BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Sekitar dua puluh lima tahun terakhir di Indonesia, semakin banyak data spasial Sistem Informasi Geografis (SIG) yang dibuat dan dikumpulkan dalam format digital (Rais, 2007). Penerapan SIG di Indonesia yang cukup menonjol adalah yang dilaksanakan oleh LREP (Land Resources Evaluation and Planning) 1987-1992, GTZ (Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit) 1996-1999, dan MCRMP (Marine and Coastal Resources Management Project) 2002-2006 (Bachtiar, 2005), sebagai hasil dari survei dan kegiatan pemetaan yang sudah lama dilakukan. Indonesia memiliki koleksi data spasial yang besar, data tersebut terdiri dari titik kontrol geodesi, data topografi, data batimetri, dan data tematik yang meliputi sebagian besar wilayah nasional (Matindas, 2006). Data tersebut dikumpulkan dan dikelola oleh banyak instansi pemerintah di semua tingkat: nasional, provinsi, kabupaten kota, yang disimpan pada standar lokal yang berbeda. Kondisi pengelolaan data spasial masih kurang terpadu, kurang tertib, prosedur administrasi yang panjang, ketersediaan data yang bervariasi (format, standar, metadata), akses data yang tidak mudah, dan kualitas data yang belum dapat dipertanggung jawabkan. Pembenahan data spasial secara menyeluruh dikenal sebagai pembangunan dan pengembangan Infrastruktur Data Spasial (IDS). Tujuan IDS adalah menyediakan data dan informasi spasial yang berkualitas yang mudah diakses dan diintegrasikan untuk pembangunan; bermanfaat dalam menghindari duplikasi pekerjaan antar instansi; mendukung pemanfaatan multiguna data dan informasi spasial; meningkatkan kualitas dan ketersediaan data dan informasi spasial; memberikan kemudahan akses data; meningkatkan return on investment; serta meningkatkan kualitas pengambilan keputusan (Bakosurtanal, 2007). Informasi spasial yang tersedia dengan cepat dan akurat dapat berperan penting untuk pengambilan keputusan dan juga penting untuk meningkatkan transparansi
1
keputusan dan memberikan kontribusi terhadap tata kelola yang lebih baik (Montoya, 2002). Salah satu peran data dan informasi spasial adalah dalam manajemen bencana alam. Kemudahan akses data terhadap data yang dapat dipercaya dan akurat sangat penting setelah terjadi bencana (the United Nations Geographical Information Working Group, 2010). Informasi spasial merupakan informasi yang sangat diperlukan dalam penanggulangan bencana, pelestarian lingkungan hidup, dan pertahanan keamanan (UU RI No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geopasial). Peran Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam siklus manajemen bencana menurut Menon (2006), meliputi semua tahap manajemen, yaitu: pencegahan dan mitigasi (prevention and mitigation); tahap kesiapsiagaan (preparedness); prediksi dan peringatan (prediction and warning); tanggap darurat (response); bantuan (relief); pemulihan, rekonstruksi, rehabilitasi (recovery, recontruction, rehabilitation) dengan tingkatan peran data spasial yang berbeda-beda. Contoh pemanfaatan SIG dalam pada tahap setelah kejadian bencana atau pada tahap tanggap darurat, antara lain: untuk analisis situasi, pembuatan peta krisis, penentuan jalur evakuasi, penentuan lokasi pengungsian dan tempat penampungan, pengiriman sumber daya (bantuan), dan penilaian kerusakan awal (Menon, 2006). Kualitas data yang baik dan ketersediaan data sangat diperlukan untuk pemanfaatan SIG pada tahap tersebut. Belum tersedianya informasi spasial bencana alam yang ideal adalah faktor mendasar yang menjadi penyebab masih buruknya manajemen bencana alam di Indonesia (Nuryanto, 2009). Tersedianya informasi spasial dan infrastruktur data spasial kebencanaan merupakan salah satu strategi untuk mereduksi kerugian bencana. Sebagai contoh, jumlah korban mungkin bisa dikurangi
apabila
masyarakat
mengenali kondisi alam di sekitarnya dengan adanya peta risiko bencana. Peta jalur evakuasi yang telah tersosialisasikan kepada masyarakat dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang cepat dalam menyelamatkan diri dan keluarga mereka pada saat terjadi bencana. Kesiapan pemerintah dan masyarakat untuk menghindari atau merespon bencana dengan tepat dan efektif dengan manajemen bencana adalah penting sehingga kerugian dapat dikurangi. Hal ini dikarenakan kejadian bencana terus menerus terjadi dengan besar dan frekuensi bencana yang cenderung meningkat (Laituri, 2011).
2
Hampir semua negara di dunia berhadapan dengan bencana alam, meskipun dengan intensitas dan besar yang berbeda (Mohanty, 2006). Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ditinjau dari kondisi geografis, geologis, hidrologis, klimatologis dan demografis juga merupakan wilayah yang memiliki risiko terhadap bencana alam. Ada 7 (tujuh) risiko bencana alam dan 1 (satu) risiko penularan demam berdarah di wilayah DIY (Bappeda DIY, 2010). Salah satu kejadian bencana alam yang besar yang menimpa DIY yaitu, letusan Gunungapi Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 hingga mencapai puncak letusan terbesar 5 November 2010. Letusan tersebut mengakibatkan banyak jatuh korban jiwa, penduduk yang luka dan mengungsi, serta rusaknya infrastruktur perumahan dan permukiman penduduk. Kejadian tersebut merupakan gambaran tegas dari fenomena kerentanan yang dihasilkan dari peristiwa bencana tersebut. Sejarah letusan Merapi tercatat sejak tahun 1768, bahkan diperkirakan sejak tahun 1006. Erupsi terdahulu bersifat eksplosif dengan tipe sub-plinian, dan vulkanian yang menghasilkan awan panas letusan dan melanda sektor yang cukup luas di sekitarnya. Sedikitnya 6 (enam) letusan besar terjadi pada tahun 1857, 1672, 1768, 1822, 1849 dan 1872 (Hartmann, 1935 dalam BNPB 2010). Banyak erupsi sepanjang abad 7 sampai abad 19 lebih hebat dan eksplosif dibandingkan dengan abad 20 (BNPB, 2010).
Erupsi sekarang memproduksi kubah lava yang kemudian runtuh secara
eksplosif dan membentuk awan panas. Erupsi abad 20 yang bercirikan kubah lava adalah pada tahun 1984, 1992, 1994, 1995, 1998, 2001, 2006 dan 2010. Sebaran awan panas pada letusan 2010 mencapai 17 km dari puncak Merapi. Gunungapi Merapi merupakan Gunungapi teraktif di dunia dengan periodisasi erupsi yang relatif singkat, yaitu antara 3 hingga 6 tahun dan dikelilingi oleh permukiman yang sangat padat (Sarwidi, 2011). Mengingat sejarah bencana Gunungapi Merapi yang selalu berulang dengan selang waktu yang hanya beberapa tahun saja, maka perlu manajemen bencana yang baik, salah satunya dengan pemanfaatan IDS dan aplikasi SIG untuk pengambilan keputusan pada saat tahap tanggap darurat. Hal ini yang menjadi alasan daerah DIY dipilih menjadi daerah penelitian, disamping DIY belum memiliki IDS khususnya
3
untuk manajemen bencana dicirikan belum adanya indikator jaminan kepada masyarakat atas kemudahan akses, penggunaan dan pemanfaatan terhadap jaringan dan data spasial. 1.2. Permasalahan Penelitian Ketersediaan dan keberadaan data spasial tersebar di berbagai
instansi/
lembaga/organisasi yang berbeda-beda sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masingmasing institusi. Ketersediaannya sering masih tidak lengkap, kalaupun ada susah diakses dan diintegrasikan. Integrasi data tidak mudah dilakukan karena berbagai masalah, seperti: pemanfaatan perangkat lunak (software) yang berbeda-beda, format dan struktur data berbeda-beda, perbedaan model data, duplikasi data, inkonsistensi atribut, cara akses data, perbedaan protokol dan kebijakan data, dan penggunaan ICT (Information and Communication Technology). Pada kasus bencana alam letusan Gunungapi Merapi di DIY tahun 2010, penyebaran informasi spasial sudah banyak dilakukan, tetapi cenderung bersifat berita, yang terdapat dibeberapa situs berikuti ini: - http://www.slemankab.go.id/category/berita-seputar-gunung-merapi/peta-penangan an-bencana-merapi-2010, merupakan situs online Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman Yogyakarta tentang Penanganan Bencana Gunungapi Merapi 2010 - http://cybergisforum.blogspot.com, merupakan media informasi online data keluaran Klinik Lingkungan dan Mitigasi Bencana (KLMB), Fakultas Geografi UGM - http://lppm.ugm.ac.id/deru/, merupakan informasi kebencaaan terkait letusan Gunungapi Merapi dari Disaster Response Unit UGM (DERU) - http://merapi-partisipasi.ugm.ac.id/, merupakan Peta Partisipatif Forum PRB (Pengurangan Risiko Bencana) Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berisi Lokasi Posko, Bantuan, dan Info Spasial Seputar Merapi - http://merapi.combine.or.id/posko/, merupakan Jaringan Informasi Lingkar Merapi (JALIN MERAPI) berupaya menyajikan data dan informasi perkembangan Gunungapi Merapi dan dinamika masyarakatnya - http://geospasial.bnpb.go.id/, merupakan situs Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang merupakan media distribusi produk peta-peta terbaru yang 4
dibuat oleh Pusat Data Informasi dan Humas BNPB. Beberapa peta kejadian bencana yang ada di situs ini di-update secara periodik sesuai dengan laporan yang diterima oleh Pusdalops BNPB. Data yang tersedia sering mempunyai format dan standar yang berbeda, inkonsistensi data yang belum mendukung penyelenggaraan pertukaran data dan informasi antar pihak, sehingga belum dapat terwujudnya pemanfaatan data. Penyediaan data spasial masih bersifat visualisasi data untuk desiminasi data, belum sampai pada kemudahan akses data yang dapat dianalisis lebih lanjut untuk perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan. Permasalahan data spasial dan pemanfaatan atau penggunaannya merupakan permasalahan mendasar yang menjadi kajian dalam IDS (Mansourian, 2005). Data kebencanaan yang terintegrasi dapat diaplikasikan untuk manajemen bencana, sehingga perlu diteliti juga bagaimana IDS memfasilitasi dan meningkatkan proses pengambilan keputusan dalam manajemen bencana, memfasilitasi dan meningkatkan kolaborasi dan koordinasi dan kegiatan dalam manajemen bencana,
serta kemampuannya dalam
mengurangi rentang waktu pengambilan keputusan. Kata kunci dari proses pengumpulan data sampai dengan keputusan pada manajemen bencana adalah kecepatan. Disamping itu, harus dipenuhi kriteria bahwa: data harus relevan, mudah dipahami, akurat, lengkap, dan terkini. Kualitas suatu kebijakan yang didasarkan pada hasil analisis dalam SIG akan dipengaruhi oleh kualitas data yang digunakan dalam analisis. Suatu istilah yang biasa digunakan untuk merefleksikan hubungan antara input dan output dalam SIG adalah GIGO (Garbage In – Garbage Out). Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan kemampuan membangun data spasial, menampilkan data spasial, analisis spasial, dan manajemen data dapat digunakan untuk mendeteksi, mengurangi, merespon, dan pemulihan dari bencana. Namun, fakta menunjukkan bahwa meskipun data spasial dan SIG dapat memfasilitasi pengelolaan bencana, ada masalah besar dengan ketersediaan (availability), Aksesibilitas (accessibility), dan kegunaan (usability) untuk manajemen bencana, masalah tersebut menjadi lebih serius selama tahap tanggap darurat bencana alam yang sifatnya dinamis dan sensitif terhadap waktu. 5
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas maka timbul pertanyaan penelitian yang perlu diteliti untuk memperoleh temuan baru pada penelitian ini adalah: a. Bagaimana Infrastruktur Data Spasial (IDS) di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk manajemen bencana khususnya tahap tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi. b. Bagaimana mengembangkan prototipe IDS dan aplikasi SIG untuk manajemen bencana khususnya dalam masa tanggap darurat bencana letusan Gunungapi Merapi di DIY. c. Bagaimana kegunaan IDS dan SIG untuk manajemen bencana khususnya pada tahap tanggap darurat bencana letusan Gunungapi Merapi di DIY. 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tujuan utama untuk menjawab pertanyaan penelitian, yaitu: a. Mengkaji Infrastruktur Data Spasial (IDS) di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk manajemen bencana khususnya tahap tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi. b. Mengembangkan prototipe IDS dan aplikasi SIG untuk perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan dalam tahap tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY. c. Membuat model kegunaan (usability) IDS dan SIG untuk manajemen bencana khususnya pada tahap tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY.
1.4. Keaslian dan Pentingnya Penelitian 1.4.1. Penelitian sebelumnya Penelitian tentang peran infomasi spasial dan infrastruktur data spasial selalu berkembang dan sangat luas karena menyangkut banyak elemen seperti: standardisasi data, teknologi jaringan komunikasi data, sumber daya manusia, peraturan perundangundangan yang mendukung, pengaturan kelembagaan, dan kesediaan berbagi pakai data 6
(data sharing), serta aplikasinya pada beberapa bidang yang salah satunya adalah manajemen bencana. Hal itu dapat ditunjukkan dari hasil-hasil penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa data spasial, IDS, SIG, dan teknologi geospasial berperan dalam manajemen bencana, seperti penelitian Menon dan Rani Sahay (2006), Mansourian dan Abbas Rajabifard (2005), Aldaijy (2009), Sarker dan Deepika Jain (2008). Penelitian IDS khususnya untuk akses data berbasis Web dilakukan oleh Raheja et al. (2005), Manso et al. (2009), Mohammadi et al. (2008), Foerster (2009), Nasaruddin et al. (2010). Foerster (2009), pada penelitiannya tentang “Web-Based Architecture For On-Demand Maps - Integrating Meaningful Generalization Processing” menyebut bahwa dengan munculnya web sebagai platform untuk mengakses dan berbagi informasi antara pengguna, maka peta juga menjadi dapat diakses
melalui
web.
Web
menyediakan
sarana
untuk
menghasilkan
dan
menyebarluaskan peta bagi pengguna. Penelitian merumuskan bagaimana arsitektur berbasis web untuk menghasilkan dan menyebarkan peta sesuai permintaan pengguna. Mansourian
dan Abbas Rajabifard (2004) dalam penelitiannya “SDI for
Disaster Management to Support Sustainable Development” mendeskripsiskan pengembangan model konseptual IDS yang tepat dengan membangun prototipe sistem berbasis web untuk memudahkan pengumpulan data spasial, akses, diseminasi, dan penggunaannya pada manajemen bencana.
SIG berbasis web dan IDS untuk
manajemen bencana sebagai suatu kerangka terpadu, dapat memfasilitasi dan meningkatkan manajemen bencana khususnya pada tahap tanggap darurat bencana. Hal ini dikarenakan tersesaikannya masalah koleksi, akses, diseminasi, dan integrasi data spasial. Menon dan Rani Sahay (2006) pada penelitiannya yang berjudul “Role of Geoinformatics for Disaster Risk Management”, menilai bagaimana kemungkinan aplikasi SIG di Gujarat India dalam manajemen bencana meliputi pencegahan, mitigasi atau pengurangan risiko, dan perencanaan untuk kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan untuk kemungkinan bencana yang disebabkan alam atau manusia. SIG dalam pengelolaan risiko bencana adalah untuk mengetahui lokasi dan data atribut 7
yang berkaitan dengan lokasi serta hubungan spasial dengan parameter lainnya. SIG juga digunakan untuk melaksanakan perencanaan tata ruang yang efektif, meminimalkan kerusakan yang mungkin terjadi, memastikan tindakan segera jika diperlukan dan memprioritaskan tindakan untuk kesinambungan jangka panjang. Kesimpulan penelitian ini adalah SIG merupakan alat yang efektif dan relevan dalam semua tahap siklus manajemen bencana, tetapi kemampuan yang ada pada saat ini sangat kurang dimanfaatkan, misal: untuk pemodelan gempa, mengorganisir bantuan logistik atau sebagai alat untuk mengidentifikasi dan memetakan lokasi penduduk yang rentan terhadap bencana. SIG dapat berkontribusi besar untuk manajemen bencana, misal: simulasi dan pemodelan untuk melakukan analisis skenario yang memerlukan basisdata yang baik dan rinci. Sebuah inisiatif proaktif diperlukan untuk mengkompilasi, standardisasi, uji mutu, berbagi pakai data, serta menyusun mekanisme untuk menghindari pengulangan data. Raheja et al. (2005), meneliti aspek-aspek SIG berbasis internet, sehingga dapat digunakan sebagai alat yang sangat efektif untuk manajemen bencana. Kesimpulan penelitian adalah peluang yang diciptakan oleh aplikasi spasial berbasis internet sangat besar dan dapat diterima secara universal. Namun, pengembangan SIG berbasis internet tidak terlepas dari kendala seperti bandwidth dan teknologi lain yang terlibat. Meskipun terdapat kendala tersebut, SIG berbasis internet dapat sangat membantu dalam mengelola bencana. Di negara yang luas, dan rawan bencana seperti India, SIG berbasis internet bisa sangat banyak digunakan untuk mengkoordinasikan, mengelola data spasial, dan analisis kebutuhan dari berbagai instansi yang terlibat dalam berbagai tahap siklus manajemen bencana, untuk setiap bahaya alam, dan untuk setiap kawasan. Peningkatan kemampuan akses mestinya diimbangi dengan kesadaran akan berbagi pakai data spasial (Omran, 2007), secara khusus dan detail dalam disertasinya berjudul “Spatial Data Sharing: From Theory to Practice”, meneliti aspek yang menentukan keinginan dan kesediaan individu dan organisasi untuk berbagi pakai data spasial. Tujuan penelitian keseluruhan dari disertasi ini adalah untuk meneliti aspek teori dan praktis dari perilaku berbagi pakai data spasial dari perspektif sosial-budaya. Perilaku berbagi pakai data spasial ini dilakukan dengan membandingkan budaya di Mesir dan di Belanda. Metode penelitian dengan mengidentifikai teori sosial-budaya 8
yang relevan untuk berbagi pakai data, mengembangkan sebuah model konseptual lintas-budaya untuk memahami perilaku berbagi pakai data spasial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat individu, sikap dan tekanan sosial adalah faktor yang paling penting dalam menentukan keinginan individu untuk berbagi pakai data spasial di Mesir. Di sisi lain, sikap dan kontrol perilaku memainkan peranan penting dalam menentukan keinginan individu untuk berbagi pakai data spasial di Belanda. Pada tingkat organisasi, budaya memainkan peranan penting dalam membentuk perilaku organisasi terhadap berbagi pakai data spasial. Pola berbagi pakai data spasial yang menentukan dalam organisasi Mesir adalah kepangkatan. Di Belanda, pola berbagi pakai data spasial ditentukan oleh hirarki, individualisme dan aspek egaliter. Kesediaan individu di Mesir dan Belanda yang tinggi untuk berbagi pakai data, sedangkan kesediaan organisasi untuk berbagi pakai data di Belanda tinggi, tetapi di Mesir rendah. Jika dibanding antara penelitian sebelumnya, pada penelitian ini diteliti pemanfaatan atau kegunaan IDS dan aplikasi SIG yang lebih spesifik untuk manajemen bencana letusan Gunungapi Merapi di DIY melalui beberapa tahap penelitian yaitu: menyusun profil IDS di DIY, penilaian kesiapan dan implementasi IDS untuk manajemen bencana letusan Gunungapi Merapi di DIY, analisis SWOT terhadap IDS untuk tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY, pengembangan prototipe IDS dan SIG untuk tanggap darurat letusan letusan Gunungapi Merapi di DIY, dan pembuatan model kegunaan (usability) IDS untuk tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi, sehingga diharapkan dapat meningkatkan ketersediaan data, kemudahan akses, dan penggunaan data dan informasi spasial untuk perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan dalam tahap tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY. Secara singkat nama pengarang, lokasi penelitian, tujuan, metode dan hasil dari penelitian-penelitian diatas disajikan dalam Tabel 1.1.
9
Tabel 1.1. Matriks Perbandingan Penelitian Sebelumnya Dengan Penelitian Yang Dilakukan Keterangan Peneliti
Tahun Penelitian
Lokasi Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Mansourian et al.
2004
Iran
Mengetahui bagaimana manfaat sistem berbasis web yang bekerja menggunakan Infrastruktur Data Spasial untuk mengelola bencana secara efektif dan efisien.
Menilai efektivitas dan efisiensi sistem infrastruktur data spasial dengan unsur-unsur, seperti: pengurangan waktu respon, kemampuan memfasilitasi koordinasi kegiatan, dan memfasilitasi proses pengambilan keputusan.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa model konseptual Infrastruktur Data Spasial dan sistem berbasis web tidak hanya memfasilitasi dan meningkatkan respon bencana saja, tetapi juga tahapan lain dari manajemen bencana termasuk mitigasi, kesiapsiagaan dan pemulihan. Infrastruktur Data Spasial memberikan fasilitas manajemen bencana dengan memberikan cara yang lebih baik dalam pengumpulan data spasial, berbagi, manajemen akses, dan penggunaannya.
Mansourian dan Rajabifard
2005
Iran
Mendeskripsikan pengembangan model konseptual Infrastruktur Data Spasial yang tepat dengan membangun prototipe sistem berbasis web untuk memudahkan pengumpulan data spasial, akses, diseminasi, dan penggunaannya pada manajemen bencana.
Membangun prototipe sistem berbasis web.
SIG berbasis web dan Infrastruktur Data Spasial untuk manajemen bencana sebagai suatu kerangka terpadu dapat memfasilitasi dan meningkatkan manajemen bencana, khususnya pada tahap tanggap darurat bencana. Hal ini dikarenakan tersesaikannya masalah koleksi, akses, diseminasi, dan integrasi data spasial.
10
Lanjutan Tabel 1.1. Keterangan Peneliti Raheja, Ruby Ojha, dan Sunil R. Mallik
Menon dan Rani Sahay
Tahun Penelitian
Lokasi Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
2005
India
Meneliti aspek-aspek bagaimana SIG berbasis internet dapat digunakan sebagai alat yang sangat efektif untuk manajemen bencana
Analisis SWOT
2006
Gujarat India
Menilai bagaimana kemungkinan aplikasi SIG dalam manajemen bencana yang meliputi pencegahan, mitigasi atau pengurangan risiko, dan perencanaan untuk kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan bencana yang disebabkan alam atau manusia.
Penggunaan SIG dalam pengelolaan risiko bencana untuk perencanaan tata ruang yang efektif, meminimalkan kerusakan yang mungkin terjadi, memastikan tindakan segera jika diperlukan dan memprioritaskan tindakan untuk kesinambungan jangka panjang.
Kesimpulan penelitian adalah peluang yang diciptakan oleh aplikasi spasial berbasis internet sangat besar dan dapat diterima secara universal. Namun, pengembangan SIG berbasis internet tidak terlepas dari kendala seperti bandwidth dan teknologi lain yang terlibat. Meskipun terdapat kendala tersebut, SIG berbasis internet dapat sangat membantu dalam mengelola bencana. Di sebuah negara yang luas, dan rawan bencana seperti India, SIG berbasis internet bisa sangat banyak digunakan untuk mengkoordinasikan, mengelola data spasial, dan analisis kebutuhan dari berbagai instansi yang terlibat dalam berbagai tahap siklus manajemen bencana, untuk setiap bahaya alam, dan untuk setiap kawasan. SIG adalah alat yang efektif dan relevan dalam semua tahap siklus manajemen bencana, tetapi kemampuan yang ada pada saat ini sangat kurang dimanfaatkan, seperti: untuk pemodelan gempa, mengorganisir bantuan logistik atau sebagai alat untuk mengidentifikasi dan memetakan lokasi penduduk yang rentan terhadap bencana. SIG dapat berkontribusi besar untuk manajemen bencana, misal: simulasi dan pemodelan. Untuk melakukan analisis skenario tersebut memerlukan basisdata yang baik dan rinci. Sebuah inisiatif proaktif diperlukan untuk mengkompilasi, standardisasi, uji mutu, berbagi pakai data, serta menyusun mekanisme untuk menghindari pengulangan data.
11
Lanjutan Tabel 1.1. Keterangan Peneliti
Tahun Penelitian
Lokasi Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Omran
2007
Mesir dan di Belanda
Meneliti aspek yang menentukan keinginan dan kesediaan individu dan organisasi untuk berbagi pakai data spasial yang meliputi. aspek teori dan praktis dari perilaku berbagi pakai data spasial dari perspektif sosialbudaya.
Metode penelitian dengan mengidentifikai teori sosialbudaya yang relevan untuk berbagi pakai data, mengembangkan sebuah model konseptual lintas-budaya untuk memahami perilaku berbagi pakai data spasial. Perilaku berbagi pakai data spasial ini dilakukan dengan membandingkan budaya di dua negara, yaitu: Mesir dan Belanda.
Hasil menekankan peran perbedaan budaya dan faktor motivasi menentukan perilaku berbagi pakai data spasial di tingkat individu dan organisasi. Dampak paling jelas dari dimensi Hofstede tentang perilaku individu dan organisasi yang muncul dari penelitian ini adalah pentingnya faktor individualisme / kolektifisme dan jarak kekuasaan. Dimensi maskulinitas dan feminitas tidak penting untuk berbagi pakai data spasial. Kepercayaan, otonomi, ketidakpastian dan peraturan membuktikan menjadi pendorong universal perilaku berbagi pakai data spasial. Kesediaan individu di Mesir dan Belanda yang tinggi untuk berbagi pakai data. Kesediaan organisasi untuk berbagi pakai data di Belanda lebih tinggi dibanding di Mesir.
Sarker dan Deepika Jain
2008
India
Mengetahui penggunaan informasi spasial dalam membantu usaha meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh fenomena bencana alam seperti: gempa bumi, gunung berapi, tsunami dan badai.
Penggunaan informasi geospasial dalam mitigasi pasca bencana gempa bumi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama untuk respon jangka pendek, tanggap darurat (response), dan kedua untuk respon jangka panjang, pemulihan (recovery) dan rehabilitasi (rehabilitation).
Ada kekurangan dari mitigasi pasca bencana gempa tanpa menggunakan informasi spasial. Penggunaan informasi spasial dapat mengatasi antara lain: keterlambatan respon, penyelamatan dan operasi bantuan.
12
Lanjutan Tabel 1.1. Keterangan Peneliti
Tahun Penelitian
Lokasi Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Mohammadi et al.
2008
NSW state,
Penelitian ini mempunyai dua tujuan utama. Pertama, membahas hasil dari sejumlah studi kasus yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi masalah dan tantangan integrasi data spasial. Kemudian yang kedua, berdasarkan permasalahan yang diidentifikasi dikembangkan perangkat validasi data.
Mengembangkan aplikasi spasial yang mengandalkan multi-sumber data heterogen juga sulit karena kurangnya mekanisme otomatis untuk mengidentifikasi item inkonsistensi dan menetapkan solusi yang tepat untuk item tertentu.
Integrasi yang efektif memerlukan identifikasi inkonsistensi di antara data dan penyediaan standar dan pedoman yang diperlukan untuk mengatasi perbedaan yang ada, dan kemudian dataset dapat dimanipulasi berdasarkan pedoman dan solusi yang diusulkan.
Mengetahui peran Sistem Informasi Geografis untuk mendukung pengambil keputusan yang cepat dan tepat dalam menyusun rencana dan membuat keputusan penting dalam kesiapsiagaan, respon, pemulihan, dan tahap mitigasi penanggulangan bencana.
Mengembangkan model validasi dan model acuan pengambilan keputusan dengan mengunakan 7 faktor, yaitu: kualitas sistem, kualitas informasi, kepuasan pengguna, penggunaan sistem, kinerja keputusan, kompleksitas tugas dan umpan balik, serta dampak pada organisasi.
Memberikan rekomendasi utama meliputi: (1) secara teratur mengukur efektivitas SIG untuk setiap kejadian bencana, (2) mempertimbangkan beberapa pengukuran faktor lain seperti: faktor teknis, individu, dan organisasi berdasarkan kemampuan SIG yang berkembang, konteks bencana, dan kebutuhan organisasi.
Australia
Aldaijy
2009
Arab Saudi
13
Dihasilkan aplikasi spasial/perangkat untuk mengetahui dan mengidentifikasi item inkonsistensi data spasial multi-sumber. Perangkat ini juga memberikan panduan untuk mengatasi inkonsistensi. Perangkat ini dapat membantu para praktisi dan organisasi untuk menghindari proses yang memakan waktu dan mahal untuk memvalidasi dataset untuk integrasi data yang efektif.
Lanjutan Tabel 1.1. Keterangan
Tahun Penelitian
Lokasi Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Manso, MiguelÁngel Bernabé, dan Monica Wachowicz
2009
Spanyol
Meneliti terhadap pengembangan model interoperabilitas untuk implementasi Infrastruktur Data Spasial.
Suatu pendekatan untuk merancang sebuah model interoperabilitas terpadu yang mengintegrasikan tujuh tingkat interoperabilitas, yaitu: teknis (technical), sintaksis (syntactic), semantik (semantic), pragmatis (pragmatic), dinamis (dynamic), konseptual (conceptual) dan level organisasi (organisational levels).
Hasil penelitian ini menunjukkan peran penting dari elemen-elemen metadata dalam formalisasi model interoperabilitas untuk implementasi Infrastruktur Data Spasial. Suatu struktur non-hirarkis diusulkan untuk memastikan hubungan antara tingkat-tingkat interoperabilitas.
Foerster
2009
Belanda
Menghasilkan peta yang mudah dibaca pada skala khusus dan untuk pemakai khusus.
Merumuskan bagaimana arsitektur berbasis web untuk menghasilkan dan menyebarkan peta sesuai permintaan pengguna
Selain tujuan menyebarkannya peta sesuai permintaan (on-demand) berbasis web, web juga dapat sebagai platform untuk generalisasi berbasis web. Penelitian ini memberikan kontribusi kepada masalah interoperabilitas semantik layanan generalisasi dengan Web menggunakan standardisasi model ISO dan OGC. Penerapan WPS (Web Processing Services) dan Object Constraint Language bukan hanya sebuah hal baru untuk penelitian generalisasi Web Services, tapi juga memberikan kontribusi pada aspek geoprocessing berbasis web.
Nasaruddin et al.
2010
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Membangun SIG berbasis web untuk bencana alam yang menyediakan petapeta ancaman sebagai pedoman perencanaan
Mendesain SIG berbasis Web untuk Sistem Informasi bencana Alam.
Pembangunan sistem informasi ancaman bencana alam Aceh berbasis Web-GIS disebut sebagai ANHIS (Aceh Natural Hazards Information System), merupakan sebuah keputusan strategis untuk meningkatkan kesadaran publik akan potensi
Peneliti
14
Lanjutan Tabel 1.1. Keterangan Peneliti
Tahun Penelitian
Lokasi Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
pengurangan risiko bencana.
Taufik Hery Purwanto
2012
DIY
Mengkaji Infrastruktur Data Spasial (IDS) di DIY untuk manajemen bencana khususnya tahap tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi; mengembangkan prototipe IDS dan aplikasi SIG untuk perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan dalam tahap tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY; dan membuat model kegunaan (usability) IDS dan SIG untuk manajemen bencana khususnya pada tahap tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY.
Hasil Penelitian risiko dari ancaman bencana alam di Aceh. ANHIS digunakan untuk menampilkan peta-peta ancaman bencana alam dan mendisiminasi informasi ancaman bencana alam daerah ke pihak terkait guna membantu mereka dalam masalah peringatan terhadap ancaman bencana alam.
Menyusun profil IDS DIY; penilaian kesiapan dan implementasi IDS untuk manajemen bencana letusan Gunungapi Merapi di DIY, analisis SWOT terhadap IDS untuk tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY, pengembangan prototipe IDS dan SIG untuk tanggap darurat letusan letusan Gunungapi Merapi di DIY, dan pembuatan model kegunaan (usability) IDS untuk tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY.
15
Prototipe IDS dan SIG untuk perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan dalam tahap tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY.
1.4.2. Arti Pentingnya Penelitian Secara keilmuan penelitian ini mencoba memberikan sumbangan dalam pengembangan Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) khususnya dalam salah satu penggunaannya untuk manajemen bencana. Penggunaan atau pemanfaatan IDSN sangat luas dan dapat digunakan dalam berbagai bidang khususnya yang terait dengan data spasial, seperti bidang: survei dan pemetaan, pertanahan, pemerintahan dalam negeri, perhubungan, komunikasi dan informatika, pekerjaan umum, kebudayaan dan kepariwisataan, statistik, energi dan sumber daya mineral, kehutanan, pertanian, kelautan dan perikanan, kelautan, hidrologi, meteorologi dan geofisika, antariksa dan penerbangan, tata ruang, perikanan, kelautan, lingkungan, pertambangan, kesehatan, hidrologi, kelistrikan, asuransi, kepolisian, pertahanan negara, dan bidang lainnya. Disamping penerapan dalam suatu bidang, perkembangan IDS cukup dinamis karena sangat tergantung pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai elemen Infrastruktur Data Spasial (IDS), dan juga tergantung pada perubahan pada struktur pemerintahan, di samping elemen perbedaan budaya dan manusia yang mempengaruhi arah pengembangan IDS. Dimensi elemen dan kegunaan atau pemanfaatan IDS yang luas ini menarik untuk diteliti dan dikembangkan. Berdasarkan manfaat aplikatif, arti pentingnya penelitian ini diharapkan dengan integrasi IDS dan SIG untuk manajemen bencana khususnya tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY dapat untuk perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan kegiatan dalam tahap tanggap darurat, seperti: untuk analisis situasi, pembuatan peta krisis, penentuan jalur evakuasi, penentuan lokasi pengungsian dan tempat penampungan, pengiriman sumber daya, dan penilaian kerusakan awal yang diharapkan dapat mengurangi korban jiwa, meminimalkan jumlah kerusakan bencana dan menghemat biaya pemulihan bencana. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan mengembangkan prototipe IDS khususnya untuk manajemen bencana yang diharapkan dari sisi IDS bisa menemukan jawaban atas permasalahan dalam IDS dan SIG seperti: sulitnya mengakses dan menggunakan data spasial. Berdasarkan ketersediaan data berkualitas dan kemudahan akses maka selanjutnya dapat dianalisis dengan SIG untuk tanggap darurat letusan Gunungapi Merapi di DIY.
16