BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penduduk Indonesia sampai saat ini tinggal terkonsentrasi di pedesaan (54,14%). Dari jumlah tersebut, kurang lebih dibawah 50 persen bekerja di sektor pertanian (on farm) dan sisanya memanfaatkan produk pertanian (off farm) maupun pekerjaan-pekerjaan di luar sektor pertanian (non farm) (BPS, 2010). Keadaan tersebut mengindikasikan bahwa sektor pertanian masih menjadi sektor basis yang menyangga perekonomian Indonesia, termasuk ketika krisis tahun 1997 lalu.
Bagaimanapun peran
sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja maupun sebagai penopang ekonomi nasional tidak dapat diabaikan begitu saja. Penduduk di Tanah Papua sama seperti komposisi penduduk nasional, sangat bergantung pada sektor pertanian di pedesaan (73,90%). Struktur penduduk seperti itu menunjukkan perkembangan masyarakat yang rendah, bergantung pada kemurahan alam, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta rawan masalah sosial. Penduduk Papua Barat yang tersebar pada 11 daerah administratif sampai saat ini belum menembus
angka
1
juta
jiwa
meskipun
faktor-faktor
demografis
menunjukkan kenaikan (BPSa, 2010). Jumlah penduduk yang sedikit dengan luas wilayah yang besar sebenarnya potensial untuk pengembangan tanaman budidaya pertanian. Kaimana adalah salah satu dari 11 kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat. Ditinjau dari luas dan populasinya, kepadatan penduduk di Kabupaten Kaimana adalah 2 orang per km 2 (BPSb, 2010). Ketersediaan lahan
yang
besar
tersebut
ekstensifikasi pertanian.
sangat
memungkinkan
untuk
program
Kebijakan pertanian di tingkat daerah yang
memanfatkan luas lahan selama ini belum diupayakan maksimal sehingga masih menyisakan masalah pendapatan yang rendah serta kemiskinan yang belum teratasi. Jumlah penduduk miskin menurut data RPJM Kaimana tahun 2005-2010 mencapai 76 persen.
Populasi penduduk miskin tersebut
tersebar di daerah-daerah terisolir di hulu-hulu sungai, beberapa pulau kecil
di pesisir dan lembah-lembah diantara gunung-gunung karst yang sulit diakses.
Penduduk Kabupaten Kaimana bermukim di kota Kaimana dan
kampung-kampung kecil menggunakan lahan untuk pemukiman sekitar 51,39 persen dari luas wilayah administrasi daratan (18.500 km 2). Secara geografis letak Kabupaten Kaimana sangat strategis sehingga memungkinkan untuk menjadi sentra produksi pertanian bagi dua perusahaan multinasional yakni British Petroleum di Kabupaten Teluk Bintuni dan PT. Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika. Kedudukannya dalam pembangunan regional bisa sangat berpengaruh mengingat beberapa kabupaten di sekitarnya (Bintuni, Fakfak, Mimika, Nabire, Wondama dan Mulia) berada pada kondisi geografis yang kurang memadai untuk pengembangan tanaman pertanian.
Lahan potensial untuk budidaya
pertanian (Tabel 1) di Kaimana bisa dioptimalkan meskipun lahan yang layak hanya 16,91 persen.
Sebagian besar lahan di Kaimana berupa
hutan
konservasi dan lahan-lahan non produktif (batuan karts dan rawa). Secara umum kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Kaimana cukup besar meskipun sejak tahun 2004-2010 terus mengalami penurunan dari 61,67 persen ke 51,33 persen. tersebut
dikarenakan
sektor-sektor
menggantikan peran sektor pertanian.
lain
sudah
cukup
Penurunan berkembang
Pengembangan kota dengan ciri
utama pertumbuhan sektor jasa mulai menggantikan peran sektor-sektor berbasis sumber daya alam termasuk pertanian.
Perubahan struktur
ekonomi tersebut belum mampu membawa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kaimana beranjak dari kategori rendah secara nasional (BPS c, 2010). Wilayah-wilayah pengembangan tanaman budidaya pertanian yang potensial berada di Distrik Buruway, Kambrau dan
sebagian kecil
wilayah Distrik Kaimana, Teluk Etna, Rauna serta Arguni. Satu distrik lagi yang belum diperhitungkan adalah Distrik Yamor karena membutuhkan perencanaan tersendiri mengingat letaknya yang jauh dan terkendala sarana transportasi yang belum memadai.
2
Tabel 1.1. Potensi lahan untuk pengembangan pertanian di Kabupaten Kaimana No 1 2 3 4
Komoditas Tanaman Perkebunan a. Sawit b. Kelapa Tanaman Pangan dan Hortikultura a. Pala b. Buah-buahan dan Sayur-sayuran Padi dan Sagu a. Padi sawah/ Palawija b. Sagu Perikanan dan Peternakan a. Perikanan b. Peternakan Jumlah
Luas Potensial (Ha) 44.025 27.805 16.220 16.219 6.951 9.268 227.075 69.513 157.562 25.488 25.488 * 312.807
Persentase (%) 14,08 8,89 5,19 5,18 2,22 2,96 72,59 22,22 50,37 8,15 8,15 * 100
Sumber : BPS Kab. Kaimana, 2010
Melihat komposisi potensi lahan pertanian, maka luas lahan terbesar di Kaimana merupakan lahan basah (rawa) sehingga lebih sesuai untuk pengembangan tanaman padi dan sagu.
Kedua jenis komoditas
tersebut membutuhkan penanganan tersendiri.
Tanaman padi secara
kultural belum dikenal oleh masyarakat setempat, sedangkan tanaman sagu cukup dikenal meskipun belum bisa dimanfaatkan secara optimal. Khusus tanaman buah-buahan dan sayuran, potensinya sangat kecil atau hanya 3 persen dari total potensi lahan pertanian yang ada. Di tingkat nasional, produksi sayuran dan buahan digabungkan ke dalam jenis komoditas hortikultura.
Untuk kepentingan penelitian ini,
komoditas sayuran dipisahkan dari buah-buahan.
Seperti gambaran
produksi nasional yang mengandalkan impor sayuran (Pusdatin DEPTAN, 2010), Kabupaten Kaimana pun belum mampu memproduksi sayuran untuk memenuhi permintaan domestik apalagi untuk memenuhi permintaan pada skala regional. Kebutuhan konsumsi sayuran di Kaimana selama ini dipasok dari luar pulau terutama dari Sulawesi Utara.
3
Tabel 1.2. Produksi tanaman sayuran menurut distrik di Kabupaten Kaimana Luas Panen Produksi (Ha) (Ton) Kaimana 40 76.4 Teluk Arguni Atas 7 23.2 Teluk Arguni Bawah 6 16.95 Buruway 8 22.7 Kambrau 7 15.4 Teluk Etna 8 18.4 Yamor 6 7.8 Total 82 180.85 Sumber: data sekunder, BPS 2012 (diolah)
Produktivitas Lahan (Ton.Ha-1) 1.91 3.31 2.83 2.84 2.20 2.30 1.30 2.21
Distrik
Produksi sayuran tertinggi di Kabupaten Kaimana berpusat di Distrik Kaimana.
Produksi yang tinggi tersebut belum sepenuhnya
mengindikasikan produktivitas lahan usahatani yang tinggi pula, terbukti Distrik Teluk Arguni Atas dengan jumlah produksi lebih rendah ternyata memiliki tingkat produktivitas lahan yang paling tinggi. Produktivitas yang tinggi bisa disebabkan oleh tingkat kesuburan lahan, faktor fisik lingkungan lain yang menunjang, efisiensi dan efektivitas tenaga kerja maupun teknologi yang digunakan. Selain hal-hal yang sudah disebutkan di atas, produksi sayuran juga dipengaruhi oleh jumlah populasi penduduk yang akan mengkonsumen sayuran itu sendiri. Jumlah penduduk Kabupaten Kaimana pada tahun 2012 sebesar 45.249 jiwa dari 10.430 rumah tangga.
Jumlah tersebut
menunjukkan peningkatan lebih dari 75 persen penduduk dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sejak dimekarkan tahun 2002. Angka pertambahan jumlah penduduk akan terus berkembang sebagaimana ditunjukkan dari faktorfaktor demografis yang ada. semakin
tinggi
Indikasi laju pertumbuhan penduduk akan
di tahun-tahun
mendatang
atau
dengan
kata
lain
pertumbuhan penduduk akan terus meningkat (BPS, 2013). Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pada semakin kompleksnya permasalahan pembangunan
termasuk
pembangunan
ketersediaan dan ketercukupan pangan. menekankan
pada
distribusi
dan
pertanian
terutama
masalah
Ketersediaan pangan lebih
kontinuitas
pangan,
sedangkan
ketercukupan pangan menitikberatkan pada kualitas gizi maupun keamanan pangan.
4
Dari sisi ketenagakerjaan, laporan Disnakertrans Papua Barat (2009:45) bahwa Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kaimana tergolong di bawah 1 digit, namun minimnya lapangan pekerjaan menyebabkan terjadi pengangguran di kalangan terdidik (SLTA dan Sarjana) yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Kondisi tersebut menambah
beban keluarga sehingga angka ketergantungannya mencapai hampir 50 persen (BPSb, 2010:371).
Guna mengurangi beban keluarga, keputusan
untuk mendapatkan tambahan penghasilan bagi keluarga dipandang sebagai keputusan yang paling mendesak.
Para pencari kerja terdidik
tersebut kembali melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai pedagang sayuran yang menjual hasil pertanian dari kebun-kebun mereka sendiri maupun sayuran yang diperoleh secara borongan dari petani intensif. Keadaan perkembangan penduduk yang demikian berarti mempertahankan kemiskinan struktural yang sejak lama ingin diberantas di Tanah Papua. 1.2. Perumusan Masalah Sejak tahun 2002-2010, jumlah pedagang sayuran di pasar Induk Kaimana meningkat di atas 100 persen hingga mencapai hampir 200 pedagang saat ini. Rata-rata pedagang menjual jenis sayuran yang sama di hampir setiap sudut Ibu Kota Kabupaten Kaimana.
Secara teori, jumlah
penjual (penawaran) yang besar mencirikan keadaan pasar persaingan sempurna.
Produsen sayuran dalam hal ini petani pun terbilang cukup
banyak jumlahnya, sesuai dengan jenis sayuran yang dihasilkan. Secara garis besar petani di Kaimana terbagi ke dalam dua kelompok besar yaitu petani dengan sistem budidaya intensif dan petani dengan sistem budidaya. Petani tradisional umumnya merupakan warga asli Kaimana ataupun penduduk asli Papua dari suku lain selain Kaimana yang berdomisili di Kaimana. Petani intensif berasal dari Jember, Makasar dan Buton. Para petani tradisional bercocoktanam mengikuti kebiasaan setempat serta cenderung sendiri-sendiri.
Petani intensif sudah lebih maju sehingga
membentuk kelompok tani untuk mempermudah penyebaran informasi maupun penerapan teknologi.
Dari jenis sayuran yang diproduksi, petani
intensif menanam sawi, kacang panjang, kangkung cabut, terung, tomat, gambas, buncis, cabe, lombok dan labu waluh.
5
Petani lokal (pribumi) yang
jumlahnya ± 300 KK memproduksi jenis-jenis sayuran seperti daun singkong, daun ubi jalar, daun pepaya, rebung, gori, gedi dan lain sebagainya yang tidak membutuhkan tindakan budidaya intensif. Produksi sayuran lokal di Kabupaten Kaimana sebagai komoditas unggulan ditunjukkan pada Tabel 1.3. Tabel 1.3. Produksi sayuran menurut jenis di Kabupaten Kaimana (ton) Jenis Komoditi Kubis Lombok Cabe Rawit Tomat Ketimun Terung Kacang Panjang Sawi Buncis Kangkung Bayam Sayur Lilin Seledri Jml
7.30 2.10 5.80 2.30
3.70 1.80 1.50
2.70 1.90 3.50
Distrik K 12.90 2.50 5.00 18.70 3.30 15.70
12.70
4.80
6.10
23.00
7.20
8.30
5.50
67.60
10.50 1.50 3.50 45.70
5.40 3.10 5.40 3.50 29.20
6.10 5.00 3.50 28.80
18.20 4.20 13.40 12.90 129.80
1.80 3.10 4.60 27.40
3.50 3.20 2.00 32.70
1.30 2.00 4.20 21.50
46.80 7.30 33.60 34.20 315.10
B
TAA
Keterangan B : Buruway TAA : Teluk Arguni Atas AB : Arguni Bawah K : Kaimana Sumber: data sekunder, 2013.
AB
Jml
Kbr
TE
Y
3.90 3.30 3.50
5.30 5.20 5.20
2.60 2.90 3.00
12.90 2.50 30.50 35.90 9.10 34.70
Kbr : Kambrauw TE : Teluk Etna Y : Yamor
Komoditas sayuran pada tabel di atas merupakan jenis-jenis sayuran yang umum dan mudah diperoleh di Kaimana.
Dari 13 jenis
sayuran yang ada, 11 jenis di antaranya merupakan produk lokal Distrik Kaimana, sedangkan dua jenis sisanya belum ada data yang pasti. Distrik Kaimana sebagai distrik induk tempat dimana pusat pemerintahan Kabupaten Kaimana berada sangat menonjol dalam produksi sayuran. Tingginya produksi sayuran di Distrik Kaimana disebabkan oleh akses pasar yang lebih mudah, dekat dengan pusat informasi serta memiliki tingkat permintaan yang relatif tinggi. Dua jenis sayuran yang tidak tercantum data produksinya pada Tabel 1.3 adalah sayur lilin dan seledri. Sayur lilin adalah sayuran endemik yang menyebar di semua distrik, sedangkan seledri lebih cocok dikembangkan di daerah dataran tinggi. Sayuran yang paling banyak
6
diproduksi di Kaimana berturut-turut adalah kacang panjang, tomat, sawi, terung, kangkung, bayam dan kubis. Data tersebut menjadi dasar sehingga penelitian ini terfokus pada 3 jenis komoditas sayuran yang mewakili masing-masing kelompok yaitu sayur kacang panjang, tomat dan kangkung.
Sayur kacang panjang
mewakili sayuran dari golongan polong-polongan, tomat mewakili sayuran dari golongan sayuran buah sedangkan kangkung mewakili sayuran dari golongan sayuran daun.
Ketiga jenis sayuran tersebut juga umum
diusahakan baik oleh petani intensif maupun petani tradisional.
Sawi
meskipun produksinya tinggi, tidak umum diusahakan oleh petani tradisional sehingga digantikan dengan kangkung yang lebih popular. Produksi sayuran sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.3 masih terfokus pada sisi penawaran, sehingga perlu juga untuk melihat sisi permintaan. Hal tersebut dirasa penting apabila ingin mengamati pembangunan pertanian secara utuh. Dari sisi permintaan, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Kaimana naik dengan lambat (1,2 % per tahun) sehingga jumlah permintaan dapat dianggap rendah. Setiap rumah tangga penduduk pribumi minimal memiliki kebun yang diusahakan dengan pola usahatani campuran. Penduduk pribumi dapat dikatakan mampu memenuhi kebutuhan sayuran sendiri. Kenyataan tersebut mempersempit fokus analisis kepada pembeli yang bukan warga pribumi sehingga jumlah pembeli menjadi relatif lebih sedikit. Sesuai teori ekonomi jika jumlah pembeli sedikit sementara jumlah penjual banyak, maka seharusnya harga-harga sayuran menjadi lebih rendah.
Situasi yang terjadi justru sebaliknya bahwa harga sayuran dan
harga hasil pertanian pada umumnya terus naik dari waktu ke waktu, sementara volumenya terus diperkecil. Saat ini, harga rata-rata sayuran Rp 5.000,00 per satuan bahkan beberapa jenis sayuran sudah mencapai Rp 10.000,00 per ikat atau per tumpuk. Penetapan harga tersebut tanpa arahan dari pemerintah setempat sehingga terjadi begitu saja di pasar.
Sepintas,
pemegang kendali harga berada di datang pedagang eceran atau dengan istilah setempat disebut pedagang papalele.
7
Kebanyakan pedagang lokal merupakan ibu rumah tangga yang tidak
berpikir
panjang
mempertahankan harga
dalam
berdagang
sehingga
cenderung
meskipun sayur dagangannya rusak.
Perilaku
demikian secara umum mempertahankan harga sayuran tetap tinggi di pasar. Selain fleksibilitas dan ketajaman dalam memahami pasar, terdapat pula berbagai penyebab lain sehingga harga sayuran di pasar Kaimana menjadi tinggi.
Salah satu kemungkinan tersebut adalah kesepakatan
kerjasama antara petani dengan pedagang papalele.
Selain itu, faktor
panjangnya rantai pemasaran juga ikut menciptakan pasar yang tidak efisien, sebagai akibatnya konsumen menanggung beban harga yang tinggi. Terkadang pedagang harus menerima sayuran dalam jumlah yang tetap meskipun stok yang ada belum habis terjual. Jumlah konsumen yang sedikit menyebabkan daya serap pasar juga kecil sementara kelebihan produksi menjadi tanggungan pedagang. Para pedagang menggunakan harga yang sama tetapi dalam penyajiannya dikemas dengan volume yang berbeda untuk setiap pedagang.
Belum diadopsinya satuan berat di pasar induk
Kaimana juga menimbulkan perbedaan takaran per unit satuan jenis sayuran yang ditawarkan. Fenomena tersebut tidak umum seperti kasus di tempat lain yangmana resiko produksi sepenuhnya menjadi tanggungjawab produsen (petani). Perilaku harga sayuran di Kaimana cenderung stabil sampai ada kebijakan pemerintah yang mendorong kenaikan harga dan penyesuaian yang baru. Kenaikan harga sayuran juga ditentukan oleh aktivitas produksi. Produsen menjual outputnya dengan harga tertentu yang menurut perhitungan
rasionalnya
mendatangkan keuntungan.
mampu
menutupi
biaya
produksi
bahkan
Keuntungan produsen di satu musim tanam
mendorongnya untuk meningkatkan atau menurunkan jumlah produksi di musim tanam berikut.
Produsen memilih menggunakan kombinasi input
produksi tertentu yang efisien sekaligus efektif.
Produktivitas lahan dan
tenaga kerja diperhatikan lebih baik lagi. Kalau harga pasar sangat tinggi, para petani giat mengusahakan lahan, memperluas dan menggunakan input produksi yang memadai untuk meningkatkan produksi. Demikian sebaliknya jika harga sayuran di pasar tidak sebanding dengan biaya produksi, maka produk tersebut tidak akan dihasilkan lagi.
8
Kinerja
pasar
mempengaruhi
keputusan
petani
dalam
berproduksi, aktivitas pedagang dan keputusan konsumen untuk membeli. Keadaan pasar juga perlu didukung dengan produksi yang baik dan mekanisme pasar yang kondusif, sehingga perlu dilakukan penelitian judul: “Analisis Produktvitas Usahatani dan Kinerja Pasar Sayuran di Kabupaten Kaimana”. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut: 1. Menganalisis keragaan usahatani dan pemasaran sayuran di Kabupaten Kaimana; 2. Menganalisis pengaruh faktor-faktor curahan kerja, jumlah bibit, jumlah
pupuk,
jumlah
pestisida
dan
jumlah
BBM
terhadap
produktivitas usahatani sayuran di Kaimana; 3. Menganalisis pengaruh kebijakan pemerintah, struktur dan perilaku pasar terhadap kinerja pasar sayuran di Kabupaten Kaimana. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan harga produksi sayuran sehingga menawarkan solusi bagi pemerintah daerah Kabupaten Kaimana dalam mengambil kebijakan yang tepat untuk memenuhi kesejahteraan penduduk Kaimana. Bagi praktisi maupun peneliti, studi ini menambah referensi untuk mengamati perilaku pasar tradisional yang terbatas dari informasi, lembaga-lembaga finansial dan peran pemerintah. 1.5. Keaslian dan Signifikansi Penelitian Penelitian tentang keseimbangan pasar komoditas sayuran di Indonesia masih jarang meskipun metode dan kedalaman instrumen yang digunakan berbeda disebabkan ketersedian data periodik yang minim. Ada beberapa cara yang digunakan oleh peneliti terdahulu untuk melakukan pengukuran terhadap keseimbangan pasar dari berbagai komoditas.
9
Analisis keseimbangan pemasaran kayu lapis di Indonesia dilakukan oleh Nurrochmat dan Tiryana tahun 2000 dengan hasil bahwa dalam jangka pendek tidak terjadi ekses deman sebaliknya terjadi ekses suplai di pasar dunia akibat praktek illegal logging dan illegal tradding. Dalam jangka panjang, posisi Indonesia sebagai market leader sangat mungkin untuk diperoleh kembali beriringan dengan naiknya permintaan. Nuryanti dan Kustiari (2007) menganalisis ketidakseimbagan antara produksi dan permintaan komoditas kedelai di Indonesia.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa perlu ada pengendalian tariff impor untuk melindungi petani domestik.
Respon yang perlu dilakukan juga agar kebijakan tariff
berpengaruh positif adalah peningkatan produktivitas melaui sistem produksi intensif, respon harga yang cukup serta sistem pemasaran yang efisien. Ikin Sadikin
(1999) menganalisis daya
saing
komoditi jagung di NTB
menggunakan metode PAM serta menemukan bahwa pengembangan komoditi jagung di NTB efisien secara finansial dan ekonomis di masa krisis. Kebijakan pemerintah dalam hal subsidi input sangat membantu petani tetapi kebijakan harga dan mekanisme pasar justru melemahkan dan menurunkan pendapatan petani.
Suharyanto dkk. tahun 2006 melakukan analisis
pemasaran dan tataniaga anggur di Bali. Secara deskriptif, data dianalisis untuk
mengamati
kelayakan
financial,
saluran
pemasaran,
margin
pemasaran, integrasi pasar dan elastisitas transmisi harga. Hasilnya bahwa usahatani anggur di kecamatan Gerokgak memiliki prospek yang baik dimana terdapat 4 pola saluran pemasaran dengan derajat integrasi pasar antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat konsumen tergolong rendah. Adiyoga et al., (2006) melakukan studi tentang integrasi pasar kentang di Indonesia.
Mereka menggunakan analisis korelasi dan
kointegrasi untuk mengamati keragaan dari pasar kentang di Bandung, Jakarta, Tanah Karo, Medan dan Singapura. Temuan penelitian mereka bahwa harga rata-rata kentang di Tanah Karo merupakan yang terendah di Indonesia, sebaliknya harga rata-rata kentang tertinggi di Indonesia berlaku di Jakarta, bahkan harga tersebut lebih tinggi dari harga di Singapura. Penelitian ini juga menemukan bahwa pasar kentang di Jakarta, Bandung,
10
Sumatera
Utara
dan
Singapura
terintegrasi
sehingga
penggunaan
sumberdaya akan lebih efisien. Sahara dan Gunawati (2004) juga menganalisis permintaan kedelai di kabupaten Banyumas Jawa Tengah.
Hasil penelitian ini
menemukan bahwa permintaan kedelai di Banyumas dipengaruhi oleh harga kedelai, jumlah penduduk dan harga jagung.
Kedelai dan jagung di
Banyumas bersifat komplementer, sementara elastisitas kedelai lebih besar pada short run dan lebih kecil pada long run.
Abednego (2008) dalam
tesisnya mengamati pengaruh saluran pemasaran dan harga terhadap pendapatan petani jeruk manis di daerah Sukanalu kecamatan Barusjahe kabupaten Karo.
Penelitian tersebut menganalisis saluran pemasaran,
harga dan lingkungan pasar dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif, diperoleh hasil bahwa saluran pemasaran dan harga berpengaruh signifikan terhadap pendapatan petani jeruk disamping pula disebabkan oleh pengaruh faktor eksternal seperti lingkungan sosial, ekonomi dan lingkungan pemerintah. Triyono et al. (2010) melakukan studi di Brebes dengan tujuan untuk menganalisis profitabilitas dan efisiensi pengelolaan pasar bawang merah. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa usahatani bawang merah tidak mendatangkan keuntungan yang signifikan (unprofitable) terhadap rumah tangga petani. Harga jual yang tinggi di tingkat pengecer maupun supermarket tidak tertransmisi ke petani sehingga farmer’s share rendah serta fluktuatif.
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
sayuran organik merupakan studi terkait yang dilakukan oleh Hasibuan (2008).
Menggunakan metode analsisis regresi dan korelasi spearman,
Hasibuan menyimpulkan bahwa pendapatan sawi manis organik dipengaruhi oleh harga sayuran organik lainnya, harga sayuran non organik, pendapatan keluarga dan selera konsumen.
Sedangkan permintaan patchoi organik
dipengaruhi oleh harga sayuran non organik, pendapatan keluarga dan hari raya.
Untuk kailan organik, permintaannya dipengaruhi oleh pendapatan
keluarga.
Bayam hijau organik dipengaruhi oleh pendapatan keluarga,
selera konsumen dan hari raya. Kangkung organik dipengaruhi oleh selera konsumen, sementara bayam merah organik dipengaruhi oleh pendapatan keluarga dan selera konsumen. Secara simultan, ada hubungan yang erat
11
antara tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan selera konsumen dalam mengkonsumsi sayuran organik.
Keliat (2008) melakukan studi di Karo
untuk melihat sistem pemasaran wortel.
Hasil penelitian tersebut
menyebutkan bahwa terdapat 2 saluran pemasaran wortel di sana yaitu saluran 1, petani – pedagang pengumpul desa – pedagang perantara luar kota – pedagang pengecer – konsumen ; dan saluran 2, petani – pedagang pengumpul desa – pedagang kabupaten – pedagang perantara luar kota – pedagang
pengecer
–
konsumen.
Setiap
lembaga
melaksanakan 3 fungsi yaitu beli, jual dan transport.
pemasaran
Ditinjau dari profit
margin dan elastisitasnya, saluran pemasaran yang efisien adalah saluran 1. Sering sekali dijumpai bahwa harga suatu komoditas pertanian dipengaruhi oleh harga dari barang-barang lain dalam kedudukannya sebagai barang-barang substitusi maupun komplementer.
Keputusan
konsumen untuk mengkonsumsi suatu barang dibatasi oleh pendapatan (budget line) sehingga konsumen akan menggunakan pertimbangan paling rasional dalam memilih barang hingga diperoleh manfaat paling optimal. Fadillah (2007) mengamati dampak dari kenaikan harga beras, elastisitas permintaan terhadap harga beras dan pengetahuan masyarakat terhadap program diversifikasi pangan. Hasilnya bahwa strata pendapatan terendah di pedesaan akan semakin memperbesar pengeluaran untuk konsumsi pangan. Peningkatan harga beras juga tidak berdampak terhadap jumlah beras yang dikonsumsi namun berpengaruh terhadap kualitas beras yang dikonsumsi. Rumah tangga dengan pendapatan rendah mempunyai tingkat elastisitas yang lebih tinggi daripada rumah tangga dengan tingkat pendapatan tinggi, demikian pula dengan elastisitas di desa lebih tinggi ketimbang alastisitas harga beras di kota. Analisis keseimbangan pasar khususnya untuk
komoditas
pertanian perlu dilakukan agar tidak salah dalam menetapkan arah kebijakan. Ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi berujung pada harga yang fluktuatif. Nuryati dan Kustiari (2008) melakukan studi tentang pengaruh kebijakan tarif optimal terhadap kesejahteraan petani kedelai. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan tarif impor kedelai justru menghilangkan kesejahteraan sosial dalam negeri.
12
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa disertasi ini memenuhi keaslian penelitian karena topik yang digunakan berbeda dengan topik-topik penelitian sebelumnya.
Dalam penelitian ini, spesifikasi topik
penelitian yang berbeda dari penelitian sebelumnya adalah 1) Keaslian dalam hal spesifikasi: penelitian sebelumnya masih bersifat parsial dalam arti hanya terfokus pada satu komoditas saja. Kenyataan bahwa hubungan saling pengaruh antar komoditas di pasar tidak dapat diabaikan begitu saja.
Penelitian ini akan
melokalisir komoditas sayuran di Kaimana untuk diamati secara menyeluruh sehingga diperoleh perilaku pasar yang mendekati kenyataan. 2) Keaslian dalam metode analisis: beberapa penelitian terdahulu melakukan studi dengan menggunakan data-data runtut waktu (time series) dengan berbagai metode.
Analisis runtut waktu sangat
mengandalkan data berkala sedangkan data semacam itu tidak sepenuhnya tersedia apalagi dalam skala kabupaten.
Penelitian-
penelitian sebelumnya juga cenderung melihat suatu komoditas terlepas dari komoditas lainnya meskipun pelakunya bisa saja pihak yang sama. 3) Keaslian lokasi: penelitian sebelumnya berlangsung di Indonesia bagian Barat. Penelitian yang mirip seperti itu di wilayah Indonesia Timur terbilang langka, apalagi di Tanah Papua. Dalam hal lokasi, penelitian ini dipandang hal yang baru di Kabupaten Kaimana secara khusus dan Tanah Papua pada umumnya. 4) Memandang dari permasalahan dan tujuan penelitian, maka penelitian ini perlu dilakukan agar ditemukan solusi pemasaran di Kabupaten Kaimana sekaligus menjadi model bagi pengembangan pasar sayuran di Tanah Papua pada umumnya.
13