BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakikatnya adalah pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki untuk maksud dan tujuan tertentu (Mutaali, 2012). Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya-upaya yang terencana dalam rangka mencapai keadaan yang lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya (Suhardjo, 2008). Menurut Nugroho dan Dahuri (2012) pembangunan adalah suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi. Sedangkan pembangunan wilayah dapat diartikan sebagai serangkaian upaya untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan (growth), pemerataan (equity), kesejahteraan (welfare), dalam dimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah dalam kerangka menuju pembangunan wilayah yang berkelanjutan (regional sustainable development) (Mutaali, 2011). Pembangunan nasional di Indonesia sejatinya telah tumbuh dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat pertumbuhan ekonomi rata – rata 6 persen dalam periode 2005 – 2008 dan sampai triwulan ke 3 tahun 2009 sebesar 4,2 persen (RPJMN, 2010). Namun ternyata pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode 2004 – 2009 tersebut belum dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari ukuran indeks Gini dimana dalam periode 1999 hingga 2009 menunjukkan kecenderungan kenaikan dari 0,31 menjadi 0,37 (Nugroho dan Dahuri, 2012). Distribusi pendapatan dan Indeks Gini dapat dilihat pada Tabel 1.1.
1
Tabel 1.1. Kesenjangan Pendapatan dan Indeks Gini Tahun 1999 - 2009 Distribusi Pendapatan 40% penduduk
40% penduduk
20% penduduk
dengan
dengan
dengan
pendapatan
pendapatan
pendapatan
terendah
menengah
tertinggi
1999
21,66
37,77
40,57
0,31
2002
20,92
36,89
42,19
0,33
2003
20,57
37,10
42,33
0,32
2004
20,80
37,13
42,07
0,32
2005
18,81
36,40
44,78
0,36
2006
19,75
38,10
42,15
0,33
2007
19,10
36,11
44,79
0,36
2008
19,56
35,67
44,77
0,35
2009
21,22
37,54
41,24
0,37
Tahun
Indeks Gini
Sumber : Nugroho dan Dahuri, 2012 Dilihat dari pendekatan kewilayahan, perkembangan berbagai daerah di Indonesia sangat berbeda satu sama lainnya. Distribusi pembangunan antar daerah di Indonesia Bagian Barat dan Indonesia Bagian Timur memiliki jarak yang sangat jauh. Pulau Jawa, Sumatera dan Bali mewakili Indonesia Bagian Barat mengkontribusi 82,1 persen PDB sedangkan Indonesia Bagian Timur mengkontribusi 17,9 persen PDB (Nugroho dan Dahuri, 2012). Penyebab dari kesenjangan wilayah tersebut ialah tidak homogennya kondisi suatu daerah dengan daerah lainnya menyebabkan perbedaan kesempatan ekonomi daerah, sehingga pertumbuhan daerah satu dengan lainnya tidak sama (Mutaali, 2011). Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten dari 5 kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Diantara 4 kabupaten dan kota lainnya Kabupaten Gunungkidul merupakan kabupaten yang paling tertinggal. Tabel 1.2 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2006 hingga 2012, Kabupaten Gunungkidul merupakan kabupaten dengan pertumbuhan
2
ekonomi terendah. Tahun 2006 Kabupaten Gunungkidul menempati peringkat ke empat, dengan peringkat terbawah adalah Kabupaten Bantul. Hal tersebut dikarenakan pada tahun tersebut terjadi bencana alam gempa bumi dengan dampak terparah berada di Kabupaten Bantul. Tahun 2009 dan 2010 Kabupaten Kulonprogo menduduki peringkat terendah dalam pertumbuhan ekonomi diantara kabupaten dan kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Melambatnya laju pertumbuhan Kabupaten Kulonprogo ini disebabkan karena melambatnya pertumbuhan pada sektor pertanian dan sektor jasa-jasa yang mempunyai kontribusi yang dominan pada total pembentukan PDRB. Sehingga melambatnya kedua sektor tersebut berpengaruh pada pertumbuhan secara keseluruhan. Namun pada tahun 2011 dan 2012 Kabupaten Gunungkidul kembali menduduki peringkat terendah dalam pertumbuhan ekonomi diantara kabupaten dan kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tabel 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten / Kota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2006 – 2012 (%) Kabupaten / Kota Tahun Kabupaten
Kota
Kabupaten
Kabupaten
Kabupaten
Sleman
Yogyakarta
Bantul
2006
4,50
3,97
2,02
4,05
3,82
2007
4,61
4,46
4,52
4,12
3,91
2008
5,13
5,12
4,90
4,71
4,39
2009
4,48
4,46
4,47
3,97
4,14
2010
4,49
4,98
4,97
3,06
4,15
2011
5,19
5,64
5,27
4,95
4,33
2012
5,45
5,76
5,34
5,01
4,84
Kulonprogo Gunungkidul
Sumber : Noviana, 2014 Salah satu faktor penyebab ketertinggalan Kabupaten Gunungkidul tersebut ialah karena kondisi di Kabupaten Gunungkidul yang didominasi oleh bentang lahan Karst dengan jenis batuan berupa batuan kapur. Kondisi tersebut mengakibatkan Kabupaten Gunungkidul memiliki sistem drainase yang unik yang 3
didominasi oleh sistem drainase bawah permukaan. Air hujan yang jatuh ke permukaan tidak dapat tertahan, namun sebagian besar akan langsung masuk ke jaringan sungai bawah tanah melalui ponor atau inlet. Hal tersebut mengakibatkan pada musim kemarau ketersediaan air untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat di Kabupaten Gunungkidul sering tidak mencukupi. Kondisi eksisting Kabupaten Gunungkidul tersebut juga berdampak pada sektor pertanian. Para petani hanya dapat menanam tanaman pertanian lahan basah pada musim penghujan dengan memanfaatkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman. Sedangkan pada musim kemarau para petani hanya dapat menanam tanaman pertanian lahan kering yang hanya memerlukan sedikit air. Namun sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.3 sektor pertanian merupakan sektor yang masih dominan dalam kontribusinya terhadap PDRB Kabupaten Gunungkidul. Pada periode 2009 hingga 2011 sektor pertanian memberikan kontribusi hampir 40% dari total PDRB Kabupaten Gunungkidul. Hal tersebut memperlihatkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor utama penopang perekonomian Kabupaten Gunungkidul. Dengan karakteristik wilayah yang didominasi bentang lahan Karst dan keterbatasan sumberdaya air yang ada maka perlu adanya pendekatan atau strategi khusus dalam pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Gunungkidul. Hal tersebut bertujuan agar sektor pertanian di Kabupaten Gunungkidul dapat menjadi pengungkit pertumbuhan dan perkembangan perekonomian mengingat kontribusinya yang cukup besar terhadap PDRB Kabupaten Gunungkidul. Tabel 1.3. Distribusi Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Gunungkidul menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2009 – 2011 (%) No
Lapangan Usaha
2009
2010
2011
1
Pertanian
39,79
38,08
36,70
2
Pertambangan dan Penggalian
1,75
1,76
1,86
3
Industri Pengolahan
10,67
11,06
11,47
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
0,56
0,57
0,57
5
Konstruksi
8,19
8,39
8,63
4
No
Lapangan Usaha
2009
2010
2011
6
Perdagangan, Hotel dan Restoran
14,63
14,92
14,93
7
Pengangkutan dan Komunikasi
6,88
7,05
7,11
8
Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan
4,55
4,80
5,08
9
Jasa – jasa
12,98
13,37
13,65
100
100
100
Total Sumber : BPS Kabupaten Gunungkidul, 2012
Salah satu kebijakan pengembangan sektor pertanian yang diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul ialah melalui pengembangan sektor pertanian dalam arti luas, yaitu dengan pengembangan sub sektor perikanan. Pengembangan sub sektor perikanan ini dilaksanakan dengan konsep Minapolitan. Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak sektor kelautan dan perikanan dalam rangka peningkatan pendapatan rakyat (KKP, 2013). Sejak tahun 2009 kebijakan ini mulai dilaksanakan yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati
Gunungkidul
nomor
40/KPTS/2009
tentang
Penetapan
Lokasi
Pengembangan Kawasan Minapolitan. Kebijakan ini kemudian diperkuat oleh pemerintah pusat melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.41/MEN/2009 tentang Penetapan Lokasi Minapolitan dimana Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu diantaranya. Pengembangan program Minapolitan ini bertujuan untuk membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Gunungkidul pada sub sektor perikanan pada khususnya dan sektor pertanian pada umumnya. Dengan begitu diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antara Kabupaten Gunungkidul dengan kabupaten atau kota lainnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehingga dapat menahan laju urbanisasi dari Kabupaten Gunungkidul ke kabupaten atau kota lainnya dan lebih memilih untuk bekerja di daerahnya sendiri. Dengan kata lain daerah tidak kehilangan penduduk usia produktif yang merupakan tulang punggung utama dalam pembangunan daerah.
5
1.2. Rumusan Masalah Pengembangan sektor perikanan dengan salah satu programnya yaitu pelaksanaan Minapolitan telah berjalan beberapa tahun dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Ketersediaan air menjadi tantangan utama dalam pelaksanaan program ini. Air merupakan habitat ikan untuk dapat terus bertahan hidup. Sedangkan ketersediaan air di Kabupaten Gunungkidul tidaklah melimpah. Selain itu dukungan sarana dan prasarana yang memadai diperlukan oleh tenaga kerja sub sektor perikanan agar didapatkan hasil yang optimal. Ketersediaan pakan yang terjangkau juga merupakan salah satu masalah klasik yang dihadapi oleh pembudidaya. Dengan beberapa tantangan yang ada seberapa jauhkah sub sektor perikanan di Kabupaten Gunungkidul dapat mencapai tujuannya untuk dapat membuka lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan pendapatan daerah. Penelitian ini memberikan gambaran tentang bagaimana perkembangan dan kontribusi sub sektor perikanan terhadap perekonomian daerah dan kesempatan kerja di Kabupaten Gunungkidul. Secara rinci rumusan permasalahan dapat dilihat pada pertanyaan berikut : 1. Bagaimana
perkembangan sub sektor perikanan di Kabupaten
Gunungkidul? 2. Bagaimana perubahan wilayah basis sub sektor perikanan di Kabupaten Gunungkidul? 3. Seberapa besar kontribusi sub sektor perikanan terhadap perekonomian Kabupaten Gunungkidul? 4. Seberapa besar penyerapan tenaga kerja sub sektor perikanan di Kabupaten Gunungkidul?
6
1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perkembangan sub sektor perikanan di Kabupaten Gunungkidul. 2. Mengetahui perubahan wilayah basis sub sektor perikanan di Kabupaten Gunungkidul. 3. Mengetahui kontribusi sub sektor perikanan terhadap perekonomian Kabupaten Gunungkidul. 4. Mengetahui penyerapan tenaga kerja sub sektor perikanan di Kabupaten Gunungkidul.
1.4. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada tingkat sarjana Strata 1 di Fakultas Geografi UGM. 2. Diharapkan
hasil
penelitian
dapat
digunakan
sebagai
bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan pembangunan daerah. 3. Sebagai bahan masukan untuk perbaikan penyelenggaran program sub sektor perikanan di Kabupaten Gunungkidul. 4. Penelitian ini merupakan sumbangsih penulis terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, terutama Ilmu Geografi.
1.5. Studi Empiris Terdapat penelitian sebelumnya yang hampir serupa dengan penelitian ini. Tabel 1.4. menyajikan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini.
7
Tabel 1.4. Penelitian Sebelumnya No 1
Nama (Tahun) Hendy Gita Werdhatama (2010)
2
Venny Tri Kustanti (2011)
3
Prapanjanu Gilang Raditya (2015)
Judul Dampak Bencana Lumpur Sidoarjo terhadap Ekonomi Daerah Kabupaten Sidoarjo
Metode - Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi - ICOR - Analisis Struktur Ekonomi - Analisis Shift Share Peranan Industri Bambu terhadap Perluasan - Uji statistik T-Test Kesempatan Kerja dan Distribusi Pendapatan - Uji Multiplier (Studi Kasus Desa Sendangagung, Minggir) Effect - Indeks Gini
Perkembangan dan Kontribusi Sub Sektor Perikanan terhadap Ekonomi Daerah dan Kesempatan Kerja di Kabupaten Gunungkidul tahun 2007 - 2011
- Analisis Deskriptif - Location Quotient - Analisis Struktur Ekonomi Wilayah - Analisis Elastisitas Kesempatan Kerja
Hasil - Bencana Lumpur Sidoarjo memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perekonomian daerah Kabupaten Sidoarjo - Terjadi perubahan struktur ekonomi di Kabupaten setelah terjadi bencana Lumpur Sidoarjo
- Kegiatan industri bambu mempunyai pengaruh besar dalam merangsang munculnya kegiatan ekonomi lain. - Semakin tinggi hasil produksi semakin luas kesempatan kerja - Terjadi ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga antar pengusaha - Pertumbuhan PDRB dan tenaga kerja sub sektor perikanan cenderung meningkat. - Wilayah basis sub sektor perikanan di bertambah dari 4 kecamatan menjadi 8 kecamatan. - Kontribusi sub sektor perikanan di baik terhadap sektor pertanian maupun total PDRB cenderung masih kecil dan mengalami penurunan. - Penyerapan tenaga kerja sub sektor perikanan l tidak mengalami peningkatan yang signifikan
8
1.6. Tinjauan Pustaka 1.6.1
Ilmu Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari hubungan kausal gejala-gejala di
muka bumi dan peristiwa peristiwa yang terjadi di muka bumi, baik yang fisik maupun yang menyangkut makhluk hidup beserta permasalahannya melalui pendekatnn keruangan, ekologi, dan regional untuk kepentingan program, proses, dan keberhasilan pembangunan. Konteks geografi ternyata membicarakan dan membahas tentang aspek kehidupan manusia dengan segala perilakunya serta gejala fisik yang terjadi dalam ruang tersebut. Pengertian ruang merupakan suatu tempat yang mewujudkan keberadaan dirinya yang bersifat fisik ataupun yang bersifat hubungan-hubungan sosial serta memiliki perbedaan dan persamaan aspek kehidupan yang ada dalam ruang tersebut. Ruang mencerminkan adanya hubungan fungsional antara gejala obyek-obyek yang ada dalam ruang itu sendiri. Sebab itulah diperlukan analisis keruangan dalam rangka mengkaji gejala-gejala yang mill dalam rlmng (space). Space terdiri dari: (1) physical space dan (2) social space. Dalam hal mengkaji perbedaan-perbedaan dan persamaanpersamaan yang ada dalam ruang dengan segala obyeknya merupakan tugas geografi. Pada perkembangan terakhir, ilmu Geografi tidak lagi membedakan elemen fisik dan non-fisik dalam pendekatannya, tetapi lebih ditekankan pada metode analisanya. Atas sifat dasar tersebut diatas, maka dikembangkan tiga pendekatan utama yaitu pendekatan keruangan, pendekatan ekologi, dan pendekatan kompleks regional. Dalam pendekatan ini, perpaduan antara elemen – elemen geografi merupakan ciri khasnya, oleh karena itu dinamakan geografi terpadu (Bintarto dan Surastopo, 1978). Pada dasarnya, keaktifitasan manusia ditengah-tengah lingkungannya dapat dibedakan dalam tiga bidang yaitu aktivitas di bidang usaha, keluarga dan sosial kemasyarakatan. Yang paling menonjol dari ketiga aktivitas tersebut adalah aktivitas di bidang usaha karena berhubungan dengan usaha manusia mempertahankan hidupnya serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya (Bintarto, 1983).
9
Adanya aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka terbentuklah suatu hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Di dalam studi geografi terdapat dua pandangan yang menerangkan tentang hubungan manusia dengan lingkungannya, yaitu pandangan determinisme dan pandangan posibilisme.
Pandangan
determinisme
menjelaskan
bahwa
lingkungan
berpengaruh besar terhadap perilaku manusia, sedangkan pandangan posibilisme menjelaskan bahwa perilaku manusia mempengaruhi lingkungannya. Aktivitas pertanian dan non-pertanian adalah salah satu aktifitas manusia dibidang usaha. Aktivitas manusia yang beragam pada prinsipnya merupakan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya baik secara fisik maupun non-fisik.
1.6.2
Pembangunan Wilayah Perencanaan pembangunan wilayah menurut Nugroho dan Dahuri (2012)
adalah suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan
ekonomi
dan
program
pembangunan
yang
di
dalamnya
mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan. Suatu perencanaan yang ideal menurut Nugroho dan Dahuri (2012) hendaknya memuat sifat – sifat berikut : 1. Sifat perspektif yaitu implikasi dari landasan teori yang digunakan. Bila perencanaan
lebih
bersifat
deskriptif
maupun
eksplanatif
akan
menimbulkan hambatan dan keterbatasan dalam penerapan sehingga mengurangi validitasnya. 2. Sifat futuristik yaitu memuat pesan bahwa perencanaan mampu berhadapan dengan resiko – resiko dan ketidakmenentuan di masa yang akan datang. 3. Sifat antisipatif yaitu menunjukkan bahwa perencanaan harus mampu memfasilitasi dan menyelesaikan berbagai fenomena yang dihadapi. Kebijakan pembangunan (development policy) ialah suatu pendekatan untuk menangkap isu – isu yang lebih spesifik dalam rangka merealisasikan
10
tujuan atau sasaran pembangunan (Nugroho dan Dahuri, 2012). Program pembangunan (development program) ialah rumusan implementasi dari kebijakan pembangunan yang beroperasi lebih spesifik di setiap wilayah (Nugroho dan Dahuri, 2012). Kebijakan pembangunan pada dasarnya merupakan rumusan dari kesepakatan atau kompromi – kompromi kepentingan atau harapan seluruh stakeholder yang diwujudkan dalam suatu keputusan atau peraturan (Nugroho dan Dahuri, 2012). Dalam setiap kebijakan ekonomi, setidaknya ditemukan tiga motivasi atau tujuan penting yang mendasarinya yaitu meningkatkan kesempatan kerja (job creation), memperbaiki fiskal (fiscal improvement), serta pembangunan daerah miskin (Nugroho dan Dahuri, 2012). Pendekatan program pengembangan masyarakat menurut Nugroho dan Dahuri (2012) yaitu : 1. Self-help approach yaitu pendekatan yang mementingkan lebih kepada proses dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. 2. Technical approach yaitu pendekatan yang mementingkan hasil dan keterlibatan agen pembangunan untuk merumuskan segala sesuatu yang dibutuhkan masyarakat. Keberhasilan pembangunan suatu daerah ternyata dapat menghambat perkembangan daerah lain. Hal ini disebut dengan backwash effect. Backwash effect menurut Myrdal (1957, dalam Arsyad, 1999) adalah semua perubahan – perubahan yang dirugikan karena adanya ekspansi ekonomi dari suatu daerah. Capaian pembangunan yang baik pada suatu daerah juga dapat memberikan dampak yang positif terhadap daerah lain. Hal ini dikenal disebut dengan spread effect. Spread effect menurut Myrdal (1957, dalam Arsyad, 1999) adalah pengaruh yang menguntungkan karena adanya ekspansi ekonomi suatu daerah ke daerah di sekitarnya. Pembangunan yang baik hendaknya pembangunan yang berkeadilan yakni pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh semua daerah. Sehingga tidak terjadi ketimpangan antar daerah pada wilayah tersebut.
11
1.6.3
Perikanan Berdasarkan UU nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan atas UU nomor
31 tahun 2004 Tentang Perikanan yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Sedangkan berdasarkan BPS dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia tahun 2009 yang termasuk dalam sektor perikanan adalah kegiatan usaha yang mencakup penangkapan dan budidaya ikan jenis crustacea (seperti udang, kepiting), moluska, dan biota air lainnya di laut, air payau dan air tawar. Sumberdaya perikanan termasuk kepada kelompok sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resource). Meskipun demikian dalam pemanfaatan sumberdaya ini harus rasional sebagai usaha untuk menjaga keseimbangan produksi dan kelestarian sumberdaya. Hal ini perlu adanya penegasan karena sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources) dalam artian hak properti atas sumberdaya tersebut dipegang secara bersama
–
sama
sehingga
tidak
ada
larangan
bagi
siapapun
untuk
memanfaatkannya. Secara garis besar, sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan melalui penangkapan ikan (perikanan tangkap) dan budidaya ikan. Sehingga usaha perikanan merupakan semua kegiatan yang dilakukan secara perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil dan mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan (Monintja, 2001).
1.6.4
Minapolitan Minapolitan terdiri dari kata mina dan kata politan (polis). Mina berarti
ikan dan Politan berarti kota, sehingga Minapolitan dapat diartikan sebagai kota perikanan atau kota di daerah lahan perikanan atau perikanan di daerah kota (KKP, 2009).
12
Dalam pedoman umum pengembangan kawasan minapolitan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya nomor KEP45/ DJ-PB/ 2009, yang dimaksud dengan minapolitan adalah kota perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya system dan usaha perikanan serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan ekonomi daerah sekitarnya. Kota perikanan dapat merupakan kota menengah, atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota perdesaan atau kota nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa‐desa hinterland atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagi pusat pelayanan sektor perikanan, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha perikanan (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa pelayanan dll (KKP, 2009). Kota perikanan (minapolitan) berada dalam kawasan pemasok hasil perikanan (sentra produksi perikanan) yang mana kawasan tersebut memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencarian dan kesejahteraan masyarakatnya. Selanjutnya kawasan perikanan tersebut (termasuk kotanya) disebut dengan kawasan minapolitan (KKP, 2009). Pengertian tersebut kemudian diperbaharui melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 18 tahun 2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan dimana minapolitan diartikan sebagai konsepsi pembangunan kelautan dan perikanan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi, berkualitas dan percepatan. Prinsip-prinsip tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) Prinsip Integrasi Diharapkan dapat mendorong agar pengalokasian sumberdaya pembangunan direncanakan dan dilaksanakan secara menyeluruh atau holistik
dengan
mempertimbangkan
kepentingan
dan
dukungan
stakeholders, baik instansi sektoral, pemerintahan pusat dan daerah, kalangan dunia usaha maupun masyarakat. Kepentingan dan dukungan 13
tersebut dibutuhkan agar program dan kegiatan percepatan peningkatan produksi didukung sarana produksi, permodalan, teknologi, sumberdaya manusia, prasarana yang memadai, dan sistem manajemen yang baik.
b) Prinsip Efisiensi Pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus dilaksanakan secara efisien agar pembangunan dapat dilaksanakan dengan biaya murah namun mempunyai daya guna tinggi. Dengan konsep minapolitan pembangunan infrastruktur dapat dilakukan secara efisien dan pemanfaatannya pun diharapkan akan lebih optimal. Selain itu prinsip efisiensi diterapkan untuk mendorong agar sistem produksi dapat berjalan dengan biaya murah, seperti memperpendek mata rantai produksi, efisiensi, dan didukung keberadaan
faktor-faktor
produksi
sesuai
kebutuhan,
sehingga
menghasilkan produk-produk yang secara ekonomi kompetitif.
c) Prinsip Berkualitas Pelaksanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan harus berorientasi pada kualitas, baik sistem produksi secara keseluruhan, hasil produksi, teknologi maupun sumberdaya manusia. Dengan konsep minapolitan pembinaan kualitas sistem produksi dan produknya dapat dilakukan secara lebih intensif.
d) Prinsip Percepatan Percepatan diperlukan untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara kompetitor, melalui peningkatan market share produk-produk kelautan dan perikanan Indonesia tingkat dunia.
Menurut KKP (2011), suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai Kawasan Minapolitan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Kesesuaian dengan Rencana Strategis, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan atau Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
14
pulau Kecil (RZWP-3K) kabupaten / kota, serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang telah ditetapkan.
2. Memiliki komoditas unggulan di bidang kelautan dan perikanan dengan nilai ekonomi tinggi, meliputi : a. Keberadaan komoditas unggulan, yaitu melimpah atau dapat dibudidayakan dengan baik dengan prospek pengembangan tinggi di masa depan. b. Nilai perdagangan komoditas tinggi dengan pertimbangan sebagai berikut : i. Memiliki pasar : lokal, nasional dan internasional. ii. Volume atau kemampuan produksi tinggi : dapat atau berpotensi memenuhi permintaan pasar. iii. Tingkat produktivitas tinggi: kemampuan pemanfaatan teknologi untuk mencapai tingkat produktivitas tinggi atau dapat
dikembangkan
sehingga
secara
ekonomi
menguntungkan. iv. Jumlah pelaku utama/usaha perikanan relatif besar atau sebagian besar penduduk setempat bekerja di kawasan tersebut. v. Mempunyai keunggulan komparatif : mempunyai nilai lebih karena keberadaan komoditas, iklim, SDM, dan ongkos produksi murah. vi. Mempunyai keunggulan kompetitif : produk berkualitas dan sistem pemasaran efektif.
3. Letak geografis kawasan yang strategis dan secara alami memenuhi persyaratan untuk pengembangan produk unggulan kelautan dan perikanan, meliputi : a. Lokasi kawasan strategis. i. Jarak dan sistem transportasi.
15
ii. Mempunyai akses terhadap jaringan pengadaan bahan baku, pengolahan, dan pemasaran (mata rantai pemasokan – supply chain). b. Kawasan yang secara alami cocok untuk usaha kelautan dan perikanan. i. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan. ii. Kesesuaian lahan dan potensi sumber daya air. iii. Sarana dan prasarana perikanan (Pelabuhan Perikanan, BBI, cold storage, pabrik es dll). iv. Dekat dengan fishing ground. v. Sentra produksi garam. vi. Sentra pengolahan dan pemasaran.
4. Terdapat unit produksi, pengolahan, dan atau pemasaran dan jaringan usaha yang aktif berproduksi, mengolah dan atau memasarkan yang terkonsentrasi di suatu lokasi dan mempunyai mata rantai produksi pengolahan dan atau pemasaran yang saling terkait, meliputi : a. Sistem dan mata rantai produksi perikanan budidaya. i. Keberadaan sejumlah unit produksi ikan budidaya yang aktif berproduksi dan terkonsentrasi di sentra produksi. ii. Mata rantai produksi : 1. Keberadaan sarana atau lahan produksi: kolam dan tambak yang luas. 2. Fasilitas pengairan yang baik dan mencukupi atau potensi pengairan yang mungkin dikembangkan. 3. Ketersediaan kemungkinan
benih
berkualitas
pengadaan
benih
tinggi
atau
dengan
harga
murah. 4. Ketersediaan pakan dan obat-obatan murah.
16
5. Telah diterapkan sistem budidaya yang baik sehingga tingkat produksinya cukup tinggi dan berkualitas. 6. Keterlibatan
pembudidaya
dan
para
pekerja
setempat. 7. Sistem distribusi dan pemasaran yang telah berjalan dengan baik atau dapat segera dikembangkan lebih baik. 8. Sentra produksi mempunyai skala usaha layak secara ekonomi dan multiplier effect terhadap perekonomian di daerah sekitarnya. b. Sistem dan mata rantai produksi perikanan tangkap. i. Keberadaan sejumlah kapal ikan yang aktif berproduksi dan mendaratkan hasil tangkapannya di lokasi tersebut. ii. Mata Rantai Produksi : 1. Hasil tangkapan yang cukup besar dan mempunyai skala ekonomi cukup tinggi. 2. Keberadaan sarana tambat, air bersih, tempat pendaratan ikan dan tempat pelelangan ikan yang memadai. 3. Sistem bongkar muat yang memadai atau mungkin dikembangkan dalam waktu dekat. 4. Keterlibatan nelayan dan para pekerja setempat. 5. Kegiatan
di
lokasi/pelabuhan
perikanan/TPI
mempunyai skala ekonomi dan multiplier effect terhadap perekonomian di sekitarnya. 6. Sistem distribusi dan pemasaran telah berjalan dengan baik atau dapat segera dikembangkan lebih baik.
17
7. Sentra produksi mempunyai skala usaha layak secara ekonomi dan multiplier effect terhadap perekonomian di daerah sekitarnya. c. Sistem dan mata rantai produksi hilir. i. Keberadaan
unit-unit
pengolahan
atau
potensi
pengembangannya dalam waktu dekat. ii. Keberadaan kelembagaan/SDM pengawasan mutu. iii. Sistem tata niaga produk hasil olahan dan fasilitas pendukungnya. iv. Keberadaan fasilitas pasar atau sistem pemasaran produk. v. Sistem dan sarana distribusi (logistik) produk di dalam maupun di luar kawasan.
5. Tersedianya fasilitas pendukung berupa aksesibilitas terhadap pasar, permodalan, sarana dan prasarana produksi, pengolahan dan atau pemasaran, keberadaan lembaga-lembaga usaha, dan fasilitas penyuluhan dan pelatihan, meliputi : a. Permodalan : aksesibilitas modal bagi nelayan, pembudidaya ikan, serta pengolah dan pemasar ikan. b. Kelembagaan : lembaga pemerintahan daerah. c. Lembaga usaha : koperasi, kelompok usaha atau usaha skala menengah dan atas. d. Penyuluhan dan pelatihan : lembaga dan SDM Penyuluhan dan Pelatihan. e. Prasarana pengairan : keberadaan jaringan pengairan (budidaya) utama / primer, sekunder atau lainnya sebagai pendukung sistem pengairan di kawasan. f. Energi : jaringan listrik yang memadai. g. Teknologi tepat guna : Penerapan teknologi tepat guna yang mampu meningkatkan daya saing.
18
6. Kelayakan lingkungan diukur berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, potensi dampak negatif, dan potensi terjadinya kerusakan di lokasi di masa depan, meliputi : a. Kondisi sumberdaya alam (daya dukung dan daya tampung). b. Dampak atau potensi dampak negatif terhadap lingkungan. c. Sesuai tata ruang daerah dan nasional.
7. Komitmen daerah, berupa kontribusi pembiayaan, personil, dan fasilitas pengelolaan dan pengembangan minapolitan, meliputi : a. Sesuai Renstra dan Tata Ruang Daerah
(RTRW Kabupaten /
Kota), RTRW Provinsi dan RTRW Nasional. b. Mempertimbangan Rencana Zonasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP-3-K). c. Masuk dalam RPJM. d. Ditetapkan oleh Bupati / Walikota. e. Penyusunan Rencana Induk dan Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM). f. Kontribusi anggaran APBD atau sumber dana lain yang sah. g. Keberadaan kelembagaan dinas yang membidangi kelautan dan perikanan dengan dukungan SDM yang memadai. h. Berkoordinasi dengan provinsi dan pusat.
8. Keberadaan kelembagaan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan, meliputi : a. Keberadaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yaitu dinas yang bertanggung jawab di bidang kelautan dan perikanan. b. Kelompok
kerja
yang
menangani
pengembangan
kawasan
minapolitan.
9. Ketersediaan data dan informasi tentang kondisi dan potensi kawasan, meliputi :
19
a. Mempunyai data dan informasi mengenai sumber daya kelautan dan perikanan serta data dan informasi terkait. b. Mempunyai sistem pencatatan data statistik dan geografis di bidang kelautan dan perikanan.
Syarat suatu daerah untuk dapat melaksanakan program Minapolitan (PU, 2012) adalah sebagai berikut : a) Penyusunan masterplan pengembangan Kawasan Minapolitan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat yang akan menjadi acuan bagi setiap wilayah / provinsi. Masterplan disusun berdasarkan jangka waktu tertentu dan mencakup rencana – rencana sarana dan prasarana. b) Penetapan lokasi Minapolitan yang diusulkan oleh Kabupaten kepada Provinsi. Usulan harus didahului dengan identifikasi potensi lokasi, antara lain sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan dan iklim usaha. c) Sosialisasi program pengembangan Kawasan Minapolitan yang dilaksanakan seluruh stakeholder terkait di tingkat pusat maupun daerah sehingga lebih terpadu dan terintegrasi. d) Pendampingan pelaksanaan program oleh pemerintah yang juga berperan sebagai fasilitator. Sedangkan masyarakat ditempatkan sebagai pelaksana utama dalam pelaksanaan pengembangan Kawasan Minapolitan. e) Pembiayaan program yang pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat dalam hal ini petani / nelayan, penyedia mina, pengelola hasil, pemasar dan penyedia jasa. Dana stimulans yang difasilitasi pemerintah bertujuan untuk membiayai prasarana dan sarana yang bersifat publik dan strategis. f) Usulan indikasi program / kegiatan di kawasan Minapolitan harus dimasukkan dalam Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten.
20
Tujuan dari pengembangan kawasan Minapolitan (PU, 2012) adalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan produksi, produktivitas, serta kualitas dari komoditas kelautan, perikanan budidaya dan produk olahannya. 2. Mengembangkan sistem minabisnis. 3. Mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan Minapolitan. 4. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata, khususnya para nelayan, pembudidaya ikan, dan pengolah ikan. Untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut, disusunlah strategi utama pembangunan sektor kelautan dan perikanan melalui Minapolitan (PU, 2012) antara lain : 1. Penguatan lembaga dan sumberdaya manusia secara terintegrasi. 2. Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. 3. Peningkatan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan. 4. Perluasan akses pasar domestik dan internasional. Sebagai upaya percepatan, strategi utama direalisasikan melalui langkah – langkah strategis berikut : 1. Kampanye Nasional melalui media massa, komunikasi antar lembaga, ataupun pameran. 2. Menggerakkan produksi, pengolahan, dan atau pemasaran di sentra produksi unggulan pro usaha kecil di bidang perikanan tangkap, perikanan budidaya serta pengolahan dan pemasaran 3. Mengintegrasikan sentra produksi pengolahan dan atau pemasaran menjadi kawasan ekonomi unggulan daerah menjadi Kawasan Minapolitan. 4. Pendampingan usaha dan bantuan teknis di sentra produksi, pengolahan, dan atau pemasaran unggulan berupa penyuluhan, pelatihan dan bantuan teknis. 5. Pengembangan sistem ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah. Sebagai sebuah kawasan ekonomi unggulan, Kawasan Minapolitan memiliki karakteristik tersendiri (PU, 2012) yaitu : 1. Memiliki sentra produksi, pengolahan, dan atau pemasaran dan kegiatan usaha lainnya, seperti jasa pelayanan dan perdagangan.
21
2. Memiliki sarana dan prasarana sebagai pendukung aktivitas ekonomi. 3. Menampung dan mempekerjakan sumberdaya manusia di dalam Kawasan Minapolitan dan daerah sekitarnya. 4. Mempunyai dampak positif terhadap perekonomian di daerah sekitarnya. Pengembangan Kawasan Minapolitan harus melalui mekanisme pengajuan terlebih dahulu. Prosedur pengajuan lokasi Kawasan Minapolitan menurut PU (2012) adalah sebagai berikut : 1. Usulan dari kabupaten oleh Pemerintah Provinsi. Pemerintah Kabupaten mengajukan usulan mengenai Kawasan Minapolitan. Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten telah melakukan identifikasi potensi dan permasalahan terlebih dahulu. Isentifikasi potensi dan masalah dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan potensi lokal, yaitu komoditas unggulan. Lokasi Kawasan Minapolitan yang berada di dalam kawasan Kabupaten ditetapkan oleh Bupati atau Walikota. 2. Pemerintah Pusat menilai kesiapan lokasi untuk dapat dikembangkan sebagai Kawasan
Minapolitan.
Penilaian
dilakukan
berdasarkan
kelengkapan
persyaratan administrasi, berupa dokumen perencanaan yang terdiri dari SK lokasi, SK Pokja, Masterplan, RPIJM, DED, serta potensi lokasi kawasan yang diusulkan. 3. Pengembangan Kawasan Minapolitan yang diusulkan dapat dipenuhi jika telah memenuhi kondisi sebagai berikut : a.
Apabila kelengkapan administrasi dan potensi kawasan yang diusulkan telah memenuhi persyaratan dalam butir nomor 2.
b.
Apabila kelengkapan administrasi belum terpenuhi semua, tetapi kawasan yang diusulkan memenuhi potensi yang baik dilihat dari profil kawasan tersebut. Kawasan ini akan diberi kesempatan untuk melengkapi kekurangan persyaratan administrasi dalam waktu 1 tahun. Apabila dalam kurun waktu 1 tahun belum terlengkapi, dana bantuan pembangunan pada tahun berikutnya akan dihentika untuk sementara. Setelah adanya pengajuan tentang usula lokasi Kawasan Minapolitan yang
akan dikembangkan, dilaksanakan penilaian atau pemilihan kawasan (PU, 2012).
22
Penilaian atau pemilihan kawasan tersebut dengan mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Program – program pengembangan kawasan dari departemen atau badan yang memiliki keterkaitan lingkup kegiatan (tupoksi) dengan pengembangan kawasan berbasis minabisnis. 2. Komoditas unggulan sebagai pemicu untuk tumbuh kembangnya kehidupan dan penghidupan dari sektor – sektor komoditi ikutan lainnya. 3. Potensi kabupaten yang akan dikembangkan menjadi Kawasan Minapolitan. Potensi kabupaten merupakan faktor berkembangnya Kawasan Minapolitan. 4. Kawasan
Minapolitan
tidak
ditentukan
oleh
batasan
administrasi
pemerintahan. Namun, prosedur penetapannya dimulai dari penetepan kabupaten terpilih dan basis analisa data berdasakan batas administrasi. Oleh karena itu, proses penilaian Kawasan Minapolitan diawali dengan proses penilaian Kabupaten yang berpotensi untuk mendapatkan kawasan terpilih. 5. Kawasan Minapolitan merupakan satu kesatuan kawasan perdesaan yang terdiri dari desa pusat dan desa – desa hinterland-nya yang diindikasikan oleh adanya hubungan fungsional antara kegiatan di desa pusat dengan di desa hinterland-nya. 6. Kawasan Minapolitan yang diusulkan sudah menetapkan struktur ruang hirarki kawasan. 7. Memiliki sistem kelembagaan dan sistem pengelolaan yang mendukung berkembangnya Kawasan Minapolitan. 8. Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dengan diterbitkannya SK penetapan kawasan dari Bupati atau dana sharing dari pemerintah daerah setempat. 9. Persyaratan pengembangan Kawasan Minapolitan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi Kawasan Minapolitan.
1.6.5
Ekonomi Daerah Todaro
pembangunan
dalam ekonomi
Arsyad
(1999)
ditunjukkan
mengatakan
oleh
tiga
nilai
bahwa pokok
keberhasilan yaitu
(1)
23
berkembangnya kemampuan masyaraka untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebaga manusia, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Berdasarkan ketiga nilai pokok tersebut, maka dapat dikatakan pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar bagaimana menaikkan PDB per tahun saja, tetapi juga bagaimana mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya. Menurut
Arsyad
(1999)
pembangunan
ekonomi
pada
umumnya
didefiniskan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Sedangkan, pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan PDB/PNB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Arsyad (1999) membagi daerah ke dalam tiga pengertian dari aspek ekonomi, yaitu: 1. Suatu daerah dianggap sebagai ruang dimana kegiatan ekonomi terjadi dan di dalam berbagai pelosok ruang tersebut terdapat sifat-sifat yang sama. Kesamaan sifat-sifat tersebut antara lain dari segi pendapatan per kapita, sosial budaya, geografis, dan sebagainya. Daerah dalam pengertian ini disebut daerah homogen. 2. Suatu daerah dianggap sebagai suatu ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi. Daerah dalam pengertian ini disebut daerah nodal. Suatu daerah adalah suatu ekonomi ruang yang berada di bawah satu administrasi tertentu seperti satu provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan, dan sebagainya. Jadi daerah disini didasarkan pada pembagian administratif suatu negara. Daerah dalam pengertian ini disebut daerah perencanaan atau daerah administrasi.
24
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999). Selanjutnya, Arsyad mempertegas bahwa pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses, yaitu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pembangunan industri-industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasarpasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. Dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk merancang dan membangun perekonomian daerah. (Arsyad, 1999) PDRB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi pada suatu daerah. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar. (Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia) PDRB menurut
harga
berlaku
digunakan
untuk
mengetahui
kemampuan sumber daya ekonomi, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu daerah. Sementara itu, PDRB konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi secara riil dari tahun ke tahun atau pertumbuhan ekonomi yang
25
tidak
dipengaruhi
oleh faktor harga. (Departemen Statistik Ekonomi dan
Moneter, Bank Indonesia)
1.6.6
Kesempatan Kerja Dalam ilmu ekonomi, kesempatan kerja berarti peluang atau keadaan yang
menunjukkan tersedianya lapangan pekerjaan, sehingga semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja dalam proses produksi dapat memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahlian, keterampilan dan bakatnya masing-masing. Kesempatan Kerja (demand for labour) adalah suatu keadaan yang menggambarkan ketersediaan pekerjaan (lapangan kerja untuk diisi oleh para pencari kerja). Dengan demikian kesempatan kerja dapat diartikan sebagai permintaan atas tenaga kerja. Menurut Disnakertrans (2002, dalam Kustanti, 2011) kesempatan kerja adalah banyaknya orang yang dapat tertampung untuk bekerja pada suatu perusahaan atau suatu instansi. Kebijakan ketenagakerjaan di sektor perikanan hendaknya memfokuskan secara bersamaan kepada optimalisasi alokasi tenaga kerja dan kesetaraan pengelolaan sumberdaya (Nugroho dan Dahuri, 2012). Secara umum alokasi tenaga kerja sektor perikanan tidak optimal karena sebagian besar kegiatan melaut nelayan masih tergantung musim. Upaya memperbaiki gap seperti ini pada intinya mengenalkan lebih dekat aliran materi dan enenrgi sumberdaya perikanan dan lautan. Pengetahuan tersebut diyakini memberikan pilihan dan peluang lebih banyak untuk mengangkat potensi ekologis manfaat ekonomi. Dengan kata lain, dalam jangka pendek nelayan kecil dapat mengisi masa paceklik dengan aktifitas non lautan sekaligus menghasilkan pendapatan dan tanpa merusak sumberdaya pesisir dan lautan. Kegiatan jasa bahari atau kegiatan spesifik lokal. Sebaliknya dalam jangka menengah dan panjang, kegiatan perikanan menjadi terdiversivikasi dalam produk ikan, hasil-hasil laut lainnya dan produk olahan atau manufaktur. Kegiatan ini diyakini memberi kesempatan kerja yang signifikan di masa mendatang.
26
1.7. Kerangka Pemikiran Pembangunan daerah dewasa ini mulai mengarah pada optimalisasi keunggulan komparatif dan kompetitif daerah masing – masing. Pemerintah daerah diberikan kesempatan untuk menyusun program pembangunan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Perekonomian Kabupaten Gunungkidul sebagian besar masih ditopang oleh sektor pertanian. Namun Kabupaten Gunungkidul memiliki keterbatasan terhadap sumberdaya air. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi atau pendekatan agar sektor pertanian yang selama ini menjadi tulang punggung utama perekonomian Kabupaten Gunungkidul dapat memberikan manfaat yang lebih besar terhadap perekonomian daerah baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Perikanan merupakan salah satu sub sektor dari sektor pertanian. Kabupaten Gunungkidul memiliki potensi dalam pengembangan sub sektor perikanan ini. Terutama dalam pengembangan perikanan lahan kering. Potensi ini kemudian
diakomodasi oleh konsep Minapolitan. Minapolitan adalah konsep
pembangunan kelautan dan perikanan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak sektor kelautan dan perikanan dalam rangka peningkatan pendapatan rakyat (KKP, 2013). Dengan dilaksanakannya program Minapolitan ini diharapkan dapat membuka lapangan kerja baru dan menambah pendapatan daerah Kabupaten Gunungkidul. Hal ini penting untuk menahan laju urbanisasi penduduk dari Kabupaten Gunungkidul menuju kabupaten atau kota lainnya dengan alasan bahwa tidak ada lapangan pekerjaan yang dapat menampung penduduk di daerahnya sendiri. Namun begitu pelaksanaan program Minapolitan ini bukan tanpa kendala. Terbatasnya ketersediaan sumberdaya air menjadi salah satu tantangan utama pelaksanaan program Minapolitan. Penelitian ini berupaya untuk mengetahui perkembangan dan kontribusi sub sektor perikanan terhadap perekonomian daerah dan kesempatan kerja di Kabupaten Gunungkidul. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB dan tenaga kerja. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 1.2.
27
Pembangunan Daerah Kabupaten Gunungkidul Pembangunan Sektor Pertanian Pembangunan Sub Sektor Perikanan
Perkembangan Sub Sektor Perikanan
Perubahan Wilayah Basis Sub Sektor Perikanan
Kontribusi Sub Sektor Perikanan terhadap Ekonomi Daerah
Kontribusi Sub Sektor Perikanan terhadap Kesempatan Kerja
Perkembangan dan Kontribusi Sub Sektor Perikanan terhadap Ekonomi Daerah dan Kesempatan Kerja
Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran Penelitian
1.8. Batasan Operasional Pembangunan adalah suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Dahuri, 2012). Pembangunan wilayah adalah serangkaian upaya untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan (growth), pemerataan (equity), kesejahteraan (welfare), dalam dimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah dalam kerangka menuju pembangunan wilayah yang berkelanjutan (regional sustainable development) (Mutaali, 2011). Kebijakan pembangunan ialah suatu pendekatan untuk menangkap isu – isu yang lebih spesifik dalam rangka merealisasikan tujuan atau sasaran pembangunan (Nugroho dan Dahuri, 2012).
28
Program
pembangunan
ialah
rumusan
implementasi
dari
kebijakan
pembangunan yang beroperasi lebih spesifik di setiap wilayah (Nugroho dan Dahuri, 2012). Minapolitan adalah konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis manajemen ekonomi kawasan dengan motor penggerak sektor kelautan dan perikanan dalam rangka peningkatan pendapatan rakyat (KKP, 2013). Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad, 1999). Sektor Perikanan adalah kegiatan usaha yang mencakup penangkapan dan budidaya ikan jenis crustacea (seperti udang, kepiting), moluska, dan biota air lainnya di laut, air payau dan air tawar (BPS, 2009). Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan PDB atau PNB tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak (Arsyad, 1999). Produk Domestik Regional Bruto adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi pada suatu daerah (Bank Indonesia). Kesempatan kerja adalah banyaknya orang yang dapat tertampung untuk bekerja pada suatu perusahaan atau suatu instansi (Disnakertrans, 2002).
29