1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Krisis agraria menyebabkan terjadinya kelangkaan tanah, sedangkan
kebutuhan tanah bagi manusia semakin besar. Kebutuhan tanah yang semakin besar ini sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Tanah merupakan sumberdaya alam yang terbaharui, namun karena jumlahnya yang tetap menyebabkan tanah memiliki peran yang strategis dalam kehidupan manusia. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan semakin banyak pula perebutan kepentingan atas tanah. Pancasila, UUD 1945 dan UUPA sebagai dasar negara, konstitusi dan landasan hukum menuntut agar politik, arah dan kebijakan serta pengelolaan pertanahan mampu memberikan kontribusi nyata dalam proses mewujudkan keadilan sosial dan sebesar-besar kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai luhur bangsa ini mensyaratkan dipenuhinya hak rakyat untuk dapat mengakses berbagai sumber kemakmuran, utamanya tanah. Terbukanya akses rakyat kepada tanah dan kuatnya hak rakyat atas tanah, akan memberikan kesempatan luas bagi rakyat untuk memperbaiki sendiri kesejahteraan sosialekonominya: hak-hak dasarnya terpenuhi, martabat sosialnya meningkat, rasa keadilannya tercukupi, dan dengan demikian harmoni sosial pun akan tercipta. Terwujud kesemuanya ini akan menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia (Winoto, 2008). Tanah dalam arti land mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek ruang berkaitan tempat pemukiman dan kegiatan manusia di atasnya maupun di bawahnya, sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak memiliki dan menggunakan. Aspek-aspek itulah yang terbawa dan melekat menjadi hak bagi pemilik sebidang tanah sebagai subyek hak dan tanah sebagai obyek hak. Titik awal hubungan antara subyek hak dan obyek hak (tanah) merupakan hubungan yang bersifat hakiki, adalah hubungan penguasaan dan penggunaan dalam rangka memperoleh manfaat bagi kepentingan kehidupan dan penghidupannya, baik
2
untuk kepentingan sendiri sebagai mahluk individu maupun kepentingan bersama sebagai mahluk sosial (Risnarto, 2007). Pengertian tanah dalam UUPA adalah permukaan bumi yang dapat dilekati sesuatu hak atas tanah. Permukaan bumi itu, berada di daratan dan permukaan bumi yang berada di bawah air, termasuk air laut. Menurut Vink (1975) dalam Risnarto (2007) seorang ahli tanah dan geografi, tanah merupakan permukaan bumi dengan kedalaman tertentu di bawah dan ketinggian tertentu di atas, merupakan luasan berkaitan dengan ruang (spatial context). Pengertian ini sejalan dengan tanah sebagai land di UUPA. Bagi kebanyakan desa di Indonesia, tanah memiliki arti yang bermacammacam. Tanah tidak hanya sebagai tempat untuk bercocok tanam, namun tanah juga memiliki nilai sosial dan nilai religi. Nilai sosial ini dinyatakan pada status pemilik tanah dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan untuk nilai religi yaitu, tanah dianggap sebagai barokah dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pengertian tradisional tanah ialah medium alami pendukung pertumbuhan tumbuhan yang batas terbawahnya ditentukan oleh jangkauan terdalam penetrasi perakaran atau batas terbawah kegiatan hayati. Pada tahun-tahun belakangan masyarakat umum mulai meragukan kebenaran pengertian tradisional tanah. Dari pengalaman dan pengamatan yang makin luas dan mendalam, masyarakat umum kemudian percaya bahwa tanah berfungsi jauh lebih penting bagi manusia daripada hanya sekedar menjadi sumberdaya bagi pertanian. Tanah merupakan pelaku lingkungan sangat penting, antara lain sebagai salah satu rantai dalam daur hidrologi dan sebagai rosot (sink) karbon dan hara. Tanah juga dapat berfungsi mengendalikan persebaran ion-ion logam berat yang beracun. Dari sudut pandang yang lebih luas, tanah dinyatakan sebagai bagian teratas permukaan daratan bumi yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia dan ekologi. Jeluk (depth) tanah dapat beraneka dan ditentukan oleh batas terbawah jangkauan pengaruh fungsi sosial dan ekologi tanah (Notohadiprawiro, 2002). Berbagai pengertian tentang tanah telah dikemukakan oleh para ahli, sehingga dapat ditarik satu garis merah bahwa tanah memiliki peran yang sangat
3
penting dalam kehidupan makhluk hidup khususnya manusia. Peran tanah yang sangat strategis ini menyebabkan banyaknya benturan kepentingan terhadap sumberdaya tanah. Benturan kepentingan terhadap tanah ini dapat menimbulkan perubahan sosial dan perubahan ekosistem dalam tatanan kehidupan manusia. Pemerintah sebagai pemangku kekuasaan tertinggi memiliki wewenang untuk mengatur pemilikan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya tanah. Salah satunya yaitu pengelolaan dan pemanfaatan tanah untuk perkebunan. Hak untuk pemanfaatan dan pengelolaan tanah perkebunan disebut sebagai Hak Guna Usaha. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan, dan peternakan. Kecamatan Jasinga merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Bogor yang menjadi objek Hak Guna Usaha oleh PT. PP Jasinga. Luas HGU PT. PP Jasinga ini yaitu 2.426 Ha yang meliputi 10 Desa di Kecamatan Jasinga. Habisnya masa kontrak PT. PP Jasinga menjadi awal dari pendistribusian tanah untuk masyarakat di Kecamatan Jasinga. Isu-isu yang menjadi landasan awal pendistribusian tanah untuk masyarakat adalah terjadinya ketimpangan penguasaan lahan, penetapan tata ruang yang tidak sesuai dan adanya tanah yang terlantar akibat habisnya masa kontrak HGU PT. PP Jasinga. Adanya isu-isu tersebut, kemudian menjadikan masyarakat di Kecamatan Jasinga berupaya memperjuangkan hak-hak mereka dengan menuntut untuk pemilikan tanah eks HGU PT. PP Jasinga. Untuk menyikapi hal tersebut maka pemerintah merancang sebuah program yang mengatur mengenai pendistribusian dan kepemilikan tanah yang dibingkai dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program ini dimaksudkan untuk menjadi pondasi awal bagi Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) di Kecamatan Jasinga hanya menjadi bagian dalam proses pelegalan
4
kepemilikan tanah untuk masyarakat terhadap lahan Eks HGU PT. PP Jasinga. Oleh karena itu, peneliti akan mengangkat permasalahan persepsi dari masyarakat lokal mengenai Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Kemudian peneliti akan menelusuri bagaimana keadaan masyarakat sebelum dan sesudah program ini berjalan serta pengaruh dari program ini terhadap pemanfaatan lahan dan tata ruang di wilayah Kecamatan Jasinga. 1.2 Perumusan Masalah Tanah merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, namun dengan jumlahnya yang tetap tanah menjadi salah satu komoditi yang penting bagi kehidupan manusia. Permasalahan tanah merupakan salah satu permasalahan yang krusial, yaitu mulai dari masalah hak kepemilikan dan akses terhadap tanah. Dalam rangka mengatasi masalah pertanahan tersebut, maka pemerintah membuat sebuah kebijakan reforma agraria yang dibingkai dalam Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Persoalan krisis agraria yang ada di Indonesia adalah terjadinya kelangkaan tanah. Tanah yang jumlahnya tetap tidak dapat mendukung dan memenuhi kebutuhan hidup manusia karena bertambahnya jumlah penduduk yang seperti deret ukur. Dengan kecenderungan menurunnya daya dukung lahan terhadap kehidupan manusia menjadi satu masalah yang pelik. Terutama bagi masyarakat desa yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya tanah. Pemilikan dan penguasaan atas tanah di desa-desa Indonesia biasanya hanya dimiliki oleh golongan tertentu yang memiliki modal atau aset. Sedangkan untuk masyarakat yang berada pada strata ekonomi bawah tetap saja terhimpit dalam kemiskinan. Dengan adanya pemusatan penguasaan tanah pada lapisan tertentu menyebabkan terjadinya disparitas sosial di pedesaan antar golongan sosial ekonomi. Terjadinya disparitas sosial di pedesaan menyebabkan dampak pada keadaan ekonomi masyarakatnya. Pemusatan penguasaan tanah pada golongan tertentu akan menyebabkan ketidakpastian nafkah di pedesaan manakala tanah tidak berada dalam penguasaan rumah tangga tani di pedesaan sehingga reforma agraria menjadi perlu dilakukan.
5
Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) merupakan perwujudan dari agenda besar nasional reforma graria. Program ini adalah langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan ketidakadilan agraria dalam hal kepemilikan tanah bagi masyarakat. Timpangnya penguasaan atas tanah menyebabkan masalah kemiskinan pada masyarakat tani. Kemiskinan ini disebabkan oleh ketergantungan petani atas sumberdaya tanah sebagai tempat untuk bertanam. Selain itu, timpangnya penguasaan atas tanah pun menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik agraria. Konflik agraria yang terjadi dapat berupa konflik horizontal maupun konflik vertikal. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi antara sesama masyarakat, yaitu biasanya pada masyarakat dengan kelas ekonomi yang tinggi dengan masyarakat kelas ekonomi yang rendah. Sedangkan untuk konflik vertikal terjadi antara masyarakat dan pemerintah. Oleh karena itu, program ini dirancang untuk menjadi solusi atas masalah ketimpangan kepemilikan lahan, kemiskinan dan konflik agraria dalam masyarakat. Sehingga tujuan akhir dari Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat tani. Kecamatan Jasinga menjadi daerah percontohan bagi terlaksananya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) di Indonesia. Adanya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) ini ternyata membawa dampak perubahan sosial dalam masyarakat di Kecamatan Jasinga, khususnya dalam hal ini Desa Pangradin sebagai daerah penelitian peneliti. Perubahan sosial yang terjadi yaitu penguasaan tanah pada masyarakat Desa Pangradin yang menyebabkan masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki tanah menjadi memiliki tanah. Akibat dari perubahan penguasaan dan pemilikan tanah ini membawa perubahan sosial bagi tatanan kehidupan masyarakat di Desa Pangradin. Terbengkainya tanah eks HGU PT. PP Jasinga menjadi persoalan sosial ekonomi dan politik ekonomi agraria lokal. Tanah eks HGU yang menjadi lahan tidur menjadi peristiwa yang sangat miris karena di satu sisi yang lain banyak rumah tangga tani di Kecamatan Jasinga tidak memiliki lahan untuk mereka garap. Hal ini menyebabkan adanya “hunger land” yang telah mengancam masyarakat Jasinga sejak lama. Permasalahn ini kemudian akan djawab oleh PPAN. Namun, apakah PPAN dapat menjawab pertanyaan tersebut.
6
Selain adanya perubahan sosial, Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) ini pun memberikan pengaruh pada aspek ekologi di Desa Pangradin. Perubahan ekologi yang terjadi di Desa Pangradin meliputi: (1) perubahan pola penanaman , yaitu penanaman pohon karet berubah menjadi pohon sengon, afrika, manggis, dan durian, (2) perencanaan pada tata ruang wilayah Desa Pangradin. Saat ini, tanah memiliki fungsi yang sangat krusial bagi manusia begitu pula untuk
masyarakat di Desa Pangradin. Terjadinya perubahan sosial dan
ekologi di wilayah Desa Pangradin menyebabkan perlunya penataan penguasaan atas tanah. Penataan penguasaan atas tanah dilakukan untuk menghindari terjadinya ketidakadilan atau ketimpangan dalam distribusi penguasaan dan pemilikan lahan. Selain itu juga, perubahan tata ruang terhadap pemanfaatan tanah yang digunakan perlu menjadi perhatian utama dalam menyikapi kebijakan yang telah dijalankan oleh pemerintah. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka akan mengakibatkan dampak ekologi yang sangat besar bagi kehidupan manusia dan keberlanjutan
(sustainability)
sumberdaya
alam.
Berdasarkan
paparan
permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian untuk diteliti selanjutnya yaitu: 1.
Apakah terjadi perubahan keadaan sosial ekonomi masyarakat di Desa Pangradin dengan adanya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN)?
2.
Apakah Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) mempengaruhi tata guna lahan di Desa Pangradin?
3.
Bagaimanakah persepsi masyarakat lokal di Desa Pangradin terhadap Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN)?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji keadaan ekonomi masyarakat Desa Pangradin dengan membandingkan keadaan ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah adanya Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Dan, peneliti dapat mengkaji pengaruh Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) terhadap tata guna lahan di Desa Pangradin serta memahami persepsi masyarakat lokal di Desa Pangradin terhadap Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN). Peneliti ingin menelusuri lebih dalam apakah terdapat
7
perbedaan persepsi antara masyarakat Pangradin 1 dengan Pangradin 2 yang terkait dengan program tersebut dalam hubungan relasi antara manusia dengan tanah. 1.4 Manfaat Penelitian 1.
Bagi akademisi: Penulisan ini dapat menjadi bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya serta menambah khasanah dalam kajian pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
2.
Bagi pemerintah: Penulisan ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusunan dan mengambil kebijakan-kebijakan pengelolaan tanah atau lahan untuk pertanian, sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam hak kepemilikan hanya pada pemilik modal besar. Oleh karena itu, diharapkan Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) ini diharapkan menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan reforma agraria.
3.
Bagi masyarakat: Penulisan ini dapat menjadi titik balik untuk menciptakan kehidupan yang selaras dengan lingkungan demi kelangsungan hidup generasi mendatang. Tanah tidak hanya dianggap sebagai komoditi yang memiliki nilai ekonomi tetapi juga harus dipenuhi hakikatnya sebagai sumberdaya yang harus dijaga keberlanjutannya untuk masa yang akan datang.