BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Ikan lele (Clarias gariepinus) merupakan salah satu komoditas perikanan air tawar yang banyak dibudidayakan di Indonesia karena permintaannya terus meningkat setiap tahunnya. Ikan lele banyak disukai masyarakat karena rasa dagingnya yang enak. Salah satu jenis ikan lele yang banyak dibudidayakan saat ini yaitu lele sangkuriang yang merupakan hasil perbaikan genetik melalui cara silang balik antara induk betina generasi ke dua (F2) dengan induk jantan generasi ke enam (F6) lele dumbo. Benih lele sangkuriang memiliki karakteristik pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan lele dumbo yang saat ini beredar di masyarakat. Selain itu pertumbuhan benih lele sangkuring
pada
pemeliharaan umur 5 hingga 26 hari menghasilkan laju pertumbuhan harian 43,57% lebih tinggi dibandingkan dengan lele dumbo serta pada pemeliharaan umur 26 hingga 40 hari memiliki laju pertumbuhan 14,61% lebih tinggi dibandingkan lele dumbo. Upaya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat, maka diperlukan peningkatan intensifikasi usaha budidaya didukung oleh adanya ketersediaan benih yang memadai (Sunarma 2004)`. Intensifikasi budidaya dicirikan dengan adanya peningkatan kepadatan ikan dan pakan tambahan dari luar. Pada lingkungan yang baik dan pakan yang mencukupi, peningkatan kepadatan akan disertai oleh peningkatan hasil ( Hepher dan Pruginin, 1981). Hal ini berhubungan dengan carrying capacity atau daya dukung lingkungan yang mengandung pengetian kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan ikan secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Faktor-faktor yang mempengaruhi carrying capacity antara lain kualitas air, pakan, dan ukuran ikan. Budidaya secara intensif menyebabkan penurunan kadar oksigen dalam air serta meningkatnya limbah hasil ekskresi akibat pengaruh padat penebaran yang tinggi. Ekskresi ikan berasal dari katabolisme protein pakan dan dikeluarkan
1
2
dalam bentuk amonia dan urea. Amonia merupakan salah satu bentuk N anorganik yang berbahaya bagi ikan, karena pada konsentrasi yang tinggi akan menghambat proses ekskresi ikan (Sheperd dan Bromage 1989 dalam Shafrudin dkk. 2006). Inovasi teknologi diperlukan untuk mengantisipasi penurunan produksi akuakultur akibat penyusutan lahan budidaya dan penurunan kualitas perairan. Inovasi teknologi tersebut diharapkan mampu mengurangi limbah dan meningkatkan produktifitas persatuan luas lahan budidaya. Salah satu inovasi teknologi yang diterapkan yaitu budidaya ikan yang terintegrasi dengan tanaman melalui sistem akuaponik (Diver 2006). Teknologi akuaponik terbukti mampu berhasil memproduksi ikan secara optimal pada lahan sempit dan sumber air terbatas, termasuk di daerah perkotaan. Teknologi ini pada prinsipnya disamping menghemat penggunaan lahan dan air juga meningkatkan efisiensi usaha melalui pemanfaatan hara dari sisa pakan dan metabolisme ikan untuk tanaman air serta merupakan
salah
satu
sistem
budidaya
ikan
yang
ramah
lingkungan
(Ahmad et al. 2007). Akuaponik (aquaphonic) merupakan salah satu teknologi budidaya yang mengkombinasikan pemeliharaan ikan dengan tanaman (Nelson 1998). Sistem ini dapat menghemat penggunaan air dalam budidaya ikan sampai 97% (ECOLIFE 2011). Interaksi antara ikan dan tanaman pada sistem ini menciptakan lingkungan tumbuh yang lebih produktif dari metode konvensional. Budidaya menggunakan menghasilkan
sistem limbah
akuaponik sehingga
lebih
ramah
tidak
lingkungan
membahayakan
karena
tidak
lingkungan
(Zero Enviromental Impact) dibandingkan dengan sitem budidaya lainnya. Menurut Diver 2006, sistem akuaponik dapat menghasilkan ikan dan tanaman organik yang berkualitas tinggi, yaitu produk yang terbebas dari zat kimia yang berasal dari penggunaan pupuk buatan, pestisida maupun herbisida. Selain menghemat penggunaan lahan dan air, sistem akuaponik juga meningkatkan efisiensi usaha melalui pemanfaatan hara dari sisa pakan dan metabolisme ikan. Sisa pakan dan hasil metabolisme ikan (feses dan urin) akan menghasilkan limbah berupa ammonia. Ammonia yang terlalu banyak dalam wadah budidaya akan menjadi racun bagi ikan. Menurut Mullen 2003, pada sistem
3
akuaponik, bakteri yang terdapat dalam media tumbuh tanaman dan wadah pemeliharaan ikan akan mengubah ammonia menjadi nitrit dan nitrat. Pada tanaman, nitrat berfungsi sebagai nutrisi. Air yang kaya nutrisi dari wadah pemeliharaan disalurkan kepada tanaman, kemudian dimanfaatkan sebagai hara. Oleh karena itu penggunaan teknologi budidaya akuaponik diharapkan mampu memperbaiki kualitas air pada budidaya ikan dengan kepadatan tinggi sehingga dapat mengurangi tingkat kematian ikan.
1.2
Identifikasi Masalah Masalah yang dapat dikemukakan berdasarkan latar belakang diantaranya :
1. Sampai berapa besar pengaruh sistem akuaponik untuk meningkatkan pertumbuhan benih lele sangkuriang yang maksimal. 2. Berapakah padat tebar optimum benih lele sangkuriang yang dibudidayakan dengan
menggunakan
sistem
akuaponik
sehingga
menghasilkan
pertumbuhan tertinggi.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui padat tebar optimum benih
lele sangkuriang pada sistem budidaya akuaponik sehingga menghasilkan pertumbuhan tertinggi.
1.4
Kegunaan Hasil penelitian ini berguna dalam menentukan padat penebaran benih lele
sangkuriang dengan menggunakan teknologi budidaya akuaponik agar diperoleh pertumbuhan yang optimum.
1.5
Kerangka Pemikiran Akuaponik merupakan teknologi hemat air, akuaponik menggunakan 97%
lebih sedikit air dibanding metode akuakultur normal, menggunakan 90% lebih sedikit air dibanding metode berkebun konvensional (ECOLIFE 2011). Menurut Saptarini 2010, kualitas air pada kolam pembesaran ikan mas pada sistem
4
akuaponik lebih baik dibandingkan dengan sistem konvensional, terlihat dari kadar amonia di kolam akuaponik dengan kisaran 0,0019-0,211 mg/L yang 91% lebih rendah dibandingkan di kolam konvensional.. Menurut Taufik 2010, budidaya dengan sistem akuaponik juga dapat diterapkan untuk ikan nila. Budidaya ikan nila BEST (Bogor Enhanced Strain Tilapia) dengan sistem akuaponik dapat diterapkan di daerah dataran tinggi, sedang maupun rendah. Perbedaan ketinggian dataran tidak berpengaruh nyata terhadap sintasan, laju pertumbuhan dan produktivitas ikan nila. Kualitas air dalam kolam akuaponik di dataran tinggi, sedang dan rendah masih dalam kisaran yang layak bagi kehidupan nila. Perbedaan waktu retensi sistem akuaponik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan spesifik ikan nila BEST, namun berpengaruh terhadap nilai reduksi amonia, nitrit, dan nitrat media budidaya (Ratananda 2011). Peneliti sistem akuaponik asal Kanada, Savidov 2005 menyatakan bahwa tanaman akuatik sangat cocok digunakan dalam sistem akuaponik. Tanaman akuatik memiliki kemampuan untuk menyerap nutrisi yang larut dalam air. Menurut Taufik 2010, tanaman kangkung merupakan salah satu jenis tanaman yang dapat diaplikasikan dalam sistem akuaponik. Selama 6 minggu penelitian, tanaman kangkung dapat tumbuh baik pada sistem akuaponik, sehingga panen kangkung dapat dilakukan setiap 2 minggu. Saptarini 2010, menyatakan bahwa tanaman kangkung darat (Ipomoea reptans) dapat tumbuh baik pada sistem akuaponik. Teknologi akuaponik berhubungan erat dengan konversi amonia di dalam air, sehingga sangat bergantung dengan keberadaan mikroorganisme pengkonversi amonia. Dalam kegiatan budidaya ikan, pemberian mikoorganisme pengkonversi amonia sudah banyak dilakukan. Salah satu mikroorganisme pengkonversi amonia adalah bakteri nitrifikasi. Bakteri nitrifikasi yang dimasukkan kedalam tambak udang windu setiap 10 hari mampu beradaptasi dan menjaga kestabilan konsentrasi amonia dan nitrit, sehingga konsentrasinya masih berada pada batas aman untuk budidaya udang (Badjoeri dan Widiyanto 2008).
5
Menurut Shafrudin dkk. 2006, benih ikan lele dumbo umur 12 hari dengan berat rata-rata 0,046±0,006 gram dan panjang 1,7±0.9 cm dipelihara selama 28 hari dengan kepadatan 400 ekor/m2, 800 ekor/m2, 1200 ekor/m2, menunjukkan bahwa benih ikan mengalami peningkatan berat 1,35 gram dan panjang 5,1 cm. Peningkatan kepadatan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap laju pertumbuhan dan produksi harian. Nilai rata-rata pertumbuhan panjang mutlak, kelangsungan hidup dan efisiensi pakan masing-masing berkisar 2,7-3,2 cm, 36,20 – 53,88% dan 147 – 172%. Peningkatan kepadatan diikuti dengan penurunan pertumbuhan panjang (p<0,05), kelangsungan hidup dan efisiensi pakan. Menutur AGRINA 2007, para petani di daerah Bantul menerapkan padat tebar cukup tinggi yaitu 50 ekor/m2 dengan ukuran benih 9 cm dengan target produksi 6-8 kg/ m2 dalam waktu 60 hari pemeliharaan. Menurut SNI Produksi benih lele dumbo 01.6484.2-2000 padat tebar benih ukuran 5-8 pada pendederan IV adalah 20 ekor/m2 dengan ukuran panen 8-12 cm. Selain itu disebutkan padat tebar benih lele sangkuriang ukuran 5-8 pada kolam terpal adalah 75 ekor/m2 (BimaShakty, 2013). Menurut Rakocy et al 2006 sebagian besar ikan air tawar yang tahan terhadap padat tebar tinggi akan tumbuh dengan baik pada sistem akuaponik. Saptarini 2010, produksi ikan mas pada padat tebar 20 ekor/m2 pada sistem akuaponik menghasilkan 1,25 kali lebih besar dari pada kolam konvensional. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan padat penebaran lele sangkuriang ukuran 5-8 pada sistem akuaponik dapat ditingkatkan menjadi 100 ekor/m2.
1.6
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran penelitian, maka dapat disusun hipotesis
yaitu pertumbuhan benih lele sangkuriang (Clarias gariepinus) ukuran 5-7 cm yang paling baik didapatkan pada padat penebaran 100 ekor/m2 dengan menggunakan sistem akuaponik.