BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat berlangsungnya Arab Spring di Timur Tengah, terdapat sebuah pertanyaan besar di benak para peneliti ilmu hubungan internasional: apakah negaranegara di kawasan Timur Tengah dapat menjalankan agenda demokratisasi secara konsisten dengan aspirasi rakyat pada masa Arab Spring? Jika iya, bagaimana proses demokratisasi tersebut akan berlangsung dan siapakah yang akan menjadi pelopor atau contoh dalam upaya demokratisasi tersebut? Pada saat itu, Turki muncul sebagai negara yang dianggap mampu menjadi contoh bagi negara-negara di kawasan Timur Tengah untuk menjalankan demokratisasi. Munculnya wacana Turki sebagai contoh atau model bukan sebuah wacana yang baru terdengar saat berlangsungnya Arab Spring, karena wacana tersebut sebenarnya mulai muncul sejak akhir Perang Dingin ketika Turki baru saja memulai proses demokratisasi. Awal mula wacana model Turki mulai muncul pada tahun 1990-an, ketika Turki disebut sebagai sebuah negara yang berkomitmen pada nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Dengan perkembangan ekonomi yang maju dan politik yang relatif stabil dan bebas setelah berlangsungnya reformasi ekonomi-politik pada masa Özal, beberapa pihak seperti misalnya Catherine Laumierre (Sekretaris Council of Europe) melihat Turki sebagai salah satu negara yang dapat dijadikan sebagai model untuk mengembangkan demokrasi, terutama di wilayah Eropa Timur dan Asia Tengah yang baru saja melepaskan diri dari Uni Soviet (Mango, 1993, hal. 726). Secara domestik, masyarakat Turki melihat adanya wacana model Turki sebagai sebuah dorongan untuk terus berkomitmen terhadap proses demokratisasi, meskipun Turki masih belum memperlihatkan hasil dari proses tersebut (Mango, 1993, hal. 726727). Wacana model Turki semakin menguat pada awal dekade 2000-an, dimana proses demokratisasi Turki mulai memperlihatkan hasilnya dengan berlangsungnya pemilu multipartai yang dimenangkan oleh Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) dan peluncuran program paket demokratisasi sebagai sebuah komitmen pemerintahan Turki untuk terus mencapai kualitas politik yang lebih tinggi. Beberapa pihak, seperti misalnya George W. Bush, menyebut bahwa Turki sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim telah mengembangkan demokrasi, aturan hukum dan kebebasan 1
secara baik sehingga Turki dapat menjadi model bagi negara-negara Islam lainnya dalam mengembangkan demokrasi (Altunışık, 2005, hal. 46). Dalam merespon wacana Model Turki yang makin menguat, pemerintah Turki menyatakan bahwa istilah Model Turki bukanlah istilah yang cocok untuk menggambarkan Turki yang dapat menjadi contoh pengembangan demokrasi bagi negara-negara Muslim dan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Dalam beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Recep Tayyip Erdoğan pada saat pertemuan World Economic Forum di Jeddah (Altunışık, 2005, hal. 57) serta pernyataan yang disampaikan oleh Abdullah Gül (Menteri Luar Negeri Turki 2003-2007, sekarang menjabat Presiden Republik Turki) dalam beberapa seminar dan forum (T.C. Dişişleri Bakanlığı Yayını, 2007, hal. 141), dapat dilihat bahwa Turki tidak ingin diposisikan sebagai model karena tidak ada model politik yang benar-benar dapat diaplikasikan secara baku dan universal bagi seluruh negara di dunia. Erdoğan maupun Gül kemudian menggunakan istilah ‘Pengalaman Turki’ untuk menggambarkan bagaimana Turki menjalankan proses demokratisasinya sejak awal tahun 1980-an sampai sekarang sehingga dapat menjadi negara demokratis. Lewat istilah ‘Pengalaman Turki’ ini, Turki kemudian mencoba untuk membagikan pengalamannya dalam proses demokratisasi dan memberi inspirasi kepada negara-negara Muslim dan negara-negara di Timur Tengah yang ingin berkomitmen untuk melakukan demokratisasi. Munculnya Turki sebagai inspirasi dapat dilihat sebagai awal mula upaya Turki untuk menjadi norm entrepreneur bagi norma demokrasi di Timur Tengah. Dalam
perkembangannya,
kehadiran
Turki
sebagai
inspirasi
untuk
mengembangkan demokrasi di dunia Muslim, khususnya di negara-negara kawasan Timur Tengah berkembang menjadi sebuah aspirasi. Dalam beberapa kesempatan, Turki telah menyampaikan aspirasinya untuk menjadi penyebar norma demokrasi di Timur Tengah – terutama pada saat berlangsungnya Arab Spring. Hal ini dijelaskan sendiri oleh Erdoğan dalam pernyataannya di Kairo (Hürriyet Daily News, 2011): “Keadilan dan pembangunan yang didukung oleh politik bersih merupakan hal yang telah kami lakukan selama ini. Kami harap bahwa kami dapat menerapkan hal serupa di negara-negara di kawasan Timur Tengah.... Biarkan rakyat membangun partai mereka sendiri dan biarkan mereka memilih orang yang mereka sukai”
2
Skripsi ini akan mencoba untuk melihat peran Turki sebagai norm entrepreneur dalam upaya lokalisasi norma demokrasi di Timur Tengah. Dalam perannya sebagai norm entrepreneur, Turki mencoba untuk menggunakan pengalamannya dalam melakukan demokratisasi sebagai sebuah dasar untuk melakukan upaya demokratisasi di kawasan Timur Tengah melalui institusi dan kerangka regional yang diikuti oleh negara-negara kawasan Timur Tengah. Skripsi juga akan melihat pembentukan pengalaman Turki serta kebijakan luar negeri Turki untuk melakukan upaya demokratisasi di Timur Tengah. Upaya Turki dalam melakukan lokalisasi norma demokrasi akan dikaji dengan konsep konstruktivisme yang akan diperdalam dengan konsep norm entrepreneur dan konsep lokalisasi.
1.1. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis hendak mengajukan sebuah rumusan masalah, yakni: Bagaimana Turki berperan dalam lokalisasi norma demokrasi di Timur Tengah?
1.2. Landasan Konseptual Sebagai acuan dalam melakukan analisis dalam skripsi ini, penulis akan menggunakan konsep konstruktivisme yang akan diperdalam dengan konsep norm entrepreneur dan konsep lokalisasi untuk mengkaji peran Turki sebagai norm entrepreneur dalam lokalisasi norma demokrasi di Timur Tengah. Konsep yang akan digunakan adalah konsep konstruktivisme. Konstruktivisme merupakan sebuah pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bagaimana hubungan sosial berjalan antara agen dan struktur dalam kenyataan sosial. Dalam teori hubungan internasional, konstruktivisme mencoba untuk mereka ulang penjelasan dari teoriteori rasionalis, seperti misalnya neorealisme dan neoliberalisme yang melihat bahwa sebenarnya semua agen yang memainkan peran di dunia internasional memiliki posisi dan cara pandang yang sama. Karenanya, menurut para pendukung teori neorealisme dan neoliberalisme, agen-agen dalam dunia internasional diibaratkan sebagai bola biliar (Behravesh, 2010). Menurut Flockhart, setidaknya ada empat poin utama yang penting untuk dipahami dalam pendekatan konstruktivisme (Flockhart, 2012, hal. 82-88). Pertama, pemahaman agen akan lingkungan sekitar ditentukan oleh pemahaman intersubjektif dan penerjemahan atas kenyataan sosial di lingkungan sekitar. Dalam artikel Anarchy 3
Is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics, Alexander Wendt membawa argumen dengan meminjam proposisi dari teori konstruktivisme sosial yang menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seorang agen terhadap agen lainnya dalam dunia sosial didasari oleh adanya pemahaman agen tersebut terhadap agen lain yang dimaksud (Wendt, 1992, hal. 397). Kedua, dalam struktur, terdapat dua faktor utama, yakni faktor material dan gagasan. Konstruktivis memberikan penekanan pada pentingnya faktor ideasional dalam membentuk fenomena sosial. Sesuai dengan poin pertama, faktor gagasan ini menjadi penting karena faktor inilah yang kemudian menjadi semacam jembatan yang menghubungkan agen satu dengan agen lainnya. Secara spesifik, terdapat empat jenis dari faktor gagasan, yakni ideologi, kepercayaan normatif, kepercayaan kausal dan saran kebijakan. Dalam definisi masing-masing, ideologi adalah cara pandang agen terhadap dunia; kepercayaan normatif adalah acuan sikap bagi agen dalam menghadapi dunia sosial yang diukur secara benar dan salah; kepercayaan kausal adalah acuan rasional bagi agen untuk menanggapi fenomena tertentu di dunia sosial dengan ukuran untung-rugi; dan saran kebijakan adalah panduan bagi para perumus kebijakan untuk merespon isu tertentu (Wicaksana, 2009, hal. 6). Ketiga, identitas adalah pemahaman agen terhadap dirinya, posisinya di dunia sosial dan hubungannya dengan lingkungan sekitar. Seorang agen membentuk identitas dirinya atas dasar hubungan dengan lingkungan sekitarnya, dimana lingkungan sekitarnya ini dipengaruhi oleh faktor geografis, historis, bahasa dan agama. Dalam perkembangan awal sebelum agen berinteraksi dengan agen/entitas lain, seorang agen telah memiliki identitas bawaan yang menurut Wendt masih cenderung bersifat individualis. Identitias bawaan ini mempunyai empat kepentingan utama. Empat kepentingan ini antara lain adalah keamanan fisik, kemudahan dalam menjalankan hubungan, pengakuan dari negara lain dan kemajuan ekonomi (Bozdağlioglu, 2007, hal. 132). Identitas bawaan ini akan berubah ketika agen memulai hubungan dengan agen lain dan memahami konteks hubungan tersebut. Ketika telah tercipta pemahaman, maka agen ini akan membentuk identitas dan kepentingan dari konteks hubungan tersebut, entah hubungan tersebut bersifat bersahabat atau berlawanan. Lebih lanjut lagi, ketika seorang agen memiliki suatu identitas, maka agen tersebut akan cenderung mengaitkan dirinya dengan satu norma yang dianggap sesuai dengan identitas yang dia miliki. Oleh karena itu, setiap sikap yang diambil oleh agen akan 4
terkait pula dengan norma. Dari norma inilah kemudian agen akan menentukan kebijakannya berdasarkan logika kelayakan, dimana logika kelayakan diukur dari apakah kebijakan telah sesuai dengan norma dan identitas yang dianut (Afrimadona & Komeini, 2013, hal. 33-34). Keempat, struktur dan agen dapat mempengaruhi satu sama lain. Wendt melihat hubungan antar agen dan struktur sebagai hubungan yang konstitutif karena struktur tidak akan ada artinya tanpa ada pemahaman intersubjektif dari agen yang membentuk norma dan peraturan. Tanpa norma dan peraturan yang dibentuk oleh agen, struktur hanyalah sesuatu vakum yang tidak mempunyai esensi. Dalam keadaan struktur yang tidak esensial, maka tindakan serta penggunaan kekuatan yang dilakukan didalamnya menjadi tidak bermakna (Hopf, 1998, hal. 173). Sebaliknya, agen tidak akan mungkin eksis tanpa struktur, karena strukturlah yang kemudian menentukan bagaimana seorang agen harus bersikap dalam menghadapi berbagai masalah. Dalam dunia sosial, seorang agen (negara) tidak mungkin bertindak dalam kondisi yang vakum, namun pasti terkait dengan konteks sosial dan proses sosialisasi norma (Levornik, 2011, hal. 6). Seorang agen dalam pandangan konstruktivis memiliki peranan yang penting dalam penyebaran gagasan di struktur. Dalam hal ini, agen telah memiliki acuan norma tertentu yang akan coba disosialisasikan di struktur/lingkungan sekitarnya. Menurut Levornik (2011), sosialisasi dapat disengaja atau tidak disengaja –tergantung konteks dan strategi yang dijalankan oleh agen (hal. 7). Sosialisasi dapat dilakukan secara sengaja ketika agen memang ingin melakukan pengajaran tentang norma kepada agen-agen lain di sekitarnya. Dalam kondisi tidak sengaja, agen melakukan sosialisasi dalam format memberikan contoh atau pembelajaran tidak langsung kepada agen-agen di sekitarnya tentang norma yang berlaku . Sosialisasi tidak sengaja melibatkan seorang agen/negara yang dianggap menjadi model atau memiliki posisi yang lebih baik sehingga dapat dijadikan panutan bagi negara lain untuk membangun norma dan identitas mereka. Pembahasan mengenai konsep sosialisasi dan penyebaran norma dibahas secara lebih mendalam oleh Amitav Acharya dalam jurnalnya yang berjudul How Ideas Spread: Whose Norms Matter? Norm Localization and Institutional Change in Asian Regionalism, Acharya menjelaskan bahwa dinamika yang terjadi di dunia internasional menunjukkan bahwa sebenarnya upaya sosialisasi dan penyebaran norma merupakan sebuah proses yang dinamis, dimana agen-agen lokal memiliki 5
peran yang signifikan dalam menerjemahkan dan mereka ulang norma internasional supaya bisa selaras dengan norma lokal. Proses ini kemudian disebut sebagai lokalisasi norma (Acharya, 2004, hal. 240). Lokalisasi merupakan sebuah upaya yang berlangsung dari bawah dan bersifat positif, dimana agensi lokal tidak hanya dilihat sebagai target namun juga secara aktif mengadvokasikan norma (Capie, 2012, hal. 7980). Karena sifatnya berlangsung dari bawah, maka proses lokalisasi membuka kesempatan yang lebih luas untuk penyebaran diskursus serta pembuktian aplikatif yang lebih spesifik karena langsung berhubungan dengan konteks lokal (Oh & Matsuoka, 2013, hal. 5-6). Lokalisasi norma biasanya dilakukan oleh seorang norm entrepreneur, atau seorang agen yang memiliki peranan penting dalam proses awal penawaran norma di lingkup struktur (Finnemore & Sikkink, 1998, hal. 895). Konsep norm entrepreneur pertama kali dimunculkan oleh Cass R. Sunstein dalam jurnalnya yang berjudul Social Norm and Social Rules. Dalam jurnal ini, Cass Sunstein mengatakan bahwa dalam sebuah masyarakat, dapat terjadi suatu kekacauan dimana tidak ada seseorang dari masyarakat yang dapat merubah kekacauan tersebut karena tidak ada seseorang dalam masyarakat yang benar-benar terikat pada suatu norma. Dalam situasi tersebut, menurut Sunstein, norm entrepreneur muncul sebagai seorang agen yang tertarik untuk merubah norma sosial dan mengubah kekacauan yang ada dalam masyarakat menjadi kondisi yang lebih baik (Sunstein, 1995, hal. 6). Seorang agen dapat dikatakan sebagai norm entrepreneur jika memiliki sebuah proposal alternatif yang dapat menyelesaikan masalah dalam sistem sosial dan mampu mengemas dan mereka ulang norma dalam bahasa yang dapat diterima oleh masyarakat yang berada dalam sistem sosial (Finnemore & Sikkink, 1998, hal. 896897). Peran norm entrepreneur biasanya menjadi penting saat proses norm emergence, dimana norm emergence merupakan sebuah tahap dimana norma baru mulai muncul ditengah-tengah masyarakat. Dalam proses norm emergence ini, seorang norm entrepreneur akan menghadapi banyak norma-norma lain yang eksis dalam masyarakat yang juga berupaya untuk merubah kondisi. Untuk menghadapi kondisi tersebut, seorang norm entrepreneur perlu melibatkan landas organisasi yang dapat membantu kerja penyebaran norma. Titik tolak norm emergence akan terjadi dalam fase tipping point, dimana setidaknya ada 1/3 jumlah aktor/negara dalam struktur yang mulai mengadopsi nilai tersebut. Setelah fase tipping point, tahapan
6
selanjutnya dalam difusi norma adalah norm cascade (fase institusionalisasi norma) dan norm internalization (Finnemore & Sikkink, 1998, hal. 895). Seorang agen biasanya menjadi norm entrepreneur untuk berperan dalam menyelesaikan suatu masalah spesifik dan sektoral yang menjadi keahliannya. Dalam beberapa kasus, beberapa negara mencoba untuk menjadi norm entrepreneur, misalnya Swedia dalam penyebaran norma green politics dan Finlandia dalam penyebaran norma resolusi konflik dan mediasi di level internasional (Ingebritsen, 2002, hal. 13). Tujuan dari norm entrepreneur bukan untuk melakukan kontestasi terhadap kebenaran dari norma yang telah ada, tapi mencoba untuk melakukan pemaknaan ulang serta evaluasi terhadap norma yang telah ada (Chandler, 2012, hal. 8-10). Norm entrepreneur menyebarkan norma melalui beberapa metode. Metode yang biasanya digunakan adalah metode persuasi (Kumar, 2013, hal. 7). Cara persuasi seringkali
digunakan
oleh
para
norm
entrepreneur
dan
organisasi
yang
mendukungnya karena cara persuasi lebih dapat meyakinkan para target penyebaran norma melalui pendekatan afektif, empati dan keyakinan moral lokal (Chandler, 2012, hal. 6). Sedangkan metode-metode lain seperti aktivisme, protes dan inisiatif diplomatik juga digunakan dalam beberapa kasus oleh berbagai norm entrepreneur sesuai dengan konteks yang dihadapi oleh norm entreprneur tersebut. Dalam prosesnya, norm entrepreneur tidak bekerja sendiri, melainkan dibantu oleh banyak organisasi lain yang sejak awal sudah memiliki peran dalam upaya konstruksi dan pengawalan implementasi norma (misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat, komunitas epistemik, dan organisasi internasional). Adanya organisasi ini penting karena tiga hal. Pertama, organisasi-organisasi tersebut dapat memberikan sumber informasi dan keahlian spesifik yang dapat mendukung upaya penyebaran norma yang dilakukan oleh norm entrepreneur. Kedua, adanya landasan organisasi dibutuhkan
karena
organisasi-organisasi
tersebut
dapat
mendampingi
norm
entrepreneur dalam melakukan tugas secara spesifik yang memungkinkan terciptanya transformasi secara gradual (Chandler, 2012, hal. 6). Ketiga, jejaring organisasi mempunyai peran penting yang dapat menghubungkan struktur norma global dan konteks nasional sehingga dapat menjamin adaptasi dan aplikasi norma secara lebih komprehensif dan kontekstual (Martinsson, 2011, hal. 13-14). Kesuksesan seorang norm entrepreneur dalam melakukan penyebaran normadapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, norm entrepreneur yang sukses 7
biasanya akan memiliki sistem jejaring dan pengelolaan yang baik dengan organisasi pendukung (Madokoro, 2011, hal. 2). Kedua, kesuksesan norm entrepreneur juga dilihat dari bagaimana ia dapat mematuhi dan menjalankan apa yang diajarkan dan disosialisasikan ke aktor sekitarnya secara konsisten, sehingga upaya penyebaran norma menjadi lebih meyakinkan (Björkdahl, 2007, hal. 137-138). Ketiga, kesuksesan norm entrepreneur juga dipengaruhi oleh bagaimana ia mengemas norma transnasional dalam bentuk yang dapat menggugah dan meyakinkan target penyebaran norma (Nadelmann, 1990, hal. 482). Keempat, agen yang berperan sebagai norm entrepreneur memiliki jejaring sosial dan afinitas yang baik dengan aktor sekelilingnya (Levornik, 2011, hal. 9). Kembali ke pembahasan lokalisasi norma, lokalisasi norma biasanya terjadi karena beberapa alasan. Pertama, adanya critical juncture dalam sektor keamanan dan ekonomi yang membuat agen mempertimbangkan keabsahan norma yang telah eksis sebelumnya. Kedua, adanya perubahan sistemik dalam konteks regional atau internasional. Ketiga, adanya perubahan dari agen dalam sistem pemerintahan (proses demokratisasi). Lokalisasi terjadi dalam proses yang bertahap dan progresif, dimana proses ini kedepannya akan menghasilkan harmonisasi antara norma lokal dan norma internasional yang akan membantu agen untuk membangun peradaban serta sistem pemerintahan yang lebih baik (Acharya, 2004, hal. 252). Menurut Acharya (2004), lokalisasi berlangsung dalam sebuah proses yang bersifat trajectory – yakni proses yang didorong dan dipengaruhi oleh seorang aktor (hal. 250). Lokalisasi seringkali dianggap sebagai adaptasi dikarenakan tujuannya yang sama-sama menyesuaikan konteks global dengan konteks lokal. Namun, yang menjadi unik dalam proses lokalisasi adalah bahwa proses lokalisasi didorong sepenuhnya oleh inisiatif yang muncul dari aktor lokal, bukan aktor global atau transnasional. Aktor lokal memiliki kunci penting dalam membentuk dan membingkai norma dalam konteks lokal melalui pernyataan dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sehingga dapat mempengaruhi aktor-aktor yang menjadi target dari aktor lokal tersebut. Proses lokalisasi terdiri dari lima tahap utama (Acharya, 2004, hal. 251). Tahap pertama merupakan tahap prelokalisasi, dimana norma global yang baru muncul dilingkup lokal awalnya ditentang dan dikritisi. Norma global tersebut biasanya dianggap sebagai ancaman terhadap eksistensi dari norma lokal. Namun, dalam perkembangannya, beberapa aktor lokal (yang memiliki peluang sebagai norm 8
entrepreneur) akan melihat bahwa sebenarnya norma global dapat digunakan sebagai sebuah instrumen untuk menguatkan legitimasi aktor bersangkutan dengan cara menyesuaikan norma global tersebut dengan lokalitas yang dimiliki oleh aktor bersangkutan. Selanjutnya, proses lokalisasi akan masuk tahap kedua, yaki adanya inisiatif lokal yang digerakkan oleh satu atau beberapa aktor lokal. Aktor lokal akan mencoba untuk membingkai norma global dengan cara mengelola pengalaman dan menetapkan makna terhadap norma tersebut supaya bisa dipahami dan diterima oleh aktor-aktor yang berada di struktur lokal (framing) (Payne, 2001, hal. 39). Upaya framing ini akan berlangsung secara dialektis karena norma global masih akan menemui norma-norma lainnya dalam meraih pengaruh di dalam struktur. Adanya upaya ini akan berlanjut pada tahap ketiga yakni upaya untuk mengasosiasikan norma global dengan norma lokal (grafting) serta mematangkan posisi
norma
global
yang sudah terlokalisasi
(pruning) untuk kemudian
disosialisasikan secara menyeluruh ke aktor-aktor yang menjadi target pada tahap keempat, yakni amplifikasi dan universalisasi. Tahap keempat akan menjadi tahap akhir dari lokalisasi, dimana norma-norma yang telah dilokalisasi kemudian difungsionalisasikan dalam bentukan kerangka baru atau tugas-tugas baru yang akan diemban oleh aktor-aktor lokal. Bagan dibawah akan menggambarkan bagaimana sebuah norma transnasional disebarkan dan dilokalisasi oleh aktor lokal. IV
NILAI TRANSNASIONAL
IntV
PEMBAWA NORMA TRANSNASIONAL
AKTOR LOKAL DV
PERLAWANAN
LOKALISASI
PENGGANTIAN NORMA
Diagram 1.1 – Respon lokal terhadap norma transnasional (Acharya, 2004, hal. 254) 9
1.3. Argumen Utama Skripsi ini membawa argumen bahwa
upaya Turki dalam melakukan
lokalisasi norma demokrasi di Timur Tengah dilakukan dengan menggunakan framing Pengalaman Turki yang menekankan pada kesesuaian antara nilai-nilai Islam, norma lokal, dan nilai demokrasi universal. Framing Pengalaman Turki disebarkan melalui kerangka institusi dan kerjasama kawasan yang berada di Timur Tengah, yakni Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan kerangka kerjasama Broader Middle East and Northern Africa (BMENA). Melalui kedua organisasi ini, norma demokrasi mulai berdifusi dan mengalami proses lokalisasi (proses entrepreneurship dan grafting). Beberapa negara di kawasan Timur Tengah mulai mengadopsi norma demokrasi dikarenakan dorongan dan upaya lokalisasi yang dilakukan oleh Turki melalui institusi pemerintahan dan institusi non-pemerintah, meskipun keberlanjutan adopsi norma demokrasi dan demokratisasi bergantung pada inisiatif domestik.
1.4. Jangkauan Penelitian Jangkauan penelitian dari skripsi ini adalah pada masa pemerintahan Recep Tayyip Erdoğan sebagai Perdana Menteri Turki, yakni dari mulai tahun 2003 hingga sekarang.
1.5. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan dipakai dalam skripsi ini adalah metode kualitatif, dimana metode ini akan berupaya untuk mengkonstruksi argumen melalui studi literatur. Studi literatur yang akan dilakukan dalam penelitian ini akan melibatkan penggunaan dan pengkajian data sekunder, misalnya jurnal, buku, prosiding konferensi, komentaris, dan artikel dari koran dan majalah. Studi literatur juga dilakukan untuk menemukan apa saja yang sudah pernah dilakukan dalam penelitian di tema yang sama, sehingga tidak lagi terjadi duplikasi dalam penelitian ini. Tipe metode kualitatif yang akan diaplikasikan dalam skripsi ini adalah tipe studi kasus. Penelitian ini juga akan menggunakan metode analisis process tracing, yakni sebuah metode yang mencoba untuk menganalisis data dengan cara mengidentifikasi, memvalidasi dan menguji mekanisme kausal dalam sebuah studi kasus secara spesifik dan teoretis (Reilly, 2010, hal. 1). Menurut Collier (2011), process tracing merupakan salah satu alat utama dalam analisis kualitatif yang mampu membaca fenomena berdasar pada data-data kualitatif (hal. 823). 10
1.6. Sistematika Penelitian Sistematika penelitian dalam skripsi ini akan dibagi ke dalam berbagai bab, yakni: Bab pertama, yakni pendahuluan, menjelaskan latar belakang dari penelitian tentang peran Turki sebagai norm entrepreneur di Timur Tengah, disertai dengan rumusan masalah dan landasan konseptual yang akan menjadi acuan utama dalam melakukan penelitian. Bab
kedua,
yakni
Konseptualisasi
Norma
dalam
Ilmu
Hubungan
Internasional. Bab ini akan menjadi bab yang akan mengeksplorasi konsep norma dan perkembangannya
sebagai
sebuah
cabang dalam
disiplin
Ilmu
Hubungan
Internasional. Bab ini juga akan melihat bagaimana norma kemudian muncul sebagai sebuah konsep yang mulai digunakan dan dilihat dalam analisis politik luar negeri. Bab kedua ini akan terdiri dari dua subbab, yakni:
Perkembangan Studi Norma dalam Ilmu Hubungan Internasional
Aplikasi Norma dalam Analisis Politik Luar Negeri Bab ketiga, yakni Dasar Kebijakan Turki dalam Isu Demokratisasi di Timur
Tengah. Bab ini akan menjelaskan tentang bagaimana agen (yakni pemerintahan Republik Turki) mengalami proses demokratisasi serta bagaimana agen membentuk kebijakan untuk melakukan demokratisasi di Timur Tengah setelah melalui proses demokratisasi di level domestik. Bab ketiga ini akan terdiri dari dua subbab yakni:
Pengalaman Turki dalam Merekonsiliasi Hubungan Islam dan Demokrasi
Pembentukan Visi Kebijakan Luar Negeri Turki dalam Isu Demokratisasi di Timur Tengah Bab keempat, yakni Strategi Turki dalam Lokalisasi Norma Demokrasi di
Timur Tengah. Bab ini akan membahas strategi Turki dalam lokalisasi norma demokrasi di Timur Tengah, dimana Turki sebagai norm entrepreneur menyebarkan norma demokrasi dengan framing Pengalaman Turki. Bab ini akan melihat dan menganalisis serangkaian data-data kualitatif yang terkait dengan peran Turki dalam lokalisasi norma demokrasi dengan menggunakan metodologi process tracing untuk melihat dinamika proses lokalisasi norma demokrasi yang dilakukan oleh Turki
11
melalui berbagai kerangka kerjasama dan institusi yang ada di Timur Tengah. Bab keempat ini akan terdiri dari dua subbab, yakni:
Strategi Lokalisasi Norma Demokrasi di Timur Tengah dengan Framing Pengalaman Turki
Persepsi Negara-Negara di Kawasan Timur Tengah terhadap Upaya Turki dalam Lokalisasi Norma Demokrasi
Turki dan Demokratisasi di Timur Tengah Bab kelima, yakni Penutup. Bab ini akan mencoba untuk memberikan
simpulan hasil penelitian yang akan menjawab rumusan masalah yang telah disampaikan di bab pertama.
12