1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada periode tahun 1997 – 2000 diperkirakan mencapai 2,83 juta ha/tahun (Alikodra dan Syaukani 2004). Selanjutnya, Departemen Kehutanan menunjukkan bahwa laju kerusakan menurun dalam lima tahun berikutnya yaitu sekitar 1,09 juta ha/tahun, bila mengingat ancaman yang masih cukup besar akibat kebakaran hutan dan laju pertambahan penduduk serta alih fungsi lahan, diperkirakan penyusutan luas hutan masih mungkin bertambah (Dephut 2009). Dari luas hutan 132.398 juta ha (PIKA 2008), kawasan hutan efektif hanya 98 juta ha (FWI/GFW 2002), dan menurut data statistik kehutanan tahun 2008 luas lahan kritis di Indonesia mencapai 77,81 juta ha pada tahun 2006. Sebagai langkah awal menghadapi deforestasi dan kerusakkan hutan, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Agenda 21 Kehutanan yang pada intinya mengetengahkan sistem pengelolaan hutan yang bercirikan pada azas keberlanjutan (sustainability). Tujuannya untuk menjamin berlangsungnya prosesproses ekologi pada siklus yang stabil, selaras, dan berkeseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidupnya (UNEP dan KMNLH 2007). Dalam perkembangan selanjutnya untuk mengatasi deforestasi dan kerusakkan hutan, Pemerintah Indonesia antara lain sedang mempersiapkan implementasi skema REDD (Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation), mengimplementasikan skema DNS (Debt for Nature Swapt), dan meratifikasi berbagai perjanjian internasional seperti konvensi keanekaragaman hayati dan konvensi perubahan iklim. Dampak nyata deforestasi dan kerusakan hutan yang membutuhkan perhatian serius di bidang kehutanan adalah karena terjadinya ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan kayu sebagai bahan baku industri perkayuan secara nasional. Dalam kondisi defisit tersebut dimanfaatkan oleh banyak anggota masyarakat yang telah menanam komoditi kayu di lahan miliknya bahkan yang
2
telah berkembang dalam bentuk suatu unit pengelolaan hutan kemasyarakatan yang dikenal dengan usaha kehutanan masyarakat (UKM) dengan pola tanam agroforestri. Pola agroforestri ini telah berkembang dengan baik di Indonesia, terutama karena terbukti sangat sesuai dengan budaya masyarakatnya, dan telah memberikan dampak yang positif bagi pengelolaan hutan di Indonesia (Santoso 2000). Berdasarkan hasil penelitiannya, Darusman et al. (2001) menyatakan bahwa UKM memiliki sifat resiliensi cukup baik dalam menghadapi situasi krisis ekonomi dan moneter pada level nasional sekalipun. 1.2 Rumusan Permasalahan Hutan rakyat adalah perhutanan yang dilakukan di atas tanah milik masyarakat. Ciri umum hutan rakyat ditunjukkan oleh adanya lahan kelola yang sempit, belum memiliki teknik kelola yang baik artinya belum menerapkan aturan sistem silvikultur yang benar, memiliki posisi tawar yang rendah akibat sistem pemasaran yang lebih menguntungkan pihak lembaga perantara seperti pedagang, penebas, pedagang pengumpul, pedagang besar, termasuk industri (Hardjanto 2003). Tujuan awal penanaman jenis-jenis kayu di lahan marginal yang gundul dan tandus melalui program-program pemerintah ditujukan bagi penyelamatan fungsi ekologi dan lingkungan seperti menghindari bahaya erosi, banjir, serta mengembalikan kesuburan tanah. Jenis yang ditanam di lahan milik (talun/kebun rakyat) dilaksanakan atas dasar prakarsa sendiri dan dilakukan secara turun temurun, serta dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam bentuk kayu bakar, dan untuk memenuhi kebutuhan kayu untuk rumah atau kandang ternak mereka. Seiring dengan berjalannya waktu, tujuan tersebut sudah berubah menjadi usaha sampingan yang sewaktu-waktu dapat menutupi kebutuhan insidentil rumah tangga, misalnya menjual kayu untuk keperluan sekolah anaknya ataupun hajatan kawinan dan khitanan anak mereka. Awang et al. (2007) lebih lengkap menyatakan bahwa karakteristik hutan rakyat adalah sifatnya individual, berbasis keluarga, organisasi petani komunal, tidak memiliki manajemen formal, tidak responsif, subsisten, dan hanya berfungsi sebagai tabungan bagi keluarga.
3
Hutan rakyat yang telah berkembang di masyarakat perlu dipertahankan keberlanjutannya. Permasalahannya adalah karena ancaman pertumbuhan penduduk dan perkembangan pola hidup masyarakat dan lingkungannya dikhawatirkan akan mendorong semakin banyaknya generasi muda yang meninggalkan cara bertani termasuk hutan rakyat, serta pembangunan di desanya yang dapat mengancam keberlanjutan hutan rakyat. Value dan motivasi masyarakat terhadap keberlanjutan hutan rakyat perlu digali dan di kembangkan bagi
perkuatan
dukungan
berbagai
pihak
bagi
jaminan
keberlanjutan
pemanfaatnya dari generasi ke generasi berikutnya. Teori dasarnya adalah bahwa pengelolaan hutan rakyat lestari dapat dicapai apabila tiga fungsi dasar pengelolaan hutan yang meliputi fungsi sosial, fungsi ekonomi dan fungsi ekologi (Drengson dan Taylor 1977) dapat dipertahankan, yaitu bagi stabilitas sosial ekonomi masyarakat dan stabillitas ekosistem seperti mencegah terjadinya banjir, erosi, dan tanah longsor, serta stabilitas iklim mikro. Untuk itu rumusan pertanyaan penelitiannya adalah: 1.
Bagaimana tata kelola hutan rakyat serta sarana dan prasarana pendukung dibidang usaha kayu saat ini bagi stabilitas sosial, ekonomi, dan ekologi di lokasi penelitian.
2.
Berapa luas terkecil hutan rakyat yang dapat menjamin sistem pengelolaan hutan yang lestari.
3.
Sejauh mana motivasi masyarakat petani hutan rakyat di lokasi penelitian terhadap konsep pengelolaan hutan lestari.
1.3 Kerangka Konseptual Pada umumnya pengelolaan hutan seringkali kurang memperhatikan keberadaan masyarakat sekitar hutan, dimana praktek-praktek pembangunan kehutanan
cenderung
menempatkan
masyarakat
hanya
sebagai
obyek
pembangunan. Suprayitno (2011) menyatakan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, seringkali mengabaikan keberadaan masyarakatnya, karena mereka dianggap memiliki motivasi yang rendah, tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisis dan merumuskan permasalahan, apalagi mencari solusi pemecahannya. Anggapan semacam ini menjadi salah satu sebab kurangnya
4
partisipasi masyarakat bahkan seringkali menyebabkan terjadinya konflik (Haba dkk 2003). Sejak berbagai program pembangunan dilaksanakan selalu dirasakan gagal dalam mengamankan hutan, sehingga semakin disadari akan pentingnya peranserta masyarakat setempat. Kebijakan pengelolaan hutan yang selama ini berjalan cenderung kurang memperlakukan masyarakat secara adil, telah menjadi pemicu utama bagi kegagalan pembangunan kehutanan selama ini. Sejalan dengan laju perkembangan hutan rakyat, pemerintah mencoba memperbaiki kinerjanya melalui suatu misi pengelolaan hutan yang baru yaitu pengelolaan hutan yang adil dan lestari, yang telah memberi peluang dan ruang gerak bagi masyarakat lokal untuk terlibat aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan sehingga hutan rakyat yang tumbuh dikelola oleh masyarakat di lahan miliknya menjadi alternatif penting bagi upaya meningkatkan luas tutupan lahan. Situasi perniagaan kayu nasional yang cenderung menunjukkan semakin berkurangnya stok bahan baku kayu industri perkayuan yang jumlahnya tidak sedikit memberi peluang bagi kayu rakyat untuk diperhitungkan sebagai salah satu alternatif dalam usaha mengatasi kekurangan bahan baku. Kondisi ini berdampak positif bagi keberlanjutan hutan rakyat, masyarakat termotivasi melalui insentif ekonomi berlomba menanam jenis kayu pada lahan garapannya. Inisiatif dan kemauan untuk menanam secara suka rela jenis kayu sengon di lahan milik juga ditunjukkan oleh masyarakat desa di Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya merupakan bukti minat keterlibatan masyarakat tani hutan setempat dalam melakukan pengelolaan hutan pada lahan milik mereka cukup tinggi, dengan keyakinan bahwa menanam kayu sengon merupakan tambang emas yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan mereka. Rumusan pengelolaan hutan lestari yang digali dari pengetahuan masyarakat, seperti sistem pengaturan hasil yang didasarkan pada ketersediaan stock berdasarkan penyebaran jumlah batang per kelas diameter dan selalu tersedianya sejumlah pohon masak tebang dan sistem pengaturan hasil, dengan mempertimbangkan kondisi sosial, serta budaya setempat, diharapkan akan dapat membantu masyarakat sebagai dokumen penting bagi upaya mempertahankan keberlanjutannya. Dalam implementasinya, sesuai dengan teori pengelolaan hutan
5
konvensional, maka pola pengaturan hasil lestari akan sangat ditentukan oleh luas areal hutan rakyat sebagai suatu unit pengelolaan, ketersediaan standing stock kayu di hutan, ketersediaan jumlah pohon yang mewakili kelas diameter tertentu, kesediaan bibit, sumberdaya manusia dengan kapasitasnya sebagai tenaga yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan, ketersediaan faktor penunjang seperti sarana dan prasarana jalan angkutan, sarana ekonomi dan sarana komunikasi.
Hutan Rakyat
Motivasi
Fungsi Ekonomi
Fungsi Ekologi
Fungsi Sosial
Analisa Finansial
Potensi Tegakan
Karakteristik Petani Hutan Rakyat
NPV
Pengaturan Hasil
Internal
Ekstrenal
Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Skala Kecil Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian. Untuk mencapai keberhasilannya perlu dirumuskan unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil sesuai dengan kapasitas masyarakatnya atas dasar kepemilikan lahan, manfaat sosial, manfaat ekonomi dan manfaat ekologi dari pengelolaan hutan rakyat yang dimilikinya. Selanjutnya perangkat kebijakan yang telah ada maupun yang baru sangat penting dalam mendukung kelancaran
6
kegiatan pengelolaan hutan mulai dari aspek produksi, industri pengolahan, hingga aspek pemasarannya. Selain itu juga perlu didukung oleh sistem informasi yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas kinerja bagi para stakeholder yang terlibat langsung dalam kegiatan, karena dalam hal ini tingkat pencapaian keberhasilannya sangat tergantung dari jumlah dan kualitas mereka. Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pikir penelitian diatas, maka disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: semakin terjamin kesinambungan jatah tebang tahunan (etat jumlah batang) berarti semakin lestari tegakan hutan yang ada, maka secara finansial akan semakin stabil tingkat pendapatan dan kesejahteraan petani hutan rakyat. 1.4 Ruang Lingkup 1. Wilayah hutan rakyat di lokasi penelitian didasarkan pada areal efektif hasil pengolahan peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) Kecamatan Cikalong Skala 1:250.000 Tahun 2009. 2. Jenis yang diteliti adalah sengon (Paraserienthes falcataria L. Nielsen). 3. Pengaturan hasil didasarkan kepada kondisi tegakan aktual. 4. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam membangun unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil adalah: (a) Dusun sebagai unit pengelolaan terkecil; (b) Daur ditetapkan lima tahun sesuai rata-rata daur butuh yang dipakai petani hutan rakyat di lokasi penelitian; (c) Riap diameter 5 cm/tahun. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah merumuskan unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil berdasarkan sistem pengaturan hasil yang berkelanjutan. Untuk merumuskan unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil ini dilakukan analisis terhadap: 1.
Nilai dugaan potensi tegakan sengon berdasarkan volume dan jumlah batang dan sistem pengaturan hasil lestari yang dapat diterapkan pada hutan rakyat.
2.
Nilai kontribusi hutan rakyat terhadap total pendapatan petani yang mengusahakan hutan rakyat serta nilai finansial dari usaha hutan rakyat.
7
3.
Hubungan motivasi petani dalam mengusahakan hutan rakyat berdasarkan karakteristik internal dan eksternal petani.
1.6 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dapat dinyatakan dalam dua hal, yaitu: a.
Manfaat bagi pengembangan ilmu, merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan Ilmu Pengelolaan Kehutanan (IPK), khususnya terciptanya rumusan unit pengelolaan skala kecil hutan rakyat lestari.
b.
Manfaat bagi pengembangan kebijakan, merupakan sumbangan yang sangat penting bagi pemerintah (Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah) untuk mengimplementasikan kebijakan yang mungkin disusun untuk menunjang pembangunan daerah secara berkelanjutan dengan basis hutan rakyat.
1.7 Novelti Penelitian Penelitian mengenai rumusan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dengan skala kecil masih terbatas. Misalnya, Awang (2007), telah melakukan penelitian “Pendekatan tentang pembentukan Unit Manajemen Hutan Lestari/ UMHR pada hutan rakyat campuran”. Kebanyakan penelitian hutan rakyat cenderung berbasis sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, seperti: kontribusi hasil dari kayu bagi masyarakat tani dan penyerapan tenaga kerja (Kartasubrata 1988); konsumsi kayu pertukangan dan kayu bakar (Darusman dan Hardjanto 2006); analisis investasi (Dewi 2002); sifat resiliensi usaha kayu rakyat (Suhardjito dan Darusman 1998); kelembagaan dan kebijakan (Tinambunan et al. 1996); ekologi lingkungan (Soeryani 2007); hutan rakyat dalam konteks DAS (Awang et al. 2007); sertifikasi (Putera et al. 2011). Adapun kebaruan penelitian ini adalah: 1.
Dari aspek manajemen hutan, menghasilkan rumusan tentang unit pengelolaan hutan rakyat lestari skala kecil dengan cara pengaturan hasil berdasarkan riap dan jumlah batang yang menjamin keberlanjutan manfaat ekonomi, manfaat ekologi dan manfaat sosial.
8
2.
Dari aspek ilmu pengetahuan, merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan Ilmu Pengelolaan Kehutanan, karena dengan meningkat kembangnya unit-unit kecil pengelolaan hutan rakyat saat ini, perannya mampu diandalkan sebagai salah satu pemasok kayu ketika terjadi krisis bahan baku kayu industri belakangan ini.