BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Harga
merupakan
penentu
profit
perusahaan.
Sebuah
perusahaan
mendapatkan laba dari selisih antara pendapatan dengan keseluruhan biaya yang ditimbulkan untuk memproduksi produk yang dihasilkan perusahaan tersebut (Monroe, 1990). Pendapatan adalah jumlah unit produk terjual dikalikan dengan harga. Dengan demikian harga harus dipertimbangkan dengan teliti. Ada beberapa strategi yang dapat dipergunakan perusahaan dalam penentuan harga. Kotler dan Keller (2011) membagi strategi penentuan harga menjadi 3 kategori, yaitu customer value-based pricing, cost-based pricing dan competition based pricing. Customer value-based pricing adalah strategi penentuan harga dengan menggunakan persepsi nilai atas produk, bukan berdasarkan biaya. Cost-based pricing adalah penentuan harga dengan mempertimbangkan biaya produksi, distribusi dan penjualan ditambah dengan profit sesuai dengan tingkat pengembalian yang layak. Competition-based pricing adalah strategi penentuan harga dengan mempertimbangkan strategi kompetitor (biaya, harga dan penawaran kompetitor). Kategorisasi ini selaras dengan pendapat Ingenbleek et al (2003) bahwa perusahaan dapat menentukan harga produk berdasarkan informasi biaya, informasi kompetisi dan informasi customer value. Harga harus ditentukan dengan seksama. Monroe (Ingenbleek et al, 2003) membuat kerangka penentuan harga seperti diilustrasikan dalam Gambar 1. Berdasarkan kerangka kerja pada Gambar 1, harga sebaiknya ditetapkan di antara price floor dan price ceiling. Price floor ditentukan oleh biaya produk sedangkan price ceiling ditentukan berdasarkan persepsi konsumen atas value produk. Menurut Kotler dan Keller (2011) bila produk dijual di bawah price floor, perusahaan tidak akan mendapatkan laba. Sebaliknya, bila produk dijual di atas price ceiling tidak ada konsumen yang mau membeli produk tersebut karena harga melebihi persepsi konsumen atas nilai produk.
1
2
Gambar 1.1.
Kerangka kerja penentuan harga menurut Monroe (Ingenbleek et al, 2003)
Penggunaan strategi harga terendah tidak selalu baik digunakan. Menurut Kotler dan Keller (2011) harga rendah dapat jadi bukan yang terbaik bagi konsumen, karena perusahaan membutuhkan investasi berupa uang untuk menyediakan produk yang berkualitas. Strategi harga terendah yang dipraktikkan bersama-sama oleh beberapa perusahaan akan mengarahkan pada situasi perang harga (price war). Apabila perang harga berlanjut, perusahaan akan kehilangan profit
dan
kehilangan
konsumen
sebagai
akibat
dari
kualitas
yang
dikompromikan. Harga tertinggi juga tidak selalu merupakan harga yang terbaik. Dalam Anderson (2010) dinyatakan bahwa beberapa perusahaan yang mempraktikkan strategi value-based pricing akan meneliti value produk yang mereka tawarkan, relatif dibandingkan produk kompetitor, kemudian menetapkan harga setinggi mungkin yang bisa diterima konsumen. Dengan menerapkan strategi ini, perusahaan akan mengabaikan profitabilitas pemasok dan juga akan melemahkan hubungan perusahaan dengan konsumennya. Di antara berbagai macam strategi penentuan harga, cost-plus pricing adalah strategi yang paling banyak digunakan. Noble dan Gruca (1999) melaksanakan penelitian tentang strategi penentuan harga pada perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi cost-plus pricing menempati peringkat
3
tertinggi dalam frekuensi penggunaan. Dari 270 perusahaan responden, 152 perusahaan (56%) menggunakan strategi cost-plus pricing, yaitu menetapkan harga dengan menambahkan persentase tertentu atas biaya. Hal ini selaras dengan pendapat Mulyadi (1990) bahwa harga ditetapkan berdasarkan total biaya, baik biaya produksi maupun nonproduksi, ditambah dengan laba yang wajar bagi perusahaan. Selain mempertimbangkan faktor terukur (tangible), perusahaan juga perlu mempertimbangkan faktor tidak terukur (intangible) dalam menentukan harga produknya (Durr dan Tischendorf, 2013). Faktor terukur menunjukkan besarnya internal cost, sedangkan faktor tidak terukur adalah sesuatu yang dibebankan perusahaan kepada produk berdasarkan penilaian aset tidak terukur yang dimiliki perusahaan yang membentuk product value di mata konsumen (Durr dan Tischendorf, 2013; Fahin, 2010). Penentuan harga dengan mempertimbangkan faktor intangible adalah sejalan dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. PP Nomor 10 Tahun 1962 tentang Pengendalian Harga menyebutkan bahwa harga tidak boleh melampaui batas-batas yang layak dengan mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi perusahaan. Menurut IVSC (2009), aset intangible adalah aset non keuangan yang mewujudkan diri melalui economic properties yang dimilikinya. Aset tersebut tidak memiliki wujud fisik, tetapi dapat menghasilkan keuntungan bagi yang memilikinya. Menurut White (2006), aset intangible adalah faktor berwujud non fisik yang berkontribusi pada produksi barang dan jasa, atau faktor yang diharapkan dapat menghasilkan keuntungan pada masa yang akan datang untuk perusahaan. Besarnya aset intangible yang dimiliki oleh sebuah perusahaan dapat mencapai 75% dari keseluruhan aset perusahaan (Ciprian et al, 2012; Haigh,
2010).
Dengan
nilai
sebesar
ini,
layak
apabila
perusahaan
mempertimbangkan faktor intangible dalam penentuan harga produk. Penelitian tentang nilai intangible dalam harga produk telah dilaksanakan oleh Fahin (2010), dan dilanjutkan oleh Damareza (2011). Pada kedua penelitian ini, faktor-faktor intangible yang dipertimbangkan dalam penentuan harga adalah brand dan kualitas yang nilainya ditentukan oleh pihak internal perusahaan. Kurniawan (2012) mengembangkan penelitian tersebut dengan memasukkan
4
persepsi konsumen atas brand dan inovasi produk. Kedua nilai ini diidentifikasi sebagai product value yang ditimbulkan oleh aset intangible yang dimiliki perusahaan. Besar nilainya ditentukan oleh konsumen. Menurut Kurniawan, persepsi konsumen atas brand dan inovasi menentukan harga produk. Dari penelitian Fahin (2010), Damareza (2011) dan Kurniawan (2012) dihasilkan: (1) model persamaan nilai intangible dalam harga produk; dan (2) stuktur harga produk berdasarkan komponen penyusunnya, yaitu total cost, profit layak dan nilai intangible. Dengan latar belakang tersebut, maka penelitian tentang pengembangan model penentuan harga produk ini dilaksanakan. Kegunaan dari penelitian ini adalah menghasilkan model penentuan harga yang dapat dipergunakan oleh pelaku usaha dan industri untuk menentukan harga bagi produknya.
1.2. Perumusan Masalah Pokok permasalahan yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah bagaimana model yang sesuai bagi penentuan harga jual produk dengan mempertimbangkan biaya serta nilai intangible yang terkandung dalam produk?
1.3. Batasan dan asumsi Batasan dan asumsi yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut. 1.
Nilai intangible pada harga jual produk dihitung dengan pendekatan costbased pricing dan penilaian pemimpin perusahaan.
2.
Faktor intangible yang dipertimbangkan dalam penelitian ini adalah kualitas dan merek (brand).
3.
Produk yang menjadi objek penelitian ini adalah produk-produk fungsional.
1.4. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan model penentuan harga produk dengan mempertimbangkan biaya serta nilai intangible pada produk.
5
1.5. Manfaat Manfaat penelitian ini adalah diketahuinya pengaruh biaya dan faktor-faktor intangible terhadap penentuan harga produk, serta tersedianya model penentuan harga produk dengan mempertimbangkan biaya dan faktor-faktor intangible yang dapat dipergunakan oleh para pengambil keputusan harga dalam perusahaan.