BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan laut merupakan elemen penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sumberdaya yang terkandung di dalamnya, baik berupa sumberdaya hayati ataupun non-hayati memiliki peranan yang cukup penting untuk mendukung kehidupan dan perlu upaya untuk dikelola secara berkelanjutan. Dengan luasan area yang mencakup 71 persen dari total luas permukaan bumi (USGS, 2015), pengelolaan perairan laut perlu mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai elemen, baik dari segi elemen fisik lingkungan, kelembagaan, pengembangan ekonomi serta nilai strategis politis yang ada didalamnya. Karakteristik geografis perairan laut menjadi bagian yang cukup menarik untuk dikaji karena merupakan karakter yang tidak dapat diubah, dan perlu dikelola secara cermat guna menghindari kerusakan lingkungan ataupun kerugian lain yang mungkin timbul dari aktifitas manusia. Karakteristik perairan laut dapat berupa letak, bentuk, morfologi dasar perairan serta keragaman lain yang terbentuk secara alami. Perairan laut juga memiliki kedaulatan, yang mana kedaulatan di wilayah perairan laut menjadi penting dalam sejarah peradaban manusia. Sejarah pembagian laut di dunia dapat diruntut pada abad ke-15 ketika Paus yang berkedudukan di Roma, membagi Samudera berdasarkan Piagam Inter Cetera 1493 yang kemudian direvisi melalui perjanjian Tordesilas pada tahun 1494. Dalam perjanjian Tordesilas tertulis bahwa perairan yang berada di bagian timur garis meridian yang melintasi Brasilia merupakan milik dari Kerajaan Portugis, sedangkan perairan yang berada di bagian baratnya merupakan milik dari Kerajaan Spanyol. (Carleton dan Schofield, 2001 dalam Arsana 2007). Sejalan dengan dinamika kekuatan politis di dunia, terutama setelah perang dunia kedua yang diikuti oleh munculnya negara-negara baru di dunia menjadikan pembagian wilayah serta kejelasan batas baik yang berada di
daratan maupun yang berada di lautan menjadi elemen yang cukup penting, sehingga tidak jarang dalam perjalanannya seringkali menimbulkan konflik baik konflik yang bersifat bilateral antara dua negara ataupun konflik yang melibatkan lebih dari dua negara. Batas maritim merupakan salah satu aspek dalam menentukan skema pengelolaan wilayah kepesisiran. Penentuan batas antar wilayah secara langsung akan memberikan kejelasan mengenai kepemilikan serta hak untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang terkandung didalamnya. Penentuan batas maritim sangatlah berbeda dengan penentuan batas di daratan, dimana objek yang dibatasi berada di perairan, sehingga batas tersebut tidak dapat diamati secara langsung di lapangan. Penentuan batas maritim dikenal dengan istilah delimitasi yang dilakukan melalui penentuan batas yang tegas dalam peta yang terdiri dari titik-titik koordinat yang telah disetujui antara wilayah yang berbatasan di laut, dalam hal ini pada lingkup batas antarnegara (Arsana, 2007). Penentuan batas maritim antarnegara menjadi hal yang sangat menarik, terlebih untuk negara pantai (coastal state) dan negara kepulauan (archipelagic state), sehingga tidak jarang dalam penentuan batas maritimnya menimbulkan beragam konflik. Keragaman karakteristik geografis yang ada di bumi menjadikan perlakuan dalam menentukan batas maritim antarnegara harus berkaca pada area yang bersangkutan, apakah batas maritimnya bersebelahan, ataukan berhadapan, batas maritimnya berada di perairan laut, samudera, teluk ataukah di selat. Penentuan batas maritim di laut yang perairannya dikategorikan sebagai perairan tertutup dan semi-tertutup memungkinkan tingginya tumpang-tindih (overlap) batas antar wilayah yang bertetanggaan. Perairan tertutup dan semitertutup dapat didefinisikan sebagai teluk, cekungan atau laut yang dikelilingi oleh dua negara atau lebih yang terhubung oleh perairan lainnya dengan outlet yang sempit atau keseluruhannya terdiri dari perairan teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dari dua atau lebih negara pantai.
Laut China Selatan dikategorikan sebagai laut semi-tertutup di bagian timur benua Asia yang didefinisikan dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) merujuk pada LOS Convention. Laut China Selatan sangatlah tepat dalam definisi tersebut karena dikelilingi oleh 6 negara berbeda yang mencakup Brunei Darussalam, China (termasuk didalamnya Taiwan), Filipina, Indonesia, Malaysia serta Vietnam. Laut China Selatan mencakup area seluas 648.000 nautikal mill persegi, dengan ukuran dua kali dari Laut Jepang (Prescott,1985). Sumberdaya alam di Laut China Selatan sangatlah melimpah, baik berupa sumberdaya laut seperti perikanan ataupun sumberdaya alam lain berupa minyak bumi dan gas alam. Jumlah sedimentary basin menurut Huanting (1999) seperti dikutip oleh Keyuan (2006) menyebutkan terdapat setidaknya lima buah sedimentary basin di bagian utara Laut China Selatan seluas 420.000 km2 yang pada tahun 1997 telah ditemukan 56 titik eksplorasi yang mengandung 700 juta ton minyak bumi serta 310 milyar kubik meter gas alam. Perairan Laut China Selatan sendiri tidak hanya mencakup perairan laut saja, namun dalam areanya juga terdapat blok kepulauan dengan pulau-pulau kecil didalamnya, seperti yang disajikan pada Gambar 1.1 mengenai area cakupan Laut China Selatan.
Gambar 1.1 Kawasan Laut China Selatan Sumber:www.nytimes.com
Berdasarkan beberapa faktor pendorong (push factor) dan penarik (pull factor) yang dimiliki oleh perairan Laut China Selatan tersebut menjadikan potensi konflik di wilayah tersebut semakin tinggi, terlebih ketimpangan kekuatan (power) yang dimiliki oleh negara di kawasan ini juga cukup tinggi, sehingga potensi kekuatan yang lebih tinggi untuk menekan negara dengan kekuatan politis dan ekonomi yang lebih rendah juga akan semakin besar pula, sehingga diperlukan aturan hukum yang berfungsi sebagai acuan pengelolaan maritim secara adil menurut hukum. Aturan hukum yang termuat dalam UNCLOS (United Nations Conventions on the Law of the Sea) bersifat mengikat, dan berlaku di seluruh dunia. Berangkat dari karakteristik Laut China Selatan ini nanti akan diupayakan pendekatan yang paling tepat guna membantu memanajemen konflik yang sedang terjadi (ongoing conflict) di kawasan ini. Selain itu, claimants di kawasan Laut China Selatan juga telah meratifikasi UNCLOS sebagai acuan hukum kemaritiman dunia, sehingga diharapkan penyelesaian konflik kedepanya akan menemukan titik terang.
1.2 Perumusan Masalah Laut China Selatan telah lama menjadi lokus interest dari negara-negara di kawasan yang memicu konflik dan berpotensi mengganggu stabilitas kawasan dan dunia. Sebagai laut semi tertutup (semi-unclosed) yang dikelilingi oleh daratan yang terdiri dari berbagai negara, seperti halnya laut Mediterania, Laut Karibia, Laut Hitam, ataupun Laut Arktik, Laut China Selatan membutuhkan pemahaman secara terperinci guna mengatasi konflik yang ditimbulkan dari sengketa klaim batas perairan laut. Karakteristik perairan yang dikelilingi negara pantai (coastal state) yang saling bersebrangan (opposite) ataupun bersebelahan (adjacent), menjadikan klaim tumpang tindih batas (overlap) batas maritim seperti Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta landas kontinen (continental shelf) sangat tidak mungkin untuk dihindari, ditambah dengan permasalahan belum terselesainnya kepemilikan pulau dan karang yang tersebar di empat gugusan kepulauan di tengah Laut China Selatan, yaitu
kepulauan Spratly (Spratly Islands), kepulauan Pratas (Pratas Islands), Scarborough Shoal dan kepulauan Paracel (Paracel Islands), menjadikan konflik batas maritim di perairan ini semakin kompleks. Klaim atas China memalui U-Shaped Line atau yang dikenal dengan istilah lain Nine-Dash Line, merupakan terminologi yang merujuk pada klaim yang mencakup keseluruhan kepulauan di Laut China Selatan. Menurut Wu (2013), klaim yang dipublikasikan oleh China pada 1 Desember 1947 tersebut memuat sembilan garis yang mencakup hampir keseluruhan Laut China Selatan. Klaim tersebut menjadi kendala dalam tersendiri karena China dengan kekuatan militer yang diterjunkan di perairan tersebut, secara tidak langsung memicu peningkatan konfrontasi antar claimants yang memiliki kekuatan yang lebih kecil. UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 sebagai acuan hukum mengenai pengaturan serta pengelolaan maritim dunia diharapkan dapat membantu menemukan titik terang dari sengketa/ konflik yang berkaitan dengan batas maritim. Terdapat banyak wilayah perairan laut di dunia yang disengketakan dan belum menemukan solusi yang baik bagi pihak-pihak yang bersengketa. Keengganan penyelesaian sengketa dengan dalih mempertahankan kedaulatan wilayahnya harus dilihat dari berbagai aspek, sehingga dokumen penting tentang traktat dimasa lampau menjadi sangat penting dalam pertimbangan pembuatan keputusan penentuan batas maritim. UNCLOS 1982 menjadi acuan hukum internasional kemaritiman secara lengkap mengatur tentang manajemen pengelolaan maritim, penentuan batas maritim, hak dan kewajiban negara pantai (coastal state) serta penjelasan seluk beluk rezim pulau, karang ataupun bentukan yang terdapat di perairan laut lainnya dalam kewenangan mengklaim perairan disekitarnya. Walaupun dalam
UNCLOS
tidak
menyebut
ketentuan
mengenai
bagaimana
membedakan kedaulatan (sovereignty) atas pulau yang berada di tengah perairan laut (offshore islands).
Resolusi konflik yang dijadikan sebagai cara dapat dibagi kedalam berbagai metode. Dengan menemukenali karakteristik konflik yang ada di Laut China Selatan dapat diupayakan jalan resolusi konflik yang paling tepat dengan pertimbangan-pertimbangan yang disesuaikan yang ditemukan di lapangan. Resolusi konflik juga memerlukan pemahaman yang mendalam bagaimana menjembatani faktor politis yang ada di kawasan tersebut dan kemudian diimplementasikan dengan legal perspektif yang nantinya berperan sebagai penentu bagaimana upaya resolusi yang adil tanpa merugikan suatu pihak. Berawal dari tinjauan latar belakang serta gambaran umum permasalahan tersebut, disusun pertanyaan penelitian sebagai panduan dalam pemecahan masalah. Pertanyaan utama dari penelitian ini adalah “Bagaimanakah Implementasi UNCLOS dalam kasus konflik di Laut China Selatan?” Berdasarkan pertanyaan utama tersebut dapat dirinci kedalam pertanyaan yang lebih spesifik diantaranya mencakup: 1. Apakah dasar klaim batas maritim antar negara-negara di Asia Timur dan Asia Tenggara pada konflik Laut China Selatan. 2. Bagaimanakah resolusi konflik yang telah dilakukan serta kendala yang ditemui dalam upaya resolusi konflik di Laut China Selatan. 3. Mengapa UNCLOS dirasa penting sebagai acuan pengelolaan pesisir serta penentuan batas maritim perairan laut di kawasan Laut China Selatan.
1.3 Keaslian Penelitian Latar belakang penelitian yang mengambil studi kasus konflik China Selatan sangatlah beragam, dari hasil pengamatan peneliti, tema kajian konflik Laut China Selatan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang atau dimensi dari berbagai disiplin keilmuan baik sosial maupun fisik. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik mengembangkan tema konflik Laut China Selatan, terlebih untuk literatur yang berangkat dari kajian Geografi yang dirasa masih sangat sedikit, mengingat Geografi dapat menggambarkan secara baik secara
keruangan, ataupun menggabungkan aspek fisik dan sosial politik secara bersamaan,
sehingga
menghasilkan
pemahaman
yang
komprehensif.
Rangkuman dari penelitian terdahulu yang berkenaan dengan tema serupa diantaranya adalah: Penelitian Roy (2013), yang memiliki judul “Managing Conflict in Troubled Waters the Case of the South China Sea” memfokuskan penelitian pada peranan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) sebagai organisasi regional dalam perananya terhadap konflik yang melibatkan 4 negara anggotanya (Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam). Salah satu poin penting yang dalam agenda yang diusung ASEAN adalah menciptakan perdamaian dalam lingkup kawasan dengan ikut serta menjaga stabilitas keamanan dan menghormati kedaulatan anggotanya. Salah satu point penting yang dilakukan ASEAN dengan China adalah kesepakatan yang tertuang pada DOC (Document of Conduct) sebagai respon keprihatinan yang diupayakan ASEAN untuk mencari jalan keluar. DOC yang diinisiasi tahun 2002 tersebut berisi tentang 10 poin penting berkenaan dengan konflik Laut China Selatan. Namun pada kenyataanya, tindakan asertif China pada kepulauan Paracel dan Spratly masih terus berlangsung, sehingga menggambarkan bahwa DOC yang digagas oleh ASEAN dan China tersebut merupakan sebuah produk kesepakatan yang tidak memiliki peran apapun dalam upaya menjaga keamanan kawasan serta mengurangi konfrontasi. China lebih memilih untuk melakukan negosiasi bilateral dibandingkan membawa masalah ini dalam sebuah forum seperti ASEAN. Sehingga Vietnam dan Filipina merupakan anggota yang mendapatkan tekanan yang berat dari pihak China, walaupun dalam hal lain utamanya ekonomi mereka memiliki hubungan yang erat, namun isu sensitif ini bisa muncul menjadi barier tersendiri di kemudian hari. Dalam penelitian ini kelemahan peneliti terletak pada terbatasnya ulasan mengenai peran ASEAN yang cukup sempit, mengingat kekuatan yang dirasa tidak seimbang, peran ASEAN yang sering terpecah sebagai dua kubu sebagai pihak aktif yang secara langsung sebagai
claimants dalam konflik Laut China Selatan serta kubu lain yang cenderung pasif akibat kedekatan hubungan dengan China serta ketidakterlibatannya dalam konflik tersebut. Penelitian San Pablo-Baviera (2012), yang merupakan Profesor pada Ilmu Hubungan Internasional di University of the Philippines, Manila, menyoroti kasus konflik Laut China Selatan dalam hal ketimpangan kekuatan antara China sebagai negara yang memiliki kekuatan terbesar di kawasan tersebut terhadap claimants lain yang memiliki power yang lebih kecil. Dari penelitian yang berjudul “China-ASEAN Conflict and Cooperation in the South China Sea: Managing power asymmetry” ini Aillen berangkat dari konsep ketimpangan kekuatan (the concept of power asymmetry) yang dikembangkan oleh Brantly Womack yang memaparkan; “inevitably creates differences in risk perception, attention and interactive behaviour between states, and can lead to a vicious circle of systemic misperception.” Kedekatan hubungan antara China dengan negara di kawasan ASEAN yang terjalin sejak lama, memngharuskan kehati-hatian dalam memanajemen konflik yang ada. Strategi Malaysia sebagai kekuatan yang lebih kecil dalam kasus ini mengadopsi sistem akomodasi (accommodation) dan enmeshment, Filipina dengan strategi external soft balancing dan institutionalism, serta Vietnam dengan strategi internal balancing, internationalization dan assurance-seeking. Strategi berupa akomodasi (accomodation) yang dilakukan oleh Malaysia adalah dengan menggandeng pemerintah China dalam hal ini. Filipina menggandeng Amerika Serikat dalam upaya soft balancing di kawasan Laut China Selatan, sebagai kekuatasn terbesar, diharapkan kehadiran Amerika akan mengurangi tekanan China kepada Filipina sebagai negara yang memiliki kekuatan yang lebih kecil. Selain itu, Filipina menjalankan strategi institusionalism dengan membawa permasalahan ini ke peradilan internasional (International Court Justice/ IJC) guna mengupayakan resolusi konflik di Laut China Selatan.
Strategi Vietnam mengenai ditunjukkan dengan dimulainya bergabung dengan ASEAN dengan harapan perolehan dukungan untuk mengatasi tindakan asertif China, serta modernisasi peralatan militer yang diperoleh dari penguatan hubungan bilateralnya dengan Russia dan Amerika Serikat. Penelitian ini secara umum belum mengulas bagaimanakah strategi kedepan dalam upaya resolusi konflik yang dapat diusahakan terutama untuk small states dalam konflik Laut China selatan tersebut. Krhovská (2014), yang meneliti tentang sengketa antara Lebanon dan Israel, dalam klaim secara umum memiliki banyak kesamaan dengan kasus yang terjadi di Laut China Selatan. Perairan Mediteran atau Laut Tengah yang juga merupakan perairan semi tertutup yang memiliki potensi konflik yang cukup tinggi, utamanya dengan hal yang berkaitan dengan batas maritim. Lebanon dan Israel merupakan negara di kawasan Asia Barat atau regional politis Timur Tengah yang tidak memiliki hubungan diplomatik, akibat perang yang berkepanjangan antar keduannya yang menganggu hubungan politik bilateral antara Lebanon dan Israel. Klaim di perairan mediteran yang terjadi antara kedua negara tersebut adalah mengenai sengketa Levant Basin yang memiliki kandungan hidrokarbon yang cukup tinggi. Jalur diplomasi antar keduanya cukup sulit untuk dilakukan, sehingga solusi kedepannya harus menyertakan pihak ketiga yang berperan sebagai mediator. Dalam penelitian ini, Hana menjelaskan secara terperinci mengenai perjalanan konflik Levant Basin yang mengerucut setelah survei kandungan minyak bumi dan gas di area tersebut cukup tinggi. Energi menjadi masalah penting bagi kelangsungan suatu negara, dimana Israel yang notabene tidak memiliki sumberdaya minyak, memiliki peluang untuk memiliki sumber energi, jika dapat membuktikan levant basin merupakan salah satu bagian dari teritorialnya. Pihak ketiga yang diikutkan dalam mediasi antara Israel dan Lebanon haruslah negara yang memiliki hubungan yang cukup baik diantara keduannya, sangat tidak disarankan untuk memasukkan pihak mediator yang memiliki kecondongan politis terhadap salah satu claimant. Dalam kasus ini,
Cyprus dan Turki sebelumnya telah menawarkan diri sebagai mediator, namun dirasa kurang cocok akibat Cyprus juga memiliki masalah klaim serupa di bagian utara Levant basin dengan Lebanon, disamping itu, Turki dilain pihak, tidak mengakui kedaulatan Cyprus sebagai negara yang berdaulat. Amerika Serikat pada awalnya dipandang cocok sebagai mediator dalam kasus sengketa ini, namun kecondongannya terhadap Israel, membuat mediasi antar keduanya urung dilakukan. Uni Eropa (European Union) dipandang sebagai mediator yang cukup sesuai dalam membantu masalah ini karena kredibilitas yang dimiliki serta hubungan baik antar kedua aktor dalam konflik tersebut. Zou (2006), dalam jurnalnya yang berjudul Joint Development in the South China Sea menekankan pada kerjasama yang berpeluang untuk dapat dilakukan di Laut China Selatan terkait dengan perjanjian mengenai proteksi lingkungan maritim ataupun kerjasma dalam upaya eksplorasi sumberdaya alam baik berupa minyak bumi maupun gas alam. Joint Development dikhususkan dalam masalah Kepulauan Spratly dapat berfungsi menjembatani status quo selagi menunggu resolusi konflik dan proses klaim maritim tersebut terselesaikan. JDA (Joint Development Agreement) sangat mungkin dilakukan di Laut China Selatan, meningat beberapa negara yang terlibat konflik di wilayah tersebut pernah melakukan hal serupa untuk menekan terjadinya konflik yang mungkin muncul akibat perebutan sumberdaya di perairan laut. Vietnam pernah melakukan JDA dengan China di teluk Tonkin pada tahun 1993, sementara JDA juga pernah dilakukan di Teluk Siam antara Malaysia dengan Thailand, serta Malaysia dengan Vietnam. Joint Development Agreement dianggap sangat cocok untuk mendukung eksplorasi di blok-blok lepas pantai (off shore), yang akan sangat ambigu bila nantinya didasarkan pada kesepakatan batas wilayah, mengingat blok cadangan gas alam dan minyak bumi, tidak memiliki keterkaitan dengan batas artificial yang dibuat oleh manusia untuk membatasi wilayah politis yang berbeda. Penelitian Nong (2005), yang berjudul Politics and Law in the South China Sea, berusaha menjelaskan bagaimana efektivitas UNCLOS dari
perspektif
hukum
internasional
(International
Law)
dan
hubungan
internasional (International Relations). Objek kajian hukum internasional dikombinasikan dengan hubungan internasional karena dirasa hukum internasional berfokus pada masalah legal perspektif tanpa menjelaskan mengenai latar belakang politis yang menjadi kajian hubungan internasional. Sementara hubungan internasional sendiri sebagai bagian dari ilmu politik dan sosial lebih menekankan pada teori serta penjabaran secara historis mengenai suatu kasus. Menjembatani dua perpektif yang berbeda dirasa perlu guna menciptakan kajian yang lebih komprehensif, sehingga simpulan yang dihasilkan lebih aplikatif atau menjabarkan secara lebih terperinci. Penelitian Nong ditekankan pada upaya solusi perdamaian antara China dan Taiwan pada kasus kepulauan Pratas, utamanya dalam hal lintas damai di perairan tersebut. Selain itu Nong menjabarkan peranan aktor lain seperti Amerika Serikat dan India yang dapat berperan sebagai penyeimbang kekuatan bagi negara yang secara politis memiliki kekuatan lebih lemah dibandingkan dengan China. Filipina dan Vietnam secara tegas mendukung stabilitas kawasan tersebut dengan mendukung kapal militer AS melakukan patrol keamanan, diharapkan dengan adanya posisi AS di Laut China Selatan, intimidasi kekuataan yang diterima oleh kedua negara ASEAN tersebut semakin berkurang. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, penelitian Nong, memiliki keunggulan dalam hal penjabaran secara terperinci mengenai historical approach serta elemen yang terkait dalam konflik Laut China Selatan bila dibandingkan dengan penelitian Roy, hanya saja akibat cakupan penelitian yang cukup luas, menjadikan penjelasannya bersifat general mengingat kompleksitas konflik Laut China selatan itu sendiri, untuk itu penulis ingin menggali lebih jauh mengenai aspek yang kurang begitu diitonjolkan mengenai aspek lingkungan ekosistem marin dan pulau kecil berdasarkan kemungkinan diterapkanya JDA di wilayah tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya yang dapat dirangkum mengenai tema serupa pada wilayah sama ataupun pada wilayah yang berbeda diantaranya seperti yang terangkum pada tabel 1.1 sebagai berikut: Tabel 1.1 Rangkuman Penelitian Terdahulu
No. 1.
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Roy, Nalanda.
Managing Conflict
Metode
penelitian
Document
Conduct
Penelitian ini menjelaskan aspek sosial secara
(2013) Disertation
in troubled waters:
yang
digunakan
(DOC) yang diinisiasi oleh
terperinci yang melatar belakangi konflik di
Graduate Program
The case of The
dalam penelitian ini
ASEAN,
tidak
membawa
Laut China Selatan, meliputi sejarah konflik
in Global Affairs.
South China Sea.
adalah
pengaruh
yang
signifikan
laut China Selatan yang diruntut dari masa
metode
of
Kaunggulan Penelitian
Graduate School-
penelitian deskriptif
terhadap konflik di Laut
kedinastian di China hingga setelah perang
Newark Rutgers.
dengan telaah studi
China Selatan. China lebih
dunia
The State
literatur.
condong
upaya
kekuasaan yang dahulunya dibawah nanungan
dibandingkan
kekaisaran Jepang sebagai wilayah taklukannya
melakukan
di Pasifik Barat hingga pada masa penyerahan
konflik
Jepang kepihak sekutu pada tahun 1945, yang
University of New
bilateral
Jersey, USA.
dengan
kepada
internasionalisasi secara terbuka.
kedua,
dimana
terjadi
perubahan
memberikan ruang baru dalam kesenjangan kepemilikan Kepulauan Spratly dan Paracel yang belum diselesaikan.
2.
Keyuan, Zou.
Joint Development
Metode
penelitian
Joint Development di Laut
Penelitian ini memjelaskan mengenai peluang
(2006) The
in the South China
yang
digunakan
International Jounal
Sea: A New
dalam penelitian ini
dilakukan
of Marine and
Approach.
adalah
metode
Spratly dan Paracel dengan
sebagian besar
Coastal Law. East
penelitian deskriptif
prinsip share keuntungan.
bersengketa
Asian Institute
dengan telaah studi
Hal ini dapat dicapai jika
dikategorikan berkembang dan belum memiliki
National University
literatur.
seluruh claimants memiliki
teknologi unggul dalam upaya pengeboran
mutual understanding guna
minyak lepas pantai. Upaya kerjasama ini
terciptanya
perdamaian
ditujukan untuk share keuntungan antara
tanpa
pemerintah serta pihak swasta yang dijadikan
ego
sebagai mitra kerjasama dalam eksplorasi
of Singapore.
China
Selatan di
dapat
kerjasama yang mungkin dapat diupayakan
kepulauan
dalam kasus Laut China Selatan, mengingat
kawasan mempertahankan nasionalisme. 3.
Eropa
dari negara termasuk
yang
negara
saling yang
minyak dan gas.
Krhovska, Hana.
Conflict Resolution
Metode
penelitian
Uni
merupakan
(2014) Master
in the Dispute over
yang
digunakan
mediator
yang
cukup
untuk menentukan solusi terbaik dalam konflik
Thesis Security and
Resources in the
dalam penelitian ini
potensial
dalam
usaha
antara Israel dan Lebanon, dengan jalan
Strategic Studies,
Eastern
adalah
metode
resolusi konflik mengenai
Faculty of Social
Mediterranean: The
penelitian deskriptif
Levant Basin antara Israel-
Studies Political
Case of Israel and
dengan telaah studi
Lebanon karena memiliki
Science
Lebanon
literatur.
reputasi yang cukup baik
Department.
dari perspektif Israel dan
Masaryk
Lebanon serta pengalaman-
University, Czech
nya
dalam
usaha
Penelitian ini selain menelaah secara terperinci
mediasi yang paling tepat.
Republic. 4.
penyelesaian konflik. Metode
penelitian
Sebagai respon ketimpangan
Konsep “Power Asymmetry” dikembangkan
yang
digunakan
kekuatan dalam konflik laut
oleh Brantly Womack dipilih oleh peneliti
dalam penelitian ini
di
tersebut,
dalam menyoroti Konflik Laut China Selatan.
South China Sea:
adalah
Malaysia
menggunakan
Ketimpangan kekuatan, dimana China lebih
Studies. The
Managing
penelitian deskriptif
strategi accommodation dan
unggul secara ekonomi, ukuran secara politik
University of The
Asymmetry.
dengan telaah studi
enmeshment,
Vietnam
serta kekuatan militer dibandingkan dengan
literatur.
dengan mengkombinasikan
rival lainya di kawasan ASEAN, dalam hal ini
strategi internal balancing,
Vietnam, Malaysia serta Filipina
San Pablo-Baviera,
China-ASEAN
Aileen. (2012)
Conflict
International
Cooperation in the
Journal of Asian
and
Power
Philippines, Manila.
metode
kawasan
internationalization
dan
assurance-seeking,
serta
Filipina
dengan
strategi
institutionalism dan external soft balancing. 5.
Nong, Hong (2005).
Politics and Law on
Metode
penelitian
Peran serta super power
Penelitian ini menjembatani perspektif Hukum
Phd Disertation.
the
yang
digunakan
dunia (AS) diperlukan untuk
Internasional
(International
Departement of
Sea
dalam penelitian ini
memperkecil
Hubungan
Internasional
Political Science.
adalah
yang didominasi oleh China
Relations) dalam kasus sengketa Laut China
University of
penelitian deskriptif
terhadap
Selatan.
Alberta, Edmonton,
dengan telaah studi
memiliki kekuatan politis
Canada.
literatur.
lebih kecil.
South
China
metode
konfrontasi
claimants
yang
Law)
dengan
(International
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini terdiri dari tiga elemen diantaranya adalah sebegai berikut: 1. Mengidentifikasi dasar klaim maritim di Laut China Selatan oleh negara yang bersengketa di wilayah tersebut. 2. Menganalisis upaya resolusi konflik yang telah dilakukan sebagai upaya penanganan sengketa di Laut China Selatan. 3. Mengevaluasi penerapan UNCLOS sebagai hukum laut internasional yang telah disepakati oleh negara-negara yang bersengketa di Laut China Selatan
1.5 Manfaat Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dipaparkan, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini mencakup: 1. Manfaat Akademik a. Sebagai kontribusi pengetahuan ilmu geografi utamanya geografi sosial dalam fokus studi kewilayahan dibidang hukum laut internasional (Law of the Sea), geopolitik serta isu-isu konflik di wilayah perbatasan. b. Sebagai referensi kajian studi yang ingin menekuni bidang yang serupa dengan metode dan wilayah cakupan yang berbeda. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai bahan masukan dalam implementasi “peaceful settlement of international dispute”. b. Sebagai informasi untuk menentukan kebijakan serta strategi pengelolaan kawasan maritim yang berkelanjutan.
1.6 Hasil yang Diharapkan Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran secara terperinci mengenai resolusi konflik Laut China Selatan yang merupakan salah satu isu internasional yang melibatkan beberapa negara di Asia Tenggara dan Asia Timur. Konflik Laut China Selatan dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan politik kawasan Asia-Pasifik ataupun global. Penekanan dari berberapa aspek meliputi aspek sosial berupa resolusi konflik, penerapan UNCLOS sebagai hukum laut Internasional serta aspek lingkungan yang ditujukan untuk memberikan pemaparan dari dimensi fisik yang sering kali kurang mendapatkan sorotan dalam masalah tersebut menjadi salah satu poin penting dalam penelitian ini. Diharapkan nantinya dengan peneitian ini akan membuka pandangan pandangan baru yang saling mendukung antara perspektif sosial dan lingkungan untuk mencari solusi terbaik dari konflik di kawasan Laut China Selatan. Penekanan ini didasarkan tidak hanya dalam upaya eksploitasi sumberdaya alam yang terkandung di Laut China Selatan saja, namun lebih kepada pemanfaatan yang lebih berwawasan lingkungan serta berkelanjutan sebagai landasan dari penyelesaian konflik di kawasan tersebut.