BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pada
Jaringan POTS (Plain old telephone service) yang saat ini
tersambung dengan kabel tembaga tidak mengahasilkan pendapatan yang signifikan bagi penyedia jaringan. Hal ini berbeda apabila dibandingkan pada era 1980-1990 an, dimana setiap rumah atau kantor membutuhkan telepon tetap (fixed telephone) untuk melakukan komunikasi suara. Adanya telepon seluler yang fleksibel dan semakin murah, komunikasi dengan telepon tetap semakin berkurang. Selain kebutuhan komunikasi melalui suara, di era dotcom seperti saat ini menjadikan masyarakat membutuhkan komunikasi data untuk memperoleh informasi, transaksi yang dapat menunjang pekerjaan. Pertambahan jumlah pengguna internet serta trafik data yang cepat harus disertai dengan perkembangan
infrastruktur
telekomunikasi.
Dengan
semakin
banyaknya
informasi dan data yang akan diakses apalagi dengan bentuk multimedia yang semakin canggih memunculkan tuntutan akan kecepatan akses data dan informsi tersebut, koneksi broadband dapat menjawab hal ini. Dilihat dari media yang digunakan, koneksi broadband dibedakan menjadi dua yaitu teknologi wireline (kabel) dan teknologi wireless (tanpa kabel). Teknologi wireline dapat menggunakan teknologi DSL (Digital Subscriber Line), HFC (Hybrid Fiber Coax), maupun FO (fiber Optic). Sedangkan dari kategori wireless dapat memanfaatkan teknologi wireless LAN, BWA (Broadband Wireless Access) maupun teknologi terbaru WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access). Bagi operator yang sudah memiliki jaringan kabel yang telah tersambung di seluruh Indonesia, seperti PT Telkom maka akan memilih menggunakan teknologi DSL. Hal ini karena dapat meningkatkan nilai tambah jaringan fisik yang ada untuk menyalurkan data kecepatan tinggi ke pelanggan tanpa perlu menyambung jaringan baru.
1
Sejalan dengan semakin berkembangnya jaringan broadband di Indonesia, saat ini sangat memungkinkan untuk melewatkan siaran televisi ke jaringan berbasis IP. Teknologi IPTV merupakan salah satu produk Next Generation Network (NGN) yang menjadikan pengguna menikmati siaran televisi melalui jaringan internet. Beberapa layanan lebih dari sekedar menonton televisi (Live TV) bisa diperoleh dari teknologi ini diantaranya Video-on-Demand (VOD), Network-based Time Shifting (Pause Live TV) , TV on demand termasuk karaoke on demand. Teknologi IPTV membuka peluang distribusi dua arah karena kendali IPTV ada di tangan penonton sehingga siaran menjadi bersifat interaktif dan sesuai keinginan. Selain itu juga menjadi awalan bagi pengguna dapat menikmati layanan triple play atau satu jaringan dengan 3 macam layanan. Sebagai contoh seorang pelanggan IPTV
dapat menggunakan layanan telepon, menonton
video/TV, dan browsing site di internet dalam waktu bersamaan. Kualitas layanan gambar, suara dan keamanannya dijamin penuh oleh penyedia IPTV melalui jaringan tertutup (closed distribution network) yang dikelola sesuai standar layanan yang berlaku. Dengan demikian IPTV bukan sekedar siaran TV yang dapat dinikmati melalui jaringan IP, namun mempunyai fasilitas/kemampuan yang lebih seperti mampu menyediakan layanan multimedia dan interaktif secara real time[1]. Pada bulan Agustus 2009, Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informatika) telah menerbitkan Keputusan Menteri No. 30/PER/M.KOMINFO/8/ 2009 mengenai Penyelenggaraan
Layanan IPTV di Indonesia. Menkominfo
memperbaharui dan mengganti peraturan ini pada bulan Juli 2010 dengan Peraturan
Menkominfo
No.11/PER/M.
KOMINFO/07/2010.
Peraturan
Menkominfo No.11/2010 menegaskan IPTV dapat ditayangkan melalui perangkat televisi dan alat telekomunikasi lainnya, sedangkan Peraturan Menkominfo No.30/2009 hanya mencakup perangkat televisi. Peraturan Menkominfo No.11/2010
menyebutkan
IPTV
merupakan
bentuk
konvergensi
dari
telekomunikasi, penyiaran, multimedia dan transaksi elektronik. Peraturan Menkominfo No.11/2010 menjadi dasar hukum bagi pemberian izin dan penyediaan layanan IPTV, dan termasuk di antaranya ketentuan mengenai hak dan
2
kewajiban, standar, kepemilikan asing, serta penggunaan penyedia konten independen dalam negeri. Hanya konsorsium yang terdiri sedikitnya dari dua entitas bisnis Indonesia dapat memperoleh lisensi sebagai penyelenggara IPTV. Tiap anggota konsorsium ini harus memiliki setidaknya satu lisensi sebagai penyedia jaringan tidak bergerak domestik, yang satu berperan sebagai Penyelenggara Layanan Internet, dan yang satu lagi sebagai penyelenggara layanan penyiaran berbayar. Konsorsium itu melayani IPTV hanya di wilayah di mana konsorsium itu memiliki tiga lisensi yang disyaratkan. Peraturan Menkominfo No.11/2010 juga mensyaratkan penyediaan layanan IPTV dengan menggunakan jaringan kabel sebagai media transmisinya. Berdasarkan Peraturan Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informatika) Nomor 07/P/M.Kominfo/3/2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang
Standar
Penyiaran Digital Terestrial untuk Televisi Tidak Bergerak Indonesia, telah ditetapkan standar penyiaran digital terestrial untuk televisi tidak bergerak Indoseia yaitu Digital Video Broadcasting–Terrestrial (DV-B). Standart
ini
menggunakan standart Eropa dan Australia. Rencana pemerintah akan menjadikan siaran televisi Indonesia seluruhnya digital pada tahun tahun 2018. Ada tiga tahapan menuju implementasi siaran digital, periode 2010-2014 yakni siaran simulcast yaitu siaran berbarengan antara analog dan digital. Pada tahun 2014-2017, sejumlah siaran analog di beberapa wilayah akan dimatikan sebagian. Setelah 2017, seluruh siaran analog akan dimatikan. Hal ini membuka jalan bagi IPTV salah satunya
peluang industri digital untuk memproduksi
perangkat-perangkat televisi digital. Semakin banyak produksi yang dihasilkan memungkinkan harganya akan semakin terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Di negara-negara dengan kualitas jaringan broadband nya sudah baik dan merata, seperti Amerika, Perancis, Jepang dan Korea IPTV berkembang sejak diluncurkan pada tahun 2005/2006. Di Indonesia saat ini jumlah penetrasi broadband 10 juta pelanggan, dengan jumlah pelanggan IPTV yang masih rendah disebabkan di Indonesia teknolgi IPTV ini baru diimplementasikan. PT Telkom sebagai penyedia pertama baru menjual layanan ini sejak tahun 2011 launching pada
3
Februari 2011. Brand IPTV PT Telkom yang dinamakan Groovia TV ini dikomersialisasi pada bulan Juni 2011 untuk Jakarta dan Bandung. PT Telkom akan memanfaatkan 8,3 juta kabel jaringan telepon tetap di seluruh Indonesia dimana 1.6 juta kabel diantaranya merupakan jaringan internet Speedy[2]. Pada tahap awal akan diprioritaskan kepada 50% pelanggan internet Speedy yang kini tercatat sekitar 800.000 terutama di 7 kota besar di Indonesia. Pada tahun 2012 Groovia TV telah ada di kota Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta, selain Jakarta dan Bandung yang telah ada sebelumnya. Pertumbuhan teknologi IPTV di Indonesia khususnya di kota Semarang dan sekitarnya
tidak
berkembang
secara
signifikan,
dibandingkan
dengan
perkembangan di luar negeri. Di kota Semarang jumlah pelanggan Grovia TV dari data tahun 2012 setiap bulannya ada kenaikan dan ada penurunan. Sejak bulan Januari 2012 hingga bulan Juli jumlahnya terus naik sampai pada angka 686. Bulan berikutnya stagnan dan kemudian menurun. Demikian juga di kota lain seperti Yogyakarta, pada bulan Juli mencapai angka tertinggi 510 kemudian jumlahnya menurun. Di kota Solo selalu ada peningkatan namun tidak terlalu signifikan Hal ini terlihat pada Gambar 1.1 [2].
Gambar 1.1 Grafik Perkembangan Pelanggan Groovia TV Sedangkan di Asia-Pasific dan di dunia mengalami kenaikan dari tahun ke
4
tahun seperti tampak pada Gambar 1.2 [3]. Pada gambar tersebut terlihat ada peningkatan yang terus menerus dari tahun ke tahun, hal ini mengindikasikan bahwa IPTV mempunyai potensi untuk terus berkembang jumlah pemakainya.
Gambar 1.2 Grafik Perkembangan Pelanggan IPTV Asia Pasific Manfaat suatu teknologi yang diharapkan bisa diperoleh dan dibeli oleh masyarakat luas, tidak hanya dari kecanggihannya saja, namun juga harus bisa diterima dan dirasakan oleh pengguna. Menguji IPTV yang
masih baru
implementasinya di Indonesia, dalam tesis ini akan diteliti bagaimana penerimaan dari masyarakat Indonesia. Dilihat
dari beberapa persepsi dan saling
keterkaitannya sehingga pengguna mau menggunakan teknologi IPTV.
Studi
mengenai penerimaan teknologi ini diperlukan karena mengindentifikasi perilaku pengguna dan pengguna potensial IPTV. Penyedia layanan berharap mendapatkan pendapatan lebih pada pasar IPTV. Ketika awal Groovia TV dikomersialkan diharapkan mampu menambah keuntungan dalam bentuk pendapatan lebih dari jaringan yang sudah ada. Dari jaringan yang sudah ada usaha optimasi dan upgrading sehingga semua jaringan layak untuk dibebani tripleplay. Respon dan kesiapan pelanggan untuk menggunakan
teknologi
merupakan kunci bagi perusahan dalam mengambil
keputusan untuk memenuhi keinginan pelanggan.
5
Adanya produk IPTV ini menuntut kesiapan masyarakat (pelanggan dan calon pelanggan) dalam menerima teknologi tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana respon pelanggan
terhadap
teknologi
yang
ditawarkan
provider, apakah pelanggan sudah siap menerima dan mengadopsi serta menggunakan teknologi IPTV tersebut. Masih kurangnya penelitian mengenai hal ini menjadi latar belakang penelitian ini. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
tersebut, maka
masalah
yang
ingin
diungkapkan dalam penelitian ini adalah : faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan teknologi IPTV, terutama pada kasus Groovia TV di kota Semarang. 1.3
Keaslian Penelitian Penelitian-penelitan sebelumnya terkait IPTV di Indonesia sudah ada terkait
analisis hukum atau regulasi, teknologi dan bisnis yang mengambil sampling di Jakarta, antara lain mengenai Konvergensi Hukum Telekomunikasi dan Penyiaran dalam Penyelenggaraan IPTV oleh Teguh HM tahun 2010, Analisa Kesiapan Penyediaaan Layanan IPTV di Jakarta oleh Jarot W FT UI 2007 dan Danto Yuliardi tahun 2008, Analisa Bisnis IPTV di Indonesia, oleh Sri Sumari tahun 2007. Penelitian terkait metode TAM termodifikasi telah dilakukan penelitan User Adoption of IPTV: A Research Model oleh Sandra Weniger 2010, 3G Mobile TV Acceptance oleh Qiantori, Busi, H-Suwa, Ohta, tahun 2010.
Technology
Acceptance Model for Wireless Internet oleh June Lu Chung Seng Yu, tahun 2003. Model yang digunakan pada penelitian ini adalah model TAM dengan menambahkan faktor perceived of enjoyment karena pada dasarnya layanan IPTV ini menyediakan layanan multimedia berupa film, musik dan berita yang dapat dinikmati dan dipilih/dikendalikan oleh penggunanya. Hal ini juga ada dalam penelitian 3G Mobile TV Acceptance oleh Qiantori namun tetap memasukkan konstruk perceived ease of use untuk mengetahui respon kerumitan terhadap pengguanaan layanan.
6
1.4
Batasan Masalah Batasan masalah dalam Penelitian ini yaitu penelitian dilakukan pada
pelanggan yang sudah pernah menggunakan layanan internet Groovia TV di kota Semarang. Dalam penelitian ini juga mendefinisikan IPTV sebagai teknologi informasi berupa video programming berbasis IP (selain broadcast/on-demand) melalui jaringan broadband melalui ADSL ke perangkat TV pelanggan. Layanan IPTV yang dimaksud menggunakan perangkat set top box yang menghubungkan antara modem ADSL dengan perangkat TV pelanggan. 1.5
Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi penerimaan
teknologi IPTV di Indonesia, dengan studi kasus Groovia TV di kota Semarang. Dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu provider untuk mengevaluasi keberlangsungan komersial dari layanan IPTV. 1.6
Manfaat Penelitian Hasil analisis dalam penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat
terutama bagi provider produk IPTV, dalam hal ini PT. Telkom sebagai penyedia layanan Groovia TV untuk melihat potensi keberlangsungan produk sehingga dapat menjadi pertimbangan pemasaran produk di masa mendatang.
7