunyai tingkat kekritisan sangat berat adalah SIIVGRP, berat adalah SIIVGRT, S1IVLIT, S2IIILIT, S3IIGRT, S3IILIT, D7IVGRT dan D7IVLIT, sedang terdapat di satuan lahan S1IVLIP, S1IVLIS, S2IIIGRP, S2IIIGRS, S2IIILIP, S2IIILIS, S3IIGRP, S3IIGRS, S3IILIP, S3IILIS, D7IVGRP, D7IVGRS, D7IVLIP, D7IVLIS, F1IALP, F1IALT, F1IGRT dan F1ILIT. Satuan lahan yang mengalami kekritisan ringan adalah F1IALS, F1IGRP, F1IGRS, F1ILIP dan F1ILIS. 2) faktor yang fisik berpengaruh terhadap kekritisan lahan adalah kedalaman tanah, kemiringan lereng dan tingkat erosi tingkat erosi tanah yang ada di daerah daerah penelitian mempunyai kelas erosi sangat ringan hingga sangat berat dengan tingkat erosi 0,1 – 767,7 ton/ha/th. -Satuan lahan yang termasuk dalam tingkat erosi sangat ringan adalah F1IAlS,S1IVMRH, S2IIMRH,S3IVMRH, S4IVM RH, S5IIIMRH dan S1IVRgH. Satuan lahan yang termasuk dalam tingkat erosi ringan adalah F1IAlP, S1IVMRP, S1IVRgT, S2IIMRP,S4IVMRP dan S5IIIMRP. Satuan lahan yang termasuk dalam tingkat erosi sedang adalah S5IIIMRT dan S2IIMRT. Satuan lahan yang termasuk dalam tingkat erosi berat adalah S3IVMRT dan S4IVMR. Tingkat erosi yang termasuk dalam kelas sangat berat terdapat di satuan lahan S1IVMRT.
12
Nama/ Tahun Wuryanto,2014 (tesis)
Judul
Tujuan
Metode
Hasil
Analisis spasial Hubungan antara kekritisan das dengan tingkat kemisikanan penduduk di sub das glagah
sebaran keruangan mengenai kekritisan lahan Sub DAS Glagah dan tingkat kemiskinan penduduk, dan Mengevaluasi tingkat kekritisan Sub DAS Glagah dan hubungannya dengan tingkat Kemiskinan Penduduk
Metode kerja yang dilakukan untuk analisa lahan kritis adalah berdasarkan atas Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis tahun 2013 oleh Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial No. P.4/VSET/2013
Sebaran tingkat kekritisan lahan di daerah penelitian adalah tidak kritis (1532,04 ha), potensial kritis (3986,11 ha), agak kritis (1015,75 ha) dan wilayah termasuk lahan kritis (6,37 ha), adalah Kecamatan Bener dengan total luas 30,95 hektar tersebar di Desa Benowo (27,09 ha) dan Kalitapas (3,861 ha), dan Kecamatan Kaligesing (3,183 ha), terletak di Desa Tlogobulu (3,183 ha) dan Tingkat kemiskinan penduduk sangat tinggi di wilayah penelitian terdapat di Kemejing 260 KK (78,31%), Mudalrejo 215 KK (34,62%), dan Tepansari 181 KK (44,80%). Tingkat Kemiskinan yang sangat tinggi di Desa Mudalrejo, Kemejing dan Tepansari yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Loano dan tingkat kekritisan lahan termasuk dalam kategori potensial kritis, hal tersebut menunjukkan bahwa kekritisan lahan di Sub DAS Glagah tidak dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan penduduk. Lahan kritis di Sub DAS Glagah yang disebabkan oleh tingkat bahaya erosi sangat berat dan kemiringan lereng sangat terjal perlu adanya tindakan konservasi dengan teknik agroforesty (silvopastural), yaitu tanaman hutan pinus pada kawasan hutan dengan tanaman rempon-rempon seperti jahe, kunir, kunyit dan lain-lain.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) Berdasarkan SK Menhut Nomor. 52/Kpts-II/2001, Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya
berfungsi menampung
air
yang dibatasi oleh pemisah yang
berasal
dari
curah
topografis
hujan,
yang
menyimpan
dan mengalirkannya melalui ke danau atau ke laut secara alami. Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 1991 tentang Sungai mengartikan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah, dimana air meresap dan atau mengalir melalui sungai dan anak-anak sungainya. Selanjutnya menurut Kamus Tata Ruang, 1997 mengartikan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut; daerah sekitar sungai, meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat sumber air dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara sungai (Kamus Tata Ruang, 1997) Berdasarkan hal tersebut, maka DAS dapat didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, mempunyai pembatas wilayah topografi, berfungsi menangkap, menampung dan mengalirkan air hujan kesuatu outlet yang berupa suatu kesatuan sungai dengan anak-anak sungainya yang berada dalam DAS tersebut. Batas wilayah suatu DAS berupa punggung bukit atau gunung/pegunungan.
14
2.2 Kemiskinan Penduduk United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan kemiskinan sebagai kelaparan, ketiadaan tempat berlindung, ketidakmampuan berobat ke dokter jika sakit, tidak mempunyai akses ke sekolah dan buta huruf, tidak mempunyai pekerjaan, takut akan masa depan, hidup dalam hitungan harian, ketidakmampuan
mendapatkan
air
bersih,
ketidakberdayaan,
tidak
ada
keterwakilan dan kebebasan. Sementara menurut Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 1981, fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan. Berlandaskan pada ketentuan dan ketetapan PP tersebut, maka membahas kemiskinan sebenarnya harus dengan melihat berbagai dimensi proses kemiskinan itu sendiri. Untuk melihat dimensi-dimensi tersebut, maka ada beberapa pokok yang harus diperhatikan seperti di bawah ini (Djajanegara dan Achadiyat, 1997). Dimensi tersebut sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Secara teoretis, setiap orang di muka bumi ini mempunyai tiga kebutuhan dasar, yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan melainkan sebagai satu kesatuan, sistemik dan holistik. Kebutuhan dasar tersebut adalah: (1) kebutuhan biologis, yang terdiri dari kebutuhan akan makan dan minum, kebutuhan seks dan reproduksi, kebutuhan mempertahankan diri, dan kebutuhan mengatur metabolisme tubuh; (2) kebutuhan sosial, yang terdiri dari kebutuhan akan posisi sosial (kedudukan, peranan, hak dan kewajiban sosial), berorganisasi dan pengembangan institusi sosial, keteraturan sosial, solidaritas sosial dan integrasi sosial, mobilitas sosial baik yang horizontal maupun yang vertikal; (3) kebutuhan kejiwaan yang meliputi etika dan moral (termasuk agama dan kepercayaan serta keyakinan spiritual), mengekspresikan keindahan, rekreasi, ingin dihormati dan lain sebagainya yang sejenis.
15
Ciri-ciri dan gradasi kemiskinan secara operasional sebenarnya sangat berkaitan erat dengan bagaimana cara seseorang dapat memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Makin mudah seseorang atau sekelompok orang untuk memperoleh dan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, maka makin kayalah dia; sebaliknya makin sukar seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, maka makin miskinlah dia. Sementara itu Tjiptoherijanto (1997), menyatakan bahwa ada tiga pola utama yang digunakan untuk memberikan pengertian kemiskinan. Pengertian kemiskinan menurut pola pertama, didasarkan atas pengukuran tingkat pendapatan. Pengertian kemiskinan yang menggunakan indikator tingkat pendapatan ini dibagi menjadi 2 dua, yaitu: (a) kemiskinan absolut dan (b) kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut berkaitan dengan ketidakmampuan seseorang melampaui ukuran kemiskinan yang telah ditetapkan. Sedangkan kemiskinan relatif berkaitan dengan perbedaan tingkat pendapatan suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok pendapatan lainnya. Pola kedua, didasarkan atas pola waktu. Kemiskinan menurut pola waktu dibedakan atas empat pengertian, yaitu: (a) persistent poverty yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun-temurun. Kemiskinan ini pada umumnya terjadi di daerah yang kritis sumber daya alam atau daerah yang terisolasi; (b) cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan; (c) seasonal poverty yaitu kemiskinan musiman, seperti yang sering dijumpai pada petani dan nelayan, serta (d) accidental poverty yaitu kemiskinan yang terjadi karena bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Pola ketiga, didasarkan atas keadaan penduduk dan potensi wilayah. Dari segi keadaan penduduk, penentuan penduduk miskin tetap berdasar pada garis kemiskinan. Adapun potensi wilayah digunakan untuk menetapkan wilayahwilayah atau desa-desa yang dikategorikan sebagai wilayah atau desa tertinggal. Meskipun demikian, penduduk miskin umumnya erat kaitannya dengan wilayah miskin. Dengan kata lain, wilayah dengan potensi tertinggal atau kurang berkembang juga menyebabkan penduduknya menjadi miskin.
16
Indikator kemiskinan yang digunakan umumnya menggunakan kriteria garis kemiskinan (poverty line) untuk mengukur kemiskinan absolut. Berikut akan diuraikan beberapa kriteria garis kemiskinan yang digunakan di Indonesia (Kuncoro, 2004). Garis Kemiskinan BPS, Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedang pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Dengan kata lain, BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan head count index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan head count index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah suatu batas yang disebut batas garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non-makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non-makanan (non food line). Makanan dan non-makanan mempengaruhi penentuan pilihan komoditi. Harga, selera, dan pendapatan akan menentukan pilihan komoditi yang akan dikonsumsi dan besarnya nilai pengeluaran non-makanan. Artinya, proporsi pengeluaran non-makanan merupakan fungsi harga-harga, selera, dan pendapatan. Jika tingkat pendapatan masyarakat pada kelas D1-D2 dianggap tidak telalu berbeda, berarti : PNFk Perbandingan COL = -----------
.......................................... (1)
PNFp
17
Dimana : COL = Cost of Living, yang menunjukkan biaya hidup PNFk = Proporsi Non-makanan di Kabupaten PNFp = Proporsi Non-makanan di Provinsi
Karena Garis Kemiskinan merupakan fungsi COL, maka perbandingan garis kemiskinan antara kabupaten k (GKK) dengan garis kemiskinan provinsi p (GKP) dapat didekati dengan rasio proporsi non-makanan di kabupaten k terhadap proporsi non-makanan di proporsi p yang bersangkutan. Bila dinotasikan adalah sebagai berikut:
GKK = PNFk .......................................... (2) GKP
PNFp
Asumsi tidak adanya perbedaan pendapatan kabupaten dan provinsi perlu dikoreksi karena ada variasi yang besar antar kabupaten. Oleh karena itu, dampak pendapatan pada rasio tersebut harus diminimalkan. Pengaruh pendapatan akan memperbesar variasi rasio tersebut karena jika pendapatan kabupaten (k) rendah, sesuai Hukum Engel, maka PNFk akan kecil; dan sebaliknya, jika pendapatan tinggi maka PNFk juga tinggi. Oleh karena itu, untuk menghaluskan dampak perbedaan COL antar kabupaten, maka rumus Garis Kemiskinan Kabupaten (GKK) tersebut dimodifikasi sebagai berikut: PNFk +3PNFp GKK = GKP
.......................................... (3) 4PNFp
di mana, GKK = Garis Kemiskinan Kabupaten GKP = Garis Kemiskinan Provinsi GKK Minimum : GKK = 0,75 GKP (yaitu jika PNFk = 0) GKK = GKP (yaitu jika PNFk = PNFp) GKK Maksimum: GKK = 1,25 GKP (yaitu jika PBFk = 2 PNFp)
18
Selama periode 1976 sampai 2001, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis kemiskinan ini dibedakan antar daerah perkotaan dan pedesaan. Tabel 1.1 Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan 1984 – 2001
Kemudian terkait dengan kegiatan penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Tahun 2005, Badan Pusat Statistik (BPS) membuat tiga kategori penduduk miskin yang merupakan rincian dari sebelumnya: 1. Penduduk Sangat Miskin Penduduk yang konsumsinya kurang dari 1.900 kalori per orang per hari ditambah dengan pengeluaran non pangan (PNM) seperti: perumahan (penerangan, bahan bakar, dan air bersih), pakaian dan beberapa barang tahan lama serta berbagai jasa. Untuk pengeluaran jenis makanan, BPS tidak terpaku pada salah satu jenis makanan, seperti beras, sebagai patokan. Hal ini sesuai dengan keinginan pemerintah dalam melakukan diversifikasi bahan makanan. Dengan demikian, nilai uang dari jumlah kalori tersebut dihitung berdasarkan rasio konsumsi makanan terhadap konsumsi total rumah tangga, sehingga kemudian diperoleh konsumsi total minimum yang dianggap sebagai garis kemiskinan atau senilai Rp 120.000 per orang per bulan. Dengan 4 anggota keluarga, maka rumah tangga sangat miskin pada
19
tahun 2005 adalah yang berpendapatan kurang dari Rp 480.000 per bulan. 2. Penduduk Miskin Penduduk yang kemampuan pemenuhan konsumsinya antara 1.900 kalori – 2.100 kalori per orang per hari ditambah PNM atau setara dengan Rp 150.000 per orang per bulan. Dengan 4 anggota keluarga, maka rumah tangga miskin pada tahun 2005 adalah yang berpendapatan kurang dari Rp 600.000 per bulan. 3. Hampir Miskin Penduduk yang kemampuan pemenuhan konsumsinya antara 2.100 kalori – 2.300 kalori per orang per hari ditambah PNM atau setara dengan Rp 175.000 per orang per bulan. Dengan 4 anggota keluarga, maka rumah tangga miskin pada tahun 2005 adalah yang berpendapatan kurang dari Rp 700.000 per bulan.
2.3 Analisis Spasial Dewi Handayani U.N, R.Soelistijadi dan Sunardi,(2005), Pengelolaan data spasial merupakan hal yang penting dalam pengelolaan data Sistem Informasi Geografi. Proses pengolahan dilakukan dengan menerapkan kaidah-kaidah relasional terkait secara simultan. Sistem Informasi Geografis (SIG) tidak hanya berfungsi untuk memindahkan / mentransformasi peta konvensional (analog) ke bentuk digital (digital map), lebih jauh lagi sistem ini mempunyai kemampuan untuk mengolah dan menganalisis data yang mengacu pada lokasi geografis menjadi informasi berharga.
ArcView Spatial Analyst membantu dalam menemukan dan mengerti lebih baik hubungan spasial dari data kekritisan lahan DAS dan tingkat kemiskinan penduduk. Kita bisa menampilkan dan menjalankan query untuk menghasilkan suatu aplikasi yang diinginkan. Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (2013) Spasial Analisis sangat berguna terutama karena kemampuannya untuk menggabungkan data raster dan data vektor. Spasial Analisis menyediakan alat
20
untuk membuat surface (penampakan 3-dimensi) dan menganalisa karakteristik seperti slope. Di bawah ini adalah beberapa contoh masalah yang bisa dipecahkan dengan menggunakan analisis keruangan: • Menemukan lokasi yang paling baik untuk sebuah tempat penggergajian kayu (sawmill). Anda akanmempertimbangkan beberapa variabel sepertipotensi kayu, lokasi serta fasilitas transport danlokasi sawmill yang sudah ada. • Menentukan prioritas lahan yang akan direhabilitasi. Variabel yang harus diperhitungkan diantaranya adalah slope, tutupan lahan, lokasi jalan utama. • Menentukan area penyangga; harus dipertimbangkan antara lain lokasi dan sungai. • Mengalokasikan lahan untuk perkebunan. Analisis
spasial
dilakukan
dengan
menumpangsusunkan
(overlay) beberapa data spasial (parameter penentu lahan kritis) untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan
data spasialnya
untuk menghasilkan data spasial lahan kritis. Untuk penghitungan data spasial lahan kritis yang koordinat geografis, Universal
selanjutnya
Transverse
dilakukan
Mercator
(UTM).
awalnya menggunakan
konversi Hal
ini
ke koordinat
dilakukan
untuk
mengurangi tingkat kesalahan dalam perhitungan luas data lahan kritis. Sistem
koordinat
dari
UTM
adalah
meter
sehingga
memungkinkan
analisa yang membutuhkan informasi dimensi-dimensi linier seperti jarak dan luas. Sistem
proyeksi
topografi sehingga
tersebut
lazim
digunakan
sesuai juga digunakan
dalam
dalam pemetaan
pemetaan tematik
seperti halnya pemetaan lahan kritis
21
2.4 Kekritisan Lahan Pengertian lahan kritis sesuai dengan hasil lokakarya penetapan lahan kritis oleh Direktorat Rehabilitasi dan Konservasi Tanah pada 17 Juni 1997 adalah lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Namun dalam penelitian ini membatasi pengertian lahan kritis sesuai dengan definisi Tim Fakultas Geografi (1980), yaitu lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang tidak sesuai penggunaan terhadap kemampuannya sehingga terjadi kerusakan fisik,kimia, orologi, produksi pertanian, permukiman, dan kondisi sosial ekonomi. Identifikasi dan inventarisasi lahan kritis akan lebih tepat dan teratur apabila permasalahannya dihampiri dengan penentuan kemampuan lahan (land capability) (Tim Fakultas Geografi, 1976). Lahan kritis didifinisikan sebagai lahan yang mengalami proses kerusakan fisik,kimia dan biologi karena tidak sesuai penggunaan dan kemampuannya, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi dan daerah lingkungan pengaruhnya. (Rachman Effendi dan Sylviani,2002) Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997) telah mengklasifikasikan lahan kritis menggunakan empat parameter lahan yaitu (1) kondisi penutupan vegetasi, (2) tingkat korehan/kerapan drainase, (3) penggunaan lahan dan (4) kedalaman tanah. Sesuai dengan parameter-parameter lahan tersebut, lahan kritis dibedakan ke dalam empat tingkat kekritisan lahan yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis.
2.5 Kerangka Pemikiran Permasalahan DAS yang berkembang di DAS pada umumnya adalah telah terjadinya kerusakan ekositem DAS. Kerusakan tersebut, dapat disebabkan dua faktor, yaitu faktor alamiah dan faktor manusia. Faktor alamiah seperti curah hujan yang tinggi, jenis tanah, kemiringan lereng yang tinggi/terjal dan karakteristik gemorfologi berpengaruh secara alami terhadap kerusakan DAS. Sedangkan faktor manusia, merupakan faktor penyebab terjadinya kerusakan DAS 22
secara tidak alami. Faktor manusia menyangkut masalah kebijakan dan kondisi sosial ekonomi masyarkat. Hal tersebut berupa a) Belum terpadunya rencana tata ruang antar wilayah (provinsi, kabupaten, kota); b) Belum terkoordinasinya program tata ruang antar sektor dan antar wilayah; c) masih lemahnya partisipasi seluruh stakeholder dalam menjaga keseimbangan ekosistem DAS. Berdasarkan permasalahan tersebut, apakah terdapat hubungan antara tingkat kekritisan lahan DAS dengan tingkat kemiskinan penduduk di Sub DAS Glagah? Analisis mengunakan analisis spasial, meliputi tingkat kekritisan lahan Sub DAS dan tingkat kemiskinan yang ada disetiap Zona. Analisis spasial ini mencakup tingkat kekritisan lahan Sub DAS dan Tingkat kemiskinan penduduk. Berdasarkan hasil analisis spasial akan diidentifikasi kawasan kritis yang harus direhabilitasi dan tingkat kemiskinan penduduk. Berdasarkan potensi dan masalah, serta hasil identifikasi terhadap daerah kritis, dan identifikasi terhadap tingkat kemiskinan penduduk, selanjutnya akan disusun prioritas penanganan berdasarkan tingkat kekritisan DAS dan Tingkat kemiskinan penduduk yang berpengaruh terhadap kelestarian Ekosistem Sub DAS Glagah. Selanjutnya secara skematik alur pikir disajikan pada gambar berikut:
23
Peta Pengguna an Lahan
Peta Kelas Erosi
Peta Manaj emen
Peta Kelas Leren g
Overlay
Peta Admin istrasi
Peta jumlah Penduduk Miskin
Overlay
Peta Tingkat kekritisan lahan Sub DAS GLAGAH
Overlay
Peta Tingkat Kemiskinan Penduduk
Analisis spasial
Prioritas Penanganan
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian
24
BAB III METODOLOGI
3.1.
Tingkat Kekritisan Lahan Metode kerja yang dilakukan untuk analisa lahan kritis adalah berdasarkan
atas Peraturan Dirjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial No. P.4/V-SET/2013, tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Pada dasarnya teknik yang digunakan dalam analisa keruangan (spatial
analysis)
adalah
dengan
metoda
overlay/tumpang
susun
dan
pengecekan/survey langsung di lapangan. Tahapan dalam metode analisa lahan kritis meliputi, tahapan persiapan, pengumpulan data di lapangan, pengolahan dan analisa data, input data spasial, analisa spasial, dan penyajian data spasial.
3.1.1. Persiapan. Hal-hal yang perlu disiapkan dalam pelaksanaan penyusunan data spasial lahan kritis tersebut mencakup hardware, software dan bahan-bahan. Hardware dan software yang perlu disiapkan untuk penyusunan data spasial lahan kritis tersebut adalah: 1.
Software ArcView versi 3.2. digunakan untuk membantu dalam analisis keruangan dan memetakan lahan kritis dan kemiskinan penduduk,
2.
Personal Computer atau Laptop digunakan untuk menulis, menyimpan dan menyajikan hasil,
3.
Hardware Sistem Informasi Geografis (SIG) digunakan untuk menyimpan, mengolah, dan menyajikan data. Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan diantaranya adalah:
1.
Peta Penggunaan Lahan Skala 1 :25.000, Bappeda Kabupaten Purworejo
2.
Peta Tanah skala 1 : 100.000, RTRW Kabupaten Purworejo, Bappeda Kabupaten Purworejo 2011 - 2031
3.
Peta Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000, BIG, Lembar Purworejo (1408231)
25
3.1.2. Pengumpulan Data di Lapangan Kegiatan survey di lapangan dilakukan bertujuan untuk mencatat sifat-sifat fisik di lapangan serta untuk mengetahui keadaan sosial, ekonomi dan budaya wilayah Sub DAS Glagah dan untuk mengkoreksi data sekunder dan hasil identifikasi Peta Rupa Bumi, dan peta-peta lain dengan keadaan wilayah Sub DAS Glagah.
3.1.2.1. Pengumpulan Data Bio-fisik. Jenis data yang dikumpulkan meliputi:
•
Tutupan lahan pada masing-masing fungsi hutan
•
Singkapan batuan (outcrop)
•
Erosi (tempat, kwantinta terjadinya erosi)
•
Tanah
•
Iklim
3.1.2.2. Pengumpulan Data Sosial, Ekonomi dan Budaya. Data sosial, ekonomi dan budaya meliputi:
•
Penduduk (jumlah, tingkat kemiskinan, mata pencaharian dan kepadatan)
•
Produktivitas pertanian.
•
Manajemen pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan dan di areal budidaya pertanian
3.1.3. Teknik Pengambilan Sampel Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sampel untuk uji akurasi dan sampel untuk pengecekan lapangan. Sampel untuk uji akurasi digunakan untuk menguji hasil interpretasi parameter lahan kritis. Pemilihan lokasi sampel berdasarkan unit pemetaan satuan lahan. Metode yang digunakan untuk pengambilan sampel menggunakan metode stratified random sampling untuk menentukan lahan kritis.
Stratified Random Sampling adalah cara mengambil sample dengan memperhatikan strata (tingkatan) di dalam populasi. Dalam stratified data
26
sebelumnya dikelompokan kedalam tingkat-tingkatan tertentu dari parameter penentu laha kritis kemudian sample diambil dari tiap tingkatan tersebut.
3.1.4. Pengolahan dan Analisa Data. 3.1.3.1. Pengolahan Data. Pengolahan data adalah merupakan tahapan pekerjaan menyusun dan merangkaikan berbagai jenis data menjadi satu susunan data yang sistematik dan terinci menurut fungsi, klasifikasi maupun peruntukan penggunaannya. Jenis pekerjaan yang termasuk dalam tahap pengolahan data antara lain: a. Pengelompokan data menurut jenisnya yaitu: 1) Data bio-fisik 2) Data Sosial, ekonomi dan budaya b. Pengikhtisaran data menurut jenis yaitu: (1). Bio-fisik. - Tanah, Singkapan batuan (outcrop), Erosi, Tutupan, dan iklim (2). Data sosial, ekonomi dan budaya. - Jumlah penduduk, Produktivitas pertanian, Manajemen pengelolaan, dan kemiskinan penduduk.
3.1.3.2. Analisa Data Analisa data adalah suatu proses saling menghadapkan dua jenis data atau lebih untuk mendapatkan hubungan informasi antara data yang satu dengan lainnya. Hubungan informasi tersebut diperlukan untuk mengidentifikasikan permasalahan dan alternatif pemecahannya. Hasil analisa yang diharapkan dapat teridentifikasinya data lahan kritis. Proses analisa Data Spasial Lahan Kritis SUB DAS Glagah sebagian besar dilakukan dengan menggunakan alat (instrumen) perangkat lunak (software) Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu ArcView 3.2. Proses analisa dengan menggunakan software SIG ini dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melakukan input data spasial beberapa tema yang telah dilakukan koreksi data dari data survai lapangan.
27
3.1.5. Input Data Spasial (Parameter Lahan Kritis). Data spasial lahan kritis diperoleh dari hasil analisis terhadap beberapa data spasial yang merupakan parameter penentu kekritisan lahan. Parameter penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 meliputi:
•
kondisi tutupan vegetasi
•
kemiringan lereng
•
tingkat bahaya erosi dan singkapan batuan (outcrop), dan
•
kondisi pengelolaan (manajemen)
•
produktivitas lahan
Data spasial lahan kritis dapat disusun apabila data spasial ke 5 (lima) parameter tersebut di atas sudah disusun terlebih dahulu. Data spasial untuk masing-masing
parameter
harus
dibuat
dengan
standar
tertentu
guna
mempermudah proses analisis spasial untuk menentukan lahan kritis. Standar data spasial untuk masing-masing parameter meliputi kesamaan dalam sistem proyeksi dan sistem koordinat yang digunakan serta kesamaan data atributnya.
3.1.5.1. Data Spasial Liputan Lahan. Informasi tentang liputan lahan diperoleh dari hasil interpretasi peta RBI skala 1: 25.000. Dalam penentuan kekritisan lahan, parameter liputan lahan mempunyai bobot 50%, sehingga nilai skor untuk parameter ini merupakan perkalian antara skor dengan bobotnya (skor x 50). Klasifikasi tutupan lahan dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada Tabel 3.1; Tabel 3.1. Klasifikasi Liputan Lahan dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis. Kelas Sangat Baik
Prosentase Tutupan Tajuk
Skor
Skor x Bobot (50)
> 80
5
250
Baik
61 - 80
4
200
Sedang
41 - 60
3
150
Buruk
21 - 40
2
100
< 20
1
50
Sangat Buruk
Sumber: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) (2004)
28
3.1.5.2. Data Spasial Kemiringan Lereng. Data spasial kemiringan lereng disusun dari hasil pengolahan data kontur dalam format digital. Data kontur terlebih dahulu diolah untuk menghasilkan model elevasi digital (Digital Elevation Model/DEM) untuk kemudian diperoses guna menghasilkan data kemiringan lereng, sehingga untuk memperoleh data kemiringan lereng dilakukan diliniasi kontur pada peta RBI secara manual. Klasifikasi kemiringan lereng dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada Tabel 3.2 Tabel 3.2. Klasifikasi Lereng dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis. Kelas Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Kemiringan Lereng (%) <8 8 - 15 16 - 25 26 - 40 > 40
Skor 5 4 3 2 1
Sumber: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) (2004)
3.1.5.3. Data Spasial Tingkat Erosi. Data spasial tingkat erosi diperoleh dari pengolahan data spasial sistem lahan (land system). Namun karena tidak didapati informasi tentang bahaya erosi pada data spasial sistem lahan (land system) Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah, dilakukan overlay data spasial jenis tanah (pada peta land system), kelas lereng, curah hujan (pada peta land system), dan tutupan lahan. Klasifikasi Tingkat Erosi dan skor untuk masing-masing kelas tingkat erosi ditunjukkan pada Tabel 3.3.
29
Tabel 3.3. Klasifikasi Tingkat Erosi dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis. Kelas Ringan
Sedang
Besaran/Diskripsi Tanah Dalam: < 25% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 – 50 m Tanah Dangkal: < 25% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak > 50 m Tanah Dalam: 25 - 75% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak < 20 m Tanah Dangkal: 25 – 75% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20 - 50 m Tanah Dalam: > 75% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi parit dengan jarak 20 - 50 m
Berat
Sangat berat
Tanah Dangkal: 50 – 75% lapisan tanah atas Hilang Tanah Dalam: semua lapisan tanah hilang, > 25% lapisan tanah bawah dan atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak < 20 m
Skor 5
4
3
2
Tanah Dangkal: > 75% lapisan tanah atas telah hilang, sebagian lapisan bawah telah tererosi. Sumber: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) (2004)
Pengkelasan tingkat erosi dengan yang sebelumnya maka kelas tingkat erosi dibagi menjadi 5 (lima) kelas yaitu mulai dari kelas Sangat Ringan (SR), Ringan (R), Sedang (S), Berat (B) dan Sangat Berat (SB).
3.1.5.4. Data Spasial Produktivitas. Berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998, data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian. Data produktivitas diperoleh dari hasil survei sosial ekonomi, data dari Instansi Dinas Pertanian dan instansi terkait lainnya. Data produktivitas dinilai berdasarkan ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Sesuai dengan karakternya, data tersebut merupakan data atribut.
30
Didalam analisa spasial, data atribut tersebut dispasialkan dengan satuan pemetaan batas kecamatan. Klasifikasi Spasial Produktivitas dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada Tabel 3.4. Tabel 3.4. Klasifikasi Produktivitas dan Skoringnya untuk Penentuan Lahan Kritis Kelas
Besaran / Deskripsi
Sangat
ratio terhadap produksi komoditi
Tinggi
umum optimal pada pengelolaan
Tinggi
tradisional : > 80% ratio terhadap produksi komoditi
Skor
Skor x
5
Bobot (30) 150
4
120
3
90
2
60
1
30
umum optimal pada pengelolaan Sedang
tradisional : 61 – 80% ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan
Rendah
tradisional : 41 – 60% ratio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan
Sangat
tradisional : 21 – 40% ratio terhadap produksi komoditi
Rendah
umum optimal pada pengelolaan
tradisional : < 20% Sumber: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) (2004)
3.1.5.5. Data Spasial Kriteria Manajemen. Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan hutan lindung, yang dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Data tersebut diperoleh melalui checking lapangan dengan sistem sampling. Data hasil survei tersebut diolah untuk dijadikan sebagai updateting data yang sudah ada. Sesuai dengan karakternya, data tersebut juga merupakan data atribut. Seperti halnya dengan kriteria produktivitas, manajemen pada prinsipnya merupakan data atribut yang berisi informasi mengenai aspek manajemen. Klasifikasi manajemen dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada tabel 3.5. 31
Tabel 3.5. Klasifikasi Manajemen dan Skoringnya Untuk Penentuan Lahan Kritis Kelas
Besaran / Deskripsi
Skor
Skor x Bobot
Baik
Lengkap *)
5
(10) 50
Sedang
Tidak Lengkap
3
30
Buruk
Tidak Ada
1
10
*) : - Tata batas kawasan ada - Pengamanan pengawasan ada Penyuluhan dilaksanakan Sumber: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) (2004)
3.1.6. Analisis Spasial. Setelah data spasial parameter penentu lahan kritis disusun dengan cara ataupun prosedur seperti telah dijelaskan dalam sub judul 2.3 diatas, data tersebut selanjutnya dianalisis untuk memperoleh informasi mengenai lahan kritis. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data spasial (parameter penentu lahan kritis) untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial lahan kritis. Untuk analisa spasial, sistem proyeksi dan koordinat yang digunakan adalah Universal Transverse Mercator (UTM). Sistem koordinat dari UTM adalah meter sehingga memungkinkan analisa yang membutuhkan informasi dimensi-dimensi linier seperti jarak dan luas. Sistem proyeksi tersebut lazim digunakan dalam pemetaan Topografi sehingga sesuai juga digunakan dalam pemetaan tematik seperti halnya pemetaan Lahan Kritis. Metode yang digunakan dalam analisis tabular adalah metode skoring. Setiap parameter penentu kekritisan lahan diberi skor tertentu seperti telah
32
dijelaskan pada bagian sub judul 2.4. diatas. Pada unit analisis hasil tumpangsusun
(overlay) data spasial, skor tersebut kemudian dijumlahkan. Hasil penjumlahan skor selanjutnya diklasifikasikan untuk menentukan tingkat kekritisan lahan. Klasifikasi tingkat kekritisan lahan berdasarkan jumlah skor parameter kekritisan lahan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6. Klasifikasi Tingkat Kekritisan Lahan Berdasarkan Total Skor Total Skor Pada: Kawasan Hutan Lindung
120 181 271 361 451
- 180 - 270 - 360 - 450 - 500
Kawasan
Tingkat Kekritisan
Kawasan
Budidaya
Lindung di Luar
Pertanian
Kawasan Hutan
115 201 276 351 426
- 200 - 275 - 350 - 425 - 500
110 201 276 351 426
- 200 - 275 - 350 - 425 - 500
Lahan
Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis
Sumber: Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) (2004)
Secara teknis, proses analisis spasial untuk penentuan lahan kritis dengan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ArcView dapat dilakukan dengan bantuan ekstensi Geoprocessing. Secara garis besar tahapan dalam analisis spasial untuk penyusunan data spasial lahan kritis terdiri dari 4 tahap yaitu: (A).
Tumpangsusun data spasial
(B).
Editing data atribut
(C).
Analisis tabular, dan
(D).
Presentasi grafis (spasial) hasil analisis.
Uraian secara rinci keempat tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
3.1.6.1. Tumpangsusun (Overlay) Data Spasial. Dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) ArcView dapat dilakukan overlay dengan mudah. Software tambahan
(extension) Geoprocessing yang terintegrasi dalam Software ArcView sangat berperan dalam proses ini. Didalam extension ini terdapat beberapa fasilitas
33
overlay dan fasilitas lainnya seperti; union, dissolve, merge, clip, intersect, asign data.
Gambar. 3.1. Kotak Dialog untuk Memilih Teknik tumpangsusun (Overlay)
Proses tumpangsusun ini dilakukan secara bertahap dengan urutan mulai overlay theme Vegetasi dengan kelas kemiringan lereng kemudian hasil tumpangsusun tersebut ditumpangsusunkan kembali dengan theme erosi. Proses ini dilakukan untuk theme berikutnya dengan cara yang sama sebagaimana terlihat pada diagram dibawah ini.
Lahan Kritis kawasan Hutan Lindung Gambar 3.2. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan Hutan Lindung
34
Lahan Kritis kawasan Lindung diluar Kawasan Gambar 3.3. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan Lindung di luar kawasan
Lahan Kritis kawasan Budidaya Pertanian Gambar 3.4. Kriteria & Prosedur Penetapan Lahan Kritis Kawasan Budidaya Pertanian
35
3.1.6.2. Editing Data Atribut. Editing data atribut pada intinya adalah menambah kolom (field) baru pada atribut theme hasil overlay, menjumlahkan seluruh skor kriteria lahan kritis dan mengisikannya pada kolom baru yang telah dibuat. Field baru yang akan dibuat diberi nama Skor_Tot dan Klas_Kritis. Field
Skor_Tot adalah field yang akan diisi dengan jumlah seluruh skor kriteria lahan kritis pada suatu unit analisis (poligon hasil overlay), sedangkan Klas_Kritis adalah field yang akan diisi dengan klasifikasi lahan kritis hasil analisis tabular.
3.1.6.3. Analisis Tabular. Hasil editing data atribut khususnya hasil penjumlahan skor parameter kekritisan lahan, selanjutnya dianalisis untuk mengklasifikasikan tingkat kekritisan lahan pada setiap unit analisis (poligon hasil overlay beberapa parameter kekritisan lahan). Klasifikasi kekritisan lahan berdasarkan total skor dilakukan mengacu pada Tabel 3.6 Analisis tabular ini pada prinsipnya adalah analisis terhadap atribut dari theme hasil tumpangsusun (overlay) tahap akhir (atribut dari theme Veg_Ler_Ers_Mnj.shp). Langkah yang dilakukan untuk menentukan lahan yang yang termasuk kategori Sangat Kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis dan tidak kritis adalah dengan melakukan query (menggunakan query buiderl) dengan formula query
([Skor_Tot] <=180) untuk kelas kekritisan sangat kritis dan formula query ([Skor_Tot] <=270) and ([Skor_Tot] >=181 untuk kelas kekritisan kritis, dan seterus untuk kelas-kelas kekritisan yang dengan memperhatikan tabel Tingkat
Kekritisan Lahan serta Total Skornya.
3.1.7. Penyajian Data Spasial. Data secara umum adalah representasi fakta dari dunia nyata (real world). Data dapat disajikan dalam berbagai bentuk, antara lain: a. Bentuk Uraian (Diskriptif) b. Bentuk Tabular c. Bentuk Grafik dan Diagram d. Bentuk Peta
36
Penyajian data dalam bentuk uraian (diskriptif), bentuk tabular, bentuk grafik dan diagram dapat dilihat bab berikutnya sedangkan penyajian data dalam bentuk peta pada dasarnya dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah kartografis yang pada intinya menekankan pada kejelasan informasi tanpa mengabaikan unsur estetika dari peta sebagai sebuah karya seni. Kaidah-kaidah kartografis yang diperlukan dalam pembuatan suatu peta diaplikasikan dalam proses visualisasi data spasial dan penyusunan tata letak (layout) suatu peta. Visualisasi data spasial pada prinsipnya adalah bagaimana menampilkan data spasial tersebut. Konsep dasar yang digunakan dalam visualisasi adalah dimensi dari data yang dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu; titik, garis dan area. Data spasial selanjutnya divisualisasikan dalam bentuk simbol dengan memperhatikan beberapa aspek yaitu: a.
Sifat dan Ukuran Data
b.
Bentuk, Sifat dan Cara Penggambaran Simbol
c.
Variabel Visual yang dapat digunakan, yang berkait erat dengan Persepsi
3.2.
Tingkat Kemiskinan Penduduk Tingkat kemiskinan penduduk didasarkan pada data Badan Pusat Statistik
Kabupaten Purworejo tentang jumlah keluarga miskin yang di kelompokkan menjadi 5 kategori yaitu Sangat Rendah, Rendah, Sedang, Tinggi, dan Sangat tinggi. Data yang dijadikan indikator penentuan level kemiskinan warga menurut BPS terdapat 14 indikator sebagai berikut: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal dengan satuan m2 : 0 – 100 m2 , skor 6; 101 – 500 m2 , skor 3; 501 – 1000m2 , skor 2; >1001m2 , skor 1 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas Keramik , skor 1, Semen , skor 2, Kayu keadaan jelek , skor 5; Kayu keadaan bagus , skor ; Bambu kualitas rendah , skor 3; Bambu kualitas tinggi , skor 4 3. Jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas dengan pilihan :Bambu , skor 5; Tembok , skor 1; Kayu keadaan jelek , skor 3; Kayu keadaan bagus, skor 2
37
4. Fasilitas tempat buang air besar (jamban/kakus); Dengan pilihan: Bersama / umum , skor 6, Lainnya , skor 3 5. Sumber air minum dengan pilihan: Sumur atau air mata tak terlindung , skor 7, Air sungai , skor 5, Air hujan , skor 6, Air kemasan , skor 1, Air ledeng , skor 3, Pompa , skor 4, Mata air terlindung , skor 2 6. Sumber penerangan utama dengan pilihan: Bukan listrik , skor 4, Listrik PLN , skor 1 7. Bahan bakar utama untuk memasak seharihari dengan pilihan: Kayu / arang , skor 6, Minyak tanah , skor 4, Gas / listrik , skor 2 8. Berapa kali dalam seminggu rumah tangga membeli daging/ayam/susu dengan pilihan:Tidak pernah membeli , skor 6, Satu kali , skor 5, Dua kali dan lebih , skor 1 9. Berapa kali dalam sehari biasanya anggota rumah tangga makan dengan pilihan: Satu kali , skor 6, Dua kali , skor 4, Tiga kali dan lebih , skor 1 10. Berapa stel pakaian baru dalam setahun biasanya dibeli oleh / untuk setiap/sebagian besar anggota rumah tangga dengan pilihan:Tidak pernah membeli , skor 6, Satu stel , skor 4, Dua stel dan lebih , skor 2 11. Apabila ada anggota rumah tangga yang sakit, apakah mampu berobat ke puskesmas, atau poliklinik dengan pilihan: ya , skor 3, tidak , skor 5 12. Apakah rumah tangga memiliki barangbarang berikut masing-masing bernilai paling sedikit Rp, 500.000,- dengan Pilihan : Tabungan , skor 5, Emas , skor 2, TV berwarna , skor 1, Ternak , skor 4, Sepeda motor , skor 3, Tidak mempunyai , skor 6 13. Apakah
rumah
tangga
pernah
menerima
kredit
usaha
(seperti
UKM/UMKM) setahun yang lalu dengan Pilihan : Ya , skor 1, Tidak , skor 5 14. Status penguasaan bangunan tampat tinggal yang ditempati dengan pilihan: Milik sendiri / bebas sewa , skor 1, Tidak , skor 4.
38