BAB I PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG Melesatnya perubahan zaman yang begitu cepat sanggup merubah
mayoritas setiap lini segi kehidupan. Semenjak itu pula pola rantai penciptaan nilai dalam Industri kreatif di berbagai sektor yang meliputi kreasi, produksi, distribusi dan komersialiasi juga berubah. Globalisasi dan kemajuan teknologi telah menciptakan inter koneksi dan perubahan yang terjadi dari gaya hidup serta perilaku yang lebih kritis serta peka. Cepatnya perkembangan teknologi membawa angin segar yang terus mencuat di ruang publik. Dalam bidang musik, ragam kemudahan dan variasi media yang semakin tersedia, mengikis perangkat resep laku sang produser atau label yang kerap menjadi pagar idealisme bagi sebuah kreativitas. Disinilah kemudian terjadi revolusi, musik sebagai objek mengalami pengembangan sekaligus dilemma permasalahan. Indikasinya jelas, ketika pemerintah mencanangkan musik sebagai salah satu industri kreatif, namun disisi lain belum tuntas permasalahan klasik penghargaan sebuah karya. Bukan semata mengkambing hitamkan sepihak, namun situasi ini harus dibidik lebih dalam agar dapat menemukan celah cerah. Sejak fisikal mulai beralih ke data file dengan membawa nilai efisien, praktis menjadi titik kemunduran industri musik Indonesia dalam era konvensional. Hal ini terlihat dengan banyaknya situs illegal yang kian marak menyediakan unduhan secara cuma-cuma. Kemajuan teknologi, komputerisasi, software dan perangkat penggandaan yang mendukung dengan mudah mengubah atau mengkonvert bentuk fisik menjadi wujud digital. Sangat memberikan celah suram dalam membidani proses lahirnya pembajakan. Perang dingin yang terjadi dalam raksasa perusahaan teknologi gadget yang kemudian menjadi sangat bergantung pada internet, memunculkan banyak tekanan dan iklim yang berubah pada keadaan konsumen. Masih jelas bagaimana Microsoft, apple dan google selalu mengedepankan inovasi dalam setiap produk yang dihasilkan. 1
Kembali dalam bidang musik, berdasarkan laporan data yang diungkapkan surat kabar Tempo, bahwa dalam pasar musik global, telah terjadi tiga puluh miliar lagu diunduh secara illegal pada kurun waktu tahun 2004-2009 dengan kerugian mencapai US$ 17-40 miliar. Lebih ironisnya lagi, 95% musik yang diunduh pada tahun 2008 adalah bajakan.1. Indonesia kehilangan uang sebanyak Rp. 600 milliar per tahun karena website musik illegal, dengan asumsi dalam 20 situs illegal top memiliki 10 juta pengunjung tiap bulannya. Dan setiap pengunjung mengunduh 10 lagu tiap bulannya di website illegal tersebut. Sedangkan harga untuk satu kali unduh lagu menurut PT. melOn Indonesia sebagai layanan musik digital berkisar Rp. 5002. Data IFPI Report tahun 2012, menjelaskan bahwa penerimaan hasil dari produk rekaman musik terus mengalami penurunan. Pada tahun 2007, penjualan musik rekaman di Indonesia masih sebesar Rp. 530,7 miliar, baik dalam bentuk fisik maupun digital. Akan tetapi, pada tahun 2011 telah merosot menjadi Rp502,4 miliar. Namun mirisnya Angka pembajakan musik fisik di Indonesia justru meningkat drastis. Jika di tahun 1996 ASIRI mencatat 20 juta keping album bajakan beredar, maka dua belas tahun kemudian atau di tahun 2008 jumlahnya membengkak fantastis hingga 550 juta keping. Rasio peredaran album musik bajakan dan legal di tahun 2007 bahkan telah mencapai 96% banding 4%3. Industri kreatif musik Indonesia pernah “terselamatkan” oleh model penjualan Ring Back Tone (RBT). Namun tren ini tidak berlaku lama. Tipikal masyarakat masih dalam tahap sesuatu yang hanya lewat saja. “Tren” RBT akhirnya surut di bulan oktober 2011, terkena imbas un-reg massal dalam pemblokiran content provider dan situs download illegal oleh kemenkominfo yang sering disebut black October, sebagai salah satu wujud tindakan dalam dukungan kampanye Heal our music yang dipekikkan oleh pelaku industri musik. 1
Prima Mulia. (2012). Asyiknya Musik Digital Legal, Koran Tempo edisi 8 Januari 2012, Jakarta: PT. Tempo Inti media harian. Halaman A7. 2 http://m.wartaekonomi.co.id/berita4471/pembajakan‐musik‐nilai‐kerugian‐pembajakan‐luar‐ biasa.html Diakses Tanggal 4 November 2012 3 http://world‐technologi.blogspot.com/2010/11/v‐behaviorurldefaultvml‐o.html diakses tanggal 5 november 2012
2
Pemblokiran tersebut sejalan dengan dikeluarkannya keputusan badan regulasi telekomunikasi Indonesia dengan surat edaran BRTI no.77/BRTI/X/2011 tertanggal 18 oktober 2011 untuk me-reset server-server RBT kembali ke titik nol4. Ada sekitar 20 website illegal penyedia lagu yang diblokir, belum termasuk perilaku share secara person to person atau peer to peer. Keadaan ini diperkirakan akan hilang namun tumbuh kembali dalam waktu sekejap. Ada sekitar 2,6 juta jiwa yang terkena dampak sosial karena maraknya pendistribusian lagu secara illegal5. Bahkan persatuan artis penyanyi, pencipta lagu dan penata musik rekam Indonesia (PAPPRI) menyatakan, pengunduhan illegal dan pembajakan musik berpotensi merugikan hingga 1,8 Trilliun pertahun6. Industri kreatif yang sarat dengan tingginya kreativitas dari sumber daya manusia, keadaan seperti ini bisa menjadi titik untuk memutar balik keadaan menjadi lebih baik. Pusaran teknologi infomasi dan komunikasi yang semakin user friendly, memunculkan kegiatan kreatif yang beragam. Lewat jaringan internet yang semakin terakomodir dan meluas di lingkup masyarakat, menumbuhkan berbagai hal yang tidak terduga saat berada di era konvensional. Di bidang industri musik, media baru turut mempengaruhi pola lingkaran penciptaan nilai. Musik digital menjadi bukti produk era media baru dimana sudah tidak mengandalkan fisikal. Sebuah kemasan baru yang tidak hanya sebagai pendistribusian dan akses belaka, namun bisa diolah dan diciptakan kembali, baik secara individual maupun kolektif. Inilah yang menjadi ciri dari era web 2.0 7 . Ada interaktivitas yang bersifat lebih dekat dan desentralisasi. Meskipun di era ini problem penyalahgunaan dan pemanfaatan internet masih berjalan beriringan tanpa adanya sebuah sekat. 4
Adib hidayat. (2013). Format (Baru) Musik Digital Di Indonesia, dalam Majalah rollingstone Indonesia edisi 95, Jakarta, PT. a&e media, halaman 48 5 http://inet.detik.com/read/2012/09/13/161027/2017825/398/jutaan‐orang‐indonesia‐merana‐ karena‐mp3‐bajakan diakses tanggal 4 November 2012 6 http://www.rollingstone.co.id/read/2012/10/05/121833/2055385/1096/music‐biz‐strategi‐ bertahan‐musisi‐indonesia‐di‐era‐digital‐dan‐globalisasi diakses tanggal 4 november 2012 7 Wisnu Martha Adiputra. (2010). Antara Kreativitas, Ketidakpastian Dan Kesempatan Memahami Manajemen Media Baru, Dalam Potret Manajemen Media Di Indonesia. (ed) Amir Effendi Siregar. Yogyakarta: Total Media Halaman 142
3
Di sisi lain, di antara gemuruhnya masalah hak cipta yang tak kunjung jeda ada sisi kreatif yang muncul dari beberapa insan yang tergerak atas nama kecintaan dalam mengembangkan musik di Indonesia. Usaha pemanfaatan internet, dengan membuat Internet label (Netlabel) menjadi salah satu produk kreativitas tersebut. Bukan sebuah hal yang baru memang, di Indonesia netlabel
mulai
populer pada tahun 2007 saat FX Woto Wibowo atau yang lebih dikenal Wok The Rock mendirikan YesNoWave.com. Bukan pioneer tapi populer, karena tahun 2005 telah ada yang membuat netlabel tsefuelha records di jatinangor, Bandung yang akhirnya marger ke yesnowave. Netlabel bisa dimaknai sebagai sebuah praktek adopsi atas referensi dari internet archive yang sudah lama eksis di negara maju dalam hal pengarsipan musik secara digital. Perkembangannya, Saat ini sudah ada lebih dari 13 netlabel di Indonesia dan tergabung dalam Indonesian Netlabel Union dan tersebar di berbagai kota di Indonesia. Ide dibentuk netlabel adalah dengan mendistribusikan rilisan musik secara bebas. Bebas untuk diedarkan, diperdengarkan dan digubah oleh siapa saja. Mereka menyebut aksi tersebut dengan motif “gift economy”. Sebuah pembebasan kreativitas dimana peluang demokratisasi pasar terbuka lebar8. Netlabel pada perkembangannya erat terkait dengan aktivitas berbagi musik yang terlepas dari hukum hak cipta dan tidak selalu berorientasi pada nilai komersil. Sebuah praktek gotong-royong di era teknologi informasi. Maka ketika dalam industri musik dan segala macam permasalahan yang dipaparkan pada awal latar belakang tadi menjadi begitu pelik serta mempengaruhi pola penciptaan nilai produksi hingga promosi. Maka di sisi lain dalam sebuah persimpangan jalan yang bernama alternatif dan digarisbawahi oleh netlabel, menjadi sebuah keunikan tersendiri terhadap jejak perjalanan peta musik di Indonesia. Netlabel yang muncul dari lingkup behind the line mampu menyeruak ke permukaan berkat teknologi internet sebagai sebuah platform yang dominan. Netlabel yang berangkat dari individu atau komunitas yang mempunyai concern lebih terhadap musik menjadi sebuah bagian dari media non profit yang berjalan 8
Woto Wibowo, dkk. (2012). Indonesian Netaudio Usermanual, Yogyakarta: Selfpublish. Halaman 1
4
dengan pengembangan manajemen dan kebiasaan yang dilakukan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing. Meskipun pada benang merahnya, netlabel menjadi sebuah titik distribusi konten musik, namun beberapa netlabel yang menjadi objek tentu mempunyai dinamika tersendiri dalam manajemen netlabel tersebut. Penelitian ini akan mendeskripsikan secara
mendalam mengenai
manajemen distribusi dari berbagai dinamika netlabel di Indonesia dalam rilisan konten audio musik melalui motif gift economy. Media baru yang difasilitasi internet dan teknologi komunikasi menjadi objek baru dalam kajian komunikasi yang menjauhkan ilmu komunikasi dari stagnasi. Dalam kajian manajemen media berdasar kepemilikian, media dibagi dalam 3 bagian besar: not-for-profit media organization. Media komunitas yang diorientasikan sebagai media nirlaba adalah salah satu ragam kepemilikan media yang memantik perlunya kajian riset dalam manajemen media baru.
Media dengan manajemen yang terkonsentrasi pada
pihak-pihak tertentu mampu menjalankan fungsinya untuk menginformasikan, mendidik dan menghibur bahkan menjadi agen perubahan sosial. Melalui motif gift economy yang mengarah pada ideology free culture, netlabel turut menjadi poros pengembangan sebuah budaya pilihan yang mungkin dapat mendompleng konsep komodifikasi musik yang telah menjadi paradigma yang luas. Konten dilihat sebagai output dalam proses komunikasi. Bukan sebuah gagasan menghancurkan industri utama musik ataupun menjauhi peraturan UU nomor 19 tahun 2002 tentang HAKI. Namun gerakan ini bertengger sebagai alternatif sekaligus adaptasi terhadap budaya media baru yang sarat dengan berbagi.
Ada copyleft yang terus berkembang ditengah arus copyright di
Indonesia.
5
1.2.
RUMUSAN MASALAH Dari pemaparan latar belakang yang telah disampaikan, maka dapat
dirumuskan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimanakah manajemen distribusi berbagai netlabel di Indonesia terkait dengan rilisan konten musik melalui budaya berbagi?
1.3.
TUJUAN PENELITIAN Untuk melihat perkembangan distribusi konten musik dengan budaya
berbagi yang dilakukan oleh berbagai netlabel di Indonesia.
1.4.
MANFAAT PENELITIAN Diharapakan dapat melihat bagaimana manajemen distribusi dan
penggunaan internet dalam budaya berbagi oleh netlabel. Diharapkan dapat melihat jaringan perkembangan pemanfaatan internet dalam sebuah media non profit netlabel dengan basis musik sebagai alternatif jalur distribusi sekaligus promosi musik Indonesia. Diharapkan bisa memetakan model distribusi musik yang sedang berkembang, untuk selanjutnya bisa dilanjutkan ke dalam penelitian lanjutan dimasa yang akan datang dengan tema yang sama dan model pengembangan yang inovatif dan berbeda, khususnya dalam media yang bersifat non profit.
1.5.
KERANGKA PEMIKIRAN 1.5.1. Website Sebagai Bagian Dari Internet Media baru sebagai katalisasi dalam industri kreatif mempunyai dasar
makna yang cukup kuat. Gagasan teoritik media baru tidak terlepas dari medium theory, media ecology theory dan new media theory. Medium theory menyimpulkan bahwa media, terlepas dari apa pun isi yang disampaikan, akan berdampak terhadap individu dan masyarakat. Media ecology theory menjelaskan bahwa teknologi mempengaruhi komunikasi melalui teknologi baru. Dan new media theory menyimpulkan bahwa media baru bersifat lebih interaktif dan menciptakan komunikasi yang lebih pribadi. Media baru yang selama ini 6
diperbincangkan oleh khalayak sebenarnya memiliki 3 jenis sebagai representasi, yaitu games, HP dan internet.
Secara karakteristik, media baru bagian dari
lompatan sejarah umat manusia seperti yang pernah terjadi pada kelahiran mesin cetak9. Menurut McQuail (2006), media baru adalah tempat dimana saluran pesan komunikasi terdesentralisasi; distribusi pesan lewat satelit meningkat penggunaan jaringan kabel dan komputer; keterlibatan audiens dalam proses komunikasi yang semakin meningkat; semakin seringnya terjadi komunikasi interaktif (dua sisi); dan juga meningkatnya derajat fleksibilitas untuk menentukan bentuk dan konten melalui digitalisasi dari pesan10. Adalah internet menjadi produk era yang banyak menyebabkan perubahan di masyarakat. Ia dirancang untuk mendistribusikan informasi barang dan jasa melalui jalur pendistribusian yang terbuka, sistem dimana jaringan ekonomi mudah terlihat, baik dari segi konektivitas dan dalam hal penyediaan konten dan layanan. Melalui jaringan internet setiap orang bisa melakukan komunikasi tanpa batas ruang dan waktu11. Kehadiran internet mempersilahkan setiap individu untuk berekspresi, berkreasi dan memilih informasi yang diinginkan. Dalam sejarah singkat, World wide web (www) muncul pertama kali didunia oleh tim burners-lee pada tanggal 6 agustus 1991 dengan alamat www.info.cern.ch. Sebuah ruang informasi yang dipakai oleh pengenal global. Pada bulan maret 1993, Marc areesen berhasil membuat web browser pertama kali dengan nama mosaic. Meskipun banyak yang menyamakan bahwa www sama dengan internet, namun sebenarnya www adalah bagian dari program dan aplikasi lain yang dipergunakan di internet. 12 Desain yang digunakan oleh Tim Burners-lee agar www dapat digunakan di internet sesungguhnya relatif sederhana karena selain menggunakan protocol komunikasi dan teknologi packet-switching yang telah ada sebelumnya, 9
Crosbie Vin. (2002). What Is New Media?. dikutip dari http://www.sociology.org.uk/as4mm3a.doc Diakses Tanggal 24 desember 2012 10 Nicholas W. Jankowski. (2006). Creating Community With Media. Dalam Leah A. Liverouw dan Sonia Livingstone (Ed.). The Handbook of New Media. London: Sage Publications Ltd. Halaman 56. 11 Werner J Severin, James W tankard. (2008). Teori Komunikasi: Sejarah, Metode Dan Terapan Di Dalam Media Massa. Jakarta: Penerbit Kencana Halaman 443. 12 Friedman, Thomas L. (2007) The World Is Flat: A Brief History Of The Twenty‐First Century. New York: Picador. Halaman 60
7
serta komputer yang terhubung dengan internet, melalui saluran telepon (waktu itu), ia hanya membutuhkan 3 elemen tambahan13: 1. Bahasa pemrograman komputer untuk menata file-file hypertext, yang saat ini lebih dikenal dengan HTML (hypertext markup language) 2. Sebuah metode yang memungkinkan dan memudahkan tindakan melompat dari satu file ke file lainnya (hypertext), yang kini dikenal sebagai hypertext transfer protocol (HTTP) 3. Sebuah kode alamat unik, yang dilekatkan pada masing-masing file, yang digunakan untuk memanggil file-file tertentu di internet. Pada awalnya burners-lee memberi nama universal resource identifier (URI), namun kemudian berubah menjadi Universal Resource Locator (URL), seperti yg dikenal saat ini. Dalam buku a brief history of twenty-first century, Friedman (2007), memberikan penjelasan mengenai internet dan world wide web: “ the internet (net) is a networks. Basically it is made from computers and cables. What vint cerf and bob kahn (the inventors of internet) did was to figure out how this could be used to send around little packets of information… that’s what the internet does. It delivers packets-anywhere in the world, normally in well under a second. Lots..of programs use the internet: electronic mail, for example, was around long before the global hypertext system I invented and called the www” Sedangkan yang dimaksud dengan world wide web adalah: “the web is an abstract (imaginary) space information. On the net, you find computers – on the web, you find documents, sounds, video..information. on the net, the connections are cables between computers; on the web, connections are hypertext links. The web exist because of programs which communicate between computers on the net. The web could not be without the net. The web made the net useful because people are really interested in information (not to mention knowledge and wisdom) and don’t really want to have to know about computers and cables”. Pada perkembangannya ada 4 macam teknologi yang membuat internet, khususnya world wide web menjadi begitu cepat popular di seluruh dunia. 4 macam hal tersebut adalah: 13
Cassidy, John. Dot.com. (2002) The Greatest Story Ever Sold. New York: Harper Collins Publishers, inc. Halaman 20‐21
8
1. World wide web memungkinkan ditampilkannya data dalam format gambar yang berwarna-warni , audio, musik dan video. Selain tentu saja data yang berupa teks dan ini yang mendorong diperkenalkannya kemampuan multimedia di internet. 2. World wide web dibangun berdasarkan prinsip-prinsip hypertext 3. Kemunculan browse yang memanfaatkan prinsip hypertext tersebut, seperti internet explorer dan netscape navigator. Serta, kelahiran mesin-mesin pencari (search engine) di internet seperti yahoo!, altavista dan google yang semakin menegaskan peran hypertext sebagai sarana untuk mempermudah user internet untuk mengakses informasi yang disediakan dan terdapat dalam mesin-mesin pencari tersebut. 4. Diperkenalkannya Hypertext transfer protocol (HTTP) dan Hypertext markup language (HTML) Maka yang terjadi kemudian, media baru menimbulkan eksplorasi yang memunculkan banyak pertanyaan dan ketertarikan untuk keperluan penelitian. Dalam media baru juga terjadi pergeseran paradigma media yang bersifat global dan fundamental. Pergeseran ini menyangkut produksi, penyimpanan dan penyebaran informasi digital melalui jaringan online, dimana setiap komputer mampu menerima dan mengirim teks, gambar, audio dan video dengan cepat dan murah 14 . Salah satu klaim yang pertama tentang perubahan substansial karena media dibuat oleh Marshall Mcluhan. Beliau berpendapat bahwa efek dari revolusi elektronik di tahun 1950-an. Revolusi ini, menghasilkan kelas tanpa adanya sekat dinding seperti telekomunikasi dan televisi membawa struktur informasi simultan kepada masyarakat 15 . Revolusi media baru telah mengilhami keprihatinan kontemporer teori media baru untuk dapat ditemukan dalam penyelidikan media berdasarkan interaktivitas. Dalam kehidupan yang kita rasakan dengan banyaknya
14 Petre, D. & Harrington, D. (1996). The clever country? Australia’s Digital Future. Sydney: Landsdowne Publishing. Halaman 9 15 Little john, Stephen W and Foss, Karen A, (2009). Encyclopedia of communication theory. London: SAGE publications. Halaman 289‐293
9
perkembangan yang terjadi, ada perubahan-perubahan penting yang berhubungan dengan munculnya media baru16 , yaitu: 1. Adanya digitalisasi dan konvergensi dari semua aspek media 2. Adanya interaktivitas dan konektivitas jejaring yang mengikat 3. Adanya mobilitas dan delokasi pengiriman dan penerimaan (pesan) 4. Adanya adaptasi publikasi dan peran-peran khalayak 5. Munculnya beragam bentuk baru dari media “gateway” yaitu pintu masuk untuk mengakses informasi pada web atau untuk mengakses web itu sendiri. 6. Fragmentasi dan kaburnya “institusi media” Perubahan-perubahan tersebut juga sangat berpengaruh terhadap apa yang menjadi respon dari khalayak baik sebagai komunikan atau komunikator, setidaknya ada pertimbangan-pertimbangan dan unsur dalam memahami media baru sebagai sebuah fenomena, seperti: -
Adanya artefak atau perangkat yang memungkinkan dan memperluas kemampuan kita untuk berkomunikasi.
-
Kegiatan komunikasi dan praktek kita terlibat dalam mengembangkan dan menggunakan perangkat tersebut.
-
Kegiatan komunikasi dan praktek kita terlihat dalam mengembangkan dan menggunakan perangkat dalam artefak era new media.
-
Pengaturan sosial dan organisasi yang terbentuk di sekitar perangkat ini dan prakteknya17. Dalam media baru, kita harus mengetahui apa yang “baru” dalam new
media, lister and friends (2009) menjabarkan hal tersebut18:
16 Denis McQuail, (2010). Mass Communication Theory, Sixth Edition. London: Sage Publications Ltd, halaman 153. 17 Liverouw dan Sonia Livingstone (Ed.). (2006) The Handbook of New Media. London: Sage Publications Ltd. Halaman 56. 18 Lister, Martin, Jon Dovey. Seth Gidding And Friends. (2009), New Media: A Critical Introduction. London: Routledge. Halaman 12
10
1. New textual experiences: bentuk tekstual dan genre baru dalam hal konsumsi media, hiburan dan kesenangan, termasuk computer game, simulasi dan special efek. 2. New ways of representing the world: media menawarkan kemungkinan baru dalam merepresentasikan dan memberikan pengalaman baru dalam memahami dunia. Ini dapat dilihat dalam kemunculan lingkungan virtual dan layar yang menawarkan multimedia interaktif. 3. New relationship between subject (users and consumers) and media technologies: perubahan dalam penggunaan dan penerimaan citra dan media komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dan perubahan dalam pemaknaan yang ditanamkan pada teknologi media. 4. New experiences of the relationship between embodiment, identity, and community: adanya perubahan pengalaman personal dan sosial dalam memaknai waktu, ruang dan tempat (lokal maupun global), yang memiliki implikasi terhadap cara seseorang memaknai dirinya dan tempatnya didunia. 5. New conception of the biological body relationship to technological media: tantangan untuk menerima perbedaan antara manusia dengan alam, teknologi dan tubuh artifisial, serta media sebagai bagian dari teknologi artifisial, baik yang riil maupun virtual. 6. New patterns of organization and production: penataan ulang dan integrasi, yang lebih luas pada budaya, industri, ekonomi, akses, kepemilikan, pengendalian dan regulasi media. Media baru melalui internet membawa orang kembali ke dalam kontak pribadi dalam cara-cara yang tidak dapat dilakukan oleh media konvensional. Media baru berisi kekuatan sekaligus keterbatasan, kerugian dan manfaat serta dilema. Media baru memungkinkan kelonggaran waktu, namun terkadang juga butuh permintaan waktu yang baru juga. Dalam perkembangan era digital yang semakin merasuk ke masyarakat, internet bisa dikategorikan dalam beberapa generasi, yaitu: 11
1. Generation one :
Dimana perusahaan menciptakan brosur online yang terpusat
di website. 2. Generation two : Sebagai pengembangan atas keberhasilan internet, Manajemen perusahaan membangun website yang merepresentasikan apa yang menjadi tujuan, visi-misi, kerjasama dan segala hal yang mampu membangun citra positif perusahaan. 3. Generation three : Website menjadi jawaban yang cepat dan fokus terhadap kebutuhan spesifik orang yang mengunjungi. Segala macam informasi bisa didapatkan dari website. 4. Generation four : Menjadi masa depan internet, dimana di generasi ini internet diciptakan lebih dinamis dan terintegrasi dalam pengoperasiannya. Internet bisa menjadi ujung tombak dalam proses distribusi ataupun promosi19. Dalam proses komunikasi netlabel bisa dirunut dengan adanya website yang dibangun oleh perseorangan atau kelompok, kemudian adanya konten yang terus diupdate dan dikembangkan. Adanya promosi dengan medium internet agar banyak konsumen yang berkunjung dan tertarik. Terjadilah proses komunikasi antara pemilik atau admin
website netlabel dengan pengunjung atas dasar
ketertarikan. Konsumen bisa berkunjung, berinteraksi jika tertarik dan meninggalkan jika tidak tertarik. Sesederhana itu pola interaksi yang berlangsung. Pola pemanfaatan media ini bisa disebut sebagai user generated content, yaitu salah satu karakteristik dari web 2.0 yang merujuk pada satu kelompok teknologi yang diasosiasikan secara mendalam dengan blog, wiki, podcast, really simple syndicate (RSS), feeds dan lainnya yang memfasilitasi situs website untuk terhubung secara sosial dimana semua orang bisa menambah dan mengedit ruang informasi20. Hal ini praktis perlahan namun pasti meninggalkan era penjualan fisikal yang pernah menjadi tempat sandaran para pelaku musik. Musik menjadi lebih 19 Rosen, Anita. (2000), The E‐commerce Question and Answerbook, New York: Amacom.S. Halaman 3 20
Amelia & Irwansyah. (2010). Media Baru: From Nothing To Something, Dalam Potret Manajemen Media Di Indonesia. (ed) Amir Effendi Siregar dkk. Yogyakarta: Total Media. Halaman 209.
12
efisien dan lebih meluas secara global. Lewat teknologi internet, musik lawas bisa eksis kembali dan musik daerah sekalipun bisa melejit di kancah internasional. Namun disisi lain, produk musik menjadi begitu sempit ketika hanya terbatas pada fitur di gadget yang kita miliki. Mayoritas file musik tersimpan dalam genggaman gadget kita. Ribuan file download illegal yang kita miliki tak sebanding dengan penghargaan atas proses produksi yang sampai saat ini masih memerlukan biaya. Disisi lain kemajuan teknologi dalam media baru memunculkan sebuah alternatif dari keadaan industri utama dengan pemberlakuan dan pemanfaatan internet sebagai basis dalam distribusi musik. Teknologi mengarah pada sebuah perubahan budaya dimana budaya berbagi menjadi sebuah hal yang umum dan merujuk pada setiap aktivitas pengguna internet. Ironis memang, Disisi utama industri musik terseok dengan problematika distribusi illegal dan kepemilikan. Namun disisi lain, distribusi musik dengan sistem budaya berbagi berkembang luas tanpa terpojok oleh tendensi hak cipta dan pengekangan kreativitas atas nama undang-undang. Inilah yang menjadi salah satu bukti dari teori yang dipaparkan oleh Mcquail dalam perubahan akibat media baru.
1.5.2. Netlabel Sebagai Bagian Dari Media Baru Non Profit Setiap organisasi sudah barang tentu memiliki perencanaan, perbedaannya terletak pada besar dan kompleksitas organisasi, lingkup maupun variabel yang digunakan 21 .
Netlabel menjadi suatu objek institusi media non profit yang
didalamnya terdapat struktur kepengurusan, dengan bagaimanapun bentuknya. Organisasi non profit atau bisa disebut organisasi nirlaba didirikan dengan alasanalasan diluar daripada usaha memperoleh laba untuk pemilik dan investor. Komang (2008: 10) menjelaskan bahwa Organisasi nirlaba atau organisasi nonprofit adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal didalam menarik perhatian publik untuk suatu tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat mencari laba (moneter). Karakter dan tujuan dari organisasi non-profit menjadi jelas terlihat 21
Faisal Basri. (2005). Dalam Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Nirlaba, Michael Allison, Jude Kaye. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia: Halaman xv
13
ketika dibandingkan dengan organisasi profit. Organisasi non-profit berdiri untuk mewujudkan perubahan pada individu atau komunitas, sedangkan organisasi profit sesuai dengan namanya jelas-jelas bertujuan untuk mencari keuntungan. Organisasi non-profit menjadikan sumber daya manusia sebagai asset yang paling berharga, karena semua aktivitas organisasi ini pada dasarnya adalah dari, oleh dan untuk manusia22. Organisasi non profit bukan berpatok seperti organisasi profit pada umumnya, adanya perkembangan teknologi turut merubah struktur bahkan bisa mengaburkannya. Media yang dikelola dalam manajemen model ini umumnya diorganisir oleh kelompok tertentu yang mempunyai kepentingan. Dalam kasus netlabel, mayoritas para pendiri ini mempunyai kepentingan berdasar pada sebuah kesenangan akan dunia musik dan perkembangannya. Ada semacam kegelisahan atau sebuah pencapaian yang ingin diraih dari sisi lain dalam perkembangan musik. Mereka bisa menyebut sebagai proyek hobby yang terus berkembang. Eksistensi dan konsistensi mereka inilah yang mampu meluas sekaligus menjadi alternatif dari keberadaan industri musik tanah air. Dalam kegiatannya, Cutlip (2007) menjelaskan secara umum organisasi non profit dengan beberapa kriteria, antara lain23: 1. Organized, adanya kesatuan institusional, yang berarti bahwa organisasi memiliki kesepakatan, pertemuan berkala, petugas-petugas, peraturan atau indikator-indikator lainnya yang relatif permanen. 2. Private, organisasi non profit secara institusional terpisah dari pemerintah. Mereka bukan agensi yang dikontrol pemerintah walaupun mungkin saja menerima pendanaan dari pemerintah. 3. Non profit distributing, organisasi non profit tidak hadir untuk menghasilkan profit bagi pemilik atau direkturnya. Hal ini tidak berarti organisasi non profit tidak dapat menghasilkan profit. Namun jika 22
Komang Ardana, dkk. (2008). Perilaku Keorganisasian. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu, Dalam http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/Bab%20II_24.pdf Diakses Tanggal 2 Februari 2013 halaman 10 23 M Scott cutlip, (2007). Effective Public Relations, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Halaman 444
14
mendistribusikan profit kepada yang mengatur atau untuk mengembangkan bisnis merupakan tindakan yang dilarang, karenanya harus memenuhi syarat tidak mencari keuntungan. 4. Self governing, organisasi non profit memerintah dirinya sendiri dan mengontrol aktivitasnya sendiri, artinya mereka membuat prosedur sendiri dan tidak tergantung dari pihak luar. Mereka memilih jajaran direksi sendiri dan menyediakan lowongan bagi masyarakat untuk terlibat tanpa arahan dan kontrol dari pemerintah. 5. Voluntary, seminim-minimnya pasti ada partisipasi sukarelawan baik dalam manajemen organisasi atau pelaksanaan programnya. Artinya ada beberapa aspek kontribusi amal yang terlibat. Menurut Sri Sapto (2009), organisasi nirlaba dapat didefinisikan secara hukum sebagai organisasi yang tidak dapat mendistribusikan asset atau pendapatannya untuk kepentingan dan kesejahteraan pekerja atau pemimpinnya. Akan tetapi dibalik pembatasan yang demikian, terdapat beberapa kelonggaran. Yang pertama adalah organisasi nirlaba tidak dilarang untuk memberikan kompensasi untuk pekerjanya sebagai timbal balik atas kinerja yang diberikan. Yang kedua adalah organisasi nirlaba tidak dilarang untuk mencari keuntungan, akan
tetapi
sekali
lagi
bukan
untuk didistribusikan
melainkan
untuk
pendanaan proyek lainnya24. Ada internet dengan segala media yang ada didalamnya mampu menjadi ruang sekaligus model baru dalam pergerakan industri musik. Konvergensi tersebut bernama internet label. Timmers25, mendeskripsikan karakteristik netlabel yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
24
Pengertian Organisasi Non Profit, dalam http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/Bab%20II_24.pdf Diakses Tanggal 3 Februari 2013 Halaman 11 25 Bram Timmers. (2005). Netlabel and Open Contents. Dalam Situs www.c3.hu/~bram/Netlabels_and_Open_Content.pdf. Diakses Tanggal 3 Februari 2013.
15
1. Netlabel tidak bertujuan utama untuk mendistribusi ulang musik populer yang telah ada (program peer to peer dan pay-per-song telah mengambil peran tersebut untuk banyak konsumen). 2. Netlabel dikonstruksikan untuk memberi kesempatan bagi para artis underground amatir yang mampu memproduksi musik berkualitas agar karya mereka dapat didengarkan oleh audiens dengan skala yang besar. Tujuan utama mereka adalah menyediakan platform dimana artis-artis dapat menunjukkan karya mereka, dan dimana penggemar musik dapat berinteraksi dan terinspirasi oleh satu sama lain, beradaptasi terhadap lagu-lagu dan berkomentar tentang prestasi satu sama lain. 3. Netlabel mayoritas mempromosikan genre musik-musik non mainstream (atau setidaknya jenis musik yang tidak “layak untuk dipinang oleh label rekaman tradisional”). 4. Profit seringkali tidak menjadi target, usaha lebih ditujukan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk keperluan perkembangan teknis dan alat-alat. Contohnya dengan cara merilis album fisikal. Jelas sudah bahwa apa yang ada dalam netlabel terutama di Indonesia bertolak belakang dengan etalase musik mainstream yang sedang wara-wiri bernyanyi disekitar kita. Nihil jika seseorang browsing dan masuk dalam website netlabel untuk mencari nidji, noah, slank, dewa19 dsb. Fenomena ini bisa disebut sebuah kepekaan sekaligus keprihatinan dalam musik di Indonesia. Di satu sisi, jika kita jeli mengamati ragam musik di Indonesia sangatlah berwarna namun yang sering terekpose hanya warna tertentu saja. Masyarakat sudah semakin berada dalam era informasi yang sekaligus turut mengedukasi dan menyeleksi atas apa yang akan didengar dan apa yang hanya dilihat sepintas saja. Walaupun semua kembali pada selera dan telinga masing-masing. Dalam aktivitas prakteknya, netlabel terkadang juga terlibat dalam penggarapan produksi dari musisi yang akan diorbitkan. Kerjasama ini terjadi ketika pihak netlabel merasa menemukan kecocokan dalam beberapa hal termasuk kelayakan ketika pada akhirnya nanti karya tersebut dibawa dalam ranah yang lebih luas dan global. Akhirnya ketika dikembalikan dalam organisasi non profit 16
yang dijalankan oleh netlabel ada semacam kelonggaran yang diberikan kepada musisi yang diorbitkan. Netlabel bisa terlibat seperti label rekaman konvensional, namun ia tetap tidak memegang kendali atas semua yang ada di musisi yang didistribusikan.
Kembali
pada
sebuah
tujuan
“mulia”
utama
yaitu
mendistribusikan dengan model berbagi kepada khalayak luas dan jaringanjaringan yang semakin berkembang.
1.5.3 Pendekatan Manajemen Distribusi Dalam Media Baru
Lingkungan media baru menimbulkan sejumlah pertanyaan penting tentang masa depan sistem media kita. Membicarakan ranah manajemen dalam tarikan disiplin ilmu komunikasi pasti akan terjadi sebuah pertanyaan dan kepastian. Apakah termasuk bidang ilmu komunikasi yang memfokuskan pada media, atau menjadi satu rangkaian dengan ilmu ekonomi. Ilmu komunikasi yang banyak bersinggungan dengan disiplin ilmu lain menjadi sebuah tantangan dan perluasan dalam riuhnya kajian riset.26. Manajemen media memiliki posisi yang strategis ditengah riuhnya ilmu komunikasi. Ia memiliki bermacam karakter, karakter-karakter tersebut adalah multidisiplin, multi level, peka dengan situasi kontekstual, dan dekat dengan perkembangan teknologi. Kajian manajemen media menggabungkan dan mengombinasikan konsep-konsep dari ilmu lain, semisal ekonomi, politik, hukum, psikologi, bahkan juga budaya27. Pada awalnya para pengkaji media manajemen lebih dulu mempelajari proses manajemen yang terdiri dari fungsi planning, organizing, influencing, budgeting, controlling, dsb. Hal-hal seperti posisi media, peranan dan karakteristik belum dipelajari secara mendalam. Manajemen media identik dengan faktor ketidakpastian, yang dipengaruhi oleh perubahan regulasi, depresi ekonomi dan 26
Amir Efendi Siregar, dkk, (2010). Potret Manajemen Media Di Indonesia, Yogyakarta: Total Media Halaman 3‐8 27 Wisnu Marta Adiputra. Dalam http://wisnumartha14.blogspot.com/2010/03/manajemen‐ media‐dan‐majalah.html Diakses Tanggal 26 November 2012
17
sistem permodalan, perkembangan teknologi, meningkatknya tuntutan dan kesadaran publik, keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas serta pergeseran minat konsumen media28. Dalam media baru, beberapa hal yang bisa menjelaskan dan membedakan dengan media konvensional adalah computing and information technology, communication networks, digitalized media and information content dan convergence 29 . Pada dasarnya, informasi yang didistribusikan melalui media adalah sama, baik itu yang konvensional ataupun media baru. yang berbeda adalah platform dan cara mengemas informasi tersebut. Dimensi informasi yang terus menerus berubah ini disebut oleh Preston sebagai “old wine in new bottles” 30 Perkembangan
teknologi
menyebabkan
perubahan
pada
tingkatan
organisasional. Robbins dan coulter mendefinisikan perubahan tersebut31: Organisasi Tradisional Organisasi baru / modern Stabil Dinamis Tidak fleksibel Fleksibel Berfokus pada pekerjaan Berfokus pada keahlian Pekerjaan didefinisikan berdasar pada Pekerjaan didefinisikan berdasarkan posisi pekerjaan tugas yang harus dilakukan Berorientasi individu Berorientasi tim Pekerjaan yang tetap Pekerjaan sementara Berorientasi perintah Berorientasi keterlibatan Manajer selalu membuat keputusan Pekerja berpartisipasi dalam pengambilan keputusan Berorientasi peraturan Berorientasi konsumen Tenaga kerja yang relative homogen Tenaga kerja beragam Tabel 1.1 perubahan tingkat organisasional
Dalam netlabel, distribusi musik secara berbagi dari semua katalog yang dimiliki bisa diunduh secara gratis oleh setiap pengunjungnya. Jaringan menjadi 28
Rahayu, (2004). Manajemen Media Massa. Dalam Potret Manajemen Media Indonesia (ed) Amir Effendi Siregar Yogyakarta: Total Media. Halaman vii 29 Terry Flew. (2005). New Media: An Introduction, New York: Oxford Univeristy Press. Halaman 2 30 Wisnu Martha Adiputra. (2010). Antara Kreativitas, Ketidakpastian Dan Kesempatan Memahami Manajemen Media Baru, Dalam Potret Manajemen Media Di Indonesia. (ed) Amir Effendi Siregar.Yogyakarta: Total Media. Halaman 142. 31 Adiputra. Op.Cit. hal 149
18
faktor yang kuat, bahkan karena sifatnya maya maka faktor tempat atau domisili bukan lagi menjadi hal penting. Namun dalam kegiatan distribusi netlabel tidak bebas sebebas-bebasnya. Ada ketentuan yang harus ditaati oleh setiap pengunjung maupun pengunduh.
Untuk melindungi karya penciptanya netlabel ini
menggunakan sistem lisensi dari creative commons
32
yang memungkinkan
konsumen untuk menyebarluaskan dan menggunakannya untuk kebutuhan non komersial 33 . Netlabel menjadi sebuah media yang terbentuk atas reaksi dari perkembangan teknologi, pergeseran minat konsumen media dan keterbatasan sumber daya manusia. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terkini berpengaruh pada produksi, tampilan, penyimpanan, dan distribusi pesan, sehingga sungguh besar pengaruhnya. Perkembangan teknologi pada level individu pekerja media juga memberikan kontribusi yang besar pada institusi media. Dalam motif gift economy yang diterapkan oleh netlabel terdapat berbagai poin penting yang mendasari, diantaranya adalah jaringan persekutuan spiritual, 32
Creative commons (CC) adalah organisasi non profit dengan basis jaringan global untuk mendukung kreativitas digital, keinginan untuk berbagi dan inovasi melalui penyediaan infrastruktur hukum dan teknis bebas biaya. CC telah memiliki afiliasi di lebih dari 70 negara di dunia, termasuk Indonesia. Lisensi creative commons bukan merupakan alternatif dari hak cipta. Lisensi CC dan hak cipta berjalan berdampingan dan memungkinkan untuk memodifikasi ketentuan hak cipta yang dimiliki untuk disesuaikan dengan kebutuhan. CC bekerjasama dengan ahli hak kekayaan intelektual diseluruh dunia untuk memastikan lisensi CC dapat diimplementasikan secara global. Sumber: http://creativecommons.or.id/ diakses tanggl 26 November 2012 Pada dasarnya lisensi Creative Commons ini merupakan sebuah bentuk perjanjian lisensi Hak Cipta yang pengaturannya masih mengikuti ketentuan Undang‐Undang No.19 Tahun 2012 tentang Hak Cipta. Namun yang membedakan Creative Commons dengan lisensi lain adalah kemudahannya untuk dipahami oleh orang awam. Oleh karena implementasi dari lisensi Creative Commons masih mengikuti aturan hukum yang berlaku di Indonesia, maka apabila terjadi pelanggaran Hak Cipta pun harus kembali pada pengaturan mengenai pelanggaran Hak Cipta menurut UU No. 19/2002. Hanya saja untuk kedepannya, Creative Commons Indonesia berencana untuk memfasilitasi para pengguna CC untuk membantu melakukan upaya‐upaya apabila terjadi pelanggaran Hak Cipta pada karya mereka. Upaya‐upaya tersebut yaitu dengan memberikan template teguran, somasi, mediasi, serta litigasi dari pengacara yang secara pro bono memberikan pelayanannya. Sumber:http://creativecommons.or.id/2012/11/creative‐commons‐indonesia‐di‐indonesia‐ netaudio‐festival/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=creative‐commons‐ indonesia‐di‐indonesia‐netaudio‐festival diakses tanggal 20 desember 2012 33 Wendi Putranto. (2010) Music Biz: Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Halaman 59
19
persahabatan dan persaudaraan. Jaringan-jaringan ini menjadi modal utama dalam setiap pergerakan netlabel. Ia bisa bertindak melebihi faktor ekonomi yang mayoritas diagungkan dalam setiap kegiatan yang bersifat luas dan melibatkan banyak kepentingan. Rasa kesatuan ini menyeruak dan mengerucut pada sebuah ikatan sosial hingga pada akhirnya batasan legal dan illegal menjadi “kabur”. Motif distribusi netlabel termasuk motif baru dalam hal penyebaran informasi dan edukasi di bidang musik. Pada dasarnya media turut membantu usaha pencerdasan bangsa, membantu masyarakat untuk memperoleh informasi yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan derajat kehidupannya. Secara lebih tajam, dapat dikatakan melalui studi manajemen media diharapkan tidak hanya pengembangan ilmu yang diperoleh, tetapi juga mendorong pertumbuhan media serta kehidupan demokrasi yang menjamin adanya freedom of expression, freedom of speech and freedom of the press34. Dan hal inilah yang sedang dikembangkan netlabel di Indonesia.
1.5.4. Budaya Berbagi Menuju Budaya Bebas Sebagai Sebuah Alternatif Revolusi digital menggambarkan efek dari penurunan yang cepat dalam biaya dan perluasan yang cepat dari kekuatan perangkat digital seperti komputer dan telekomunikasi. Kedatangan media digital, dunia bisa dibilang berubah dari cara kita berpikir tentang diri kita sendiri dan alam semesta untuk seterusnya. Budaya digital terkait dengan percepatan perubahan sosial menyebabkan perubahan teknologi dan transformasi sosial dalam jumlah dan waktu yang sangat singkat35. Maka kemudian muncul distribusi musik secara digital baik melalui netlabel ataupun pihak individu yang bekerjasama dengan operator telekomunikasi sebagai penjawab sekaligus alternatif dari model masa kini. Namun ini bukanlah 34 Efendi Siregar, Amir dkk, (2010). Potret Manajemen Media Di Indonesia, Yogyakarta: Total Media. Halaman 8. 35 Creeber, Glen And Martin, Royston, (2009). Digital Cultures, New York, Open University Press. 20
hal baru. Jauh sebelum Indonesia memiliki layanan musik digital, di negara maju telah menerapkan model distribusi digital dengan membuat situs download musik legal. Ada banyak situs yang muncul, ada beberapa situs yang dianggap besar dan sering menjadi rujukan masyarakat ketika ingin mendengarkan atau mengunduh musik. Dalam waktu kurang dari satu dekade, world wide web telah meluas fungsinya dari mesin pencari ke saluran distribusi utama untuk berita dan informasi, hiburan, komunikasi interpersonal dan penjualan produk dan jasa. Konsumen teknologi ini meningkatkan berbagai konten yang tersedia dengan menciptakan ceruk pasar baru yang mungkin tidak komersial di era konvensional bahkan dalam sistem distribusi. Dalam era fisikal, parameter keberhasilan dan kesuksesan sebuah musisi berbanding lurus dengan angka penjualan fisik. Namun dalam era digital akan sangat berbeda. Hal ini seperti yang menjadi karakteristik dari media baru sejalan dengan teori dari terry flew, yaitu: networkable, imparsial, kompresible, padat dan mudah dimanipulasi. Era digital yang muncul dengan wabah dan pemicu bernama internet menimbulkan pertarungan di masyarakat yang berpusat pada 2 gagasan, yaitu: pembajakan dan kepemilikan. Apakah pembajakan kemudian akan diijinkan atau kepemilikan akan selalu dilindungi. Di Indonesia, kedua hal tersebut seperti sebuah permasalah klasik yang belum ada formula baru dalam sebuah solusi. Namun tetap saja distribusi secara digital baik itu legal maupun illegal terus mengalir dan meluas. Tak dapat ditampik, pada kenyataannya internet telah menjadi suatu hegemoni yang menghantarkan musik memasuki era baru dalam industri. Internet memberikan kemungkinan luar biasa bagi banyak orang untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pengolahan budaya yang jangkauannya melampaui batasan lokal. Kekuatan ini telah mengubah pasar bagi penciptaan dan pengolahan budaya secara umum dan pada gilirannya, perubahan ini secara tidak langsung turut mengancam industri konten yang sudah mapan. Jikalau para pengelola tersebut tidak memiliki daya respon yang tinggi terhadap adanya perubahan. 21
Teknologi digital dapat memproduksi pasar yang jauh lebih bersaing dan dinamis bagi penciptaan dan pengolahan budaya. Sehingga pasar dapat mengikutsertakan lebih banyak ragam dan jumlah pencipta. Para pencipta ini dapat memproduksi ragam kreativitas yang lebih semarak dan tergantung pada beberapa faktor penting, para pencipta ini dapat menghasilkan lebih banyak dari sistem baru dari pada yang sudah ada. Ada hak cipta berada disisi legal yang mengatur mengenai kepemilikan sebuah karya namun masih saja ada pembajakan yang illegal dan terus merajalela. Disisi lain, muncul sebuah alternatif dengan model distribusi berbagi yang muncul ditengah-tengah situasi tersebut. Maka kemudian muncul istilah budaya bebas sebagai sisi lain dari budaya perijinan yang mapan. Menurut Lawrence lessig (2004). Dijelaskan bahwa budaya bebas bukan free dalam pengertian free beer, tapi lebih kepada bebas berpendapat, pasar bebas, perdagangan bebas, usaha bebas, kehendak bebas dan pemilihan suara bebas. Budaya bebas mendukung dan melindungi pencipta dan penemu. Budaya ini melakukannya secara langsung dengan mengakui hak milik intelektual. Tapi budaya ini melakukannya dengan cara tidak langsung, dengan cara membatasi jangkauan dari hak-hak tersebut, untuk menjamin bahwa para pencipta dan penemu selanjutnya sebisa mungkin terbebas dari kekangan masa lalu. Budaya bebas bukanlah budaya tanpa kepemilikan, seperti juga pasar bebas bukanlah berarti pasar dimana semuanya cuma-cuma. Kebalikan dari budaya bebas adalah budaya ijin (permission culture) budaya dimana pencipta hanya diperbolehkan mencipta atas ijin dari penguasa atau pencipta di masa lalu36. Suatu budaya bebas sudah menjadi bagian dari masa lalu, ia menjadi bagian dari masa depan kita juga jika kita dapat berubah haluan dari jalur yang sedang kita tempuh sekarang. Dalam konsep antropologi lama dari Marcel Mauss, disebutkan bahwa ada ekonomi pemberian hadiah dan hadiah balasan. Dalam pola masyarakat kita, hal tersebut sudah terjadi dari semenjak dahulu. Budaya gotong 36 Lessig, Lawrence. (2011). Free Culture: How Big Media Uses Technology And The Law To Lock Down Culture And Controlling Creativity, Yogyakarta: Kunci Cultural Studies Center Dan Ford Foundation. Halaman xii
22
royong atau barter sudah mendarah daging dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal tersebut kemudian dibawa dalam perkembangan model distribusi netlabel. Rilisan dibagikan secara cuma-cuma namun hadiah balasan tidak datang secara bersamaan, melainkan di suatu hari kelak. Pemberian balasan juga tidak selalu berwujud materi, mungkin bisa sebuah interaksi sampai pada eksistensi yang tak terduga. Atas dasar tersebut netlabel berangkat menjadi agen dari budaya bebas. Netlabel secara dasar memiliki perbedaan dengan label-label musik pada umumnya. Ia tidak memproduski sebuah rilisan rekaman, namun hanya mendistribusikan dan mempromosikan saja. Selain itu penjualan merchandise juga menjadi gimmick sekaligus pundi-pundi. Mayoritas, artis atau musisi yang tertarik untuk mendistribusikan karya mereka secara mengglobal akan memilih netlabel sebagai jalur. Sesungguhnya yang menjadi tujuan utama dari netlabel bukanlah sikap produsen karya mengikhlaskan gratis karya mereka, tetapi lebih kepada membebaskan konten yang mereka ciptakan. Kenyataan yang harus diketahui, bahwa setiap karya yang diciptakan adalah kontribusi berbagai macam referensi yang telah ada dan bahkan usang. Semua seperti role model yang terus menerus berputar. Konsep pemikiran open knowledge / culture menekankan bahwa ide, layaknya udara yang kita hirup, bebas dikonsumsi dan gratis. Pematenan ide justru dapat mereduksi kreativitas. Bahwa kompetisi kreativitas pada akhirnya menjadi perlombaan pencapaian kapital, yang memegang dan mengamankan paten dan berada di ranah penguasa37. Ide utama budaya bebas itu sendiri bebas untuk ditumbuhkembangkan dan menjadi poros utama pengembangan sebuah budaya tanding yang dapat mendompleng konsep komodifikasi musik yang telah menjadi paradigma yang diterima secara luas, bahwa ide adalah sebuah barang dagangan yang harus diapresiasi dengan nominal. Namun terkadang model seperti ini hanya akan berkutat pada salah satu pihak mayoritas yang akan mendominasi budaya. Dan pada akhirnya menghambat perkembangan kreativitas produksi karya. Netlabel 37
Pramudito, Andaru. (2012). Indonesian Netaudio Usermanual, Selfpublish Yogyakarta. Halaman 23
23
sebagai jalur distribusi media baru menjadi media kemerdekaan seni dan teknologi. Dia bisa berlaku sebagai alternatif baru, mengakali keterbatasan sumber daya agar tidak menghambat kreatifitas dan produktivitas. Ini yang menjadi jawaban dari kemampuan format digital dalam menggiring masyarakat menuju era download gratis yang menuntut kreatifitas dari sumber daya yang terbatas secara kuantitas. 1.5.5. Kenyataan Copyright vs Copyleft di Indonesia Menyimak perjalanan hak cipta berada di Indonesia dimulai saat digunakan dalam kongres kebudayaan Indonesia ke-II di Bandung oktober 195138. Hak cipta di Indonesia diatur dalam UU hak cipta no. 19 tahun 2002 yang berada di bawah Direktorat jenderal Hak kekayaan intelektual kementerian hukum dan hak asasi manusia RI. Hak cipta terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Hak moral lebih melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun 39 sedangkan hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait40 Konsekuensi dari hak ekonomi adalah adanya larangan bagi pihak lain dalam bidang mengumumkan, memperbanyak dan menjual produknya tanpa izin dari pencipta. Adanya hak ekonomi tersebut mengakibatkan tindakan monopoli oleh pemegang hak cipta. Tindakan monopoli ini yang kemudian mendapat banyak tentangan. Hak cipta sering disebut sebagai copyright, maka kita kemudian mengenal istilah copyleft sebagai bentuk lain yang berlawanan. Copyleft tidak menentang perlindungan terhadap hak cipta seseorang. Namun memanfaatkan aturan copyright untuk tujuan yang bertolak belakang. Jika copyright adalah untuk kepemilikan maka copyleft menginginkan agar tetap bebas. Membicarakan perkembangan netlabel ditengah industri musik Indonesia yang masih bercakar pada pakemnya hak cipta, tak terasa sudah mengarah pada sebuah perbedaan cara distribusi yang sebenarnya sangat bertolak belakang. Bahwa musik sebagai industri kreatif dalam era perkembangan teknologi tidak 38
Ramdlon Naning, (1982), Perihal Hak Cipta Indonesia, Yogyakarta: Liberty hal 1 Penjelasan umum UU no.19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta 40 Syafruddin, (2008), Kompilasi Undang‐Undang Bidang Hak Kekayaan Intelektual, Medan: Pustaka Bangsa Press Halaman 4 39
24
selalu berbanding lurus dengan peraturan hak cipta. Justru dilain hal malah menjadi sebuah perdebatan akan kapasitasnya. Hubungan antara penghasilan dan hak cipta belum bisa disebut relevan bagi sebagian besar seniman atau pelaku pada umumnya. Bahkan hanya ada sekelompok kecil yang bisa menjalankan hal tersebut, apalagi di Indonesia. Negara kaya adalah sang pemilik hak cipta, ketika diterapkan dalam negara yang “belum kaya”, apakah mereka dapat berkembang jika bahan pengetahuan yang mereka butuhkan tidak dapat diperoleh dengan mudah atau bahkan harus membelinya dengan harga yang mahal agar tidak terkena pelanggaran hak cipta. Kasus tersebut bisa terlihat jelas di Indonesia, bagaimana jika semua perangkat software yang kita gunakan haruslah berlisensi asli. Mungkin kita belum sejauh ini mengenal corel draw, photoshop atau PC games yang selalu kita update setiap periode. Dalam bidang musik, Indonesia nampaknya masih dipercaya sebagai industri yang “empuk” bagi kapitalis. Meskpiun track record pembajakan yang begitu ngeri serta keadaan industri musik dalam negeri yang semakin lesu dan layu. Nyatanya iTunes store milik raksasa Apple, terhitung sejak 4 desember 2012 sudah resmi menjual musik dan film di Indonesia. Label besar di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir juga bekerjasama dengan operator musik di Indonesia untuk menjual lagu, lagu menjadi gimmick dalam fitur. Disisi lain model pengembangan distribusi musik berbagi juga sudah begitu meluas, ini sekaligus menunjukkan bahwa ada free download yang juga resmi. Inilah yang dilakukan oleh netlabel-netlabel yang sedang berkembang di Indonesia. Ada perbedaan jauh memang ketika industri yang diciptakan untuk bisnis dan budaya komunitas yang diciptakan untuk mewadahi musik diluar industri. Namun perbedaan jauh tak lantas menjadi jarak. Nyatanya netlabel di Indonesia dari hari ke hari semakin mendapat perhatian dan tersorot oleh berbagai media, pengamat hingga penikmat. Ada semacam perlawanan yang terjadi secara tidak langsung, copyright yang sarat dengan ketentuan dan copyleft yang identik dengan hal berbagi sedang terjadi di Indonesia. Ada creative commons yang telah dijelaskan sebelumnya yang bisa menjadi jembatan dan pilihan dengan lisensi yang dihadirkan. 25
Di lingkup global sekalipun website merupakan alat yang luar biasa untuk penelitian, mengembangkan kreativitas sosial dan pembelajaran. Sifat dasar Internet tidak mengenal perbedaan kekayaan alam atau hak cipta. Aturan baru memang harus diterapkan dalam perlindungan hak cipta demi pengembangan kreativitas dan perlindungan hasil yang baru. Menghentikan kreativitas yang yang tidak beraturan bisa dianggap sebagai pendekatan untuk menutup masa depan. Keseimbangan antara copyright dan copyleft adalah kesimpulan logika dan kebutuhan
primer.
Harus
ada
semacam
aturan
yang
universal
untuk
mengendalikan kedua hal tersebut41.
41
Augusto Sebastio. (2012). Creativity Online – Violation Of Copyright And Protection Of Copyleft, University Of Bari Italy: International Conference 2012 Halaman 829
26
1.6. Indikator Kerangka konsep penelitian Setelah konsep pemikiran dipaparkan diatas, perlu indikator kerangka konsep untuk menentukan arah dan desain dari penelitian tersebut. Hal ini juga berguna sebagai acuan dari interview guide dengan fokus turunan pertanyaan yang tepat dan dipakai dalam proses wawancara. Kunci-kunci pokok pembahasan termaktub dalam konsep yang akan dibahas dalam tabel berikut ini sekaligus dijabarkan dalam protokol penelitian berdasar pada metode dalam penelitian ini, yaitu studi kasus. No
Konsep
Dimensi
1
Netlabel sebagai bagian dari media baru
2
Netlabel sebagai media non profit
3
Manajemen distribusi media baru
1. Digitalisai media dan konvergensi. 2. Komputerisasi dan teknologi. 3. Pergeseran minat konsumen media 4. Tingkat interaksi yang tinggi 1. Memerintah dan mengontrol aktivitasnya sendiri. 2. Profit tidak menjadi tujuan utama. 3. Dikonstruksikan menyediakan platform untuk menunjukkan karya. 1. Sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. (penggunaan sosial media,link website dan interaksi user) 2. Ada perubahan dari konvensional ke model baru. 3. Organisasi yang tidak terstruktur
4
Budaya berbagi
5.
Copyright vs Copyleft di Indonesia
1. Menjadi jalur alternatif diantara kasus pembajakan dan hak cipta dalam musik Indonesia. 2. Ada demokratisasi dalam distribusi musik. 3. Ada pemberdayaan yang terjadi dari penerapan budaya berbagi. 1. Fenomena yang terjadi di masyarakat 2. Cara pandang masyarakat.
Kerangka Acuan McQuail Lister and friends
M Scott Cutlip Bram Timmers
Terry Flew Robbins dan Coulter Amir Effendi Siregar
Lawrence Lessig
UU no.19 tahun 2002 Creative Commons
Tabel 1.2 indikator kerangka konsep penelitian 27
Protokol Penelitian Studi Kasus
Kata Kunci
1. Manajemen distribusi konten netlabel Metode pengumpulan data
Pertanyaan kunci
Bagaimana pengembangan distribusi konten musik oleh netlabel?
Informan
Dokumentasi / Studi pustaka
Observasi
Masing-masing penggerak netlabel yang meliputi: 1. Yesnowave ( woto wibowo selaku founder dan kurator, bagus jalang selaku reviewer) 2. Inmyroom ( ridwan yuniardika selaku web dan review admin, ganesha mahendra selaku uploader dan review admin) 3. Mindblasting (arie selaku founder, kurator dan review admin) 4. Hujan rekords ( gilang selaku founder, kurator dan review admin) 5. Stoneagerecords (rizkan selaku founder, kurator dan review admin) 6. Kanaltigapuluh ( Komang sekalu founder dan Gisa selaku announcer) 7. Anitha silvia ( pengurus Indonesian Netlabel Union) www.indonesiannetlabelunion.net www.yesnowave.com www.inmyroom.us www.hujanrekords.com www.mindblasting.wordpress.com www.rollingstone.co.id www.stoneagerecords.blogspot.com www.kanaltigapuluh.info Donasi ke website netlabel Merchandise netlabel Rilisan dari masing-masing netlabel www.yesnowave.com www.inmyroom.us www.hujanrekords.com www.mindblasting.wordpress.com www.indonesiannetlabelunion.net www.creativecommons.or.id www.stoneagerecords.blogspot.com www.kanaltigapuluh.info 28
1. Budaya berbagi dalam konten musik.
Kata kunci
Metode pengumpulan data Bagaimana budaya berbagi dikembangkan dalam setiap pergerakan netlabel? - Mengapa budaya berbagi dengan platform netlabel sebagai media non profit terus dijalankan? - Bagaimanakah peran Indonesian Netlabel Union dalam mewadahi netlabel? - Masing-masing penggerak netlabel Informan - Penggagas Indonesian Netlabel Union (Anitha Silvia) - Musisi yang pernah dirilis dan terlibat dalam proses budaya berbagi www.indonesiannetlabelunion.net Dokumentasi/ www.yesnowave.com Studi pustaka www.inmyroom.us www.hujanrekords.com www.mindblasting.wordpress.com www.kanaltigapuluh.info www.rollingstone.co.id -Donasi ke website netlabel -Merchandise netlabel -Rilisan dari masing-masing netlabel www.yesnowave.com Observasi www.inmyroom.us www.hujanrekords.com www.mindblasting.wordpress.com www.indonesiannetlabelunion.net www.creativecommons.or.id www.freemusciarchive.org www.stoneagerecords.blogspot.com www.rollingstonemagz.co.id www.kanaltigapuluh.info Tabel 1.3 Protokol penelitian studi kasus berdasar dari Robert K Yin
Pertanyaan kunci
1.7.
-
METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sifat deskriptif diarahkan
untuk menggambarkan fenomena yang terjadi berkaitan dengan manajamen media budaya berbagi dengan pemanfaatan internet sebagai platform oleh netlabel. Penelitian yang bersifat kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika
29
matematis, prinsip angka atau data-data statistik. Studi kasus menjadi metode dalam penelitian ini.
1.7.1. Metode penelitian Studi kasus merupakan strategi yang pas dalam menjawab pokok pertanyaan suatu masalah yaitu “bagaimana?” (how) dan “mengapa” (why?). Hal ini sesuai dengan apa yang ada dirumusan masalah dalam penelitian ini. Dengan menggunakan studi kasus diharapkan penelitian ini mampu merinci mengenai suatu objek tertentu dengan cukup mendalam dan menyeluruh termasuk lingkungan dan kondisi sebab akibat terdahulu dalam sebuah permasalahan dan berusaha mencari hubungan antara faktor-faktor tersebut antara satu dengan yang lain. Menurut Yin (2003) studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang menyelidiki fenomena didalam konteks kehidupan yang nyata, bila mana batasbatas antara fenomena dan konteks yang dipelajari tidak tampak dengan tegas dan bila multi sumber bukti dibutuhkan. Dengan demikian, studi kasus terutama dibutuhkan apabila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa yang akan dipelajari. Unit analisis dapat berupa orang, kelompok, unit tertentu, projek, aktivitas, program ataupun suatu organisasi.42 Penelitian studi kasus dapat dibedakan menjadi 3 jenis penelitian, yaitu studi kasus eksplanatori, deskriptif dan eksploratori. Dalam penelitian ini akan menggunakan studi kasus deskriptif dimana menyajikan deskripsi lengkap dari suatu fenomena yang diamati dala konteks yang nyata. Objek yang diteliti adalah representasi dari banyak objek yang berada di sekitarnya. Mereka memiliki tipikal pengelolaan dengan platform yang sama dalam masing-masing netlabel namun terdapat perbedaan dalam hal manajemen akibat sumber daya manusia dengan kapasitas yang berbeda. Secara garis besar tujuan dari netlabel adalah sama, yaitu mendistribusikan konten musik secara bebas. Namun dalam penelitian ini akan dilihat dinamika dari berbagai netlabel representatif di Indonesia dalam mengelola dan mengembangkan. Sehingga 42
Robert K, Yin. 1984: Case Study Research: Design And Methods, Beverly Hills: Sage Publication
30
dengan pemakaian studi kasus diharapkan mampu merinci secara mendalam dan menyeluruh termasuk lingkungan dan kondisi sebab akibat dan hubungan antara faktor-faktor tersebut antara satu dengan yang lain. Keunikan dalam penelitian ini juga bisa dilihat dari kajian media yang dipelajari tidak berasal dari industri dan bersifat baru. Media non profit yang merupakan salah satu ragam, perlu untuk mendapat porsi yang lebih untuk sebuah literasi ilmu komunikasi. Beberapa penelitian yang ada sebelumnya masih bersifat mengeksplanasi kedatangan budaya tanding yang diprakarsai oleh netlabel yang merasuk dalam lingkup komunitas kecil. Sedangkan dalam penelitian ini sudah masuk dalam lingkaran pengembangan netlabel yang telah melampaui batas pagar komunitas menjadi begitu luas dan global. Secara tidak langsung, netlabel turut mewarnai pemetaan musik Indonesia. Secara garis lurus dapat ditarik bahwa penelitian ini menjadi penerus bagi penelitian pendahulunya. Diharapkan akan muncul lagi penelitian mendatang dengan data yang lebih aktual dan perkembangan yang lebih luas dari penelitian ini.
1.7.2. Teknik pengumpulan data Sifat dalam penelitian ini adalah kualitatif, dimana penelitian ini berusaha untuk memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi dalam pola komunikasi dalam sebuah manajemen media, utamanya dalam distribusi. Penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena-fenomena sosial dari sudut perspektif partisipan, partisipan adalah orang yang diwawancara, diobservasi, dimintai pendapat, data, pemikiran dan persepsinya.43 Metode kualitatif merupakan alat penting bagi manajemen media dan penelitian ekonomi. Metode ini menghasilkan data yang kaya dan rinci, yang dapat memberikan wawasan bernuansa ke dalam tubuh organisasi dan individu dalam organisasi.
Metode kualitatif memberikan kerangka kerja yang lebih
fleksibel untuk pengumpulan data, metode ini cenderung memberikan peluang bagi subjek penelitian untuk menawarkan penjelasan mereka sendiri dan 43 Nana Syaodih Sukmadinata, Prof.Dr. (2007) Metodologi Penelitian, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya
31
intepretasi dalam sebuah peristiwa. Metode kualitatif secara luas saat ini digunakan dalam bidang akademis, termasuk komunikasi massa, bisnis dan manajemen. Dalam penelitian kualitatif yang menggunakan metode studi kasus ada 6 sumber bukti, yaitu: dokumen, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi partisipatif dan perangkat fisik.44. Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data menggunakan:
a. Observasi Adalah cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati. Observasi dalam penelitian
ini penting dan bertujuan untuk
menambah data. Observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan tujuan observasi adalah: “mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola-pola kulturil tertentu45. Dalam penelitian ini akan dilakukan observasi terhadap netlabel dalam menjalankan distribusi dengan model gift economy termasuk beberapa kegiatannya yang bisa dilacak
dalam perkembangan
website
dan
kegiatan
offair
yang
terdokumentasi.
b. Wawancara/ interview Yaitu metode pengumpulan data melalui tanya jawab secara lisan. Wawancara dilakukan dalam bentuk pertanyaan, baik yang telah direncanakan sebelumnya maupun yang muncul secara langsung atau spontan. Data yang diperoleh dari wawancara diharapkan menjadi sumber data primer dalam penelitian. 44
Jalaludin Rakhmat. (1997). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Kartini Kartono. (1980). Pengantar Metodologi Research Sosial, Bandung: Alumni
45
32
Dalam penelitian ini dilakukan depth interview, yaitu wawancara mendalam.
Wawancara
mendalam
secara
umum
adalah
proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara denga informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Dengan demikian kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Penelitian ini akan melakukan wawancara mendalam dengan beberapa penggerak dan atau pelaku netlabel dari yesnowave.com (Yogyakarta), Inmyroom records (Jakarta), Stoneage records (Tangerang), Mindblasting (kutoharjo), Hujan rekords (bogor) dan Kanaltigapuluh (Malang/ Yogyakarta) serta musisi yang dirilis dan didistribusikan oleh netlabel tersebut. Dari wawancara tersebut diharapkan akan muncul varian data dari multi sumber yang dapat memperkaya dan mempertajam kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian ini.
c. Dokumentasi Yaitu dengan mengumpulkan data sekunder dengan mempelajari dokumen-dokumen yang telah dikumpulkan sebelumnya dan relevan dengan fokus penelitian, yaitu website dari netlabel, artikel media massa, rekaman arsip, perangkat fisik atau bahkan visualisasi yang muncul baik itu sebagai sebuah media yang memiliki fungsi pesan atau media yang menjadi konsekuensi dalam proses distribusi dan budaya berbagi yang diterapkan oleh netlabel.
d. Studi Pustaka Untuk melengkapi data-data dalam penelitian ini, maka perlu untuk mengumpulkan berbagai macam data dan teori melalui berbagai pustaka guna melengkapi sesuai dengan topik penelitian.
33
1.7.3. Teknik Penentuan informan Dalam penelitian kualitatif, penentuan informan terdiri dari 4 teknik. Yaitu teknik purposive, snowball, kuota dan sequential. Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu pemilihan sample (informan) berdasarkan karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai hubungan dengan penelitian ini. Informan harus kredibel dan relevan untuk diwawancara. Pemilihan ini berhenti ketika data telah menjadi jenuh, yang berarti tidak lagi menemukan aspek baru dari fenomena yang diteliti. Informan dalam penelitian ini adalah orang yang berhubungan dan terlibat langsung dalam budaya berbagi konten oleh netlabel. Para penggagas netlabel menjadi informan yang wajib untuk diwawancara. Selain itu ada informan tambahan dari pengurus Indonesian Netlabel Union beserta dengan beberapa musisi yang dirilis oleh netlabel.
1.7.4. Teknik analisis data Analisis data digunakan sebagai upaya untuk menjawab dan menjelaskan fenomena atau permasalahan yang sedang diteliti. Bentuk analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penjodohan pola. Penjodohan pola menggunakan logika penjodohan pola, yakni membandingkan pola yang didasarkan atas empiri dengan pola yang diprediksi.46 Hasilnya akan menuntun ke arah penjodohan atau ketidakjodohan yang dipakai untuk menarik kesimpulan. Temuan dalam penelitian ini dianalisis dengan komponen analisis data yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman, yang terdiri atas 3 sub proses yang saling terkait, yaitu: a. Data reduction (reduksi data) Data yang diperoleh di lokasi penelitian (data lapangan) akan dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci setelah direduksi dan dirangkum, untuk kemudian dipilih mana data pokok yang terfokus pada hal-hal yang penting terkait dengan tema penelitian. Reduksi data berarti 46
Robert K,Yin. (1989). Case Study Research Design And Method: Volume 5. London: Sage Publicatios, Inc.
34
bahwa kesemua potensi yang dimiliki oleh data disederhanakan dalam sebuah mekanisme. b. Data display (penyajian data) Data yang telah direduksi disajikan secara sistematis untuk memudahkan peneliti dalam melihat dan memahami gambaran hasil penelitian secara keseluruhan dengan logika runtut sesuai dengan alur logika dalam desain penelitian ini. Penyajian data yang lebih terfokus meliputi ringkasan terstruktur dan deskripsi singkat. c. Verifikasi (penarikan kesimpulan) Proses ini dilakukan dengan melibatkan kegiatan verifikasi terus menerus selama penelitian berlangsung yaitu sejak awal datang ke lokasi penelitian, selama pengumpulan data dan selama proses penyusunan hasil penelitian.47
1.7.5. Limitasi penelitian Penelitian ini akan memfokuskan diri pada penggunaan website sebagai platform dari netlabel sebagai usaha untuk mendistribusikan konten audio secara bebas. Website sebagai bagian dari media baru beserta manajemen distribusi yang turut berubah sejalan dengan keadaan kemajuan perkembangan teknologi. Penelitian ini menitikberatkan pada aspek komunikasi dalam bidang kajian media baru beserta perubahan yang terjadi. Netlabel adalah contoh kasus yang dibahas dalam penelitian ini. Konsekuensi dari limitasi ini adalah tidak tergenalisir secara luas, karena keterbatasan objek. Namun dalam kajian ilmu komunikasi, Media baru yang difasilitasi internet dan teknologi komunikasi menjadi objek baru dalam kajian komunikasi yang menjauhkan ilmu komunikasi dari stagnasi.
Media komunitas yang diorientasikan sebagai media nirlaba
adalah salah satu ragam kepemilikan media yang memantik perlunya kajian riset dalam manajemen media baru.
Media dengan model
manajemen yang terkonsentrasi pada pihak-pihak tertentu mampu 47
Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonna s. (2009). Handbook Of Qualitative Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
35
menjalankan fungsinya untuk menginformasikan, mendidik dan menghibur bahkan menjadi agen perubahan sosial dan budaya. Konsekuensi lain dalam penelitian ini adalah karena objek yang diteliti termasuk media nirlaba yang memanfaatkan perkembangan media baru sebagai sarana untuk mengembangkan sekaligus menjadi bidang alternatif bagi dunia musik yang semakin terdukung oleh perangkat digital. Dalam pola manajemen media nirlaba akan tidak terstruktur seperti pada umumnya. Terlebih pengaruh media baru menimbulkan banyak perubahan dari model konvensional. Perkembangan teknologi yang terus berlari maju akan mampu menjawab kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini sekaligus
menjadi pemantik sekaligus landasan dalam penelitian
berikutnya yang memiliki minat untuk meneliti perkembangan media baru pada umumnya dan terkait dengan manajemen media pada khususnya. 36