BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi obyek perdebatan bagi peneliti maupun akademisi. Studi mengenai peran pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi telah banyak dilakukan dan hasilnya berbeda. Sebagian peneliti
menyimpulkan bahwa pengeluaran
pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan sebagian lagi menyimpulkan sebaliknya. Landau (1983) mengkaji pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Hasilnya menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi dan investasi pemerintah berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama dikemukakan oleh Kweka dan Morrisey (2000) bahwa pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan negatif karena pengeluaran pemerintah tidak efisien. Hal ini berbeda dengan temuan Devarajan et al (1996) yang mengatakan bahwa investasi pemerintah memiliki hubungan negatif, sedangkan konsumsi pemerintah memiliki hubungan
positif
terhadap
pertumbuhan
ekonomi.
Perbedaan
tersebut
dimungkinkan karena perbedaan kondisi lokasi penelitian atau mis-spesifikasi variabel. Lin (1994) meneliti tentang
pengaruh pengeluaran yang produktif dan
konsumtif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil yang diperoleh pengeluaran pemerintah untuk kegiatan yang produktif memiliki 1
yaitu
hubungan
negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang, tetapi hubungan yang positif dan signifikan terjadi di negara-negara maju. Studi yang dilakukan oleh Cheng dan Lai (1997) meneliti tentang hubungan sebab-akibat antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi di Korea. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah mempunyai hubungan sebab akibat dengan pertumbuhan ekonomi. Demikian halnya dengan pertumbuhan penawaran uang juga mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama dilakukan oleh Ghali (2003), yang
menggunakan
variabel pengeluaran pemerintah, dan kemudian dikelompokkan menjadi dua yaitu pengeluaran untuk konsumsi dan pengeluaran investasi. Variabel lain yang digunakan yaitu GDP, investasi swasta, belanja pemerintah, ekspor dan impor, utang Negara, tenaga kerja, dan pajak. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa semua variabel bebas berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Disimpulkan pula investasi swasta menekan pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan Zhang dan Zou (1998), Bradbury dan Stephenson (2003), Loizides (2003), Jiranyakul (2007) menambahkan variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah yaitu jumlah penduduk, pajak daerah, ekspor dan impor, serta variabel moneter seperti jumlah uang beredar dan inflasi. Hasil studinya menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Columbier (2004) pengeluaran pemerintah di sektor publik terutama sektor pendidikan, dan kesehatan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
2
ekonomi. Penelitian tersebut didukung oleh Hague dan Bose (2007) yang melakukan
penelitian
tentang
pengeluaran
untuk
investasi,
pendidikan,
transportasi dan komunikasi, serta pertahanan. Dengan menggunakan data panel 30 negara berkembang (1970-1980), disimpulkan bahwa belanja modal, investasi pemerintah sektor pendidikan, dan pengeluaran total sektor pendidikan berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Hal ini terjadi karena sektor pendidikan dan kesehatan merupakan bentuk pelayanan publik yang mendasar bagi setiap negara atau daerah. Lebih lanjut Alexiou (2009) mengemukakan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pembentukan modal, bantuan pembangunan, investasi swasta dan variabel keterbukaan perdagangan memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan pertumbuhan penduduk tidak signifikan. Peneliti lain Mello (2002), Nurudeen dan Usman (2010), berpendapat bahwa peningkatan
pengeluaran
pemerintah
pada
infrastruktur,
sosio-ekonomi
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Demikian pula pengeluaran untuk infrastruktur seperti jalan, listrik, komunikasi yang semua ini dapat mengurangi biaya produksi dan meningkatkan investasi sektor swasta, serta profitabilitas perusahaan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi. Mendukung pandangan ini, Cooray (2009) menyimpulkan bahwa ekspansi pengeluaran pemerintah berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
3
Di Indonesia topik tentang hubungan belanja pemerintah daerah dengan pertumbuhan ekonomi menarik untuk diteliti. Hal ini didorong oleh gencarnya pelaksanaan desentralisasi fiskal sejak tahun 1999. Bahl (1999) menjelaskan desentralisasi fiskal memiliki empat dimensi yaitu; tanggung jawab bidang pengeluaran (expenditure), tanggung jawab bidang penerimaan (revenue assignment), dana transfer (intergovernmental fiscal transfer), dan pinjaman daerah (sub-national borrowing). Menurut Akai, et al (2007) ada pengaruh antara desentralisasi
fiskal
dengan
pertumbuhan
ekonomi.
Pada
saat
derajat
desentralisasi fiskal masih rendah maka akan memberikan pengaruh yang positif dan signifikan baik pada indikator penerimaan maupun indikator pengeluaran. Namun ketika derajat desentralisasi fiskal optimal maka akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut penelitian Davoodi dan Zou (1998) dan Phillips, W (1998) disimpulkan bahwa desentralisasi fiskal tidak mempunyai dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang. Lebih jauh Xie, et al (1998) mendapatkan hasil bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kurang menguntungkan bagi pembangunan. Sedangkan Breuss dan Eller (2004) menyatakan bahwa ada efek embivalent dalam hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga sulit merumuskan rekomendasi yang tepat tentang bagaimana desentralisasi yang optimal. Lebih lanjut Breuss dan Eller menjelaskan bahwa tidak ada hubungan otomatis antara desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi.
4
Prinsip pelaksanaan desentralisasi di Indonesia pada hakikatnya sejalan dengan proses desentralisasi di berbagai Negara. Menurut Ter-Minassian (1997) bahwa banyak negara di dunia yang melakukan program desentralisasi sebagai refleksi atas terjadinya evolusi politik yang memperjuangkan keinginan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis serta mengedepankan partisipasi masyarakat. Lebih lanjut Ter-minassian menjelaskan bahwa pelaksanaan desentralisasi
merupakan
upaya
untuk
meningkatkan
responsivitas
dan
akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat, serta untuk menjamin adanya kualitas dan komposisi penyediaan layanan publik yang baik. Proses desentralisasi fiskal (1999) di Indonesia telah berdampak terhadap pemerintah daerah untuk melakukan pemekaran kabupaten/kota atau propinsi dengan pertimbangan jumlah penduduk yang semakin banyak, wilayah yang sangat luas, karakteristik dan potensi ekonomi yang bervariasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan
pembentukan
dan
kriteria
pemekaran,
penghapusan,
dan
penggabungan daerah pada pasal 2 dinyatakan bahwa tujuan pemekaran adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, pembangunan perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Pengalaman pemekaran yang dilakukan di beberapa negara seperti Slovakia dan Hungaria menjadi issu perdebatan antara akademisi dan politisi. Fox dan Gurley (2005) menjelaskan bahwa setiap negara memiliki pertimbangan yang
5
berbeda seperti latar belakang, tujuan dan motivasi politiknya. Pertimbangan utama adalah tersedianya biaya transisi yang cukup terhadap kegiatan pemerintahan yang baru. Pemekaran ini berbeda dengan pemekaran wilayah yang terjadi di Maroko dan Tunisia, dengan pertimbangan bahwa pada wilayah yang lebih kecil dan masyarakat yang homogen, pemerintah pusat dapat dengan mudah melakukan kontrol terhadap kebijakan yang dijalankan. Menurut Tiebout (1956). kebijakan pelayanan publik seperti penyediaan barang dan jasa publik akan lebih efektif disediakan oleh pemerintah lokal. Hal ini dapat mendorong persaingan antar pemerintah lokal karena masyarakat akan membandingkan kualitas pelayanan publik dengan kewajiban membayar pajak. Masyarakat akan menetap di daerah tersebut jika merasa puas dengan pelayanan publik yang disediakan pemerintah lokal. Sebaliknya jika masyarakat merasa tidak puas dengan pelayanan publik tersebut maka akan keluar atau meninggalkan daerah tersebut. Pemerintahan lokal memiliki kekuatan dalam mempertahankan tingkat pajak yang dikehendaki untuk menyediakan pelayanan kepada masyarakat secara efisien. Berbagai argumen yang mendukung Tiebout antara lain dikemukakan oleh Oates (1972) dan Breton (1975), yang menegaskan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh daerah yang memiliki kontrol geografis yang paling dekat karena, Pemerintah lokal sangat mengetahui akan kebutuhan masyarakatnya; Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; dan persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat akan mendorong inovasi pemerintah daerah.
6
Fitrani, et al (2005) memperkirakan ada empat faktor yang mendorong daerah melakukan pemekaran yaitu: Administrative Dispersion, yaitu alasan karena luas wilayah dan jumlah penduduk yang banyak, sehingga akses penduduk atau masyarakat terhadap pelayanan publik tidak optimal; Preference for Homogeneity, yaitu individu atau masyarakat lebih nyaman tinggal di daerah yang lebih homogen dalam hal etnis, bahasa, agama, karakter desa-kota, atau bahkan tingkat pendapatan; Fiscal Spoils, dengan pemekaran wilayah akan memperoleh tambahan sumber daya fiskal dalam bentuk transfer umum, dana bagi hasil (berbagai sumber daya alam), dan untuk daerah dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), khususnya di perkotaan; Bureaucratic and Political Rent Seeking, yaitu birokrat lokal bisa mendapatkan keuntungan langsung dari pembentukan pemerintahan daerah. Pemekaran wilayah berarti memerlukan pemerintahan baru, sehingga merupakan peluang untuk jabatan pada posisi eselon, ada penambahan pegawai negeri sipil (peluang nepotisme), dan membutuhkan proyek-proyek konstruksi baru (peluang bagi rente). Pertimbangan lain ialah aspek politik, yaitu dengan adanya Daerah Otonom Baru (DOB) akan muncul wilayah kekuasan politik baru sehingga aspirasi politik masyarakat semakin terwadahi. Adanya penyebaran wilayah administratif (administrative dispersion) dapat mengatasi rentang kendali pemerintahan mengingat daerah-daerah yang dimekarkan memiliki wilayah yang luas sehingga pelayanan kepada masyarakat mudah dijangkau. Pemekaran wilayah di Indonesia bisa dilakukan atas satu provinsi yang dimekarkan menjadi dua provinsi atau lebih. Hal yang sama dapat dilakukan pada
7
kabupaten/kota yaitu pemekaran satu kabupaten/kota menjadi dua kabupaten/kota atau lebih. Pemekaran kabupaten/kota atau pembentukan DOB menggunakan dasar hukum undang-undang No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Proses pelaksanaannya diwarnai dengan berbagai penyempurnaan terhadap undangundang otonomi daerah, yakni undang-undang No. 32 tahun 2004 untuk menyempurnakan
undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah, dan undang-undang No. 33 tahun 2004 untuk menyempurnakan undangundang no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD). Perubahan terutama berkaitan dengan sistem pemilihan kepala daerah langsung. Lahirnya kedua undang-undang tersebut menyebabkan sistem hubungan lembaga pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan, baik secara vertikal maupun secara horisontal, yaitu hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, serta antara eksekutif, legislatif dan yudikatif baik di pusat maupun di daerah. Pada saat ini, pemekaran kabupaten/kota harus merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Persyaratan dan kriteria pembentukan, penghapusan dan penggabungan suatu daerah yang diatur dalam Peraturan tersebut menyebutkan, pembentukan kabupaten/ kota harus memenuhi tiga syarat yaitu administrasi, teknis, dan fisik. Syarat administrasi meliputi persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota, bupati/walikota induk, DPRD Provinsi, Gubernur serta rekomendasi Mendagri.
8
Syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah. Syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu kota, sarana dan prasarana pemerintahan. Syarat cakupan wilayah untuk pembentukan kabupaten minimal lima kecamatan, dan pembentukan kota minimal empat kecamatan. Faktor-faktor tersebut dinilai dalam suatu studi kelayakan yang mendalam dan menghasilkan satu rekomendasi bahwa suatu daerah layak dimekarkan atau tidak. Pada prakteknya ulusan pemekaran wilayah bukan semata-mata aspirasi masyarakat yang mendapatkan persetujuan DPRD, tetapi lebih banyak merupakan inisiatif DPRD. Pemenuhan syarat teknis dan fisik yang dituangkan dalam studi kelayakan relatif dipaksakan agar memenuhi skor penilaian layak atau tidak suatu wilayah untuk di mekarkan. Masalah yang sering muncul pada awal terbentuknya DOB meliputi sengketa batas, penetapan ibu kota, dan atau pembagian aset-aset kabupaten/kota induk. Kondisi semacam ini merupakan hambatan tersendiri bagi pembangunan pada periode awal terbentuknya DOB. Perkembangan pembentukan DOB ternyata sangat pesat menurut data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementrian Dalam Negeri menunjukkan bahwa sampai Tahun 2009 telah terbentuk 205 DOB yang terdiri dari 7 Provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Sampai tahun 2011 DOB dalam proses usulan mencapai jumlah 18 daerah. Menanggapi keinginan masyarakat untuk melakukan pemekaran wilayah yang sangat tinggi, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan
9
moratorium pemekaran. Pekembangan pembentukan DOB sejak 1999-2009 secara renci disajikan pada Tabel 1.1
Tabel 1.1 Daerah Otonom Baru (DOB) Tahun
Kabupaten
Kota
Jumlah
Sebelum 1999
234
59
319
1999
34
9
43
2001
0
12
12
2002
33
4
37
2003
47
2
49
2007
21
4
25
2008
27
3
30
2009
2
0
2
Total DOB
164
34
198
Total Pemda
398
93
491
1
18
DOB dalam Proses 17 Usulan s/d 2011 Sumber: Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri
Kondisi ini menunjukkan bahwa pemekaran diyakini masyarakat memiliki tujuan yang mulia dan strategis untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pelayanan publik, dan pemerataan pembangunan. Upaya mencapai tujuan tersebut sangat di tentukan oleh ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Alam (SDA), dan potensi ekonomi lainnya. Menurut kaum klasik pembangunan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin SDA. Dalam arti SDA dilihat sebagai modal awal untuk pembangunan yang selanjutnya harus 10
dikembangkan. Selain itu, juga diperlukan fakor-faktor lain yang sangat penting yaitu SDM dan tehnologi. Pada kenyataannya kemampuan DOB sangat bervariasi atau tidak semua memiliki kemampuan mewujudkan cita-cita pemekaran. Hal ini karena adanya keterbatasan SDM untuk menggali dan mengembangkan SDA. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan telah menyusun grand design desentralisasi fiskal, dimana peranan pemerintah daerah di Indonesia sangat dominan sejak digulirkannya era otonomi pada tahun 2001. Implikasi dari pemberian kewenangan yang semakin luas berakibat daerah dituntut dapat melaksanakan pembangunan secara mandiri, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai prinsip-prinsip otonomi daerah. Pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pada dasarnya dilakukan dengan prinsip money follow function. Hal tersebut seiring dengan pelimpahan kewenangan pusat kepada daerah yang di ikuti dengan pemberian sumber pendanaan yaitu melalui dana transfer pusat yang jumlahnya cukup besar. Selaras dengan esensi otonomi daerah, maka besarnya sumber pendanaan daerah dibarengi dengan kewenangan yang luas untuk membelanjakan sesuai kebutuhan dan prioritas daerah. Diharapkan agar local government spending benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi perekonomian di daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan pemerintah daerah mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang
11
berorientasi pada kebutuhan, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Keberhasilan pembangunan ekonomi DOB dapat diukur dengan pencapaian Produk Domestik Regional Bruto (PDBR). Upaya meningkatkan PDRB dapat dilakukan dengan memperbanyak kegiatan pembangunan sektor ekonomi. Kegiatan pembangunan daerah antara lain ditentukan oleh kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Proporsi belanja pemerintah daerah merupakan komitmen seorang kepala daerah terhadap pembangunan sekaligus sebagai upaya memenuhi janji kampayenya pada saat pemilihan kepala daerah. Dampak dari belanja pemerintah daerah terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat diukur menggunakan PDRB. Pada dasarnya, PDRB adalah jumlah keseluruhan dari nilai tambah (value added) yang dihasilkan sebagai akibat adanya aktivitas ekonomi. PDRB dapat dijadikan tolak ukur bagi pemerintah dan pihak-pihak lain untuk mengevaluasi keberhasilan pembangunan ekonomi, dan dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan ekonomi daerah secara keseluruhan atau per sektor. PDRB atas dasar harga konstan (constant price) memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi daerah secara riil, sedangkan PDRB atas dasar harga yang berlaku (at curent price) memberikan gambaran tentang kontribusi atau pangsa dari setiap sektor dalam struktur perekonomian daerah sekaligus dapat digunakan untuk menyusun prioritas kebijakan pembangunan. Studi oleh Bappenas yang bekerjasama dengan UNDP (2008) pada DOB yang terbentuk tahun 2000-2005 secara umum menyimpulkan perkembangan
12
pembangunan yang relatif kurang baik dibandingkan daerah induknya; perkembangan pembangunan ekonomi relatif lebih kecil dibandingkan wilayah induknya; tingkat kesejahteraan yang diukur dengan PDRB per kapita masih ketinggalan dibandingkan daerah induk. Sementara itu, pada aspek pelayanan publik, khususnya pendidikan menunjukkan bahwa DOB belum berkembang. Kondisi ini dilihat dari ketersediaan pendidik tingkat menengah dan infrastruktur pendukungnya. Kondisi yang sama juga terjadi pada kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan. Pelayanan publik yang diukur dari ketersediaan dan kualitas jalan yang ada pada DOB memiliki lebih rendah dibandingkan daerah induknya. Studi tersebut juga menegaskan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi di DOB lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di daerah induk. Secara umum pertumbuhan ekonomi daerah induk lebih stabil dengan kisaran 5-6 persen pertahun, sedangkan pertumbuhan ekonomi di DOB lebih bervariasi dan cenderung lebih rendah. Faktor lain yang menjadi penentu keberhasilan tersebut adalah belanja investasi, dimana rasio belanja modal pemerintah terhadap total belanja (capital expenditure) yang digunakan untuk mengukur seberapa jauh kebijakan pemerintah dalam penganggaran berorientasi kepada manfaat jangka panjang atau investasi. Studi yang dilakukan Bappenas juga menjelaskan bahwa pemerintah daerah memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap alokasi anggaran pemerintah pusat. APBD pemerintah daerah provinsi menghabiskan antara 70–80 persen dari total anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat, sedangkan kabupaten/kota 80–90 persen.
13
Percepatan pembangunan DOB menjadi terhambat karena tidak semua DOB memiliki potensi ekonomi potensial atau unggulan. Keterbatasan lain adalah upaya untuk memanfaatkan potensi ekonomi tersebut diperlukan SDM yang cukup baik kualitas maupun kuantitasnya. Faktor lain yang juga penting sebagai fasilitas pembangunan yaitu tersedianya infrastruktur publik. Pemerintah DOB tidak mampu mengalokasikan sebagian besar pengeluaran pemerintah daerah untuk mewujudkan fasilitas tersebut. Kegiatan pembangunan DOB sebagian besar dibiayai melalui dana pusat dalam bentuk dana perimbangan. Menurut penelitian yang dilakukan Bappenas (2008), menyebutkan bahwa secara umum optimalisasi sumber-sumber PAD di DOB relatif lebih rendah dibanding daerah induk. Pada periode awal (2001-2002), optimalisasi sumber-sumber PAD di DOB dan daerah induk menunjukkan kesenjangan yang relatif kecil. Setelah tahun 2002, daerah induk mengalami peningkatan sementara DOB mengalami penurunan yang cukup drasis. Pembangunan di DOB mengandalkan dana yang bersumber dari pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan. Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun dana perimbangan untuk kabupaten rata-rata 89,73 persen (berkisar antara 82,75- 95,91 persen), dan kota rata-rata 80,31 persen (berkisar antara 72,93-88,31 persen). Keberhasilan pembangunan DOB juga ditentukan oleh kemampuan daerah mengalokasikan anggaran/pola belanja secara tepat sesuai dengan potensi sumberdaya yang dimiliki. Pola belanja pemerintah daerah yang baik akan
14
berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Data statistik keuangan pemerintah kabupaten/kota tahun 2001-2010 menunjukkan bahwa dari 32 DOB terdapat 59,37 persen memiliki pola belanja dengan komposisi belanja pegawai lebih besar dari belanja modal. Selama periode tersebut pola belanja pemerintah daerah berdasarkan komposisi dapat dijelaskan bahwa rata-rata: belanja pegawai mencapai Rp157,51 milyar atau 31,49 persen, belanja barang dan jasa Rp 84,61 milyar atau 16,92 persen, belanja modal Rp 201,22 milyar atau 40,23 persen, dan belanja lainnya Rp 56,81 milyar atau 11,36 persen. Pada periode yang sama performance pertumbuhan ekonomi DOB mencapai rata-rata 6,4 persen dengan kisaran antara (1,06-13,9) persen dan standar deviasi 2,17 persen. Pembentukan DOB diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui: peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, pembangunan perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, serta peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Upaya meningkatkan kesejahteraan dibatasi oleh kemampuan DOB mengidentifikasi, menggali, dan memanfaatkan potensi ekonomi daerah, membangun pola belanja yang baik dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pengerahan anggaran belanja pemerintah, SDM yang berkualitas, dan potensi ekonomi lainnya.
1.2 Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang dan memperhatikan data yang disajikan sebelumnya maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:
15
1.
Di satu pihak pembentukan DOB tumbuh secara pesat dengan alasan ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat (pendapatan masyarakat), pelayanan publik, dan mendorong percepatan pembangunan daerah. Namun di lain pihak pemerintah daerah memiliki kemampuan yang berbeda.
2.
Di satu pihak pembentukan DOB diharapkan mampu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi ekonomi yang dimiliki. Di lain pihak tidak semua DOB memiliki potensi ekonomi andalan dan memanfaatkannya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
3.
Di satu pihak pembentukan DOB diharapkan
mampu
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerah melalui alokasi anggaran atau pola belanja daerah yang baik. Di lain pihak DOB
memiliki keterbatasan untuk
menyediakan anggaran belanja dan membentuk pola belanja daerah yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 4.
Pertumbuhan ekonomi daerah diharapkan dapat digerakkan
melalui
pengerahan anggaran belanja daerah, infrastruktur daerah, potensi ekonomi, dan SDM. Namun pada kenyataannya DOB memiliki keterbatasan untuk menyediakan anggaran belanja dan merumuskan pola belanja daerah yang baik, infrastruktur daerah, dan SDM berkualitas.
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah diuraikan di atas, maka pertanyaan penelitiannya adalah
16
1.
Apakah setiap DOB memiliki karakteristik/kemampuan daerah berdasarkan tipologi yang diukur berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat?
2.
Apakah setiap DOB memiliki potensi ekonomi basis/sektor unggulan yang mempunyai daya saing dan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi?
3.
Apakah setiap DOB memiliki pola belanja pemerintah daerah yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi?
4.
Apakah setiap DOB yang memiliki alokasi belanja pemerintah bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan SDM, serta sektor basis mampu mendorong pertumbuhan ekonomi?
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan penjelasan latar belakang, dan data tentang kondisi DOB, serta memperhatikan masalah penelitian maka tujuan penelitian adalah untuk: 1.
Menganalisis karakteristik/kemampuan daerah berdasarkan tipologi daerah dengan menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita DOB di Indonesia.
2. Menganalisis potensi ekonomi daerah yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi DOB di Indonesia. 3. Menemukan pola/tahapan belanja pemerintah daerah yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi DOB di Indonesia.
17
4. Menganalisis pengaruh belanja pemerintah daerah bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, tenaga kerja, dan sektor basis terhadap pertumbuhan ekonomi DOB di Indonesia.
1.5 Keaslian Penelitian Penelitian yang memiliki latar belakang, masalah, dan tujuan sebagaimana dikemukakan di atas masih relatif sedikit dilakukan. Kalaupun ada sebagian besar membahas secara umum tentang pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi pada suatu negara atau antar negara. Seperti, penelitian yang dilakukan oleh Devarajan and Swaroop (1993) menggunakan variabel GDP, Pengeluaran pemerintah untuk investasi dan konsumsi. Peneliti lainnya yaitu Davoodi and Zou (1996) menggunakan variabel pajak (rata-rata), fiscal decentralization (dummy variabel), Pertumbuhan penduduk, Gross Domestik Produk (GDP) perkapita tahap awal, modal sumber daya manusia tahap awal, dan Investment share of GDP. Peneliti lain tentang pengeluaran pemerintah dilakukan oleh Mello (2002) menggunakan variabel penelitian pengeluaran pemerintah (jasa transportasi; kesehatan, perumahan), pinjaman daerah, pajak daerah, investasi infrastruktur, dan transfer antar pemerintah. Kweka
and Morrissey (2000), juga
melakukan penelitian dengan
menggunakan variabel penelitian yaitu pengeluaran investasi swasta, investasi pemerintah, pengeluaran konsumsi pemerintah, dan pengeluaran modal manusia. Penelitian yang relatif baru seperti yang dilakukan oleh Alexiou
(2009),
Nurudeen dan Usman (2010), Adesoye et al (2010), Awan et al (2011), Dandan 18
(2011), Loto (2011), menggunakan variabel penelitian; belanja modal, pengeluaran
pertahanan,
pengeluaran
sektor
pertanian,
transportasi
dan
komunikasi, pendidikan, kesehatan, inflasi, dan keseimbangan fiskal. Penelitian untuk kasus Indonesia pernah dilakukan oleh Ramayandi (2003) menggunakan variabel penelitian yaitu investasi pemerintah, investasi swasta, pengeluaran pemerintah untuk konsumsi, tenaga kerja, serta ekspor dan impor. Hasil penelitian membuktikan bahwa investasi swasta ekspor riil berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya variabel tenaga kerja dan pengeluaran konsumsi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak pada penggunaan variabel penelitian, data yang digunakan, dan lokasi penelitian yang dilakukan pada Daerah Otonom Baru (DOB). Penelitian sebelumnya dan Variabel yang digunakan serta sampel penelitian yang dilakukan disajikan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2 Penelitian Sebelumnya. No
Peneliti
Sampel
Variabel
Kesimpulan
1
Devarajan et al (1993)
Data Crosssection (1970-990)
GDP; pengeluaran pemerintah untuk investasi; dan konsumsi.
Investasi ber hubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan konsumsi pemerintah berhubungan positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
19
No
Peneliti
Sampel
Variabel
2
Cheng and Lai (1997)
DataTime Series (1954-1994)
pengeluaran pemerintah; GDP; CPI; dan uang beredar
3
Zhang dan Zou (1998)
Data Time series 28 propinsi (1980-1992)
4
Kweka and Morrissey (2000)
Data time series (1965 -1996)
investasi; tenaga kerja; pengeluaran pemerintah; inflasi; (X-M); serta derajad desentralisasi fiskal dengan variabel dependen pendapatan riil provinsi. pengeluaran investasi swasta; investasi pemerintah; pengeluaran konsumsi pemerintah; dan pengeluaran modal manusia.
5
Mello, JR (2002)
Data panel 26 brazilian (1985-1994)
6
Bradbury dan Stephenson (2003)
Data CrossSection sampel 154 (1997-1992)
pengeluaran (jasa transportasi; kesehatan, perumahan); pinjaman daerah; pajak daerah; investasi infrastruktur; transfer pemerintah penduduk dan pengeluaran pemerintah (total, kesejahteraan, , kesehatan, dan transportasi)
20
Kesimpulan Hubungan kausalitas dua arah antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan jumlah uang beredar berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Semua variabel bebas memiliki hubungan yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, kecuali inflasi dan ekspor&impor.
Pengeluaran konsumsi pemerintah dan investasi swasta berdampak positif, investasi pemerintah berdampak negatif , dan investasi bidang sumber daya manusia tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Pengeluaran pemerintah, keuangan publik, memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat lokal bukan nasional.
Korelasi yang konsisten antara ukuran penduduk dan pengeluaran pemerintahan di semua tingkat pemerintahan.
No
Peneliti
Sampel
Variabel
Kesimpulan Belanja pemerintah, tenaga kerja, dan impor, telah mempercepat pertumbuhan ekonomi. Sedangkan investasi swasta, menekan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh investasi swasta dan ekspor riil. Sebaliknya variabel tenaga kerja tidak perpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara signifikan Pengeluaran publik mendorong terjadinya pertumbuhan pendapatan nasional baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Pengeluaran pemerintah berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
7
Ghali (2003)
Data Time Series (1960-2000)
GDP; investasi swata; pengeluaran pemerintah; ekspor dan impor; utang negara; tenaga kerja, & pajak
8
Arief Ramayandi (2003
Data crosssection 213 kotadan kab (1969-1999)
investasi pemerintah dan swasta; pengeluaran pemerintah untuk konsumsi; tenaga kerja, dan eksporimpor
9
Loizides and Vamvoukas (2003)
Data Time Series (1960-1995)
ukuran pemerintah; pengeluaran pemerintah; pengangguran; &inflasi.
10
Jiranyakul (2007)
Data Time Series (1992-006)
pengeluaran pemerintah riil; jumlah uang beredar riil (M2); GDP Riil.
11
Koeda dan Kramarenk o (2008)
Data Time series (1970-988)
GDP riil; pertumbuhan konsumsi; investasi swasta; konsumsi swasta; dan hutang pemerintah daerah.
Variabel belanja modal dan variabel lainnya berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi.
12
Constantino s Alexiou (2009)
Data panel (1995-005)
pembentukan modal; bantuan pembangunan; investasi swasta; keterbukaan perdagangan; dan pertumbuhan penduduk.
Pembentukan modal, bantuan pembangunan, investasi swasta berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penduduk, ditemukan secara statistik tidak signifikan.
21
No
Peneliti
Sampel
13
Nurudeen, A. dan Usman.A. (2010)
Data Time series (1970-008)
14
Mudrajad Kuncoro (2012)
Time Series (1987-2007)
15
Penelitian Disertasi ini
DOB tahun 1999 (32 kab/kota) Data panel (2001-2010)
Variabel belanja modal, pertanian, transportasi dan komunikasi, pendidikan, kesehatan, dan inflasi, PDRB, IPM, DAU, Penduduk minimal SMU,
Pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah daerah di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, tenaga kerja, dummy kab/kota, dan sektor ekonomi basis Sumber: Hasil kompilasi dari berbagai sumber
Kesimpulan Semua variabel bebas berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
Di NTB terjadi divergensi, dan Ketimpangan antar kabuppaten dan kota semakin meningkat.
Keaslian penelitian ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya peneliti sebelumnya menggunakan unit analisis ekonomi negara sedangkan penelitian ini menggunakan unit analisis ekonomi daerah khususnya daerah hasil pemekaran yang disebut Daerah Otonom Baru (DOB); Penelitian ini menggunakan belanja pemerintah daerah dan pertumbuhan ekonomi yang dimulai dari terbentuknya daerah. Relatif sedikit penelitian yang memadukan model analisis
ekonomi
regional dengan ekonomi publik. Serta dilanjutkan dengan model regresi data panel menggunakan variabel belanja pemerintah DOB yang terdiri belanja bidang pendidikan, belanja bidang kesehatan, belanja bidang infrastruktur, pertumbuhan
22
ekonomi, dan variabel dummy kabupaten/kota serta sektor ekonomi basis/non basis.
1.6 Kontribusi Penelitian Secara potensial penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: (1) Pertama, penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa pengeluaran pemerintah pada bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan tenaga kerja berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. (2) Kedua, secara empiris penelitian ini dapat membuktikan bahwa DOB yang memiliki sektor basis, dan memiliki cukup dana dengan pola belanja yang baik, serta tenaga kerja yang berkualitas mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi DOB di Indonesia. (3). Ketiga, hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan bagi pemerintah maupun masyarakat yang akan melakukan pemekaran daerah, serta dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memperbaiki syarat pemekaran wilayah.
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini terbagi dalam lima bab: Bab pertama adalah pendahuluan, pada bab ini berisikan
uraian latar
belakang, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan, keaslian penelitian, dan kontribusi penelitian. 23
Bab kedua adalah tinjauan pustaka. Pada bab ini berisikan tinjauan teori yang meliputi teori pertumbuhan ekonomi, teori pengeluaran pemerintah, daya saing ekonomi daerah, dan pembangunan ekonomi daerah, serta studi empirik sebelumnya yang berkaitan dengan masalah penelitian, yang dituangkan dalam kerangka pikir dan perumusan hipotesis. Bab tiga adalah metodologi penelitian. Bab ini berisikan tentang definisi operasional variabel, Jenis dan sumber data, daerah penelitian dan model analisis yang meliputi analisis ekonomi regional, publik, dan regresi data panel. Bab empat adalah hasil penelitian dan pembahasan. Bab ini berisikan analisis karakteristik DOB, pola belanja pemerintah daerah, pembahasan hasil uji statistik, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian. Bab lima adalah simpulan, saran, keterbatasan. Bab ini berisi simpulan dari hasil penelitian, saran sekaligus sebagai kontrubusi, dan keterbatasan penelitian.
24