BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Indonesia memiliki luasan dengan luas kira-kira 5 juta km2 (perairan dan daratan), dimana 62% terdiri dari lautan dalam batas 12 mil dari garis pantai (Polunin, 1983 dalam Kreb, 2008). “Perairan Indonesia juga unik karena memiliki keanekaragaman cetacea (paus, lumba-lumba dan porpoise) yang sangat luar biasa dan kira-kira terdapat 30 jenis cetacea yang hidup di perairan ini. Lebih dari sepertiga jenis paus dan lumba-lumba yang berada di dunia terdapat di perairan Indonesia termasuk juga beberapa jenis yang dikategorikan langka dan terancam punah” (Klinowska, 1991 dalam Setiawan, 2004). Beberapa contoh jenis cetacea yang terdapat di perairan Indonesia adalah lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), paus sperma (Physeter macrocephalus), lumba-lumba totol tropis (Stenella attenuata), dan paus pembunuh kerdil (Feresa attenuata). Akan tetapi, walaupun Indonesia mempunyai kondisi perairan yang luas dan keanekaragaman yang melimpah, penelitian mengenai cetacea, baik pola distribusi maupun keragamannya masih sangat sedikit dilakukan, sebagian dikarenakan monitoring cetacea dapat menyita banyak waktu dan juga uang. Padahal, pengetahuan kita akan keberadaan dan kelimpahan cetacea sangat penting karena banyaknya ancaman yang ada. Polusi kecil seperti run off dari pertanian, limbah pabrik dan bahan-bahan kimia yang bersifat toksik, masuk kedalam laut setiap harinya. Salah satu ancaman yang populer adalah cetacea kecil (lumbalumba) yang ditangkap dan ditaruh di akuarium dan kebun binatang untuk dijadikan sebagai pertunjukan. Penelitian tentang cetacea juga penting untuk informasi awal mengetahui bagaimana kondisi distribusi maupun banyaknya cetacea di perairan Indonesia. Informasi awal ini berguna sebagai referensi untuk manajemen sumberdaya laut dan meningkatkan pemahaman mengenai cetacea itu sendiri.
1
2
Keberadaan cetacea di suatu perairan atau informasi yang spesifik mengenai habitat cetacea masih perlu pemahaman maupun penelitian lebih lanjut agar kita dapat melestarikan mereka, terutama spesies-spesies yang sudah terancam kepunahan. Adanya informasi mengenai sebaran cetacea di perairan dengan kedalaman tertentu, berdasarkan data perjumpaan (sightings data), seperti yang didokumentasikan oleh Jefferson et al. (1993), masih memerlukan pertimbangan faktor lingkungan yang lain. Faktor lingkungan yang dimaksud salah satunya adalah faktor oseanografi, dimana yang akan dipakai pada penelitian ini adalah yang dinamis, yaitu suhu permukaan laut, sebaran klorofil-a dan arus, dan yang statis (tetap) yaitu batimetri. 1.2 Identifikasi Masalah Sejauh mana faktor oseanografi di perairan Pulau Kofiau dan Misool, Kabupaten Raja Ampat berpengaruh terhadap distribusi cetacea sub ordo odonticeti. 1.3 Tujuan 1. Menganalisa faktor oseanografi terhadap distribusi cetacea sub ordo odonticeti di perairan Pulau Kofiau dan Misool, 2. Mengetahui distribusi cetacea sub ordo odonticeti di perairan Pulau Kofiau dan Misool 1.4 Kegunaan Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan antara distribusi cetacea sub ordo odonticeti dengan faktor oseanografi perairan Pulau Kofiau dan Misool, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Seluruh informasi yang disajikan pada makalah ini dapat dijadikan sebagai acuan atau bahan untuk peneliti selanjutnya untuk mengetahui distribusi maupun pola migrasi cetacea dan untuk pihak yang berwenang untuk melakukan tindakan yang dapat melestarikan keberadaan cetacea di Indonesia.
3
1.5 Kerangka Pemikiran Myers et al. (2000) dalam Walker (2005) menyatakan bahwa dalam studinya akan terrestrial global biodiversity spot, ditemukan 35% jenis burung, mamalia, reptil dan amfibi hanya ditemukan pada 25 tempat di seluruh dunia, salah satunya adalah Indonesia dan hanya 1.4% yang berada di daratan, yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Global Terrestrial Diversity Hotspots dilihat dari keanekaragaman jenis tumbuhan, reptil, mamalia, burung, dan amfibi (Myers et al., 2000 dalam Walker, 2005)
Beberapa penelitian akan hubungan kondisi oseanografi (batimetri, arus, klorofil-a dan suhu permukaan laut) terhadap distribusi spasio maupun temporal cetacea telah dilakukan di berbagai belahan dunia, yang akan dipaparkan secara rinci dibawah ini. Perrin et al. (2008) menyatakan bahwa adanya teori tentang hubungan spesies-habitat, dimana untuk cetacea, habitat mereka lebih dikaitkan dengan faktor-
4
faktor oseanografi. Korelasi yang simpel antara cetacea dengan satu atau lebih faktor oseanografi dapat menentukan hubungan tahap awal kedua hal tersebut. Di berbagai tempat di dunia dan untuk banyak spesies cetacea, sudah banyak yang mengidentifikasi faktor-faktor oseanografi dengan habitat sebuah spesies. Contoh, paus berparuh lebih memilih pinggiran continental shelf atau gunung laut, lumbalumba hidung botol lebih memilih mengikuti garis pantai, dan lumba-lumba spinner lebih memilih perairan menurut kandungan klorofil-a di suatu perairan. Distribusi cetacea juga biasanya terkait erat dengan distribusi makanan mereka. Energi besar yang biasanya mereka harus keluarkan artinya mereka biasanya berpindah atau mencari ke lokasi yang mempunyai produktivitas primer yang tinggi. Salah satu penyebab produktivitas primer adalah upwelling. Peristiwa ini merupakan penumpukan perairan secara besar-besaran yang berlangsung secara alami. Oleh sebab itu, daerah-daerah dimana terjadinya upwelling selalu disertai produksi plankton yang tinggi, dan hal tersebut dapat meningkatkan produksi perikanan di perairan tersebut (Nontji, 1987 dalam Pratama, 2012). Produktivitas primer yang tinggi biasanya tinggi pada lintang yang lebih tinggi, pada continental shelves, dan pada area-area dimana terjadinya upwelling (Berta & Sumich, 1999 dalam Walker, 2005). Fenomena upwelling adalah fenomena oseanografi yang menyebabkan kenaikan massa air laut dari kedalaman laut ke permukaan. Gerakan kenaikan air ini membawa serta air yang bersuhu lebih rendah atau dingin, salinitas yang tinggi dan zat-zat hara, seperti fosfat dan nitrat ke permukaan (Nontji, 1987 dalam Pratama, 2012). Carwadine (2002) menyatakan bahwa salah satu faktor untuk mencari atau menemukan sebuah cetacea adalah melihat suhu permukaan laut. Walaupun suhu permukaan laut dapat berubah-ubah setiap waktunya, faktor ini setidaknya dapat menjadi sebuah acuan. Ini dibuktikan oleh penelitian Moreno (2005), yang menganggap variabel faktor oseanografi yang paling signifikan dalam penelitiannya di Gulf of Mexico adalah suhu permukaan laut, batimetri, banyaknya perahu, dan suhu musiman. “Semakin dalam suatu perairan mengakibatkan bertambah banyaknya
5
lumba-lumba. Penelitiannya mengindikasikan bahwa semakin hangat suatu perairan mengakibatkan bertambah banyaknya lumba-lumba yang muncul, dimungkinkan migrasi atau tempat tinggal sementara. Hubungan antara kelimpahan lumba-lumba dengan suhu permukaan laut juga sudah dibuktikan oleh Barco et al. (1999) di perairan Virginia Beach. Menurut mereka, lumba-lumba hidung botol bermigrasi dari lintang tinggi ke lintang rendah pada musim dingin.” Baumgartner et al. (2001) menemukan bahwa distribusi lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), lumba-lumba Risso (Grampus griseus), lumba-lumba totol pantropik (Stenella attenuata), paus sperma kerdil (Kogia spp.), dan paus sperma (Physeter macrocephalus) di sebelah utara Teluk Meksiko dipartisi oleh kedalaman atau batimetri, dimana setiap spesies ditemukan di bagian kedalaman yang berbeda-beda. Menurut Ballance et al., 2006 dalam Perrin et al., 2008, ada beberapa keadaan dimana mangsa dapat diprediksi melalui waktu dan tempat, dan dapat diketahui bahwa cetacea mencari dan menggunakan kesempatan ini. Contohnya, salah satu faktor oseanografi, yaitu arus. Arus dapat meningkatkan kelimpahan maupun ketersediaan mangsa (plankton) dengan meningkatkan produktivitas primer, dan dengan membawa organisme plankton. Maka dari itu, strategi untuk tempat pencarian makan adalah dengan menemukan faktor-faktor fisik yang menunjang makanan banyak jenis cetacean (lumba-lumba Spinner, lumba-lumba Risso, paus pembunuh) yang telah terbukti berhubungan dengan mereka.