BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Seiring berkembangnya kemajuan di Indonesia saat ini, menyebabkan berbagai macam dampak yang mempengaruhi kehidupan dan tingkah laku yang kemudian akan mengarah pada perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial di masyarakat. Setiap orang harus selalu melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan tersebut. Sebagian dapat melakukannya dengan baik, sebagian lagi tidak. Bagi mereka yang tidak mampu untuk menyesuaikan diri inilah yang kemudian menjadi permasalahan bagi mereka sendiri terutama masalah psikis dan fisik. Keadaan yang menyebabkan masalah psikis dan fisik tersebut dapat menyebabkan gangguan-gangguan salah satunya adalah nyeri. Pengaruh nyeri dalam kehidupan sosial dan keluhannya tetap menjadi alasan utama bagi mereka yang mengalaminya dan mencari medical advice sehingga pasien selalu ingin mengetahui dan mencoba untuk mengurangi nyeri (Baumann, 2002). Pada umumnya masalah yang berhubungan dengan nyeri dapat diobati dengan penggunaan obat analgesik. Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan memicu keluarnya mediator nyeri. Mediator nyeri terdiri dari histamin, serotonin, bradikinin, lukotrien dan prostaglandin (Tjay dan Raharja, 2002). Penelitian membuktikan bahwa prostaglandin dapat menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi sehingga prostaglandin menimbulkan keadaan hiperalgesia, kemudian mediator kimiawi serta bradikinin dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata (Gunawan, 2009). Analgesik merupakan senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif. Analgesik digunakan untuk mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi kesadaran. Analgesik bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi tentang nyeri (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
1
2
Berdasarkan mekanisme kerjanya pada tingkat molekul, analgesik dibagi menjadi dua golongan yaitu analgesik narkotik dan analgesik non narkotik. Analgesik narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang sedang sampai berat dan analgesik non narkotik digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri yang ringan sampai sedang. Analgesik non narkotik bekerja sebagai obat analgesik dan obat antiinflamasi non steroid (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Obat analgesik dan obat antiinflamasi non steroid (AINS) merupakan salah satu kelompok obat yang diresepkan dan juga digunakan tanpa resep dari dokter. Obat-obat ini secara ilmiah merupakan kelompok obat yang heterogen, walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki persamaan dalam efek terapi maupun efek samping (Gunawan, 2009). Berdasarkan struktur kimianya, analgetika non narkotik dibagi menjadi dua kelompok yaitu analgetika–antipiretik dan obat antiradang bukan steroid (NSAID). Untuk obat Analgetika–antipiretik digunakan untuk pengobatan simptomatik, yaitu hanya meringankan gejala penyakit tidak menyembuhkan atau menghilangkan penyebab penyakit. Obat analgetika–antipiretik dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan sruktur kimianya yaitu anilin dan para-aminofenol, serta turunan 5-pirazolon. Turunan anilin dan p-aminofenol mempunyai aktivitas analgesik – antipiretik yang sebanding dengan aspirin, tetapi tidak memiliki efek antiradang dan antirematik. Turunan ini digunakan untuk mengurangi rasa nyeri kepala, nyeri pada otot/sendi dan sebagai obat penurun panas yang cukup baik. Akan tetapi efek samping yakni methemoglobin dan hepatotoksik dapat timbul (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Salah satu obat yang merupakan golongan analgesik non narkotik adalah paracetamol. bekerja dengan
menghambat prostaglandin yang lemah dalam
jaringan perifer. Hingga saat ini dianggap sebagai analgesik yang paling aman, juga untuk swamedikasi. Paracetamol sering digunakan sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Di Indonesia parasetamol digunakan sebagai analgesik dan antipiretik yang telah menggatikan penggunaan salisilat. Menurut data dari Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur tahun 2010 paracetamol merupakan obat dengan kebutuhan paling banyak. Hal ini terlihat pada tahun 2010 Provinsi Jawa Timur
3
membutuhkan tablet asetaminofen 500 mg sebanyak 66.520.005 butir tablet. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa paracetamol adalah obat yang paling sering digunakan oleh masyarakat untuk mengatasi nyeri.Parasetamol memiliki efek samping alergi terhadap derivat para-amifenol. Penggunaan semua jenis analgesik dosis besar secara menahun akan menyebabkan nefropati analgesik. Akibat toksik yang paling serius adalah nekrosis hati. Nekrosis hati dapat terjadi pada penggunaan parasetamol dengan dosis tunggal 10-15 gram (200-250 mg/KgBB) (Gunawan, 2007). Suatu Parameter dalam menilai kualitas suatu obat adalah dapat dilihat dari keamanan, efektivitas dan stabilitas obat. Upaya untuk meningkatkan hal tersebut dalam kaitannya mendapatkan senyawa bioaktif dengan aktivitas yang optimal adalah dengan dilakukannya modifikasi struktur utama obat. Modifikasi tersebut dilakukan dengan cara memasukan gugus-gugus tertentu yang dapat merubah sifat fisika kimia sehingga akan berpengaruh pada aktivitas obat (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Pada umumnya, aktifitas biologis dari suatu senyawa dapat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisika kimia. Sifat-sifat tersebut ditentukan oleh jumlah, macam serta susunan atom molekul obat. Sifat-sifat fisika kimia dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu lipofilik, elektronik, dan sterik. Sifat utama lipofilik adalah mempengaruhi kemampuan senyawa dalam menembus membran biologis. Sifat elektronik dapat mempengaruhi penembusan membran biologis dan ikatan obat reseptor. Sedangkan pada sifat sterik terutama adalah menentukan keserasian interaksi antara molekul senyawa dengan reseptor dalam sel (Siswandono dan Soekardjo, 1995). Perubahan sifat fisika yang terjadi terhadap suatu senyawa merupakan akibat perubahan struktur senyawa yang ditujukan untuk mengatur ketersediaan biologis dan fisiologis senyawa bioaktif, mengatur hubungan antara dosis obat dengan kadar dalam jaringan target sehingga terjadi perubahan potensi obat (Siswandono dan Soekardjo, 2000). Untuk mendapatkan paracetamol dengan aktifitas analgesik yang tinggi maka dilakukan modifikasi struktur paracetamol dengan 4-Nitro benzoilklorida. Rancangan penelitian ini yaitu melakukan preparasi senyawa induk paracetamol
4
dengan
4-nitro
benzoilklorida,
yang
akan
menghasilkan
senyawa
4-
Asetamidofenil-4-Nitroasambenzoat. Peningkatan sifat lipofilik dapat dilakukan dengan memasukkan gugus nonpolar seperti benzoil sedangkan peningkatan reaktivitas senyawa dilakukan dengan memasukkan substituen yang bersifat elektronegatif sperti halogen ke cincin aromatik (Siswandono, 1995). Nilai Log P merupakan parameter yang penting dalam melakukan perancangan senyawa obat baru. Semakin besar nilai Log P, maka kelarutan senyawa tersebut di dalam darah manusia semakin baik (Susilowati et al, 2011). Pada perhitungan sifat kimia fisika menggunakan ChemOffice, parasetamol memiliki log P = 0,28 dan berat molekul = 151,56 sedangkan 4-Asetamidofenil-4Nitroasambenzoat memiliki nilai log P = 2,27 dan berat molekul = 300,27 Berdasarkan data diatas, lipofilitas 4-Asetamidofenil-4-Nitroasambenzoat lebih besar dibanding dengan parasetamol. Peningkatan lipofilitas akan meningkatan jumlah absorbsi obat, sehingga jumlah senyawa yang berinteraksi dengan reseptor akan dapat meningkat sehingga aktivitas biologis akan meningkat pula. Peningkatan sifat elektronik juga akan memudahkan dalam absorbsi obat dan meningkatkan keserasian obat dan reseptor. Metode yang digunakan untuk uji aktivitas analgesik senyawa 4Asetamidofenil-4-Nitroasambenzoat adalah dengan metode writhing test. Metode ini dapat digunakan untuk menguji aktivitas analgesik senyawa AINS karena nyeri ditimbulkan oleh senyawa kimia.
Senyawa kimia digunakan sebagai
penginduksi nyeri adalah asam asetat melalui rute intraperitoneal pada hewan mencit (Mus muculus) yang memberikan respon nyeri berupa gerakan menggeliat (Domer, 1971). Uji aktivitas analgesik ini sangat bermanfaat untuk menilai secara cepat potensi sekelompok senyawa yang aktivitas senyawa induknya telah diketahui. Selain itu, metode dapat memberikan hubungan bertingkat antara intensitas rangsangan dan dosis analgesik yang dibutuhkan untuk menahan rangsangan nyeri sehingga dapat diperkirakan kuantitas aktivitas analgesik (Turner, 1965). Sebagai pembanding digunakan paracetamol yang merupakan senyawa induk. Aktivitas analgesik senyawa uji ditentukan berdasarkan % hambatan nyeri.
5
1.2. Rumusan Masalah Permasalahan yang timbul dari penelitian ini adalah : a)
Apakah
senyawa
4-Asetamidofenil-4-Nitroasambenzoat
dapat
dipreparasi melalui reaksi asilasi antara paracetamol dengan 4-nitro benzoilklorida? b) Apakah senyawa 4-Asetamidofenil-4-Nitroasambenzoat mempunyai aktivitas analgesik yang lebih tinggi dibandingkan paracetamol pada mencit (Mus musculus)?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah : a)
Mendapatkan
senyawa
4-Asetamidofenil-4-Nitroasambenzoat
dari
reaksi antara paracetamol dengan 4-nitrobenzoil klorida b) Mengetahui aktifitas analgesik dari senyawa 4-Asetamidofenil-4Nitroasambenzoat
dan
membandingkan
aktivitasnya
dengan
paracetamol pada mencit (Mus musculus)
1.4. Hipotesis a)
Senyawa
4-Asetamidofenil-4-Nitroasambenzoat
dapat
dihasilkan
melalui reaksi asilasi antara paracetamol dengan 4-nitro benzoilklorida. b) Senyawa 4-Asetamidofenil-4-Nitroasambenzoat mempunyai aktivitas analgesik pada mencit (Mus musculus) yang lebih tinggi daripada paracetamol.
1.5. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan senyawa hasil preparasi 4Asetamidofenil-4-Nitroasambenzoat mempunyai aktivitas analgesik lebih tinggi daripada paracetamol sehingga dapat digunakan sebagai alternatif calon obat analgesik setelah uji lebih lanjut preklinis dan klinis. Dalam bidang farmasi, pengembangan struktur obat akan memacu meningkatkan usaha dalam mendapatkan obat baru dengan aktivitas analgesik yang lebih baik serta toksisitas maksimal.