BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu tantangan Indonesia saat ini adalah menghadapi bonus demografi tahun 2025 yang diikuti dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) telah memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia di tahun 2035 mencapai 305.652 jiwa (BPS, 2013). Jumlah yang besar tersebut memiliki dampak positif bagi penduduk Indonesia dalam pembangunan yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi karena penduduk usia produktif yang menanggung penduduk usia nonproduktif sangat rendah. Di sisi lain, penduduk usia produktif yang tidak berkualitas justru akan menjadi ancaman dan beban bagi negara. Langkah yang dilakukan untuk menyiapkan tantangan bonus demografi salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan menjadi salah satu pilar dalam menghadapi tantangan-tantangan yang akan datang. Selain itu, pendidikan juga menjadi hal penting dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan sebuah investasi yang dapat membantu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja serta sebagai modal bekerja lebih produktif yang nantinya dapat meningkatkan penghasilan (Prihastuti, 2007). Dewasa ini, pendidikan memiliki peran penting dalam pembangunan nasional. Pembangunan pendidikan nasional merupakan upaya dari seluruh komponen pemerintah dan masyarakat yang dilakukan terencana dan sistematis. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri (Irianto, 2012). Pembangunan akan tumbuh dengan baik yang diikuti juga peningkatan kualitas pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan memegang peran dalam proses peningkatan kualitas sumberdaya manusia (Shofan, 2007).
1
Peningkatan kualitas pendidikan akan menciptakan SDM yang berkualitas nantinya dapat membantu dalam pertumbuhan ekonomi. Konsep investasi sumberdaya manusia (invest in human capital) dalam pidato Theodore Schultz (1960) adalah proses perolehan pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi, tetapi sebuah investasi. Pembangunan dalam sektor pendidikan telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pengetahuan dan ketrampilan. Asumsi dasar Teori Human Capital adalah bahwa seseorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan (Atmanti, 2005). Pendidikan akan dipandang sebagai investasi yang imbalannya dapat diperoleh beberapa tahun kemudian. Pencapaian pendidikan dasar merupakan salah satu dari target Millennium Development Goals (MDG’s). Pendidikan merupakan tantangan utama dalam pencapaian MDG’s. Berbagai kebijakan dan program pemerintah untuk menjawab tantangan tersebut adalah (1) perluasan akses yang merata pada pendidikan dasar khususnya masyarakat miskin; (2) peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan; (3) penguatan tatakelola dan akuntabilitas pelayanan pendidikan. Pemerataan pendidikan merupakan masalah yang sampai sekarang dihadapi oleh negara berkembang terutama Indonesia.
Pendidikan
merupakan
kunci
pembangunan,
untuk
itu
perlu
mempersiapkan generasi masa depan yang berkualitas, salah satunya adalah dengan mempersiapkan penduduk usia 13-15 tahun (usia sekolah menengah pertama). Harapannya adalah para generasi muda dapat berkembang menjadi lebih produktif dan dapat membuka peluang bagi mereka untuk meningkatkan kapasitas SDM. Adapun dasar hukum mengenai setiap individu memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan, seperti yang tertera pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Dasar hukum yang serupa juga tercantum pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
2
dan pasal 11 ayat (1) menyatakan “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.” Adanya dasar hukum tersebut dapat terlihat jelas bahwa pendidikan merupakan sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Upaya pemerintah dalam mencapai peningkatan mutu pendidikan adalah dengan pemerataan dan perluasan pendidikan serta membuka kesempatan kepada penduduk usia sekolah untuk dapat mengenyam pendidikan dengan didukung sarana prasarana pendidikan yang lebih baik. Langkah tersebut bertujuan agar setiap individu memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Salah satu indikator untuk menggambarkan partisipasi pendidikan adalah dengan angka partisipasi murni (APM). APM menunjukkan partisipasi sekolah penduduk usia sekolah di tingkat pendidikan tertentu. Adapun data yang menunjukkan APM nasional seperti yang terdapat pada Tabel 1.1. APM di setiap propinsi sangat bervariasi. Aceh memiliki APM tertinggi pada tahun 2014 sebesar 85,20 dan Papua memiliki APM terendah sebesar 53,68. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu penyebab disparitas APM adalah letak geografis. D.I.Yogyakarta sebagai kota pendidikan atau barometer nasional memiliki APM sebesar 82,20% pada tahun 2014. Angka tersebut di bawah APM Aceh dan Kepulauan Riau. Tabel 1.1 Angka partisipasi murni (APM) Nasional Tahun 2013-2014 Provinsi Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau
Angka Partisipasi Murni (APM) 2013 82.57 73.98 72.56 74.23 73.23 72.06 73.07 74.96 63.83 83.31
2014 85.20 78.33 75.61 77.67 77.34 75.87 76.44 77.98 71.83 83.36
3
Provinsi Dki Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I.Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
Angka Partisipasi Murni (APM) 2013 75.46 76.76 74.94 75.64 77.36 78.17 80.69 80.21 59.32 59.53 68.15 69.57 75.79 64.55 63.72 69.79 69.68 64.26 62,00 67.06 70.73 60.90 45.76 73.88
2014 79.61 79.30 78.57 82.20 80.94 79.56 84.58 82.29 65.86 64.23 75.40 72.40 78.96 72.32 70.62 73.18 74.77 68.29 68.37 73.10 75.03 68.18 53.68 77.53
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Respon pemerintah dalam bidang pendidikan untuk menghadapi bonus demografi dan arus globalisasi saat ini adalah dengan mengadakan beberapa program bantuan. Program bantuan dari pemerintah berupa bantuan operasional sekolah (BOS) sebagai wujud pelaksanaan program wajib belajar sembilan tahun dan program beasiswa bagi kalangan masyarakat tidak mampu. Program bantuan tersebut ditujukan kepada masyarakat agar penduduk usia sekolah mendapatkan haknya untuk dapat mengenyam pendidikan. Kota Yogyakarta sudah memiliki APM 100%, artinya adalah anak usia sekolah di Kota Yogyakarta dapat bersekolah dengan tepat waktu. Namun, tahun 2014 Kabupaten Gunungkidul memiliki APM lebih rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, meskipun mengalami peningkatan pada tahun 2014, seperti yang terdapat pada Tabel 1.2. Bervariasinya nilai APM di DIY menunjukkan bahwa program pemerintah wajib belajar (WAJAR) 9 tahun belum terselesaikan secara tuntas. 4
Tabel 1.2. Angka Partisipasi Murni (APM) Jenjang SMP/MTs (usia 13-15 tahun) Kabupaten/Kota di DIY Tahun 2013 dan 2014. No.
Kabupaten/Kota
APM Tahun 2013
APM Tahun 2014
1.
Kota Yogyakarta
100,00
100,00
2.
Kabupaten Bantul
77,05
86,69
3.
Kabupaten Kulon Progo
82,41
87,49
4.
Kabupaten Gunungkidul
78,09
79,92
5.
Kabupaten Sleman
82,62
88,22
Sumber:Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015
Dengan demikian, penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi angka partisipasi murni di Kabupaten Gunungkidul menjadi penting. Pendekatan geografi menjadi penting juga untuk menjawab tujuan penelitian. Pendekatan geografi yang digunakan adalah pendekatan keruangan, hal ini dikarenakan ruang menjadi penting sebab Gunungkidul memiliki kondisi topografi yang beragam dan sangat berimplikasi terhadap akses yang berbeda-beda.
1.2. Rumusan Masalah Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pemerataan pendidikan adalah angka partisipasi murni (APM) (Depdiknas, 2002). Tingkat pemerataan pendidikan di Indonesia pada tahun 2013 hingga 2014 dapat terlihat bahwa adanya perbedaan yang sangat mencolok di wilayah Indonesia bagian barat dan timur, terutama di provinsi Aceh dan Papua. Salah satu faktor penyebabnya adalah kondisi geografis. Hal serupa juga terjadi di D.I.Yogyakarta yang merupakan kota pendidikan atau barometer nasional memiliki APM yang bervariasi di tingkat kabupaten/kota. Pada tabel 1.2 APM di Gunungkidul paling rendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya pada tahun 2014, yaitu sebesar 79,92%. Menurut Dewi, dkk (2014), salah satu faktor yang dapat mempengaruhi angka partisipasi murni (APM) adalah faktor lokasi. Penelitian ini hendak mengkaji variasi APM di daerah yang memiliki tantangan fisik geografis. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah:
5
1. Bagaimana variasi keruangan angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama di Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama di Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Menganalisis variasi keruangan angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta. 2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan khususnya dalam hal pembangunan sumberdaya manusia (PSDM). 2. Bagi pemerintah, nantinya penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam menentukan kebijakan yang menyangkut tentang pendidikan. 3. Bagi masyarakat yaitu membantu meningkatkan kepedulian dan kesadaran terhadap pentingnya pendidikan.
1.5. Keaslian Penelitian Peneliti memaparkan beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan partisipasi pendidikan. Ada beberapa penelitian terdahulu yang telah mengkaji tentang angka partisipasi sekolah (APS), angka partisipasi kasar (APK). Sasaran penelitian tersebut pada jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah. Pertama, penelitian tentang Variasi Spasial Angka Partisipasi Sekolah Usia Pendidikan Dasar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kabupaten Bantul oleh Triyanto (2009). Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif
6
rasionalistik dengan metode deduktif. Variasi APS usia pendidikan dasar merupakan variabel dependen dan aksesibilitas, jumlah fasilitas sekolah, status pekerjaan orangtua, tingkat kemampuan keluarga, serta tingkat pendidikan orangtua merupakan variabel independen pada penelitian tersebut. Penelitian kedua berjudul Pengaruh Dimensi Keruangan Terhadap Variasi Angka Partisipasi Kasar (APK) Jenjang Sekolah Menengah di Kabupaten Gunungkidul oleh I Wayan Suartika (2008). Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan rasionalistik dengan metode deduktif. Variabel dependen penelitian tersebut adalah APK jenjang SMU/SMK. Aksesibilitas (jumlah sekolah menengah, fasilitas transportasi) dan pendapatan rata-rata kepala keluarga merupakan variabel independen. Penelitian ketiga berjudul Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Angka Partisipasi Sekolah serta Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama: Data Panel 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2006 Hingga 2011 oleh Niken Ajeng Lestari (2014). APK tingkat SD dan SMP, APS tingkat SD dan SMP merupakan variabel dependen penelitian tersebut dan persentase belanja pendidikan terhadap PDRB, rasio guru-murid, jumlah sekolah, populasi, jumlah orang miskin, angka pengangguran terbuka, PDRB per kapita, tingkat melek huruf usia dewasa, dummy jawa/non-jawa, variabel interaksi merupakan variabel independen. Terakhir adalah penelitian oleh Purnowati (2007) dengan judul Analisis Ketimpangan tingkat partisipasi sekolah jenjang SLTP dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah antar Kecamatan di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitiannya adalah: (1) ketimpangan tingkat partisipasi sekolah jenjang SLTP dan sederajat di Kabupaten Kebumen masih tinggi dengan nilai Index Williamson sebesar 0,453776331 untuk skala 0 sampai dengan 1, di mana 0 untuk merata sempurna dan 1 untuk ketimbapangan sempurna; (2) Pendidikan KK yang rendah (SD ke bawah) dan KK miskin berpengaruh negatif; (3) Beberapa kecamatan selalu masuk dalam klasifikasi di mana pendidikan KK yang lebih baik, persentase KK miskinnya rendah dan tingkat partisipasi sekolahnya tinggi.
7
Tabel 1.3. Penelitian Terdahulu No. Penulis 1. Triyanto
Judul Penelitian Variasi Spasial Angka Partisipasi Sekolah Usia Pendidikan Dasar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kabupaten Bantul
Tujuan Mendeskripsikan perbedaan (variasi) spasial APS usia pendidikan dasar serta mengidentifikasi faktor yang paling berpengaruh.
Tesis (2009) UGM.
2.
Suartika, I Wayan
Pengaruh Dimensi Keruangan Terhadap Variasi Angka Partisipasi Kasar (APK) Jenjang Sekolah Menengah di Kabupaten Gunungkidul
1. Mendeskripsikan variasi secara spasial APK jenjang sekolah menengah dan pola keruangan di Kabupaten Gunungkidul. 2. Menentukan faktor keruangan (spasial) yang paling berpengaruh terhadap variasi APK jenjang sekolah menengah di Kabupaten Gunungkidul
Metode Hasil Penelitian 1. Variasi spasial APS usia pendidikan dasar deskriptif dengan cenderungmengelompok sesuai dengan pendekatan klasifikasi capaian APS usia pendidikan kuantitatif dasar. rasionalistik 2. Faktor yang paling berpengaruh ialah dengan metode jumlah KK miskin, prosentase KK tidak deduktif. tamat SD, prosentase KK tidak bekerja, jumlah fasilitas sekolah dikdas, dan ratio kepadatan jalan diabaikan. 3. Alokasi bantuan dana pendidikan yang disalurkan Pemerintah Kabupaten Bantul belum mengacu pada perbedaan pencapaian APS sehingga hasil kurang optimal. Metode kualitatif Adanya variasi APK antar bagian wilayah dan kuantitatif zona tengah cenderung memiliki APK dengan tinggi, dibandingkan zona utara dan selatan. pendekatan Faktor yang paling dominan mempengaruhi rasionalistik tingkat variasi APK di Gunungkidul adalah dengan metode jumlah sekolah menengah di setiap wilayah. deduktif.
8
Tesis (2008) UGM.
3.
4.
Lestari, Niken Ajeng
Purnowati
Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Angka Partisipasi Sekolah serta Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama: Data Panel 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2006 Hingga 2011 Tesis (2014) UGM Analisis Ketimpangan tingkat partisipasi sekolah jenjang SLTP dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Sekolah antar
3. Mendeskripsikan respon masyarakat yang menyekolahkan anak jenjang SLTA maupun yang tidak menyekolahkan anak jenjang SLTA terhadap variasi keruangan wilayah. 1. Mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi angka partisipasi sekolah tingkat SD dan SMP 2. Mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi angka putus sekolah tingkat SD dan SMP.
1. Menganalisis ketimpangan tingkat partisipasi sekolah jenjang SLTP sederajat di Kabupaten Kebumen 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi sekolah jenjang SMP sederajat di Kabupaten Kebumen
Penelitian ini menggunakan paradigma positivism yaitu menggunakan pendekatan kuantitatif
Kuantitatif
Tidak semua aspek yang berupa pemerintah, sekolah, rumah tangga, dan karakteristik daerah mempengaruhi perubahan APK maupun APS (angka putus sekolah) tingkat SD dan SMP. Namun, aspek sekolah yaitu rasio guru murid dan jumlah sekolah, dan juga aspek karakteristik daerah ternyata menunjukkan signifikansi terhadap APK dan APS semua jenjang
1. ketimpangan tingkat partisipasi sekolah jenjang SLTP dan sederajat di Kabupaten Kebumen masih tinggi dengan nilai Index Williamson sebesar 0,453776331 untuk skala 0 sampai dengan 1, di mana 0 untuk merata
9
Kecamatan di Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah
3. Mengklasifikasikan kecamatankecamatan di Kabupaten Kebumen berdasarkan APK dan variabel lainnya.
2.
Tesis (2007) UGM 3.
5.
Nurul Kumala Sari
Distribusi Spasial Angka Partisipasi Murni (APM) Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta
1. Menganalisis variasi keruangan angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama di Kabupaten Gunungkidul, DIY. 2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi angka partisipasi murni (APM) sekolah menengah pertama di Kabupaten Gunungkidul, DIY.
Metode yang 1. digunakan adalah metode deskriptif 2. dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif.
sempurna dan 1 untuk ketimbapangan sempurna. Pendidikan KK yang rendah (SD ke bawah) dan KK miskin berpengaruh negatif. Beberapa kecamatan selalu masuk dalam klasifikasi di mana pendidikan KK yang lebih baik, persentase KK miskinnya rendah dan tingkat partisipasi sekolahnya tinggi. Kondisi geografis di Kabupaten Gunungkidul mempengaruhi nilai APM. Faktor-faktor yang mempengaruhi APM di Kabupaten Gunungkidul adalah ekonomi, budaya, dan fasilitas sekolah.
Adapun persamaan penelitian ini dengan beberapa penelitian sebelumnya, yaitu meneliti terkait partisipasi pendidikan pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP/MTs), yang membedakan dari penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menggunakan indikator Angka Partisipasi Murni (APM) sebagai variabel dependen. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis variasi keruangan APM SMP/sederajat dan mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi APM SMP/sederajat di Gunungkidul, DIY. Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.
10