BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi. Kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan kapang toksigenik penghasil mikotoksin. Di antara kapang penghasil mikotoksin yang banyak ditemukan pada komoditas pertanian di Indonesia adalah Fusarium sp., seperti F.
verticillioides dan F. proliferatum. Kedua jenis kapang tersebut
menghasilkan mikotoksin sebagai metabolit sekunder, diantaranya fumonisin. Fumonisin banyak ditemukan pada produk pertanian seperti jagung, gandum, sorgum dan beras, yang digunakan sebagai bahan pakan dan pangan. Fumonisin merupakan salah satu dari lima mikotoksin yang mendapat perhatian dunia, karena dampaknya terhadap kesehatan manusia dan hewan serta perdagangan internasional. Oleh karena itu, beberapa Negara di dunia telah menentukan batas maksimum residu (BMR) fumonisin pada produk pertanian dan hasil olahannya, seperti USFDA (Center for Food Safety and Nutrition, 2001) dan The European Union (SCF, 2003). Meskipun kontaminasi fumonisin di Indonesia telah dilaporkan, tetapi penentuan BMR fumonisin pada bahan pakan dan pangan di Indonesia belum dapat dilaksanakan karena terbatasnya data cemaran fumonisin dan metode analisis yang tersedia.
1.2 Pokok Permasalahan Komoditas pertanian seperti jagung, gandum, sorgum, dan padi sangat mudah terkotaminasi fumonisin yang disebabkan oleh adanya pertumbuhan kapang Fusarium sp. Produk pertanian tersebut umumnya digunakan sebagai bahan pangan dan pakan ternak. Keberadaan fumonisin pada bahan pangan dan pakan tersebut sangat merugikan, karena selain menurunkan kualitas yang mempengaruhi nilai ekonomi produk pertanian, tetapi juga dapat menimbulkan berbagai penyakit bagi manusia atau hewan yang mengkonsumsinya.
1
Fumonisin B1 (FB1) paling banyak ditemukan di alam dan paling beracun diantara kelompok fumonisin lainnya (Rheeder et al. 2002). IARC (2002) mengklasifikasikan FB1 sebagai karsinogen golongan 2B, yaitu senyawa yang dapat menyebabkan kanker pada manusia. Berbagai penyakit seperti kanker esofagus (Marasas, 2001) dan kerusakan ginjal dilaporkan berkaitan erat dengan konsumsi bahan pangan yang terkontaminasi FB 1 seperti di di Afrika Selatan dan Cina. Sementara itu, pada hewan ternak
fumonisin
menyebabkan leukoensepalomalasia pada kuda (Kellerman et al, 1990), pembengkakan paru-paru pada babi (Haschek et al., 2001), toksisitas pada kardiovaskuler pada kuda dan babi (Smith et al., 1996, 2002), kematian akut pada domba, serta penurunan kekebalan pada ayam (Qureshi dan Hagler, 1992; Dobrink-Kurzman et al, 1994; Keck dan Bodine, 2006). Penelitian tentang fumonisin di Indonesia sangat terbatas, sehingga informasi mengenai toksisitas, risiko kotaminasi, dan dampaknya terhadap kesehatan dan perekonomian masih belum memadai. Hal ini terjadi karena masih kurangnya pengetahuan tentang bahaya fumonisin dan metode analisis yang cepat, mudah, dan murah. Analisis cemaran fumonisin pada bahan pakan dan pangan umumnya dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan khromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), dimana pada pelaksanaannya dibutuhkan proses yang lama dengan menggunakan bahan kimia dan peralatan instrumentasi yang mahal, serta membutuhkan operator yang berpengalaman. Metode alternatif yang lebih sederhana, cepat, mudah, dan murah sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan analisis. Salah satu teknik analisis yang memenuhi kriteria tersebut adalah enzyme linked immunoassay (ELISA). Kit ELISA untuk mendeteksi fumonisin tersedia secara komersial, namun kit tersebut masih perlu diimpor dari luar negeri sehingga harga di pasaran menjadi sangat mahal. Teknik ELISA fumonisin yang telah dikembangkan di Bbalitvet masih dalam tahap studi laboratorium, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut untuk mendeteksi fumonisin pada sampel lapang.
2
1.3 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengaplikasikan teknik ELISA yang telah dikembangkan untuk mendeteksi fumonisin pada bahan pakan dan pangan, sehingga tingkat kontaminasi fumonisin di lapang dapat diketahui dan diantisipasi.
dampaknya terhadap kesehatan hewan dan manusia dapat Sealin itu, melalui perbandingan dengan kit ELISA komersial
tingkat kelayakan metode ELISA yang dikembangkan dapat diketahui, sehingga dimungkinkan untuk dikomersialkan. 1.3 Metodologi Pelaksanaan a. Lokus Kegiatan Lokasi
utam
yang
dijadikan
target
dalam
penelitian
ini
yaitu
NusaTenggara Timur. Pemilihan lokasi berdasarkan pada koridor ekonomi MP3EI, yaitu koridor V. Selain itu, penelitian juga dilakukan lokasi pendukung yaitu provinsi Lampung dan Jawa Barat dengan pertimbangan bahwa lokasi ini merupakan lokasi peternakan di Indonesia.
b. Fokus Kegiatan Penelitian difokuskan pada bidang peternakan dengan penerapan teknologi hasil penelitian untuk meningkatkan produktivitas peternakan di
Indonesia
dan
mendukung
program
swasembada
daging
sapi/kerbau.
c. Bentuk Kegiatan Bentuk
kegiatan
pelaksanaannya
merupakan terdiri
dari
penelitian
terapan,
koordinasi
dimana
dalam
kelembagaan-program,
penelitian laboratorium, dan penelitian lapang.
3
BAB II PERKEMBANGAN PELAKSANAAN KEGIATAN
2.1 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Untuk mencapai tujuan penelitian, maka dilakukan serangkaian kegiatan sebagai berikut: a. Penentuan kondisi optimum Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan kondisi optimum melalui titrasi antibodi dan konjugat secara ELISA tidak langsung (id-ELISA). Optimasi dilakukan dengan melakukan pengenceran antigen, AbMk dan konjugat. Pengenceran AbMk yang diuji coba yaitu 1:500, 1:1.000, 1:5.000, 1:10.000 dan 1:50.000; pengenceran FB 1-HRP enzim konjugat 1:400 dan 1:800 pada konsentrasi antigen (FB1) 0, 25, dan 50 ng/ml. Antigen
FB1-Ova
diencerkan
dengan
larutan
dapar
bikarbonat,
kemudian dipiper 50 µL untuk dilapiskan pada pelat mikro ELISA dan dibiarkan satu malam. Setelah melalui
tiga kali pencucian dengan
larutan dapar garam fosfat (PBS), ditambahkan 50 µL AbMk yang telah diencerkan secara berturut-turut mulai dari pengenceran terendah, diinkubasi selama 30 menit pada suhu 4 oC, selanjutnya dicuci dengan PBS. Enzim konjugat IgG antimouse-HRP (50 µL) ditambahkan ke dalam tiap lubang. Pencucian dengan PBS dilakukan kembali dan ditambahan substrat TMB, selanjutnya kerapatan optik (OD) dari warna yang terbentuk dibaca
pada alat pembaca ELISA (ELISA reader)
dengan panjang gelombang 450/650 nm. Pengeceran antibodi dan konjugat yang memberikan nilai OD optimal digunakan untuk deteksi fumonisin pada sampel secara dc-ELISA.
b. Pengujian pengaruh matriks sampel dan pelarut Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis sampel dan komposisi pelarut terhadap format ELISA yang digunakan, dengan mengukur sensitivitas dan akurasi melalui uji perolehan kembali (rekoveri), dan linearitas. Sampel yang akan digunakan untuk pengujian
4
yaitu jagung, Komposisi pelarut pegnekstrak yang digunakan yaitu metanol-air 40%, 50%, 60%, dan 70%.
c. Koleksi sampel lapang Lebih kurang 200 Sampel pakan/bahan yang terdiri dari jagung, dedak, pollard, pakan komposit) dan bahan pangan lokal (jagung) diambil dari Provinsi NTT, Lampung, dan Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan pada musim hujan dan musim panas.
d. Analisis sampel lapang Sampel digiling dan diekstrak dengan komposisi 5ethanol-air yang memberikan hasil optimal berdasarkan hasil kegiatan pada poin “b”. Sampel ditimbang 5 gram, diekstrak dengan 25 mL metanol-air menggunakan ultra turax selama satu menit, disaring dan disentrifus pada 3000 rpm selama 5 menit. Sebanyak 50 µL ekstrak dipipet dan dilarutkan dengan 150 µL akuades. Masing-masing 100 µL ekstrak sampel atau standar dicampur dengan volume yang sama konjugat enzim (FB1-HRP), dan dimasukkan ke dalam pelat mikro yang telah dilapisi 100 µL AbMk (pengenceran 1:10.000) selama satu malam dan diblok dengan larutan tris HCl–tween 20 – kasein (TTC). Campuran dibiarkan bereaksi selama 10 menit, selanjutnya dicuci dengan PBS mengandung 0,05% tween-20 (PBST) sebanyak tiga kali, dikeringkan, dan ditambahkan 50 µL larutan substrat (TMB). Setelah 5 menit ditambahkan 50 µL larutan penghenti (H2SO4 1,25M) dan dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450/650nm.
Untuk mengetahui validitas teknik ELISA fumonisin yang telah dikembangkan, dilakukan pengujian sampel dengan menggunakan kit ELISA komersial. Sebanyak 40 sampel dianalisis dengan menggunakan ELISA fumonisin yang dikembangkan dan kit ELISA fumonisin komersial. Kesesuaian data hasil analisis diketahui dengan membuat grafik korelasi regresi. ELISA yang dikembangkan dinyatakan valid jika korelasi regresi kedua ELISA tersebut >90%.
5
e. Analisis paparan fumonisin Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kontaminasi fumonisin sehingga dapat diprediksi tingkat paparannya pada hewan dan manusia, melalui konsumsi pakan dan pangan yang terkontaminasi fumonisin. Analisis paparan dilakukan berdasarkan data analisis fumonisin dengan ELISA yang dikembangkan (poin “d”) yang dihitung berdasarkan paparan per hari (daily intake) per bobot badan. f. Perbandingan dengan Kit ELISA komersial Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan teknik ELISA yang dikembangkan untuk mendeteksi fumonisin jika dibandingkan dengan kit komersial yang tersedia di pasaran. Sebanyak 40 sampel asal NTT dan Lampung dianalisis terhdap FB1 dengan menggunakan teknik ELISA yang dikembangkan dan kit ELISA komersial pada hari yang sama.
2.2 Perkembangan Kegiatan a. Penentuan kodisi optimum Kondisi optimum untuk deteksi fumonisi B1 secara ELISA kompetitif langsung tercapai pada pengenceran antibodi 1:400 (0,04 µg/mL) dan konjugat FB1-HRP 1:1000 (0,01 µg/mL) pada kisaran konsentrasi FB1 standar 0,25 – 25 µg/mL dalam pelarut methanol-air 70%. Pada kondisi tersebut kurva kalibrasi terlihat linier (R2 = 0,9959) dengan persamaan garis Y= -0,3259x + 01597 (Gambar 1).
6
0,05 0 0
0,5
1
1,5
-0,05 -0,1 -0,15
y = -0,3259x + 0,1597 R² = 0,9959
-0,2 -0,25 -0,3 -0,35
Gambar 1. Kurva kalibrasi standar FB1 pada kondisi optimum
b. Pengujian pengaruh matriks sampel dan pelarut Pada percobaan ini terlihat bahwa matriks sampel menyebabkan menurunnya linearitas kurva standar FB1. Linieritas standar FB1 tanpa adanya matriks sampel dengan pelarut methanol-air 70% mempunyai nilai R2 = 0,9959 (Gambar 1), tetapi linieritasnya dengan adanya matriks jagung mempunyai nilai yang lebih rendah, R2 = 0,9548 (Gambar 2d). Pengaruh matriks sampel dapat diatasi dengan mengatur komposisi pelarut. Pada Gambar 2 terlihat bahwa pelarut pengekstrak yang memberikan linieritas standar FB1 optimum adalah methanol-air 60% (R2 = 0,9977).
7
0,000 0,000
0,500
1,000
0,000 0,000 -0,050
1,500
-0,050
0,500
-0,100
MeOH 40% -0,100
1,000
1,500
MeOH 50%
-0,150 -0,200
-0,150
-0,250
-0,200
-0,300 -0,250
-0,350
y = -0,2018x - 0,0072 R² = 0,9841
-0,300
y = -0,2002x - 0,1267 R² = 0,967
-0,400 -0,450
-0,350
a 0,000 0,000 -0,010
0,500
-0,020
b 1,000
1,500
0,000 0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000 1,200 -0,050 -0,100
MeOH 60%
MeOH 70%
-0,030 -0,150
-0,040 -0,050
-0,200
-0,060
-0,250
-0,070 -0,080
-0,300
y = -0,0762x + 0,0163 R² = 0,9977
y = -0,2x - 0,1699 R² = 0,9548
-0,350
-0,090 -0,400
-0,100
c
d
Gambar 2. Pengaruh matriks terhadap linieritas standar FB1
Hasil ini menunjukkan bahwa teknik ELISA yang dikembangkan untuk
mendeteksi
fumonisin
memiliki
linieritas
terbaik
dengan
menggunakan methanol-air 60% sebagai pelarut pengekstrak.
Jika
dibandingkan dengan kit ELISA fumonisin komersial yang umumnya menggunakan pelarut metanol-air 70%, teknik yang dikembangkan lebih sedikit menggunakan metanol sehingga dapat menghemat biaya analisis dan mengurangi limbah B3. Uji perolehan kembali yang dilakukan terhadap sampel jagung yang diberi standar FB1 sesuai dengan konsentrasi yang digunakan untuk
deret
standar
menunjukkan
hasil
yang
bervariasi
pada 8
penggunaan pelarut pengekstrak metanol-air 40%, 50%, 60%, dan 70% seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji perolehan kembali FB1 pada sampel jagung dengan variasi komposisi metanol-air sebagai pelarut pengekstrak
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Perolehan Kembali (%)
FB1 (µg/g)
1 2.5 5 10 25 Rerata
MeOH-H2O 40% 81.74
MeOH-H2O 50% 93.42
MeOH-H2O 60% 114.70
MeOH-H2O 70% 95.85
89.89
107.84
120.97
97.19
122.83
138.21
88.35
95.49
151.56
131.10
101.93
40.05
97.23
223.53
80.22
84.87
101.23± 17.17
82.69±24.34
108.65±28.50 138.82±50.64
Dari tabel tersebut terlihat bahwa hasil perolehan kembali dengan penyimpangan (deviasi) terendah adalah yang menggunakan pelarut pengekstrak metanol-air 60%. Hal ini berkorelasi positif dengan linieritas standar optimum yaitu pada komposisi metanol-air 60%.
c. Koleksi sampel lapang Pengambilan sampel dilakukan pada tiga
provinsi dari empat
provinsi yang ditargetkan, yaitu Provinsi NTT sebagai lokasi utama, Lampung dan Jawa barat sebagai lokasi pendamping. Jenis sampel yang berhasil dikumpulkan terdiri dari sampel pakan dan bahan pakan. Sampel pakan meliputi konsentrat, pakan sapi, pakan ayam, pakan itik, dan pakan babi. Sedangkan sampel bahan pakan terdiri dari jagung, dedak, gabah, bekatul, kulit kopi dan kakao, onggok, millet, jerami, hijauan, putak, bungkil kelapa dan sawit, bungkil kedelai, dan bungkil kacang. Jenis dan jumlah sampel yang dikumpulkan dari Provinsi NTT, Lampung, dan Jawa Barat terlihat pada Tabel 2.
9
Tabel 2. Jenis dan jumlah sampel yang diperoleh dari Provinsi NTT, Lampung, dan Jawa Barat
No.
Jumlah Sampel
Jenis Sampel
1.
Pakan
NTT 13
Lampung 45
Jawa Barat 9
2.
Jagung
35
29
8
4.
Dedak
5
17
5
5.
Lain-lain
30
36
8
TOTAL
83
127
30
Total sampel yang berhasil dikumpulkan yaitu 240 sampel dari target yang diharapkan, karena pengambilan sampel di DKI Jakarta tidak dilakukan dan pengambilan sampel
di Provinsi Jawa Barat hanya
dilakukan pada musim hujan yang disebabkan oleh keterbatasan dana untuk penelitian lapang.
d. Analisis sampel lapang Analisis FB1 pada sampel dari lapang dilakukan secara random, mewakili sampel yang dikumpulkan mengingat reagen dari teknik ELISA yang dikembangkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan menunjukkan adanya kontaminasi FB1 pada sampel yang dianalisis dengan konsentrasi yang bervariasi. Tingkat kontaminasi FB1 pada sampel yang diambil dari Kabupaten Kupang, NTT selama musim hujan dan musim kemarau terlihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
10
Tabel 3. Tingkat kontaminasi FB1 pada sampel asal Kabupaten Kupang, NTT pada musim hujan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Sampel Pakan ayam Pakan sapi Jagung kuning Jagung putih Dedak Jerami Limbah jagung (tongkol) Putak
N 2 1 20 6 3 3 3
N Positif 2 1 20 6 3 3 3
Kisaran FB1 (µg/g) 0,421 - 2.159 0,102 – 23,400 0,504 – 2,600 0,137 - 0,656 0,137 – 4,360 3,200 – 38,720
Rerata FB1 (µg/g) 1,290 5,127 4,958 1,332 0,430 1,758 21,213
3
3
2,432 – 2,972
2,754
Tabel 4. Tingkat kontaminasi FB1 pada sampel asal Kabupaten Kupang, NTT pada musim kemarau No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 8. 9. 10.
Jenis Sampel
N
Pakan ayam Pakan sapi,konsentrat Pakan babi Jagung kuning Jagung putih Dedak Jerami Limbah jagung (tongkol) Putak Kacang hijau & kulit kacang hijau Hijauan (gamal, turi, lamtoro, legume)
4 3
Dari kedua table tersebut
N Positif 3
Kisaran FB1 (µg/g) 7,312 - 24,552 20,420- 469,960
Rerata FB1 (µg/g) 14,890 183,456
3 6 2 2 2 3
3 6 2 2 2 3
1,680 -59,988 0,336 -168.292 0,116 - 2,740 6,760 -18,156 11,804 -19,816 004 – 26,124
34,231 40,376 1,428 12,458 15,810 9,400
2 3
1 3
0-1,576 5,024 – 79,996
0,788 31,971
5
4
5,140 – 41,028
26,337
terlihat bahwa konsentrasi FB1 asal NTT
pada musim kemarau cenderung lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan. Hal ini terjadi karena kelembaban udara semakin tinggi dengan meningkatnya suhu udara, sehingga mendukung pertumbuhan kapang Fusarium penghasil fumonisin. Hal yang sama juga terjadi pada sampel asal Lampung.
Tabel 5 dan Tabel 6 menunjukkan hasil analisis FB1 pada sampel dari Provinsi Lampung pada musim hujan dan musim kemarau.
11
Tabel 5. Tingkat kontaminasi FB1 pada sampel asal Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Selatan pada musim hujan No.
Jenis Sampel
N
7. 8. 9. 10. 11.
Pakan ayam Pakan sapi Jagung kuning Dedak Gabah Limbah jagung (daun) Kulit ari jagung Kulit cokelat Kulit jagung Kulit kopi Onggok singkong
12.
Millet
1. 2. 3. 4. 5. 6.
4 4 8 4 1 1
N Positif 4 3 7 4 1 1
Kisaran FB1 (µg/g) 0,980 – 24,436 0 -16,800 0,700 – 27,168 1,117 – 9,088 -
Rerata FB1 (µg/g) 7,725 4,905 11,623 3,631 0,200, 1,982
1 1 1 1 1
1 1 1 1 1
-
16,180 2,160 28,580 4,320 1.119
3
3
0,252 - 0,796
0,461
Tabel 6. Tingkat kontaminasi FB1 pada sampel asal Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Selatan pada musim kemarau No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 8. 9. 10.
Jenis Sampel
N 8
N Positif 8
Kisaran FB1 (µg/g) 2,756 -370,732
Rerata FB1 (µg/g) 150,882
Pakan ayam (unggas) Pakan sapi,konsentrat Jagung kuning Dedak Gabah Kedelai, bungkil kedelai Kulit ari jagung Kulit kopi Kulit singkong Onggok singkong Millet
7
7
0,012 – 406,500
91,198
13 6 1 3
13 6 1 3
31,056-576,844 7.552- 140.624 30,484-144,564
211,894 75,405 21,980 102,908
1 2 2 2 2
1 2 2 2 2
0 - 0,036 38,552 -105,940 137,108 -24,324 59,164-114,304
38,552 0,018 72,246 80,716 86,734
e. Analisis data dan paparan fumonisin FB1 dinyatakan sebagai mikotoksin yang dapat menyebabkan kanker pada manusia. DI NTT, jagung putih (pulut) merupakan salah satu bahan pangan pokok selain beras yang umumnya dikonsumsi oleh masyarakat. Rerata konsenrasi FB1 jagung pulut pada musim hujan dan musim kemarau yaitu 1,38 µg/g. Jika diasumsikan rerata konsumsi
12
jagung di NTT sebanyak 100 g/orang/hari, maka peluang seseorang untuk terpapar FB1 sebesar 183 µg/hari. Jika rerata bobot badan penduduk NTT 60 kg, maka risiko paparan FB1 adalah sebesar 2,3 µg/kg BB/hari. Paparan ini sedikit melebihi PTMDI (provision tolerable maksimum daily intake) yaitu 2 µg/kg BB/hari (SCF, 2003). Di sisi lain, konsentrasi rerata FB1 pada jagung kuning yang digunakan untuk bahan pakan pada musim hujan dan musim kemarau di NTT 22,67
µg/g. Jika komposisi pakan mengandung 70% jagung, maka
konsentrasi FB1 sebesar 15,86 mg/kg pakan. Di NTT, rerata FB1 pada pakan unggas sebesar 7,79 µg/g, pakan sapi 94,291 µg/g, pakan babi 34,231 µg/g. Konsentrasi FB1 pada pakan ayam masih jauh di bawah batas ambang, yaitu 100 µg/g. Pada pakan sapi hampir mendekati batas 60 µg/g dan pada pakan babi melebihi batas ambang 20 µg/g menurut Food and Drug Administration (FDA) (Wu, 2004).
Rerata konsentrasi FB1 pada jagung asal Lampung pada musim hujan dan musim kemarau yaitu 111,758 µg/g. Di provinsi ini, jagung umumnya haya digunakan sebagai bahan pakan ternak diantaranya pakan unggas, sapi, dan kambing. Sementara itu, rerata konsentrasi FB1 pada pakan unggas dan sapi di musim hujan dan musim kemarau masing-masing adalah 79,303 µg/g dan 48,051 µg/g. Konsentrasi tersebut masih berada di bawah batas ambang untuk unggas dan sapi menurut FDA. Untuk sapi, pemberian bahan pakan lainnya juga memberikan kontribusi yang besar untuk mempertinggi paparan FB1 (Tabel 5 dan Tabel 6).
f. Perbandingan dengan Kit Komersial Dari 40 sampel yang dianalisis menggunakan teknik ELISA yang dikembangkan dengan kit ELISA komersil terdapat perbedaan hasil seperti terlihat pada Tabel 6. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa hasil analisis FB1 dengan teknik yang dikembangkan cenderung lebih rendah dibandiingkan dengan kit komersial (Gambar 3).
13
35 30 25 20 15 10 5 0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 In house
Komersial
Gambar 3. Perbandingan hasil analisis FB1 menggunakan teknik ELISA yang dikembagkan dan Kit ELISA komersial
Kesesuaian hasil analisis FB1 dengan kedua teknik ELISA tersebut baru mencapai 89,52% seperti terlihat pada Gambar 4.
16 y = 0,7676x + 0,6694 R² = 0,8952
14 12 10 8 6 4 2 0 0
5
10
15
20
Gambar 4. Kesesuaian hasil analisis FB1 menggunakan teknik ELISA yang dikembangkan dan Kit ELISA komersial
14
2.3 Pengelolaan Administrasi Manajerial Perencanaan penggunaan anggaran penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) termin yakni: a. Termin I (Februari – April) sebesar 30% = Rp. 60. 000.000,b. Termin II (Mei – Juli) sebesar 50% = Rp. 100.000.000,c. Termin III (Agustus – Oktober) sebesar 20% = Rp. 40.000.000,-
Pengelolaan administrasi keuangan dilakukan oleh PUMK Kerjasama yang berkoordinasi langsung dengan penanggung jawab kegiatan penelian PKPP Bbalitvet tahun 2012. Hingga saat ini, pelaksanaan administrasi berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan yang berarti. Realisasi anggaran pada termin I dan termin II terlihat pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Tabel 7. Realisasi belanja termin I (Februari-April 2012) No.
1.
Judul Penelitian
Aplikasi ELISA fumonisin berbasis antibodi monoklonal untuk mengetahui risiko kontaminasi fumonisin pada bahan pakan dan pangan
Alokasi dana termin I, 30% (Rp.) 60.000.000
TOTAL
Alokasi belanja
-
Honorarium Perjalanan Bahan Lain-lain
Jumlah (Rp.)
Realisasi belanja (Rp.)
%
23.904.000 14.475.000 20.865.000 756.000
13.960.000 20.904.000 23.766.000 0
58,40 144,41 113,90 0,00
60.000.000
58.630.000
97,72
15
Tabel 8. Realisasi belanja termin II (Mei - September 2012) No .
Judul Penelitian
1.
Aplikasi ELISA fumonisin berbasis antibodi monoklonal untuk mengetahui risiko kontaminasi fumonisin pada bahan pakan dan pangan
Alokasi dana termin II, 50% (Rp.) 100.000.000
TOTAL
Alokasi belanja
-
Gaji/Upah Bahan Perjalanan Lain-lain
Jumlah (Rp.)
26.294.400 48.685.000 24.125.000 895.600
Realisasi belanja (Rp.)
%
15.450.000 48.871.000 24.000.000 0
58,75 100,38 99,48 0,00
100.000.000 88.321.000
88,32
16
BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA
3.1. Metode Proses Pencapaian Target Linerja a. Kerangka Metoda – Proses Pencapaian Target Kinerja Metoda proses pencapaian target kinerja dilakukan berdasarkan output dan outcome yang ingin dicapai pada penelitian ini, yakni:
Dampak Ekonomi Pemanfaatan Hasil Dengan memanfaatkan teknologi hasil penelitian ini, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor kit ELISA fumonisin dari luar negeri, dengan demikian akan menghemat devisa negara. Dengan menggunakan teknologi dalam negeri dimungkinkan untuk melakukan monitoring kontaminasi
fumonisin
pada
bahan
pakan
dan
pangan
secara
berkesinambungan, sehingga keamanan pangan produk pertanian dapat terjamin.
Kontribusi Terhadap Sektor Lain Dampak lainnya dari teknologi ini adalah teknik deteksi yang cepat akan membantu para petani mengetahui bahaya kontaminasi fumonisin sehingga mereka akan menjaga kualitas produk pertanian dengan meningkatkan practices),
praktik-praktik
sehingga
akan
pertanian
yang
meningkatkan
baik
(good
farming
pendapatan
petani.
Produktivitas di bidang peternakan juga akan meningkat dengan termonitornya mutu pakan, sehingga akan menambah penghasilan petani peternak dan mendukung pencapaian swasembada daging. Demikian juga dengan aspek gangguan kesehatan pada manusia maupun hewan dapat dihindari karena cemaran fumonisin pada pakan dan pangan dapat dicegah.
b. Indikator Keberhasilan Pencapaian Target Kinerja Indikato keberhasilan pencapaian target kinerja dapat terlihat dengan dihasilkannya teknik ELISA berbasis antibodi monoklonal yang tervalidasi untuk deteksi cemaran fumonisin pada bahan pakan. 17
c.
Perkembangan Pencapaian Target Kinerja
Tabel 9. Perkembangan capaian target kinerja per triwulan II
Tersedianya kit ELISA berbasis antibodi monoklonal untuk deteksi fumonisin No.
Indikator kinerja
Target
Realisasi
Capaian (%)
1.
Teknik ELISA
1 teknologi
fumonisin yang dapat diaplikasikan
Penentuan kondisi optimum (90%) Pengujuan pengaruh
untuk mendeteksi
matriks dan pelarut
sampel lapang
(100%)
86,83
Koleksi sampel lapang (80%) Analisis sampel lapang (75%) Analisis data & paparan fumonisin (75%) Laporan kemajuan II (100%).
3.2. Potensi Pengembangan ke Depan Dengan tervalidasi dan teraplikasikannya
teknik ELISA ini berpotensi
untuk dikembangkan menjadi kit ELISA yang bernilai komersial dan didaftarkan untuk memperoleh HKI dalam bentuk paten.
18
BAB IV SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN
4.1 Sinergi Koordinasi Kelembagaan - Program a. Kerangka Sinergi Koordinasi Kelembagaan – Program Koordinasi Kelembagaan – Program yang telah diselenggarakan yaitu koordinasi antara Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Kementerian
Pertanian)
Selanjutnya,
pelaksanaan
koordinasi
dengan
dan
Kementerian
kegiatan
BP4D
Propinsi
Riset
penelitian
dan
Teknologi.
dilakukan
Nusatenggara
Timur,
melalui Dinas
Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur dan UPTD Kesehatan Hewan dan
Kesehatan
Masyarakat
Veteriner,
BPTP
–
Naibonat
serta
Laboratorium Kesehatan Hewan – Kupang, Dinas Peternakan Kabupaten Bandung, dan Dinas peternakan provinsi Lampung. b. Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi Kelembagaan – Program Tabel 10. Indikator keberhasilan sinergi koordinasi kelembagaan – program
No. Sasaran
Indikator Kinerja Target
1.
Terwujudnya koordinasi
Jumlah
kelembagaan – program antar
koordinasi
4 koordinasi
instansi terkait (Kementerian Pertanian, Kementerian Riset dan Teknologi dan Pemerintah Daerah).
19
c. Perkembangan Sinergi Koordinasi Kelembagaan – Program Tabel 11. Perkembangan sinergi koordinasi kelembagaan – program Tersedianya kit ELISA – monoAb untuk deteksi fumonisin pada bahan pakan dan pangan No. Indikator kinerja
Target
Realisasi
Capaian (%)
1.
Jumlah koordinasi
3
kelembagaan -
koordinasi
program.
Kemtan – Kemen
75
Ristek. Badan Litbang – Bbalitvet. Bbalitvet – Pemda NTT. Bbalitvet – Dinas Peternakan Provinsi Lampung
4.2 Pemanfaatan Hasil Litbangyasa a. Dampak Ekonomi Pemanfaatan Hasil Dengan memanfaatkan teknologi hasil penelitian ini, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor kit ELISA fumonisin dari luar negeri, dengan demikian akan menghemat devisa negara. Dengan menggunakan teknologi dalam negeri dimungkinkan untuk melakukan monitoring kontaminasi fumonisin pada bahan pakan dan pangan secara berkesinambungan, sehingga keamanan pangan produk pertanian dapat terjamin.
b. Kontribusi Terhadap Sektor Lain Dampak lainnya dari teknologi ini adalah teknik deteksi yang cepat akan membantu para petani mengetahui bahaya kontaminasi fumonisin sehingga mereka akan menjaga kualitas produk pertanian dengan
20
meningkatkan praktik-praktik pertanian yang baik (good farming practices), sehingga akan meningkatkan pendapatan petani. Produktivitas di bidang peternakan juga akan meningkat dengan termonitornya mutu pakan, sehingga akan menambah penghasilan petani peternak dan mendukung pencapaian swasembada daging. Demikian juga dengan aspek gangguan kesehatan pada manusia maupun hewan dapat dihindari karena cemaran fumonisin pada pakan dan pangan dapat dicegah.
Hasl
litbangyasa
ini
diharapkan
dapat
disebarluaskan
untuk
dimanfaatkan oleh masyarakat luas, baik oleh petani/peternak, praktisi, maupun dunia usaha.
21
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Pada prinsipnya teknologi ini dapat diaplikasikan untuk mendeteksi cemaran fumonisin pada bahan pakan dan pangan yang mudah terserang kapang Fusarium spp. terutama F. verticillioides dan F. proliferatum, meskipun kesesuaian hasil analisis FB1 dengan menggunakan teknik ELISA yang dikembangkan dengan kit ELISA komersial baru mencapai 89,52%. Untuk meningkatkan validitas teknik ELISA tersebut perlu adanya konsistensi pelaksana, peralaan serta reagen yang digunakan. Hasil analisis FB1 pada sampel lapang dan analisis paparan menunjukkan adanya kontaminasi fumonisin di lokasi penelitian yang perlu diwaspadai, karena tingkat cemaran dapat menimbulkan gangguan bagi kesehatan hewan dan manusia. Hasil ini belum dapat mewakili untuk dilakukannya risiko cemaran fumonisin pada bahan pakan dan pangan di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan analisis sampel dari berbagai wilayah di Indonesia, tidak hanya terbatas pada koridor ekonomi (MP3EI) seperti yang difokuskan pada program PKPP ini. Dengan
diaplikasikannya
teknik
ELISA
fumonisin
yang
dikembangkan, risiko cemaran fumonisin terhadap kesehatan hewean dan manusia
dapat
diantisipasi
sehingga
kerugian
ekonomi
dapat
diminimalkan. 5.2 Saran Dalam rangka penyebarluasan dan pemanfaatan teknologi ini, maka perlu dilakukan sosialisai kepada masyarakat dimana peran Pemerintah Daerah menjadi sangat penting. Dengan demikian perlu terus dikembangkan kerjasama antara Badan Litbang, Kemenristek, dengan Pemda
setempat.
penyebarluasan
Diharapkan
informasi
peneliti/perekayasa,
Kemenristek
teknologi
sehingga
yang
dapat
dapat dihasilkan
memfasilitasi oleh
para
dikenaldandimanfaatkan
olehmasyarakat luas.
22
DAFTAR PUSTAKA Center for Food Safety and Nutrition, US Food and Drug administration. 2001. Background paper in support of fumonisin levels in animal feed. http://www.cfsan.fda.gov/~dms/fumonbg4.html Ghali R, Ghorbel H, Hedilli A. 2009. Fumonisin determination in tunisian foods and feeds. ELISA and HPLC methods comparison. Journal of Agricultural Food Chemistry 57 (9):3955-60. Rahjoo V, Parchamian M, Feizbakhsh MT, Zamani M. 2011. Quantification of total fumonisin produced by fusarium verticillioides in some maize and sorghum genotypes by ELISA. Proceeding of Naural Science No. 121:6170 Haschek WM, Gumprech LA, Smith G, Tumbleson ME, Constable PD. 2001. Fumonisin toxicosis in swine: overview of porcine pulmonary edema and current perspective. Environmental Perspective, 109 (Suppl. 2): 251-257 IARC (International Agency for Research on Cancer).2002. Some traditional herbal medicines, some mycotoxins, naphthalene and styrene (vol. 82), Lyion, France: IARC: 301-366 Kellerman TS, Marasas WF, Thiel, PG, Geldeerblom WC, Cawood M, Coetzer JA. 1990 Leukoencephalomalacia in two horses induced by oral dosing of fumonisin B1. Onderstepoort Journal Veterinary Research. 57: 269275 Maryam R. 2007. Produksi antibodi monoklonal menggunakan konjugat fumonisin B1- Ovalbumin sebagai antigen untuk deteksi fumonisin secara imunoasai. Disertasi Program Doktor pada Program Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Maryam R. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57. Maryam R. 2000b. Kontaminasi fumonisin pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Prosiding Seminar Peternakan dan Veteriner. Bogor 1819 September 2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Qureshi MA and Hagler Jr WM. 1992. Effect of fumonisin B1 exposure on chicken macrophage functions in vitro. Pultry Science 71:104-112 Rheeder JP, Marasas WFO, and Vismer HF. 2002. Production of fumonisin analogs by Fusarium species. Applied Environmental Microbiology 68(5): 2101-2105
23
SCF (Scientific Committee on Foods of the European Commission). 2003. Updated opinion of Scientific Committee on Food on Fumonisin B1,B2, dan B3, SCF/CS/CNTM/MYC/28 Final. Directorate Scientific Opinion. European Comission Smith GW, Constable PD, Haschek WM. 1996. Cardiovascular responses to short-term fumonisin exposure in swine.Fundamental Applied Toxicology 33: 140-148 Wu F. 2004. Mycotoxin risk assessment for the purpose of setting international regulatory standards. Environmental Science and Technology, 38(15): 4049-4066
24
LAMPIRAN
Lampiran1. Analisis sampel dengan menggunakan teknik ELISA yang dikembangkan dan kit ELISA komersial
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Jenis Sampel Putak Putak giling Putek cacag Jagung pecah Jagung utuh jagung putih utuh jagung putih utuh Jagung pecah putih Jagung putih utuh Jagung giling putih Jagung giling Dedak Dedak Jagung utuh Jagung utuh jerami Jerami Konsentrat Dedak Pakan babi campur Jerami Jagung pecah Jagung utuh Jagung giling Jagung utuh Jagung putih pecah Jagung giling Jagung giling Jagung utuh Jagung pecah
Lokasi Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang,NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT Kupang, NTT
Deteksi FB1 (ppm) dengan Teknik ELISA in house
Deteksi FB1 (ppm) dengan Kit ELISA Komersial
2.858
3.46
2.432
1.42
1.300
1.716
0.547
0.896
4.864
6.952
1.46
3.112
0.704
1.964
0.504
0.9
1.000
2.548
2.600
0.824
8.280
6.5
0.137
0.268
0.417
0.872
0.332
0.436
16.66
12.248
4.36
4.02
0.776
1.42
0.421
0.488
0.656
0.784
2.560
3.964
0.137
0.308
2.576
2.456
5.888
6.548
1.104
1.576
0.940
1.1
1.726
1.148
2.16
2.316
8.24
7.8
0.482
0.34
0.74
0.696
25