BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok yang mutlak harus dipenuhi sehari-hari.
Tanpa adanya air, manusia tidak dapat bertahan hidup karena air digunakan setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik untuk minum, memasak, mencuci, mandi, pertanian, perikanan, atau keperluaan lainnya. Dapat dikatakan bahwa air bersifat universal atau menyeluruh bagi setiap aspek kehidupan, sehingga air semakin berharga baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Air merupakan sumberdaya yang terbarukan, namun secara kuantitas bersifat dinamis dari waktu ke waktu dan memiliki persebaran yang berbeda-beda untuk setiap wilayah dan tidak berarti bahwa sumberdaya air tidak memiliki keterbatasan dari segi kualitas dan kuantitasnya. Keterbatasan dari segi kualitas maupun kuantitas tersebut menyebabkan perlunya suatu pengelolaan sumberdaya air yang cermat dan efisien. Air tawar di Bumi hanya memiliki persentase sebesar 2,5% (UNEP,2011), dimana sebesar 2,5% air tawar tersebut terdistribusi secara temporal dan spasial, baik kualitas dan kuantitasnya oleh karena berbagai faktor. Curah hujan, perubahan iklim, tanah, kondisi geologi, penutup lahan, penggunaan lahan, topografi adalah faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan distribusi air secara temporal dan spasial antara wilayah satu dengan wilayah yang lain. Seperti halnya kawasan karst dengan kondisi hidrologi yang khas akan memiliki karakteristik sumberdaya air yang unik. Karst diambil dari bahasa Jerman yang diturunkan dari bahasa Slovenia, yaitu kras, yang berarti lahan gersang berbatu. Menurut Ford dan Williams (2007), karst didefinisikan sebagai medan dengan kondisi hidrologi yang khas akibat dari batuan yang mudah larut dan memiliki porositas sekunder yang berkembang baik. Bentukan karst tidak hanya terjadi pada batuan karbonat saja, namun dapat terjadi pada batu gipsum maupun batu garam. Dikarenakan persebarannya yang paling luas dibandingkan dengan batu gipsum dan batu garam, maka bentukan karst lebih banyak ditemui pada batuan karbonat. Ciri-ciri dari suatu bentukan karst adalah: a. adanya cekungan tertutup dan atau lembah 1
kering dengan berbagai ukuran dan bentuk, b. langkanya atau tidak terdapat sistem drainase atau sungai permukaan, c. Terdapat gua dari sistem drainase bawah tanah. Langkanya atau tidak terdapatnya sistem drainase atau sungai permukaan, mengakibatkan sistem aliran sungai bawah tanah yang lebih mendominasi terkait hidrologi di kawasan karst. Menurut Jankowski (2001, dalam Haryono dan Adji, 2004), sistem hidrologi karst yang utama dibedakan menjadi tiga komponen, yaitu akuifer, sistem hidrologi permukaan, dan sistem hidrologi bawah permukaan. Sistem hidrologi permukaan pada kawasan karst ditekankan pada bentukan karst yang berupa doline yang telah terisi air (telaga), sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan karst dicirikan oleh adanya bentuklahan doline, bukit karst, dan sistem sungai bawah tanah. Telaga merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyebut doline yang telah terisi air. Telaga/ doline pond adalah cekungan tertutup dalam berbagai bentuk yang terisi oleh air, yang mana di dalamnya terdapat lubang pengatusan dan sedimen penutup. Keberadaan telaga memberikan sumbangan yang besar sebagai sumber air di kawasan karst. MacDonald and Partners (1984) telah melakukan penelitian di Yogyakarta kurang lebih 31 tahun yang lalu, secara khusus mengekplorasi sumberdaya air di Yogyakarta. Menurut laporan MacDonald and Partners (1984), telaga tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan air domestik, namun telaga juga sangat penting untuk pengairan lahan pertanian. Telaga merupakan sumber air utama yang menjadi sangat penting ketika musim kemarau tiba. MacDonald and Partners (1984) mengemukakan bahwa terdapat 42.000 dan 189.000 rumah tangga yang memanfaatkan telaga untuk memenuhi kebutuhan, dan dimungkinkan 90% penyediaan air di karst diperoleh dari air telaga. Dari hasil penelitian MacDonald and Partners (1984) tersebut menunjukkan bahwa keberadaan telaga sangat krusial dalam menunjang pemenuhan kebutuhan penduduk di kawasan karst. Terdapat kurang lebih 282 telaga di kawasan karst Gunungsewu, dimana sekitar 50 telaga merupakan telaga yang mengalir sepanjang tahun (perenial). Keberadaan telaga yang sangat menunjang pemenuhan akan kebutuhan penduduk tersebut memunculkan suatu permasalahan. Permasalahan yang muncul pada salah satu sumber air utama di kawasan karst tersebut adalah pencemaran air
2
yang tinggi saat musim kemarau tiba, terutama ketika telaga tersebut bersifat perenial. Sebagian besar penduduk memanfaatkan air telaga untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan ternak, seperti mencuci baju, mandi, memandikan ternak, dan minum ternak. Aktivitas penduduk di telaga untuk berbagai pemenuhan kebutuhan tersebut tentunya akan menghasilkan limbah yang secara langsung masuk ke sistem telaga. Masuknya limbah ke dalam sistem telaga oleh aktivitas manusia akan menimbulkan pencemaran air telaga, sehingga berdampak pada penurunan kualitas air telaga. Data sekunder mengenai kualitas air telaga di kawasan karst Gunungsewu menunjukkan bahwa beberapa unsur kualitas air memiliki kadar konsentrasi (kekeruhan, zat organik, dan total coliform) yang melebihi baku mutu yang telah ditetapkan. Telaga Bete, Ngroyo, Gandu, Wuru, Donmiri, Wotawati, Ngomang, dan Telaga Kemuning merupakan telaga-telaga yang mengalir sepanjang tahun (perenial). Kadar kekeruhan, zat organik, dan total coliform pada telaga-telaga tersebut telah berada diatas baku mutu air yang dipersyaratkan dalam Permenkes No.
492/Menkes/Per/IV/
2010
tentang
persyaratan
air
minum
(http://jogja.tribunnews.com tanggal 15 September 2014). Gambar 1.1, Gambar 1.2., dan Gambar 1.3. menunjukkan kekeruhan, kadar zat organik, dan total coliform yang melebihi baku mutu. Tingginya kekeruhan, kadar zat organik, dan total coliform pada telaga-telaga tersebut menunjukkan tingkat pencemaran yang tinggi di air telaga. Hal ini membuktikan bahwa pemanfaatan air telaga untuk berbagai pemenuhan kebutuhan telah berdampak pada penurunan kualitas air telaga. Berita yang dilansir jogja tribunnews.com tanggal 15 September 2014 menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 128 telaga di seluruh Gunungkidul yang saat ini kondisinya tercemar oleh bakteri E-coli dan limbah deterjen. Jika hal ini dibiarkan terus menerus, kondisi telaga akan semakin buruk dengan tingkat mutu yang semakin menurun dan juga berdampak pada derajat kesehatan manusia.
3
60 50
FTU
40 30 20 10 0 Ngroyo
Wuru
Donmiri
Wotawati Ngomang Kemuning
Gambar 1.1. Kekeruhan pada beberapa telaga (garis merah menunjukkan ambang batas yang ditetapkan) (Sumber: Kapedal Gunungkidul 2012 dalam Haryanti dan Susanti, 2013; Laporan SLHD Gunungkidul, 2013) 25
mg/L
20 15 10 5
0 Bete
Ngroyo
Wuru
Donmiri Wotawati Ngomang Kemuning
Gambar 1.2. Kadar zat organik pada beberapa telaga (garis merah menunjukkan ambang batas yang ditetapkan) (Sumber: Kapedal Gunungkidul 2012 dalam Haryanti dan Susanti, 2013; Laporan SLHD Gunungkidul, 2013)
4
1200
MPN/100 ml
1000 800 600 400 200 0 Bete
Ngroyo
Gandu
Ngomang
Kemuning
Gambar 1.3. Jumlah coliform total pada beberapa telaga (garis merah menunjukkan ambang batas yang ditetapkan) (Sumber: Kapedal Gunungkidul 2012 dalam Haryanti dan Susanti, 2013; Laporan SLHD Gunungkidul, 2013) Salah satu telaga lainnya di kawasan karst Gunungsewu yang bersifat perenial adalah Telaga Towet. Telaga Towet terletak di Dusun Brimbing, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul. Telaga Towet dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, seperti mencuci, mandi, memandikan ternak, dan minum ternak (Gambar 1.4.). Menurut hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat, sebelum PDAM masuk di wilayah ini, yaitu sebelum tahun 2000, penduduk sekitar juga memanfaatkan air telaga sebagai air minum. Penduduk sekitar telaga Towet memanfaatkan air telaga sebagai salah satu sumber air pokok ketika musim kemarau guna menghemat pengeluaran untuk PDAM, yaitu sekitar Rp 37.000,- untuk ukuran ≤10 m3/bulan. Disamping itu, adanya pembangunan Jalur Lingkar Selatan (JLS) memaksa penduduk untuk pergi ke Telaga Towet untuk pemenuhan kebutuhan akan air. Pembangunan Jalur Lingkar Selatan yang melewati jalan utama menuju ke Telaga Towet berakibat pada pemutusan sementara pipa-pipa PDAM yang dialirkan ke rumah-rumah penduduk, sehingga berdampak pada peningkatan jumlah penduduk yang memanfaatkan Telaga Towet. Kondisi Telaga Towet masih alami, dalam artian pada bagian tepi telaga belum dilakukan pengerasan dengan bahan pengeras, seperti semen. Pemanfaatan
5
air di Telaga Towet juga sama dengan pemanfaatan telaga-telaga lainnya, yaitu digunakan sekaligus untuk beberapa pemenuhan kebutuhan penduduk secara bersamaan, sehingga akan mempengaruhi langsung kualitas air Telaga Towet. Pengendalian pencemaran air menjadi sangat penting, mengingat air merupakan sumberdaya alam yang sangat esensial bagi makhluk hidup. Selain itu kondisi Telaga Towet yang masih alami perlu dipertahankan sebagai salah satu icon bagi telaga tersebut. Kondisi inilah yang melatarbelakangi sebuah penelitian untuk melakukan suatu upaya pengelolaan sumberdaya air di kawasan karst, mengingat bahwa kawasan karst Gunungsewu merupakan kawasan dengan ketersediaan air yang terbatas, sehingga pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air di kawasan tersebut menjadi hal yang sangat penting. Upaya pengelolaan sumberdaya air sangat perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian telaga yang masih alami dan kualitas air telaga yang mana merupakan salah satu sumber air masyarakat kawasan karst Gunungsewu, agar pemenuhan kebutuhan air secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan dapat terjamin, baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengelolaan sumberdaya air telaga sebenarnya sudah dilakukan oleh masyarakat setempat, yaitu dengan cara tidak membuang sampah dan bungkus sabun, sampo, dan deterjen di sekitar telaga. Namun lambat laun, kebiasaan tidak membuang sampah di sekitar telaga bukan menjadi hal yang penting lagi. Tradisi yang berhubungan dengan larangan dan adat istiadat untuk menjaga dan mengelola telaga kini semakin longgar. Seperti halnya di Telaga Towet ini yang sudah tidak memiliki juru kunci, dimana dengan adanya juru kunci menjadikan daerah tersebut lebih sakral, sehingga masyarakat dapat lebih berhati-hati dalam bertindak (Sudarmadji, 2012). Sebagai langkah upaya menjaga kelestarian dan fungsi ekologis telaga, pengelolaan sumberdaya air di kawasan karst pada sumber air berupa telaga dilakukan dengan unit daerah tangkapan air telaga, dengan asumsi bahwa air hujan yang jatuh pada igir-igir perbukitan karst akan diatuskan ke dalam telaga. Pengelolaan sumberdaya air pada daerah tangkapan air Telaga Towet akan dilakukan dengan salah satu bentuk konservasi, yaitu dengan jalan mikrozonasi daerah tangkapan air Telaga Towet. Mikrozonasi daerah tangkapan
6
air Telaga Towet dilakukan dengan membagi/ memecah daerah tangkapan air telaga menjadi beberapa bagian sesuai fungsinya dan peruntukannya.
Gambar 1.4. Telaga Towet untuk pemenuhan kebutuhan air penduduk (Sumber: Survei lapangan tanggal 11 September 2014)
1.2
Perumusan Masalah Dalam kehidupannya, manusia selalu menggantungkan pada kebutuhan
akan air. Pemenuhan air setiap harinya mutlak diperlukan untuk berbagai kepentingan. Kualitas dan kuantitas air diharapkan dapat selalu terjamin, agar kehidupan dan aktivitas manusia dapat berjalan. Kenyataan yang ada adalah setiap wilayah memiliki sumberdaya air yang berbeda-beda, baik dari segi kualitas dan kuantitas. Seperti pada kawasan karst Gunungsewu, yang dikenal sebagai daerah kering, merupakan daerah dengan keterbatasan sumberdaya air dari segi kuantitas dan kualitasnya. Ketika musim penghujan, disamping sumber air dari PDAM, penduduk memenuhi kebutuhan air dengan cara mengumpulkan air hujan dengan teknik rain harvesting, yaitu pemanenan air hujan dengan cara membuat bangunan permanen berupa penampung air hujan (PAH) atau sekedar membuat lubang di tanah yang kemudian dilapisi dengan terpal. Ketika musim kemarau tiba
7
dan simpanan air hujan telah habis, penduduk memanfaatkan air telaga untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti mencuci baju, mandi, minum ternak, dan memandikan ternak. Menilik dari segi kualitas airnya, air telaga tentunya memiliki kualitas air yang tidak lebih baik dibandingkan dengan sumber air lainnya (mata air, airtanah), terlebih ketika penduduk memanfaatkan air telaga tersebut secara langsung untuk mandi, mencuci baju, minum ternak, dan memandikan ternak. Aktivitas penduduk, seperti mandi, mencuci baju dan memandikan ternak sudah dipastikan menghasilkan limbah-limbah yang mengandung bahan-bahan sabun mandi, deterjen, sampo, pewangi pakaian, dan kotoran ternak. Limbah-limbah tersebut akan terakumulasi di dalam air telaga, sehingga semakin lama kualitas air telaga akan semakin menurun. Disamping itu, air telaga yang telah tercemari limbahlimbah aktivitas manusia dan hewan akan mempengaruhi kesehatan manusia, ketika manusia menggunakan secara langsung air telaga tersebut. Hal tersebut terjadi pada Telaga Towet, yang berada di Dusun Brimbing, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul. Telaga Towet merupakan salah satu telaga perenial yang masih dimanfaatkan oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dikhawatirkan nilai ekologis dan kelestarian Telaga Towet, yang merupakan salah satu sumber air yang diandalkan ketika musim kemarau akan terancam rusak oleh aktivitas-aktivitas manusia dalam memenuhi kehutuhan hidup mereka. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan upaya pengelolaan sumberdaya air telaga. Pengelolaan sumberdaya air telaga dilakukan dengan unit analisis daerah tangkapan air telaga, sebuah konsep unit analisis yang sama dengan unit analisis daerah aliran sungai. Dengan konsep yang sama dengan konsep daerah aliran sungai, maka bukit-bukit batas igir akan berpengaruh terhadap masukan air ke sistem telaga. Berbekal pada konsep tersebut, pengelolaan sumberdaya air telaga juga dilakukan pada daerah tangkapan air telaga yang bersangkutan. Pengelolaan sumberdaya air telaga tersebut dilakukan dengan jalan mikrozonasi daerah tangkapan air telaga. Berdasarkan penjabaran di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana karakteristik morfologi Telaga Towet?
8
2. Bagaimana kondisi kualitas air Telaga Towet? 3. Bagaimana ketersediaan air di daerah penelitian? 4. Bagaimana strategi pengelolaan sumberdaya air Telaga Towet?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui karakteristik morfometri Telaga Towet untuk identifikasi kondisi fisik telaga. 2. Menganalisis kualitas air Telaga Towet baik pada lokasi yang dimanfaatkan secara langsung oleh penduduk dan lokasi yang tidak dimanfaatkan oleh penduduk melalui status mutu air. 3. Menganalisis ketersediaan air Telaga Towet melalui parameter kebutuhan air dan neraca air daerah penelitian. 4. Menentukan strategi pengelolaan sumberdaya air daerah tangkapan air Telaga Towet melalui mikrozonasi daerah tangkapan air Telaga Towet.
1.4
Manfaat Penelitian 1. Secara akademik atau ilmiah Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai arahan dalam pembuatan kerangka acuan pemantauan, usaha pemulihan kualitas air telaga, dan penentuan kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya air telaga melalui jalan mikrozonasi pada daerah tangkapan air telaga, sehingga fungsi ekologis dan kelestarian telaga dapat tetap terjaga, baik oleh peran pemerintah maupun masyarakat setempat. 2. Secara praktis Memberikan gambaran dan informasi kepada pemerintah dan masyarakat setempat mengenai kondisi fisik telaga dan daerah tangkapan air telaga, sehingga pemerintah dan masyarakat setempat secepatnya dapat melakukan usaha-usaha pengelolaan sumberdaya air telaga agar pemenuhan kebutuhan air penduduk dapat terpenuhi baik secara aspek kualitas dan kuantitas.
9