BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gejolak isu krisis yang pangan terjadi serangkaian dengan krisis energi dan finansial global di tahun 2008, telah menempatkan kembali ketahanan pangan dan energi menjadi diskursus penting dalam institusi global, maupun organisasi internasional. Dalam setiap pertemuan institusional di tingkat global, seperti FAO, WFS, APEC, maupun organisasi regional, bilateral lainnya permasalahan krisis pangan dan upaya penanganannya tidak pernah dikesampingkan. Rekomendasirekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan-pertemuan tersebut pada umumnya meneropong jalan keluar krisis pangan dalam kemasan pembangunan agrikultural yang tak terlepas dari pengaruh ideologi neoliberal. Rekomendasi-rekomendasi tersebut diantaranya, liberalisasi perdagangan pasat komoditas pangan dengan berpedoman pada instrumen AOA dari WTO, deregulasi investasi agrikultur, industrialisasi, dan modernisasi agrikultur guna mendongkrak jumlah produksi pangan, pemaksimalan sektor swasta/korporasi dan dukungan finansialisasi skala global dalam menggerakkan investasi dalam produksi pangan global (Mc Michael, 2012 : 682). Resolusi atas krisis pangan global ditahun-tahun tersebut juga turut berfokus pada upaya pendongkarakan produksi pangan. Untuk itu, pembukaan lahan-lahan agrikultur dalam menjadi rekomendasi lanjutan dalam merespon fokus pengembangan pasca krisis tersebut. Pada perkembangannya, investasi lahan dalam skala luas untuk pengembangan produksi pangan, maupun agrofuel meningkat pesat secara global, khususnya pasca krisis tersebut (Von braun dan Meizen dick, 2009). Sebagai sebuah negara yang telah lama terintegrasi dalam kancah ekonomi politik global, dinamika ekonomi politik terkait panagan di tingkat global juga turut berpengaruh pada kebijakan pangan Indonesia, termsuk dinamika krisis pangan global serta norma-norma pembangunan agrikultur globl yang muncul sebagai respon terhadapnya. Agustus
2010,
pemerintah
Indonesia
meluncurkan
sebuah
program
pengembangan pangan skala luas (food estate) yang dimaknai sebagai upaya 15
pembangunan ketahanan pangan, dan juga sebagai respon pemerintah Indonesia atas gejolak krisis yang terjadi di tingkat global. Food estate, adalah sebuah program pembangunan berupa usaha kegiatan budidaya tanaman skala luas (> 25 ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sistem industrial berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi, modal serta organisasi dan manajemen modern (Buku Pintar food estate, 2010 :2). Dengan motto, feed indonesia feed the world, program food estate pada akhirnya diharapkan dapat mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negeri lumbung pangan dunia atau pusat logistik global, memperkuat ketahanan pangan nasional, sekaligus menyokong pertumbuhan ekonomi1 melalui aktivitas pemasokan kebutuhan ekspor (Zakaria dkk, 2011 : 3-4). Program food estate di Indonesia pertama kali terinisiasikan kedalam sub mega proyek di wilayah Merauke dengan nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Tidak hanya untuk menjawab tantangan pemenuhan ketahanan pangan, MIFEE juga diharapkan dapat menjadi pusat pengembangan ketahanan energi. Meskipun demikian pengembangan pangan tetap menjadi prioritas utama. Senada dengan food estate, MIFEE juga dirancang dengan manajemen pertanian modern dengan penggunaan lahan yang sangat luas (Buku Pintar food estate, 2011 ;6). Pelaksanaan modernisasi agrikultur membutuhkan dana yang besar. Disisi lain, dana pemerintahan terbatas, sehingga memerlukan, sumbersumber pembiayaan lain diluar APBN dan APBD (Buku Pintar food estate, 2010 : 2). Hal ini dijawab dengan mengundang kesempatan investasi sebesar-besarnya kepada investor dari korporasi nasional maupun transnasional, dan dipandang perlu untuk menghadirkan iklim investasi yang kondusif. Oleh karena itu,setelah program diluncurkan, pemerintah Indonesia, semakin membuka kesempatan bagi perusahaan swasta nasional, BUMN, BUMS atau swasta asing untuk berinvestasi2. 1
Apabila berjalan sesuai desain, maka pada tahun 2030 MIFEE akan berkontribusi pada penyediaan stok pangan pertahun : Padi 1,95 uta ton, jagung, 2.02 juta ton, kedelai 167.000 ton, ternak sapi 64.000 ton, gula 2,5 juta ton dan Crude Palm Oil (CPO) 937.00 ton. Pendapatan Domestik Regional Bruto Kabupaten Merauke diperkirakan akan mencapai 124,2 juta perkapita/tahun dan impor akan dikurangi sampai Rp 4,7 Trilyun. 2 Dalam buku panduan food estate, pemberian kesempatan investasi sebesar-besarnya diartikulasikan dengan pemberian fasilitasi investasi, meliputi fasilitas kepabeanan, keringanan bea masuk, maupun pajak penghasilan kepada investor yang akan melakukan perluasan usaha dan atau investasi baru. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dilihat bahwa pemerintah Indonesia membuka keran
16
Rancangan food estate secara umum dan MIFEE secara khusus dihadirkan dengan kesan yang begitu ideal. Program tersebut diletakkan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam suatu sistem agribisnis yang memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari. Dikelola secara profesional, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kokoh. Lalu dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat lokal, pengembangan food estate menekankan pentingnya pengaturan kemitraan antara investor dengan masyaraklat lokal (adat) berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan, saling membutuhkan, saling memperkuat dan saling menguntungkan (Buku pintar food estate, 2010 : 6). Terlepas dari gambaran ideal MIFEE sebagai proyek alternatif ketahanan pangan dalam menghadapi krisis, berbagai laporan dari dilapangan menunjukkan bahwa pengembangan proyek tersebut sangat konfliktual. Berbagai resistensi untuk menolak pengembangan MIFEE berdatangan dari masyarakat lokal, akademisi, peneliti, organisasi-organisasi non-pemerintah, maupun kelompok-kelompok solidaritas. Resistensi yang bermunculan menampakkan konflik-konflik yang berlangsung dalam dimensi socio-environmental conflict. Resistensi yang mengemuka pada proyek MIFEE pada umumnya berkaitan dengan perubahanperubahan sosial dan lingkungan sebagai efek lanjut atas benturan kepentingan antar kelas dalam memandang hak pengelolaan lahan. Lahan/tanah dipandang sebagai sarana mendasar pemenuhan kebutuhan pangan harian oleh masyarakat lokal yang harus dibenturkan dengan penguasaan lahan dalam skala besar oleh sejumlah korporasi yang memiliki izin konsesi dalam skema pengembangan food estate. Resistensi dari masyarakat adat berkembang terhadap pelaksanaan proyek dengan sejumlah keluhan seperti, misalnya terampasnya lahan atas akitifitas operasional
korporasi investor yang menimbulkan efek domino sulitnya
masyarakat lokal/adat untuk mengakses lahan sumber penghidupan mereka (Lihat Zakaria dkk, 2011; AGRA dan PAN-AP, 2011; Savitri, 2013). Terokupasinya investasi seluas-luasnya kepada pengelolaan swasta, maupun badan usaha yang masih berafiliasi dengan sistem birokrasi kenegaraan.
17
lahan oleh korporasi, dikhawatirkan dapat memberi perubahan pada metode perekonomian dan
pendapatan harian masyarakat adat (Tempo Investigation
Report, 2012 : 38; Savitri : 2013). Selain itu problematika ketidaksesuaian nilai ganti rugi, tidak transparannya informasi pembangunan ke masyarakat, efek-efek degradasi kulaitas kesehatan masyarakat sebagai akibat dari pencemaran limbah aktifitas operasional korporasi turut mengemuka menjadi keluhan masyarakat atas proyek MIFEE. Kemunculan konflik dalam bentuk resistensi ini secara tak langsung telah menempatkan food estate sebagai program yang sarat akan kritik. Ditambah dengan kenyataan, bahwa pembangunan pangan yang melibatkan lahan dalam skala luas serupa dengan food estate tidak hanya terjadi di Indonesia, namun telah berkembang secara global pasca krisis pangan dan energi di tahun 2007-2008, khususnya dinegara-negara. berkembang yang memiliki potensi lahan agrikultur begitu besar. Sebagian besar investornya didominasi dari negara-negara yang minim sumberdaya agrikultur, maupun mega korporasi transnasional yang bertujuan untuk mengamankan cadangan pangan maupun untuk mengembangkan komoditi agrofuel dan biofuel (Lihat juga Von Braun dan Meizen Dick, 2009 : 1, De Schutter, 2011). Seperti halnya pada proyek MIFEE, proyek food estate di negara lain juga menampakkan kecenderungan untuk menghadirkan socio-environmental conflict pada wilayah pengembangannya (Franci dkk, 2013; lihat juga Cotula dkk 2009; Fradejas et al 2011; Deineger et al , 2011). Berdasarkan reportase media, sebuah kontrak pengelolaan lahan antara Cina dan Filipina terblokade akibat mencuatnya masalah serius terkait validitas kontrak dan implikasinya terhadap ketahanan pangan lokal (Von Braun dan Meizen Dick, 2009 :3-5). Di Mozambique, muncul resistensi atas keterlibatan ribuan pekerja agrikultur asal Cina pada perusahaan dari negara yang sama di negeri mereka, yang dinilai akan membatasi perlibatan dari para pekerja lokal Mozambiq. Kemudian Di Madagaskar misalnya negosiasi, dengan perusahaan logistik asal korea, Daewoo Logistic Corporation yang mengeksplorasi sebesar 1,3 juta hektar jagung dan minyak sawit dilaporkan
18
memainkan
peranan
dalam
konflik
politik
yang
membawa
pergantian
pemerintahan di Madagaskar pada tahun 2009. Disamping itu, liberalisasi investasi yang seluas-luasnya kepada investor swasta melalui regulasi-regulasi permisif, telah memberi pandangan tersendiri dari berbagai akademisi dan peneliti bahwa megaproyek tersebut sarat akan kepentingan pembangunan neoliberal (Zakaria dkk, 2011; Rachman dan Savitri, 2011; Itho dkk, 2011; Lamonge, 2011). Sementara model inkorporasi yang kental dalam pembangunannya, juga memberi pemikiran tersendiri bahwa MIFEE akan memberi kekuatan berdiri bagi rezim korporasi untuk mengendalikan produksi dan distribusi pangan, yang berujung pada peraupan profit, dan terlaksana melalui proses accumulation
by
disposession
(dengan
cara-cara
perampasan,
pemisahan
masyarakat lokal/adat dari lahan kehidupannya beralih ke penguasaan segelintir pihak). Dalam pandangan Harriet Friedman dan Philip Mc Michael (1989) dinamika ini menggambarkan pola pembangunan pangan yang telah berada pada era corporate food regime. Sebuah era yang menampakkan korporasi memiliki porsi yang besar dalam aktivitas produksi-distribusi pangan, yang berjalan seiring dengan glorifikasi paragdima neoliberal sebagai ideologi kebijakan ekonomi politik secara global. Berangkat dari fakta-fakta tersebut, maka dalam penelitian ini penulis tertarik menganalisis, tentang mengapa kemudian program pembangunan yang diklaim pemerintah sebagai pembangunan yang sangat ideal dalam membangun ketahanan pangan, dapat menjadikan Indonesia sebagai lumbung logistik dunia sekaligus menjadi penopang perekonomian nasional melalui ekspor komoditi pangannya, kemudian menuai banyak kritik dan menghadirkan konflik. Berangkat dari logika tersebut, pada akhirnya harus pula digali lebih jauh, bagaimana prinsip, model pembangunan program food estate secara mendasar dan bagaimana relasinya atas socio-environmental conflict yang berlangsung, khususnya dalam kerangka MIFEE. Untuk itu penulis mengangkat penelitian ini dengan judul, Pengembangan Pertanian Pangan Skala luas
dan socio-environmental conflict dalam kasus Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
19
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan satu rumusan masalah utama yang akan dijadikan fokus dalam penelitian ini : Mengapa proses pembangunan MIFEE mendorong keberlangsungan Socioenvironmental conflict ? Berdasarkan pertanyaan utama tersebut maka penelitian ini juga selanjutnya akan menelurusi faktor-faktor penyebab socio-environmental conflict pada kasus MIFEE secara lebih jauh, tidak hanya dari segi praktikal namun juga ditinjau dari ide mendasar atau paradigma yang diaplikasikan ke dalam pembangunannya. Maka dari itu dalam proses penyusunan penelitian ini, akan ada sub-sub pertanyaan penelitian lanjutan yang akan berkembang demi menjawab rumusan uatama pertanyaan penelitian diatas, yakni : 1. Bagaimana pendekatan solutif paradigma neoliberal atas krisis pangan sehingga mendorong lahirnya pola-pola pengembangan food estate secara global 2. Bagaimana insitusionalisasi paradigma neoliberal dalam kerangka MIFEE sebagai salah satu dinamika pembangunan agrikultur dalam era corporate food regime 3. Bagaimana dinamika accumulation by disposession dan socio-environmental conflict, serta bagaimana korelasi yang terbangun antara paradigma neoliberal, accumulation by disposession dan Socio environmental conflict yang dapat dijumpai pada pengembangan Food estate secara umum dan MIFEE secara khusus? 1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri faktor-faktor konflik-konflik sosial dan lingkungan yang bereskalasi dalam pembangunan MIFEE. Hal ini penting untuk menjawab mengapa mega proyek jutaan hektar yang dibangun dalam ideal elite pemerintahan sebagai upaya pembangunan agrikultur dalam tekanan global
20
untuk pembangunan ketahanan pangan dan sebagai jalan keluar atas tantangan krisis yang dapat terjadi di masa mendatang, justru berlangsung sangat konfliktual dan mendapatkan respon berupa protes yang ditujukan dari berbagai pihak, khususnya oleh masyarakat lokal/adat Malind Anim3. Untuk itu berdasarkan uraian pertanyaan penelitian maka rumusan tujuan dari penelitian ini meliputi : 1) Memahami bagaimana pendekatan neoliberal melihat solusi atas krisis pangan dan arahan pembangunan agrikultural kontemporer, serta bagaimana relasinya terhadap pengembangan globalisasi food estate 2) Mengetahui pola institusionalisasi paradigma pembangunan neoliberal kedalam food estate MIFEE, sebagai salah satu bentuk proyek pengembangan agripangan dalam era corporate food regime. 3) Mengetahui bagaimana korelasi antara paradigma neoliberal, accumulation by dispossession dan socio environmental conflict serta bagaimana dinamikanya berlangsung dalam kerangka MIFEE.
1.4.
Studi Literatur Beberapa studi sebelumnya, meneropong MIFEE secara parsial dari sudut pandang yang berbeda-beda. Misalnya dari analisis antropologi sosial yang mengkaji transformasi-transformasi yang dihadikan MIFEE terhadap struktur sosiodemografis masyarakat lokal/adat, seperti yang dibahas oleh Savitri (2013) pada karyanya yang berjudul korporasi politik dan perampasan tanah. Studi terkait MIFEE pada umumnya lebih berfokus pada proses internal ditingkat negara atas lahirnya kebijakan pembangunan pertanian pangan dan energi skala luas tersebut, serta analisis dampak sosial-lingkungannya atas pola kebijakan yang memberikan ruang besar kepada korporasi untuk menguasai dan mengelola lahan (Lihat lebih lanjut, Zakaria dkk, 2011; Zakaria 2011; Itho 2011,2014 ; Tempo Investigation Report, 2012; Forest People Programme, 2013).
3
Masyarakat Malind Anim adalah sebutan untuk masyarkat adat yang merupakan penduduk asli kabupaten Merauke.
21
Kajian dinamika pangan di tingkat global dan aspek paradigma ekonomi politik yang mempengaruhinya, masih cenderung jarang diperdalam, khususnya dalam melihat bagaimana aspek-aspek tersebut, memiliki relasi terhadap eskalasi socio-environmental conflict MIFEE. Pada studi Zakaria, dkk 2011, yang berjudul MIFEE
Tak
Terjangkau Angan Malind, pembahasan mengenai paradigma
pembangunan MIFEE, sedikit dibahas dibagian awal. Meski kemudian tidak dikupas lebih mendalam tentang stukrutr relasi antara paradigma dengan dinamika unevent development (ketimpangan pembangunan) serta dampak yang hadir atas lahirnya kebijakan pengembangan
MIFEE. Salah satu studi yang secara jelas
menyasar, tentang paradigma politik serta konflik sosial MIFEE, disusun oleh Moureen N Lamonge (2011). Meski tidak banyak berkutat pada data dinamika lapangan, Lamonge,menyematkan paradigma neoliberalisme sebagai landasan pelaksanaan MIFEE. Ia juga turut menggunakan konsep Accumulation by Disposession David Harvey untuk menarik keterkaitan paradigma dengan kondisi unevent development yang secara tak langsung memicu hadirnya konflik antara pemangku kepentingan terkait proyek MIFEE. Dalam menempatkan pengembangan MIFEE, sebagai kajian akademik studi Hubungan Internasional, maka penelitian ini mencoba menggali posisi MIFEE dalam
dinamika pengembangan agrikultur, serta struktur produksi-distribusi
pangan global. Itho, dkk (2011), melalui
laporan analisis yang berjudul
Naturalizing Land Disposession : A Policy Discourse Analysisi of the Merauke Integrted Food and Energy Estate, menggunakan analisis food regime guna memposisikan MIFEE sebagai sebuah manifestasi kebijakan negara yang tak terlepas dari dinamika pola pembangunan agrikultur dirumuskan dan oleh aktor negara, korporasi maupun institusi kepentingan di pada tataran global,tanpa mengeksklusi relasi antara norma kebijakan pembangunan tersebut dari dinamika ekonomi kapital. Dalam analisisnya, Itho dkk tidak secara langsung menyasar mengenai konflik yang berlangsung melainkan lebih menekankan MIFEE sebagai bentuk naturalisasi perampasan lahan (Land Disposession) karena terbentuk sebagai kebijakan negara yang mengikuti arahan pembangunan dan logika produksi-distribusi pangan global.
22
Paradigma neoliberal juga diangkat dalam analisis tersebut, namun analisis itho tidak berfokus pada menemukan bangunan relasi antara paradigma yang melandasi pembangunan MIFEE dengan kehadiran socio-environmental conflict. Berdasarkan beberapa literatur tersebut penelitian ini kemudian menarik analisis MIFEE dan keberlangsungan socio-environmental conflict didalamnya, kedalam ruang analisis. yang mengelompokkan dinamika terkait pembangunan MIFEE melalui tiga tinjauan aspek, yakni, ditinjau dari aspek paradigma, institusional, dan praktik. Kemudian, penelitian ini juga mencoba untuk menghadirkan keterkaitan diantara masingmasing aspek tersebut, lalu menggali relasinya dengan keberlangsungan socioenvironmental Conflict dalam kasus MIFEE. 1.4.1.
Aspek paradigma Hasil studi Moureen N. Lamonge (2012 : 39), mengungkapkan bahwa
pembangunan MIFEE adalah proyek pengembangan agrikultur pangan yang kental akan karakteristik paradigma pembangunan neoliberal. Paradigma neoliberal merupakan sebuah pandangan ekonomi politik mengklaim bahwa proyek pembangunan yang mengedepankan liberalisasi pasar
dan determinasi sektor
swasta dalam merangsang pertumbuhan ekonomi dan menghapus kemiskinan (Fakih, 2009 : 49).
Menurut Lamonge, aspek neoliberalisme
dalam proyek
pembangunan MIFEE, dapat dilihat dari kentalnya upaya-upaya komodifikasi dan privatisasi atas lahan-lahan adat dan komunal, dibawah kekuasaan negara (Lamonge, 2012 : 39.). Lamonge mendirikan argumennya tanpa mengesampingkan MIFEE, dalam posisinya sebagai salah satu program utama yang dirancang untuk menyokong percepatan pembangunan ekonomi Indonesia melalui MP3EI. Dalam rancangan MP3EI, pemerintah menegaskan bahwa pemerintah turut berungsi sebagai
fasilitator
pertumbuhan
ekonomi
dengan
menjanjikan
komitmen
debottlenecking4 kepada investor swasta asing maupun domestik. (Grand Design MP3EI, 2011 : 10).
4
Istilah ini merujuk pada makna penghapusan segala macam hambatan demi memperlancar arus liberalisasi investasi
23
Terkait pola pembangunan neoliberal ini, kristikus David Harvey memandang bahwa pembangunan demikian secara gamblang mencerminkan tentang misi fundamental dari negara neoliberal, yakni dengan menciptakan iklim bisnis liberal bagi para investor, yang dapat menstimulasi, dan memberikan ruang baru bagi siklus kapital berakumulasi (Harvey, 2005 : 19). Paradigma neoliberal mengasumsikan bahwa melalui fasilitasi minat bisnis, pertumbuhan ekonomi dapat dipercepat, sehingga upaya untuk mengurangi kemiskinan dapat tercapai dengan mempercayai logika ekonomi pasar (Harvey, 2005 : 20). Hal ini sejalan dengan prinsip mendasar liberalisme ekonomi klasik, yang memandang bahwa fungsifungsi kemasyarakatan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya ekonomi, akan berjalan lebih baik jika diarahkan pada mekanisme pasar. Pandangan yang menyorot paradigma pembangunan pangan neoliberal dalam proyek MIFEE serupa juga turut dikemukakan oleh Noer Fauzi Rachman (Dalam Zakaria, dkk, 2010 : xvi-xvii). Menurut Rahman, sebagai praktik kelembagaan, neoliberalisme memberi pengaruh besar bagi kebijakan pembangunan. Dengan meminjam analisis Harvey, Rachman mengemukakan bahwa dalam konteks MIFEE pembangunan neoliberal dapat dipahami sebagai agenda konsolidasi dari kelas-kelas penguasa (pemilik modal) untuk mengatasi krisis akibat kejenuhan kapital, dimana krisis tersebut terjadi pada sektor agri-pangan. Kelas-kelas yang berkuasa yang dimaksud dalam pembangunan MIFEE ini adalah elit pemerintahan baik di tingkat pusat dan daerah/negara, serta para investor. Sementara itu, kekuasaan negara dalam paradigma pembangunan neoliberal
yakni menjadi
fasilitator bagi terciptanya iklim kondusif atas investasi kapital tersebut. 1.4.2. Aspek Institusional/Rezim Pangan Global Sedikit menambahkan dari kajian-kajian paradigmatik yang telah ada, Itho dkk (2011) membedah MIFEE sebagai produk pembangunan yang lahir tanpa terlepas dari bagaimana dinamika dan karakteristik pembangunan agrikultur global diarahkan dewasa ini. Dalam menggali karakteristik tersebut, Itho dkk, berangkat dari titik analisa rezim pangan global atau yang lebih dikenal melalui istilah food regime. Konsep food regime hadir untuk memberikan penggambaran lebih jauh 24
tentang dinamika-dinamika ekonomi politik global dan relasinya terhadap sistem produksi, ditribusi hingga konsumsi pangan global antar keberlangsungan periode sejarah (Mc Michael, 2010 : 610). Dalam kaitannya dengan arahan pembangunan agrikultural, menurut Itho dkk food regime mencerminkan proses developmentalisasi yang berlangsung untuk memperkokoh sistem kapitalisme global dalam lingkup hubungan produksikonsumsi pangan (Itho dkk, 2011 : 13). Dalam proses pembangunan tersebut, negara memiliki peranan penting dalam perumusan strategi kebijakan apapun yang bersentuhan
dengan
pola
produksi-konsumsi
panganSecara
khusus,
Itho
mengemukakan bahwa sistem produksi-konsumsi pangan dewasa ini telah memasuki periode yang ketiga, atau yang dikemukakan ke dalam istilah Third Food Regime. Salah satu diskursus yang paling menonjol dari third food regime adalah yakni pendekatan dalam menangani krisis pangan global dan kapitalisme hijau5. Wacana krisis dan kapitalisme hijau ini kemudian secara tak langsung turut menjadi landasan integral yang mendorong tuntutan untuk pengembangan investasi lahan tanaman pertanian skala luas, yang akan dikonversi menjadi agrofuel atau biofuel. Pengembangan monokulturisasi agrikultur skala luas, diiringi dengan penerapan manajemen teknologi modern yang memanfaatkan lahan-lahan yang dianggapp masih belum terjamah untuk meningkatkan produksi suplai kebutuhan pangan yang semakin melunjak adalah beberapa alternatif pendekatan dalam merespon krisis (Itho dkk, 2011 : 13). Model pengembangan lahan agrikultural skala luas ini bukan hal yang baru sebenarnya. Revolusi hijau yang mulai berkembang sejak era developmentalisme juga mempraktikkan hal yang sama. Baik pengembangan revolusi hijau dan food estate memiliki kesamaan mendasar, yakni penggunaan lahan dalam skala sangat luas serta penerapan modernisasi agrikultur. Perbedaannya, dalam pelaksanaan revolusi hijau, pengelolaan produksi komoditi pertanian,khususnya beras di Indonesia secara teknis menyasar petani-petani skala 5
Fenomena kapitalisme ini merujuk pada semakin meningkatnya upaya untuk transformasi fungsi produksi pangan menjadi sumber alternatif agrofuel/biofuel. khususnya dalam merespon wacana kelangkaan energi global . Lihat lebih lanjut Friedman
25
kecil sebagai pelaku produksi, meski pada perkembangannya ditemukan kerancuan pola pikir pembangunan agrikultur pada proyek tersebut. Sementara food estate sebagai salah satu bentuk pembangunan yang begitu bertumpu pada korporasi sebagai penggerak modal untuk mengelola produksi pangan. Dinamika dan karakteristik-karakteristik tersebut dapat terbaca jelas dalam pola pengembangan MIFEE. Terlepas dari dinamika tersebut Itho dkk, juga turut menyepakati bahwa keberlangsungan model-model pembangunan agrikultural dalam era third food regime, secara khusus sangat mencerminkan adaptasi atas paradigma pembangunan neoliberal. Prinsip-prinsip mendasar neoliberalisme yang secara fundamental berakar kuat pada pandangan liberalisme ekonomi klasik seperti, liberalisasi (perdagangan barang, jasa dan investasi), privatisasi, deregulasi, perlindungan atas hak kekayaan intelektual, serta finansialisasi global dipandang sebagai paradigma politik yang turut berinfiltrasi menjadi corak program
pengembangan pangan
dewasa ini. Penamaan lain dari konsep third food regime ini adalah corporate food regime yang dipopulerkan oleh Philip Mc Michael secara khusus demi menonjolkan gambaran peranan korporasi yang begitu kuat dalam dinamika produksi, distribusi dan konsumsi pangan global dewasa ini. Selanjutnya konsep corporate food regime ini yang kemudian akan lebih ditonjolkan dalam melihat dominasi korporasi dalam pelaksanaan program pembangunan agrikultu secara umum, dan MIFEE secara khusus. 1.4.3.
Aspek Praktik Analisis dinamika konflik ranah sosial dan lingkungan pada pengembangan
MIFEE, tidak terhenti pada tataran paradigma dan institusional. Pada ranah praktikal, baik Lamonge, maupun Itho dkk turut menggambarkan bahwa disamping sebagai sebuah program yang disuarakan untuk membangun ketahanan energipangan, serta untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung logistik global, MIFEE juga turut terintegrasi dalam skema percepatan pembangunan ekonomi Indonesia (P3EI). Sementara itu, logika pembangunan ekonomi negara yang tertuang dalam MP3EI
menargetkan
pencapaian
pertumbuhan
ekonomi
melalui
aktifitas 26
modernisasi dan industrialisasi terpadu yang menuntut porsi besar investasi, khusunya dari sektor swasta/korporasi. Dengan kalkulasi kebutuhan dana pembangunan mengikuti skema MP3EI yang mencapai 4.000 Trilyun (Grand Design MP3EI, 2011) dapat dipastikan proyek-proyek percepatan pembangunan ekonomi Indonesia adalah ruang untuk mengundang investasi korporasi dan arus perputaran kapital secara besar-besaran, termasuk MIFEE. Maka, hal ini menempatkan food estate MIFEE sebagai program pembangunan yang tidak dapat terlepas dari logika akumulasi kapital. Sebagai proyek yang membutuhkan dana dan penggunaan ruang/lahan dalam skala luas, lahan dalam proyek MIFEE berfungsi menjad modal perputaran siklus kapital. Guna menggambarkan penyebab praktik dari dinamika konflik yang berlangsung dalam MIFEE, Lamonge dan Rachman mengajukan
konsep accumulation by
disposession yang dirumuskan oleh David Harvey. Accumulation by disposession berhubungan dengan siklus akumulasi kapital, atau bahkan konsep ini menggambarkan dinamika yang berlangsung dalam siklus akumulasi kapital itu sendiri. Accumulation by dispossession, secara sederhana dapat diartikan sebagai praktik akumulasi kapital yang berlangsung diiringi pola-pola perampasan ruang maupun alat produksi. Kontur geografis Merauke yang didominasi oleh bentang hutan alam dan belum banyak terjamah dianggap sebagai unutilized resources6, serta mode hidup bertani dan berburu secara tradisional yang masih dipertahankan oleh sebagian besar masyarakat di lokasi pengembangan MIFEE, menjadi katalis tersendiri yang memicu anggapan tentang lahan potensial Merauke belum tergarap sempurna dan membutuhkan pembangunan industrialisasi dan modernisasi pertanian (Zakaria dkk, 2011 : 18). Oleh karena itu investasi kapital terbuka lebar bagi korporasi lokal maupun asing untuk mengakusisi lahan dalam skala luas adalah pengantar guna mewujudkan logika pembangunan bercorak neoliberal tersebut. Corak berfikir demikian telah menempatkan MIFEE dalam
diskursus kritik program
6
Istilah ini merujuk pada sumber-sumber daya alam yang masih murni dan berlum terkelola dalam konteks pembangunan.
27
pembangunan yang berlangsung dibawah tekanan arus globalisasi kapital-neoliberal (Itho dkk, 2011). Fakta dilapangan menunjukkan bahwa dalam proses pengembangannya, proyek MIFEE kental atas praktik land disposession (perampasan lahan). Kebijakan pengarusutamaan peranan korporasi telah memberi kesempatan luas untuk berlangsungnya sirkulasi kapitalisme melalui praktik accumulation by disposession terhadap lahan-lahan sumber kehidupan masyarakat lokal. Sebagai hasilnya terciptalah serangkaian bentuk perubahan sosial dan lingkungan yang rentan menimbulkan konflik, seperti berupa komodifikasi lahan dan manusia, konversi kepemilikan tanah-tanah komunal menjadi tanah milik swasta, perubahan moda produksi-konsumsi untuk tujuan industrial yang berujung pada pemiskinan struktural. Fakta-fakta tersebutlah kini yang tengah dihadapi masyarakat lokal/adat Merauke atas keberlangsungan proyek MIFEE. Diskursus lanjutan yang muncul tentang MIFEE juga menghadirkan wacana perdebatan tentang model pembangunannya yang dapat mengancam kedaulatan pangan dan menempatkan masyarakat lokal Merauke kedalam posisi marjinal. Industrialisasi/modernisasi agrikultur mendorong transformasi relasi dan mode produksi tradisional yang selama ini dilakoni masyarakat lokal menjadi pengelolaan skala luas namun dikuasai oleh kelompok-kelompok perusahaan-perusahaan untuk kepentingan agribisnis modern. Situasi tersebut dipastikan dapat merubah struktur kebiasaan masyarakat agraris pedesaan yang dapat menimbulkan benturan yang berujung pada konflik. 1.5.
Kerangka Konseptual Literatur-literatur
sebelumnya
telah
memberikan
kontribusi
terhadap
gambaran konsep yang dapat digunakan dalam menganalisis proses pembangunan MIFFE dan relasinya terhadap socio-environmental conflict. Dibandingkan istilah third food regime, penelitian ini akan lebih menggunakan konsep corporate food regime
untuk
menekankan
kebijakan
terkait
sistem
produksi-distribusi
(perdagangan) pangan global dewasa ini yang membentuk situasi dimana korporasi memiliki power dan ruang kuasa yang besar. Selain itu melalui penjabaran yang 28
lebih luas mengenai karakteristik corporate food regime, dapat digali dinamika yang lebih kompleks terkait diskursus arah pembangunan agrikultur yang berkembang secara global, paradigma ekonomi politik apa yang mengarahkan konsep pembangunan tersebut, konsep teknis penerjemahannya alam program pembangunan negara dan apa saja institusi-institusi pengarahnya. Konsep neoliberalisme juga turut digunakan sebagai alat analisis paradigma pembangunan berbagai sektor ekonomi dewasa ini, termasuk sektor pangan, tanpa terlepas dari analisis relasi akumulasi kapital. Konsep neoliberalisme dalam penelitian ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran David Harvey. Selain itu, accumulation by disposession juga turut dihadirkan sebagai konsep yang digunakan guna menjelaskan relasi antara paradigma pembangunan neoliberal dalam proses keberlangsungan akumulasi kapital dengan hadirnya ketegangan-ketegangan sosiallingkungan, khususnya dalam pengembangan MIFEE. 1.5.1. Neoliberalisme Pembangunan Agrikultur
di era Corporate Food
Regime Analisis rezim internasional memiliki peranan penting dalam konteks ekonomi politik dan hubungan internasional. Stephen Krasner mendeskripsikan rezim internasional sebagai sebuah kesatuan hukum atau prinsip eksplisit dan implisit, norma, aturan,dan prosedur pembuatan keputusan atas kepentingankepentingan antara aktor yang berlangsung dalam dinamika hubungan internasional (Krasner, 1982 :186 dalam Plahe et al, 2013 ). Umumnya ada dua pandangan utama yang menganalisis tentang formasi rezim dan sebab musabab terbentuknya. Dalam pandangan realis, rezim itu didesain oleh aktor hegemon yang menciptakan aturanaturan untuk mencapai tujuan strategis dan memaksakan kepatuhan kepada aktoraktor lainnya (Kindleberger 1986, 841-842 dalam Plahe et al, 2013). Menurut pandangan ini stabilitas rezim akan tercipta secara alamiah sesuai dengan distribusi kekuasaan yang ada. Kemudian dalam pandangan yang lebih liberal, rezim dilihat sebagai respon atas kebutuhan dan kepentingan antar negara maupun aktor-aktor lainnya yang menuntut mereka (aktor) berinteraksi dalam konteks kerjasama dan
29
menghasilkan keputusan atau norma yang harus dijalankan bersama (Keohane, 1984, 51-54). Rezim dapat berwujud dalam berbagai sektor ekonomi, termasuk sektor pangan/agrikultur. Dinamika yang melingkupinya menyangkut misalnya aktivitas perdagangan, finansial, politik dan ekonomi. Corporate food regime pada dasarnya merupakan perkembangan lebih lanjut atas analisis food regime yang pertama kali dikembangkan oleh Harriet Friedman dan Philip Mc Michael (1989) untuk menggambarkan sistem produksi-distribusi pangan dibawah suatu relasi kekuasaan (power) geopolitik global dan tak terpisahkan dari konteks akumulasi kapital. Analisis food regime atau rezim pangan, kiranya dapat digunakan untuk meneropong secara historis karakter dari dinamika produksi, distribusi maupun norma pembangunan agri-pangan secara global yang dijalankan oleh negara-negara didunia dalam struktur ekonomi-politik kapitalis global (Mc, Michael, 2009 : 139). Karakteristik dari
food regime tersebut tersusun berdasarkan struktur, aturan,
prosedur, norrma yang diarahkan oleh sebuah ideologi tertentu. Baik oleh Friedman dan McMichael, menetapkan analisa periodisasi atau pembabakan eskalasi rezim pangan7 dengan nama-nama yang berbeda, namun pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama jika ditarik berdasarkan garis historis. Secara garis besar dapat ditarik pembabakan : colonial/first food regime (18701914), post-war,second food regime (1947-1970), corporate/third food regime (sejak 1980) (Plahe et al, 2013 : 312, Mc Michael, 2009, Fairbairn, 2010 : 5). First food regime ditandai dengan dominasi kolonialisme oleh negara-negara Eropa, terutama Inggris terhadap negara-negara koloni di wilayah pasifik. Pola produksi pangan dinegara-negara koloni yang awalnya diutamakan untuk pemenuhan kebutuhan internal diarahkan oleh pihak kolonial untuk berorientasi ekspor dan dialirkan kepada negara-negara Eropa yang saat itu berada pada tahap awal industrialisasinya. Dalam menjalankan rezim ini, negara-negara kolonial Eropa 7
Pengelompokan oleh Friedmann, Food Regime dimulai pada periode 1870-1914 sebagai Prewar International Food Order, Colonial Diasporic Food regime, postwar food regime (1947-1973), the mercantile industrial food regime dan yang termutakhir adalah corporate environmental food regime. Sementara dalam kolaborisanya dengan Philip Mc Michael, baik friedmaan maupun Mc Michael keduanya lebih menyerderhanakan pembabakan dalam first food regime, second food regime/Postwar food regime, Third Food Regime/Corporate Food Regime.
30
industrial meliputi Inggris, Perancis, Jerman bekerjasama dalam kondisi yang diistilahkan dengan “Imprealisme Kooperatif”8. Second food regime atau post war food regime berlangsung beriringan dengan
prevalensi penerapan embedded liberalism sebagai ideologi kebijakan
ekonomi politik pembangunan suatu negara. Embedded liberalism lekat dengan karakteristik kentalnya intervensi negara dalam perekonomian, termasuk dalam hal pengembangan industri agrikultur. Pada masa ini, sektor agrikultur mendapat porsi perhatian yang besar dalam pembangunan. Alat-alat kebijakan intervensionis seperti subsdidi, kuota, dan insentif harga pada awalnya diterapkan oleh negaranegara industrial maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, yang kemudian menjadi norma praktikal dan diterima menjadi resep pembangunan agrikultur global (Plahe, 2013 : 314). Subsidi ini menghasilkan surplus produksi atas komoditas-komoditas unggulan yang berkembang di negara-negara maju, seperti gandum, jagung dan kedelai (Gimenez dan Shattuck, 2011 : 110). Meski, era second food regime
mengedepankan pola proteksionisme,
namun tidak dapat dikatakan bahwa liberalisme benar-benar ditinggalkan. Negaranegara maju menggunakan strategi proteksionis dalam industri nasional, namun dalam konteks perdagangan, negara-negara maju juga yang mendorong dibukanya pasar untuk menyalurkan surplus produk agrikultural mereka khususnya kepada negara-negara berkembang9. Surplus yang dialirkan kenegara-negara berkembang ini, menciptakan karakteristik baru dari rezim sebelumnya, yakni dominannya arus perdagangan komoditas pangan negara-negara maju ke negara-negara berkembang (Gimenez dan Shattuck, 2011 : 110). Salah satu bentuk pengaliran surplus tersebut adalah melalui program food aid Amerika Serikat, yang menjadikan negara ini sangat menonjol dalam keberlangsungan rezim pangan kedua karena melalui
8
Imprealisme kooperatif merujuk pada kondisi dimana antar sesama negara imperialis, menjalani kerjasama dan kesepakatan–kesepakatan tertentu untuk menggapai stabilitas hegemonik secara lontinyu 9 Philip McMichael selalu menggunakan istilah untuk negara-negara industri maju yang hegemonik ini sebagai northern Country dan negara-negara dunia ketiga atau negara-negara berkembang yang baru lahir, maupun wilayah-wilayah jajahan sebagai Southern Country.
31
program food aid, Amerika Serikat berhasil secara perlahan membangun hegemoninya atas perdagangan komoditas gandum dan gabah kasar10. Pada masa ini, sektor-sektor perekonomian mulai bergerak menuju modernisasi dengan karakteristik konsumsi massa yang tinggi (mass high consumption) (Rostow dalam Fakih, 2009 :50), dan sektor agrikultur merupakan sektor vital perhatian pemabangunan. Proses developmentalisasi ini kemudian mengawali titik subur pertumbuhan industri-industri swasta yang menguasai dunia produksi maupun perdagangan komoditas agrikultur dan pangan. Krisis yang terjadi di Amerika Latin di pertengahan tahun 1970-an dan kebangkitan kekuatan korporasi secara perlahan meruntuhkan kepercayaan atas pola pembangunan intervensi negara. Keadaan ini semakin mapan didukung dengan kemunculan institusi-institusi keuangan global mapan yang gencar mendorong liberalisasi ekonomi politik yang harus diterapkan dalam pembangunan, seperti IMF dan World Bank. Oleh karena itu, agenda-agenda ekonomi politik neoliberal pun kemudian berkembang secara global (Gwynne dan Kay dalam Gwynne and Kay, ed : 2004). Kondisi demikian menggiring kemunculan era baru dalam rezim pangan global, yakni penguatan kekuatan korporasi dalam pengelolaan produksi dan distribusi produkproduk agrikultur yang tumbuh beriringan dengan globalisasi paradigma neoliberal (Mc Michael, 2005). Era ini diistilahkan oleh Mc Michael sebagai corporate food regime, yang melingkupi karakteristik : In the corporate food regime, the political decomposition of citizenship and or national sovereignity, via the neo-liberal „Globalization Project, reverse the political gains („welfare‟ iand development states) associated ith the periode of U.S. Hegemony. Fascilitating an unprecedented conversion of agriculture across the world to supply a relatively affluent global consumer class. The vehicle of this corporate driven process is the WTO‟S Agreement on Agriculture, which institutionalizes a distinctive form of economic liberalis geared to deepening market relations via the privatization of States (Mc Michael, 2005 : 273).
10
Food Aid juga terkenal dengan nama Food For Peace Program yang diterbitkan pemerintahan Amerika dalam sebuah aturan Hukum Publik (PL 408). Tujuan dari Food Aid itu sendiri telah ditegaskan oleh Mantan Presiden Amerika Serikat, yakni Dwight D, Eisenhower sebagai upaya untuk ekspansi pasar ekspor komoditas agribisnis Amerika Serikat Sekaligus membendung pengaruh dari Uni Soviet
32
Dekomposisi kedualatan nasional, privatisasi, pengarahan pembangunan korporatik dan liberalisasi agrikultur untuk memenuhi kebutuhan kelas konsumen sejahtera skala global, adalah beberapa ciri yang melekat pada corporate food regime. Dinamika ini terus menerus didorong oleh institusi pendukung neoliberal sebagai kendaraan penggeraknya, misalnya pada aspek perdagangan, WTO melalui instrumen AOA-nya
terdapat
yang memperdalam kemandirian ekonomi
pasar. Keberadaan institusi WTO begitu dominan dalam menetukan regulasi perdagangan bebas komoditas pangan. Proteksi perdagangan pada produk-produk agri-pangan harus dihapuskan dan diganti menjadi hambatan tarif (Mc Michael, 2005 : 283-284). Dalam konteks sistem produksi, secara lebih khusus, Mc Michael mengemukakan bahwa sistem produksi pangan negara-negara selatan (negaranegara berkembang) dalam corporate food regime berarti : peningkatan fokus terhadap industrialisasi, agrikultur berorientasi ekspor, peningkatan dependensi petani-petani skala kecil terhadap korporasi pertanian transnasional utamanya dalam konteks kendali atas alat produksi. Analisis karakteristik corporate food regime turut mengalami perkembangan berdasarkan dinamika-dinamika lain yang terjadi dan memiliki pengaruh terhadap sektor agrikultur pangan. Misalnya adanya dinamika penipisan cadangan energi dan implikasinya terhadap pangan (yang menjadi salah satu faktor pendoring terjadinya krisis pangan), diikuti dengan gencarnya investasi lahan skala luas dalam rangka pembangunan lahan biofuel/agrofuel maupun produksi cadangan pangan turut menjadi karakteristik dinamika global yang melekat dalamnya. Keseluruhan dinamika tersebut bereskalasi
dan
berjalan
beriringan
dengan
pengarusutamaan
liberalisasi
perdagangan, investasi dan industrialisasi agri-pangan (Mc Michael. 2012 : 683). Lebih lanjut, Mc Michael mengemukakan khususnya dalam konteks pendekatan terhadap permasalahan krisis pangan, praktik-praktik perampasan dan displacement (penggusuran) populasi masyarakat pedesaan
nampak menjadi
fenomena lanjutan atau lebih tepatnya sebagai konsekuensi lanjutan atas pola pembangunan agrikultur global pasca krisis, yang mengharuskan industrialisasi dan penyediaan lahan dalam skala luas yang dikelola melalui kapital. Pola
33
pengembangan demikian menempatkan investasi korporasi sebagai sumber penggerak
kapital
dan
memberi
keleluasaan
dalam
mengakselerasi
dan
merestrukturisasi sirkulasi produksi-distribusi pangan global. Dinamika -dinamika tersebut yang kemudian menguatkan pandangan tentang sistem pangan global dalam era corporate food regime sengat erat dengan ideologi neoliberalisme. Secara lebih kompleks, Erick Holt Gimenez membangun matriks analisa terkait karakter sistem produksi, distribusi agri-pangan dalam era corporate food regime. Analisis gimenez yang dikemukakan dalam penelitian ini secara khusus menyorot tentang paradigma politik neoliberal yang mengarahkan pola pengembangan agrikultur dalam konteks corporate food regime, dapat dilihat pada tabe 1. Aspek-aspek yang diajukan oleh Gimenez meliputi : Diskursus; Institusi Utama; Orientasi; Model;Pendekatan Terhadap Krisis pangan dan dokumen pemandu. Tabel 1. Matriks Dinamika Corporate Food Regime, dari Sudut Pandang Politik Neoliberal. Corporate Food Regime
10 Politik Diskursus
Neoliberal Food Enterprise
Institusi utama
International Financial Corporation (World Bank); IMF, WTO USDA, Global food security bill, Green Revolution, Millenium Challenge, Heritage Foundation, Chicago Global Council, Bill and Foundation, Feed and Future (USAID)
Orientasi
Korporasi
Model
Overproduksi; Konsentrasi Korporasi; deregulasi pasar dan monopoli; monokulturisasi (termasuk untuk bahan pangan organik); GMO, pengembangan agrouel; konsumsi global secara massal atas bahan pangan industrial, pemarjinalisasian kaum pedesaan dan pertanian keluarga (skala kecil) serta sistem retail lokal.
Pendekatan terhadap krisis pangan Dokumen pemandu
Meningkatkan produksi industrial, nir-regulasi monopoli korporasi, perampasan lahan, ekspansi GMO, Public-Private Partnership, liberalisasi pasar, bantuan pangan bersumber internasional
World Bank Development Report 2009 ; Realizing a New Vision for Agricultur (World Economic Forum)
Sumber : Dikelola dari, Gimenez. 2010. Food security, Food Justice or Food Sovereignity. Food First Backgrounder, Institute For Development Policy.
34
1.5.2. Neoliberalisme Dalam Kaitannya dengan Accumulation By Disposession David Harvey dalam
A Brief History of Neoliberalism (2005 : 2)
mengemukakan bahwa neoliberalisme adalah bentuk mendasar liberalisasi ekonomi
yang terkemas dalam cara pandang institusional. Neoliberalisme
menjamin hak kepemilikan pribadi yang kuat, mekanisme pasar dan perdagangan bebas (Robinson, 2008 : 17). Negara ideal dalam pemahaman neoliberal ialah yang tidak mengintervensi mekanisme pasar, kecuali memfasilitasi dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan pro-pasar, menciptakan pembukaan pasar bagi pengelolaan elemen-elemen sumberdaya alam, bahkan hingga mempersiapkan perlindungan “kemanan” guna menjamin keberlangsungan hak properti pihak swasta,
(Harvey, 2005). Untuk itu dipandang perlu untuk dibuat serangkaian
kebijakan seperti deregulas, privatisasi, liberalisasi perdagangan dan investasi, pemotongan anggaran publik, serta hubungan kerja yang fleksibel11. Neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari pandangan klasik tentang Ekonomi liberal. Hal ini berdasar pada argumen Balaam dan Veseth (2005 : 507) bahwa neoliberalisme mengandung elemen-elemen penting liberalisme klasik yang berangkat dari pemikiran Adam Smith dan David Ricardo. Kepercayaan pada kebebasan individu (personal liberty), kepemilikan pribadi (private property), inisiatif serta usaha swasta
(private enterprise) untuk beraktifitas dalam
mengakumulasi profit. Selain itu neoliberalisme juga selalu diasosiasikan dengan kapitalisme12.
11
Penjabaran mengenai kebijakan-kebijakan teknis yang menjadi acuan negara dalam menjalankan pembangunan bercorak politik neoliberal, tertuang dalam kemasan Konsensus Washington, yang dirumuskan Joh Williamson. Meliputi : 1)Disiplin fiskal 2) Pencabutan anggaran belanja public 3)Reformasi perpajakan, perluasan basis pajak dan pemotongan tingkat pajak marjinal 4) Liberalisasi finansial 5) pengaturan nilai tukar guna memicu pertumbuhan nilai tradisional 6) liberalisasi peragangan 7) penghapusan halangan investasi asing langsung 8)deregulasi 9) perlindungan hak kekayaan intelektual, dimana sistem hukum yang berlaku harus menjamin perlindungan hak milik atas tanah, kapital dan bangunan 10) minimalisasi peran negara dalam pasar 11) Liberalisasi Investasi , termasuk penghapusan hambatan untuk investasi asing. 12 Dalam pemahaman ekonomi klasik, Marx mengemukakan bahwa kapitalisme merupakan sebuah sistem ekonomi yang didalamnya terbentuk hubungan sosial produksi antara pemilik alat produksi dengan mereka yang tidak memiliki alat produksi dan harus menjadi tenga kerja dalam sebuah sistem ekonomi (Marx, 1993 dalam Pontoh, 2014 : 6), melainkan (Pontoh, 2014 : 7). Dengan demikian kapitalisme bukan hanya mengenai hubungan manusia dengan benda-benda produksi, melainkan hubungan antar kelas.
35
Dalam
kaitannya
terhadap
kapitalisme,
neoliberalisme
tidak
hanya
ditempatkan sebagai paradigma ekonomi politik melainkan sebuah sistem yang memungkinkan kapitalisme menemukan ruang perputarannya secara lebih leluasa. Hal ini dapat dilihat dari sifat produksi kapital yang berujung pada pertukaran komoditi di pasar bebas, dan disatu sisi paradigma neoliberal cenderung memfasilitasi kebijakan pro-pasar. Sebagai tambahannya pemikir-pemirkir Marxis, melihat neoliberalisme sebagai sebuah koreksi atas krisis dan pengorganisasian kapitalisme yang pernah terjadi di dekade 1960-an dan pertengahan 1970-an. Sebagaimana dibahasakan oleh Filho dan Johnston (2005 : 3), bahwa neoliberalisme dalam perkembangannya hadir untuk mereproduksi siklus akumulasi kapital. Dalam siklus kapitalisme, sistem produksi komoditi bukan ditujukan untuk dikonsumsi langsung melainkan diperdagangkan atau ditukarkan pada pasar, serta adanya watak alamiah pemilik alat produksi untuk mengakumulasi profit tanpa batas, yang melibatkan ekpolitasi tenaga kerja dan alam yang melintasi batas ruang dan waktu (Pontoh, 2014 : 25). Logika kapitalisme mengharuskan modal/kapital untuk terus menerus diputar agar surplus dan modal kembali (Antoro, 2012 : 40). Hingga pada taraf tertentu surplus tidak dapat lagi diputar dalam suatu wilayah ekonomi, maka krisis dapat tercipta akibat kelebihan akumulasi yang terjadi, oleh karena dibutuhkan ruang baru untuk perpetuasi kapital secara terus menerus (Harvey 2010 : 97). Ruang baru perputaran modal tidak hanya sekedar bertumpu aspek finansial atau likuiditas uang, melainkan tanah, air, sumber daya alam, tenaga kerja, infrastruktur dan tatanan kelembagaan dalam sistem kapitalisme merupakan alat pembentuk siklus kapital yang baru utamanya dalam sektor agikultur. Namun, modal berupa tanah, dan sumber daya alam lainnya, tidak bisa didapatkan dengan mudah, sebaba ia begitu melekat secara kultural pada penduduk lokal seperti petani. Seringkali ia harus didapatkan melalui cara tekanan dan perampasan (Noer Fauzi Rachman, pengantar dalam Zakaria, dkk, 2011 : iv-xvi). Dalam proses pembentukan kapital dari ruang baru, masyarakat lokal pedesaan yang umumnya bekerja sebagai petani seringkali dipisahkan dari lahan hidup dan lahan garapnya. Dengan kata lain sumber pembentuk kapital diraih melalui cara
36
perampasan (disposession). Hal ini yang kemudian dimaksud
Harvey sebagai
proses accumulation by disposession. Atau akumulasi melalui perampasan. Proses ini menjadi begitu permisif untuk dilaksanakan dibawah sistem Neoliberal, dan pada konteks tersebut, negara memainkan peranan penting dalam, melegalkan proses akumulasi perampasan lahan dalam rangka menjamin stabilitas keamanan pembangunan. Accumulation by disposession pada dasarnya, dirumuskan Harvey untuk menggambarkan cara-cara yang digunakan pelaku ekonomi kapitalis atas kebutuhan ruang baru untuk kembali memulai siklus akumulasi kapital. Dalam lingkup pembangunan agrikultural, khususnya food estate, ekspansi kapital sering dijumpai dilakukan dengan cara-cara perampasan, pemisahan masyarakat lokal /adat atas tanah dan ruang hidup mereka yang merupakan alat produksi harannya melalui mode komodifikasi dan privatisasi. Kondisi-kondisi pemisahan masyarakat lokal dengan lahan sebagai alat produksi/mata pencaharian ini lah yang kemudian menampakkan keberlangsungannya dalam proyek MIFEE dan dianggap sangat kuat mendorong terdinya konflik-konflik berdimensi sosial dan lingkungan. 1.5.3. Socio-Environmental Conflict dan Manifestasinya dalam Kasus MIFEE Dalam pemahaman yang disodorkan Lumerman dkk (2011 : 10), socioenviornmental conflict, terjadi apabila dua atau lebih aktor saling memiliki ketidaksepahaman atas pola distribusi, kontrol dan penggunaan atas materi atau elemen simbolik serta akses terhadap sumber daya alam13. Menggunakan analisa Bebbington (1997), konflik sosial terjadi melibatkan elemen-elemen aktor disertai ruang kekuasaan yang mereka pegang dalam struktur sosial masyarakat. Analisa tersebut dipertajam melalui pandangan Ralf Dahrendorf, bahwa konflik berkaitan dengan siapa yang memegang kontrol atas alat produksi14 (Ngadisah :2003 hal 255257). 13
Konsepsi tersebut mengajukan pemahaman bahwa ada ketegangan yang terjadi disebabkan oleh benturan kepentingan antar aktor atau subjek-subjek konflik untuk mengendalikan kekuasaan atas melihat sumber daya alam, utamanya dalam kerangka fungsinya sebagai modal produksi 14 Merujuk pada pandangan ini, sumber terjadinya konflik adalah karena ada dominasi dari salah satu pihak, dalam kepemilikan alat alat produksi yang menimbulkan negasi hak pada pihak lainnya..
37
Konflik pada dasarnya dipicu oleh rasa tidak adil, yang berangkat dari permasalahan distribusi keuntungan, retribusi, prosedural, eksklusi moral, dan hilangnya kesempatan mengakses sumber daya alam (Deutsch dalam Deutsch et Coleman : 2000, 41).
Lebih lanjut, Lumerman et al mengemukakan bahwa
pemahaman akan socio environmental conflict juga perlu dipandang dari bagaimana karateristik yang membentuknya (Lumerman et al, 2011 : 10). Yakni : 1) Adanya transformasi yang dapat berbentuk negatif maupun positif maupun negatif. 2) Ada persaingan kekuasaan antar aktor pada sektor publik, privat dalam konteks pembangunan sosial pada berbagai sektor. Di dalam relasi konflik tersebut, terdapat strategi-strategi yang dilancarkan antar aktor yang ditujukan untuk memperkuat keleluasaann untuk mengakses, menggunakan dan mengkontrol sumber-sumber daya alam yang bernilai strategis. 3) Terakhir, socio-environmental conflict hadir berdasarkan perbedaan pemahaman tentang pola kepengelolaan atas lingkungan alam sebagai sumber penghidupan sehari-hari15. Eskalasi socio-environmental conflict nampak jelas mengemuka pada pengembangan mega proyek MIFEE. Konflik utama berlangsung melibatkan kepentingan aktor negara dan korporasi swasta, berhadapan dengan kepentingan masyarakat
lokal
dan
adat,
organisasi-organisasi
non
pemerintah
yang
menunjukkan sikap resistensi terhadap proyek pengembangan MIFEE. Negara adalah aktor perumus kebijakan pembangunan modernisasi agrikultur semacam MIFEE, sedangkan korporasi atau swasta adalah aktor dominan penggerak modal/investasi atas lahan-lahan agrikultural dalam proyek tersebut. Sementara itu diposisi yang berhadapan dengan negara dan korporasi, masyarakat lokal/adat pada area pengembangan MIFEE,ialah komunitas yang telah lama bermukim mengelola sumber daya alam dan lahan di wilayah pengembangan MIFEE dengan cara-cara tradisional komunal yang harus menghadapi efek atas perubahan-perubahan sosial ekonomi maupun sosial lingkungan dengan hadirnya pengembangan MIFEE yang mengusung modernisasi agrikultur, menggunakan lahan dalam skala luas, dan 15 Secara lebih mendalam, dalam analisanya Lumerman dkk, mempertegas socio-environmental conflict konflik dalam konteks diskursus ini, mencerminkan adanya kontradiksi antara pola pengelolaan tradisional berhadapan dengan pola modernisasi pembangunan.
38
mengutamakan peranan korporasi sebagai pengelola produksi. Identifikasi mengenai aktor dan diskursus kepetingannya dalam kerangka socio-environmental conflict MIFEE digambarakan dalam Bagan 1. Pada perkembangannya, selain berlangsung secara vertikal, antara masyarakat lokal dengan perusahaan dan pemerintah, perkembangan konflk sebbagai dinamika lanjutan yang terjadi pasca penerapan MIFEE juga medorong munculnya konflik horizontal antar kelompok masyarakat. Dinamika konflik horizontal tersebut biasanya terjadi misalnya karena tidak kuatnya sikap solid antar kelompok
masyarakat
dalam
mempertahankan
tanah
adat
dari
tawaran
pembelian/penyewaan oleh perusahaan. Bagan 1. Identifikasi aktor, diskursus kepentingan socio-environmentalconflict dalam MIFEE. Civil Society ,
Negara, (Pemerintah pusat daerah )
Meliputi : (Masyarakat lokal/adat Malind Anim, Organisasi non pemerintah, Kelompok advokasi, kelompok solidaritas) :
Diskursus : Merespon tuntutan pembangunan agrikultur, khususnya pasca krisis pangan dan energi 2008. Akselerasi pembangunan ekonomi nasional melalui sektor pangan dan energl Pemaksimalan pemanfaatan ruang untuk pembangunan Menjadikan Indonesia sebagai lumbung logistik Global, Modernisasi dan penghapusan kemiskinan khususnya wilayah Papua melalui metode industrialisasi agrikultu dengan penggunaan lahan skala luas
Diskursus : Kedaulatan akan ruang hidup/lahan, kebudayaan dan identitas Kedaulatan pangan Marjinalisasi masyarakat adat/lokal dalam pembangunan Kekerasan Dampak MIFEE terhadap aspek kehidupan sosial ekonomi dan demografi lanjutan mayarakat lokal/adat disekitar wilayah pengembangan MIFEE
Konflik
Korporasi Nasional dan Transnasional/ Diskursus : Mendudkung strategi pembangunan pemerintah Maksimalisasi profit melalui pola modernisasi agrikultur dalam lahan skala luas
Sumber : Penulis, 2014. Hasil analisis atas data perkembangan kasus.
1.5.4. Kerangka Pemikiran Antar Konsep Pengembangan food estate secara umum dan MIFEE dalam kerangka lebih khusus, secara dominan menunjukkan beberapa dinamika karakter pembangunan agrikultural dalam era corporate food regime yang telah dijabarkan sebelumnya. Modernisasi, industrialisasi, penekanan investasi korporatik pada lahan-lahan agrikultural dalam skala luas, dan tuntutan untuk penghasilan produksi besar39
besaran adalah beberapa contoh karateristik pola pengembangan agri-pangan dalam era corporate food regime. Karaktersitik tersebut terus didorong tanpa terlepas dari pengaruh corak ekonomi politik neoliberal. Pola pengembangan MIFEE yang lekat dengan karakteristik neoliberalisme, telah mengundang pro-kontra tersendiri. Bagi para pendukung pembangunan ekonomi investasi, investasi yang masuk dalam pengembangan food estate selain dianggap dapat merangsang percepatan produksi pangan, dapat merangsang pendapatan pemerintah dan sekaligus juga untuk mendapatkan pendapatan petani. Sehingga diharapkan bahwa program food estate dapat menjadi pembelajaran bagi petani skala kecil untuk menjadikan lahan mereka berorientasi bisnis, bukan sekedar lahan bercocok tanam semata (Nadjib, 2010 dalam Zakaria dkk, 2011 : 30). Premis tersebut mendapatkan tantangan pesimis yang meneropong efek negatif pola pembangunan pangan yang demikian. Serikat Petani Indonesia menganggap bahwa program pembangunan food estate
terlalu fokus kepada
kepentingan investor/korporasi, yang akan menciptakan permasalahan struktural lebih lanjut yakni, intensitas keberlangsungan konflik sosial dan lingkungan (Arsyad, 2010, dalam Zakaria dkk, 2011 : 29), sebagai dampak dari perubahan atas mode produksi pangan dan pengelolaan lahan yang dihadirkan MIFEE kepada masyarakat lokal/adat. Berdasarkan orientasi pengelolaan lahan, terdapat perbedaan yang signifikan, antara tujuan pemenuhan kebutuhan pangan harian oleh masyarakat lokal/adat, diperhadapkan dengan orientasi produksi massal guna memenuhi kebutuhan suplai perdagangan komoditas pangan, yang ditawarkan proyek MIFEE16. Sementara itu kontradiksi paling mendasar, berkaitan dengan hak kepengelolaan propertial atas lahan sebagai alat produksi pangan harian yang akan bertransformasi dari kepemilikan publik lokal/adat menjadi hak pengelolaan oleh korporasi dan segelintir pihak. MIFEE
yang
hadir
untuk
mengemas
pengembangan modern, teknokratik, dan
agrikultur
dengan
metode
sistem properti privat, ciri khas
kapitalisme neoliberal, sangat bertolak belakang dengan tradisi otonomitas dan 16
Argumen tersebut sangat beralasan sebab dalam rancangan idealnya, Food Estate dijalankan untuk menghasilkan produksi pangan berorientasi ekspor.
memang
40
komunal masyarakat lokal/adat merauke. Pola agrikultural tradisional dan komunal masyarakat lokal Malind Anim ditekan untuk bertranformasi secara drastis kepada model industrialisasi, korporatisasi dan ekploitasi lahan dalam skala luas melalui proyek Food Estate MIFEE. Perbedaan antara kedua mode produksi antara MIFEE dengan kebiasaan masyarakat lokal/adat Merauke, tidak hanya menyangkut jenis teknologinya, melainkan juga hal-hal yang menyangkut sumber daya manusia (Thorne Steve, 2007 dalam Zakaria dkk, 2011). Oleh karena itu, perbedaan ini memiliki kecenderungan benturan, persaingan antara kegiatan baru dengan yang telah ada baik dari segi waktu sumber daya, pengorganisasian, maupun gagasan (Vel, 2010 dalam Zakaria dkk, 2011 : 77). Selanjutya benturan antara kedua mode produksi pangan dan sistem agrikultur tersebut tergambarkan dalam bagan 2. Bagan 2. Benturan Perbedaan Antara Pola Agrikultur MIFEE dan pola Agrikultur Tradisional masyarakat lokal/adat Mode Pengembangan Agrikultur Modern secara Global Aspek Paradigma Pembangunan Neoliberal Kapitalisme
Dinamika Institusional Corporate Food Regime
Aspek Praktik Accumulation By Disposeesion Pola pembangunan agrikultur dan pendekatan terhadap krisis pangan di era Corporate Food Regime - Overproduksi - Konsentrasi korporasi, (liberalisasi investasi korporasi dalam hal produksi dan ekspansi lahan agrikultural - Deregulasi pasar perdagangan pagan - Monokulturisasi - Pengembangan GMO - Peningkatan produksi Industrial - Peningkatan ekspansi lahan dalam skala luas - Public-Private Partnership, - Produksi Pangan orientasi ekspor atau perdagangan
Kebijakan agrikultur negara
Food Estate : MIFEE
VS Socio – Environmental Conflict
Pola hidup dan Pengembangan Agrikultu oleh masyarakat lokal/adat di wilayah pengembangan MIFEE): Tradisional Pengelolaan lahan dalam skala kecil Tanah dan sumber daya alam agikultural dipercaya sebagai sumber kehidupan dan symbol leluhur Adanya sistem pelestarian alam (sebagai bentuk tanggung jawab kepada sumberdaya alam sebagai alat produksi harian dan Produksi tidak berorientasi ekspor atau perdagangan dalam skala luas, melainkan untuk memenuhi kebutuhan pangan harian Sistem retail masih lokal Pengelolaan lahan agrikultural secara komunal Non GMO
Sumber : Penulis, hasil analisis atas literatur penelitian dan perkembangan kasus. Keberadaan konflik tercermin melalui suburnya
resistensi dari masyarakat
lokal, maupun ogranisasi non pemerintah terhadap proyek MIFEE, yang secara mendasar memperlihatkan kecemasan tentang dampak lanjutan dari upaya tranformasi tersebut. Terampasnya lahan dalam skala yang mulanya dikelola secara komunal dan tradisional kemudian beralih dibawah hak penguasaan korporasi,dengan 41
metode produksi industrial adalah dampak mayor yang kemudian dapat menciptakan dampak sosial ekonomi dan lingkungan lanjutan17. 1.6. Argumen Utama Penelitian ini melihat MIFEE sebagai satu model pembanguan agrikultur dan terhubung dengan arahan pembangunan sektor agrikultur serta sistem produksidistribusi pangan secara global dalam keberlangsungan era corporate food regime, khususnya pasca krisis pangan 2007-2008. Sementara itu, dinamika pembangunan sektor agrikultur dalam era corporate food regime dewasa ini, berjalan beriringan dengan pengarusutamaan corak pembangunan ekonomi politik neoliberal, yang ditandai oleh liberalisasi perdagangan dan investasi, dominasi
korporasi dan
manajemen industrial. Pembangunan sektor agri-pangan yang berjalan diatas paradigma neoliberal, khususnya dalam menempatkan pendekatan atas krisis secara dominan berfokus mengarahkan produksi massal berorientasi ekspor, penerapan manajemen modern/industrialisasi, liberalisasi perdagangan dan investasi, serta ekstensifikasi lahan-lahan agrikultur guna mencapai target produksi. Keberlangsungan socio environmental conflict dalam program MIFEE dilihat sebagai dampak lanjutan atas kebijakan pembangunan yang berakar dari paradigma neoliberal. Pola pembangunan agrikultur-pangan neoliberal tersebut, secara prinsipil, memiliki benturan fundamental yang berkaitan dengan perubahan pola kelola/metode produksi dan struktur kepemilikan lahan dengan sistem agrikultur 17
Berdasarkan literatur penelitian, dan berita perkembangan terkini kasus MIFEE, didapatkan bahwa dampak sosial ekonomi telah dirasakan semenjak awal pemerataan lahan dilakukan oleh perusahaan. Masyarakat mengeluhkan tentang semakin berkurangnya area hutan yang merupakan lahan berburu dan memangkur sagu sehari-hari oleh masyarakat adat, semakin berkurangnya hewan buruan akibat pemerataan lahan hutan, yang mengakibatkan lamanya rentang waktu mereka bisa mendapatkan makanan sebagi sumber nutrisi. Masyarakat secara perlahan diarahkan untuk bergantung pasa sistem ekonomi kerja-upahan, yang mana dikeluhkan masyarakat, mereka hanya diposisikan sebagai pekerja kelas bawah berstatus Buruh Harian Lepas dengan upah yang tidak memadai dalam memnuhi kebutuhan pangan keluarga. Kemudian dari aspek lingkungan, masyarakat mengeluhkan tercemarnya beberapa sungai utama yang merupakan sumber perairan masyarakat. Selain memberi dampak kesehatan, pencemaran tersebut juga secara langsung semakin dapat memperdalam rentannya kondisi sosial ekonomi masyarakat khususnya dalam mengakses makanan. Sebab pencemaran sungai juga merusak ekosistem sumber daya alam yang ada disekitarnya.
42
skala kecil, tradisional dan komunal masyarakat lokal/adat Malind Anim. Berangkat dari hal tersebut, maka argumen utama yang dirumuskan pada bagian pembahasan awal ini adalah bahwa dinamika ekonomi socio environmental conflict yang terjadi di MIFEE, tidak hanya terletak pada aspek teknis pelaksanaan, namun ia juga berakar dari penyerapan paradigma pembangunan pangan neoliberal yang digunakan untuk mengembangkannya. Paradigma neoliberal terbangun dan mempengaruhi pola-pola pengembangan agrikultur dalam era corporate food regime. Paradigma yang berakar dari prinsip mendasar liberalisme ekonomi
klasik tersebut dalam konsep pertanian pangan
skala luas, secara timpang akan memberi ruang yang besar bagi swasta (korporasi/pemilik faktor-faktor produksi, investor) untuk mengelola lahan skala luas dan meraih profit atasnya. Disamping itu, pada aspek praktiknya, pembangunan neoliberal dalam kaitannya dengan kapitalisme, sangat mudah mengakomodasi praktik-praktik accumulation by dispossession (kegitan akumulasi kapital yang terlaksanan dengan serangkaian praktik perampasan)18 khususnya dalam kerangka menghadirkan lahan sebagai modal awal pengembangan food estate. Aktor korporasi menjadi mesin penggerak utama praktik tersebut yang mendapatkan kemudahan liberalisasi maupun deregulasi investasi dan izin konsesi lahan dari negara. Praktik accumulation by disposession ini sendiri telah menghadirkan perubahan-perubahan drastis yang berdampak negatif kepada masyarakat lokal/adat dalam konteks sosial-ekonomi dan lingkungan. Perubahan-perubahan yang tidak sesuai dan cenderung memisahkan masyarakat lokal/adat dari pembangunan, mengabaikan hak ekonomi, sosial dan budaya mendorong timbulnya socio environmental conflict. Konflik tersebut tercermin melalui setiap bentuk resistensi dan kritik yang dilancarkan oleh masyarakat adat/lokal Merauke, akan pengembangan proyek MIFEE.
18
Perampasan yang dimaksud adalah perampasan ruang/lahan yang sebelumnya telah digunakan secara tradisional oleh masyarakat adat/lokal sebagai sumber produksi, secara drastis beralih menjadi Hak Guna Usaha korporasi melalui izin konsesi yang diberikan oleh negara dan sebagai rasionalisasi atas proyek pembangunan.
43
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Teknik Pengumpulan data Riset penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif. Data dikumpulkan
dilakukan melalui penelusuran literatur buku dan dokumen-dokumen yang merupakan hasil penelitian lapangan terkini yang dipublikasikan oleh peneliti, berbagai organisasi non-pemerintah, maupun organisasi global. Data-data tersebut berkaitan dengan dinamika sistem pangan global, pengembangan food estate dan socio-environmentl conflict yang terjadi atasnya. Kemudian secara teoretik, penelitian ini menelusuri teori-teori dari para yang berkaitan dengan fenomena sistem pangan global dewasa ini. Sebagian besar data-data tersebut didapatkan dengan cara menjalin komunikasi organisasi yang telah melakukan penelitian lapangan langsung pada proyek MIFEE, diantaranya adalah Sayogjo Institute, Indonesia for Global Justice, Serikat Petani Indonesia/La Via Campesina, Yayasan Pusaka dan Tim Riset Awas MIFEE. Data
yang
digunakan
bersifat
sekunder
diperoleh
melalui
telusur
kepustakaan,berupa buku-buku, artikel, jurnal, dokumen resmi, artikel berita dan data-data lain terkait permasalahan MIFEE, karakteristik rezim pangan global, paradigma neoliberal dalam keberlangsungan corporate food regime,kapitalisme dan akumulasi kapital, socio-environmental conflict, yang dapat menunjang penelitian ini. Selanjutnya data-data yang telah diperoleh dari sejumlah literatur tersebut akan diklarifikasi untuk menunjang kebuuhan setiap bab dalam tesis ini. Sedangkan untuk penelitian lebih mendalam penulis mengakses kebijakankebijakan pemerintah indonesia dalam hal regulasi hukum terkait dengan konsep pengembangan food estate di Indonesia dan kebijakan pemerintah daerah Merauke dalam program MIFEE. 1.7.2. Teknik Analisis Data Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian ilmu sosial yang mencoba melakukan deskripsi dan interpretasi secara akurat untuk menjelaskan makna-makna tertentu yang terjadi dalam konteks sosial (Cassel Simon dalam 44
Bogdan dan Taylor : 2003). Metode ini menekankan pada pentingnya penelitian pada data-data melalui sumber-sumber tertulis dengan harapan akan mendapatkan data secara menyeluruh tentang situasi yang sedang dipelajari oleh peneliti. Studi kasus akan penulis gunakan untuk mengeksplorasi lebih dekat dalam konteks faktual berbagai faktor yang berpengaruh yang telah diidentifikasi sebelumnya.
1.8. Sistematika Pembahasan Penelitian ini terdiri atas
5 Bab. 4 bab diantaranya digunakan untuk
pembahasan penelitian. Bab 1 berisi tentang pendahuluan dan latar belakang mengapa penelitian diambil. Pada bagian pendahuluan ini juga akan dibahas mengenai klaim-klaim rasionalisasi elit pemerintahan yang menjadi dasar tentang pendirian Food estate MIFEE. Pada bab 1 pula, khususnya bagian studi literature dan keranka konseptual dijelaskan tentang bagaimana karakteristik pengembangan food estate sehingga ia diasosiasikan sebagai program pembangunan agrikultu pangan yang berjalan di atas logika pembangunan neoliberal. Bab 2
akan
menjawab sub pertanyaan penelitian pertama mengenai bagaimana pearadigma neoliberal digunakan sebagai pendekatan dalam memahami dan mencari solusi atas krisis pangan global dan bagaimana relasinya terhadap fenomena global Food estate dalam konteks dinamika corporate food regime. Bab 3 membahas mengenai bagaimana paradigma neoliberal terinstitusionalisasikan secara lebih khusus ke dalam kedalam proyek food estate MIFEE. Bab 4 pembahasan terakhir membahas mengenai praktik dan dampak socio-environmental conflict dalam MIFEE, serta menguraikan bangunan korelasi antara paradigma neoliberal, accumulation by disposession dan dorongan keberlangsungan socio-environmental conflict. Bab 5 adalah bab penutup yang berisi tentang kesimpulan penelitian
45