BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada masa Orde Baru, Bangsa Indonesia hidup terbelenggu di bawah tekananan pemerintahan yang represif. Masyarakat hampir tidak memiliki peluang untuk menyuarakan aspirasinya, apalagi mengkritik pemerintah. Keadilan dan kesejahteraan hanya menjadi impian rakyat. Pada tahun 1998, para mahasiswa Tanah Air memberanikan diri menyuarakan aspirasinya dengan vokal dan gigih. Aksi mahasiswa tersebut mendorong seluruh rakyat Indonesia untuk berjuang bersama menggulingkan rezim Soeharto. Hingga akhirnya Indonesia terlepas dari belenggu Orde Baru dan memasuki era baru yang lebih demokratis. Tahun 2001, dimana kebebasan berpendapat telah dijamin negara, Ki Jlitheng Suparman, seorang dalang asal Solo yang vokal membela rakyat kecil menggunakan momen tersebut untuk menyuarakan aspirasinya. Ia mengkritik kaum elit dan pemerintah yang tidak pro rakyat. Wayang kulit kontemporer Wayang Kampung Sebelah pun lahir dari ide Ki Jlitheng Suparman sebagai media kritik sosial dan alat pergerakan, baik sosial politik maupun kebudayaan (Suparman, 2014). Wayang Kampung Sebelah mengungkap realitas kehidupan masyarakat dan dinamika persoalan politik, sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan lingkungan dengan cara yang satir, lugas, namun humoris. Kritikan tajam begitu dominan dalam pertunjukan Wayang Kampung Sebelah. Ki Jlitheng Suparman memposisikan wayangnya sebagai sebuah seni sekaligus media kontrol sosial. Salah satu contoh wacana kritik sosial dan politik terdapat dalam episode ‘Who Wants To Be A Lurah’, berisi dialog antarwarga dan antara warga dengan penguasa bahwa Indonesia belum siap menjadi negara yang demokrasi.
1
Wayang Kampung Sebelah pada awalnya tampil dari satu kampung ke kampung lain di Solo dan sekitarnya. Lama kelamaan Wayang Kampung Sebelah sering ditanggap oleh pejabat daerah di luar Solo. Banyak penonton yang merekam kemudian mengunggah pertunjukan Wayang Kampung Sebelah di situs YouTube. Popularitas wayang ini semakin meningkat. Seorang produser MNCTV mengetahui eksistensi Wayang Kampung Sebelah dari YouTube. Ia pun tertarik untuk menayangkannya menjadi salah satu program di MNCTV. Pada Januari 2014, tawaran ini diterima dengan positif oleh dalang Ki Jlitheng Suparman. Ia menganggap kesempatan ini merupakan langkah empiris untuk mengenalkan wayangnya kepada publik, memperluas jangkauan penyampaian pesan, dan sekaligus melestarikan kesenian wayang kulit (Wawancara Ki Jlitheng Suparman, 2014). Pertunjukan Wayang Kampung Sebelah di televisi berlangsung selama kurang lebih 2 jam. Jika dibandingkan dengan pertunjukan off air, durasi di televisi dipadatkan dua jam lebih pendek. Namun alur cerita secara garis besar sama, antara lain pemaparan masalah, adegan hiburan, dialog tokoh-tokoh, dan penutup. Peneliti telah melakukan observasi dan wawancara dengan dalang saat pra penelitian. Salah satu temuan yang menarik adalah segmen penutup episode biasanya berupa celotehan tokoh menanggapi fenomena yang terjadi atau berujung perkelahian antartokoh. Ki Jlitheng Suparman mengatakan ia sengaja tidak memberikan nasihat atau simpulan dari permasalahan yang dipaparkan dalam cerita. Ia menyatakan, peran Wayang Kampung Sebelah bukan menggurui, melainkan memaparkan konteks permasalahan sosial di masyarakat. Ia ingin audiens menginterpretasikan sendiri pesan yang disampaikan oleh dalang (Wawancara Ki Jlitheng Suparman, 2014). Fokus audiens pada penelitian ini adalah audiens Wayang Kampung Sebelah yang berasal dari beragam latar belakang dan usia yang dapat mengakses tayangan Wayang Kampung Sebelah di MNCTV. Karakteristik audiens wayang kulit cenderung beragam (Wawancara Ki Jlitheng Suparman, 2014). Audiens tersebut mulai dari anak
2
muda hingga orang tua, mulai dari kelas ekonomi bawah hingga kelas ekonomi atas, semuanya dapat menikmati pertunjukan wayang kulit. Audiens merupakan bagian yang penting dalam proses komunikasi. Mereka memegang peran sebagai penerima pesan yang disampaikan oleh media. Tanpa keberadaan audiens, pesan-pesan tersebut menjadi tidak berarti karena tidak ada yang menyaksikan dan memperhatikan tayangan tersebut. Keberadaan audiens juga memiliki peran penting lainnya, yakni memaknai pesan. Studi audiens yang berkembang menunjukkan bahwa audiens secara aktif memaknai
atau meresepsi
pesan media (Hall, 1980). Pesan tidak lagi dipahami sebagai ‘paket’ atau ‘bola’ yang ‘dilemparkan’ kepada audiens kemudian ‘ditangkap’ (Alasuutari, 1999:3). Hall (1980) menganalisa interpretasi audiens terhadap pesan (analisis resepsi) dengan konsep model encoding/decoding. Penelitian ini menitikberatkan pada proses decoding pesan. Secara singkat, konsep encoding/decoding dapat dipahami sebagai berikut: pengirim pesan menyandikan pesan (message encoding) kepada penerima pesan melalui sebuah medium. Dalam pesan itu sendiri mengandung meaningful discourse. Kemudian penerima pesan mengawas sandi tersebut (message decoding). Proses decoding ini merupakan proses interpretasi audiens, yang mana menurut Hall (1980:119) hasil interpretasi dibentuk oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh masing-masing individu; seperti faktor psikologi, pendidikan, usia, pekerjaan, sejarah, sosial, politik dan budaya tertentu. Serta bingkai referensi (frame of reference) dan bidang pengalaman (field of experience). Sehingga pesan yang dimaknai oleh penerima pesan tidak lagi sepenuhnya sama dengan pesan yang disampaikan oleh pengirim pesan. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai resepsi audiens terhadap pesan kritik sosial dalam episode-episode Wayang Kampung Sebelah di stasiun MNCTV. Peneliti menggunakan metode snowball sampling untuk mendapatkan informan penelitian. Informan pada penelitian ini merupakan representasi audiens tayangan
3
Wayang Kampung Sebelah. Masing-masing informan memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Berdasarkan pemahaman terhadap teori dan tinjauan pra penelitian, peneliti berasumsi bahwa frame of reference dan frame of experience informan tentang kritik sosial dan Wayang Kampung Sebelah mempengaruhi proses resepsi audiens. Dikarenakan pesan dan gaya pertunjukan wayang kulit cenderung kontekstual dipengaruhi oleh latar belakang dan ideologi dalang. Oleh karena itu, peneliti menggali kedalaman pemahaman informan terhadap karakter dalang dan pesan yang disampaikannya. Hal tersebut mempengaruhi perbedaan interpretasi masing-masing audiens. Penelitian ini menggunakan teori analisis resepsi untuk menjadi landasan dalam menganalisa resepsi informan terhadap episode yang disaksikan. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana audiens meresepsi pesan kritik sosial dalam tayangan televisi Wayang Kampung Sebelah. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa resepsi audiens terhadap pesan kritik sosial dalam tayangan televisi Wayang Kampung Sebelah. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan gambaran resepsi audiens terhadap pesan kritik sosial dalam tayangan televisi Wayang Kampung Sebelah. 2. Mengetahui audiens televisi secara aktif memaknai pesan tersebut. 1.5 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran sangat diperlukan sebagai landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Pokok pikiran pada kerangka pemikiran ini antara lain: analisis resepsi audiens dan model encoding/decoding Stuart Hall, audiens aktif dalam
4
memaknai pesan media, pesan kritik sosial dalam wayang kulit, wayang kulit kontemporer. 1.5.1 Analisis Resepsi Audiens dan Model ‘Encoding-Decoding’ Stuart Hall Studi analisis resepsi berkembang pada awal 1970an ketika Stuart Hall, seorang Profesor Sosiologi di Open University, Inggris melakukan penelitian terhadap audiens televisi dalam ‘Encoding and Decoding in the Television Discourse’ (1974). Hall memperkenalkan model encoding-decoding untuk menjelaskan proses encoding pesan oleh produser media yang di-decoded oleh audiens (Brooker & Jermyn, 2003:91). Studi ini berada di antara ilmu sosial dan ilmu budaya. Awal ilmu budaya mengikuti kajian Saussurian, yaitu menggunakan sebuah pendekatan semiotika untuk memahami pesan media di dalam kerangka Marxis tentang hubungan kekuatan yang tidak seimbang antara pengirim dan penerima pesan. Berangkat dari pemikiran tersebut, Hall kemudian menganalisa hubungan pesan–pembaca pesan dan memberikan jalan kepada para peneliti cara untuk memahami audiens sebagai decoder, yang menggunakan sumber-sumber di sekitar mereka untuk mendekonstruksi pesan media. Hall menyadari adanya ‘potential asymmetry’ antara proses encoding dan decoding (Wood, 2007:75-76). Premis yang mendasari pendekatan model encoding-decoding yang dipaparkan oleh Morley & Brunsdon (1999:129) antara lain: 1. Produksi pesan yang bermakna pada wacana televisi merupakan pekerjaan yang problematis. Peristiwa atau kejadian yang sama dapat di-encoded lebih dari satu cara. Dalam proses encoding, hal yang ditekankan adalah bagaimana dan mengapa praktek dan struktur produksi tertentu cenderung memproduksi pesan tertentu, yang mana pesan tersebut terwujud dalam bentuk yang berulang. 2. Pesan adalah komunikasi sosial dengan struktur dan bentuk yang kompleks. Pesan tersebut selalu mengandung lebih dari satu ‘bacaan’ yang potensial.
5
Struktur pesan tidak tertutup, ia bersifat polisemi atau memiliki lebih dari satu makna. 3. Aktivitas
‘menangkap
makna’
dari
pesan
juga
cukup
problematis,
bagaimanapun terlihat transparen dan ‘natural’. Pesan yang dikonstruksi dapat dibaca dengan cara yang berbeda-beda. Pesan dalam medium televisi, menurut Morley dan Brunsdon merupakan tanda yang kompleks, pesan terbuka dan di-decode dengan cara yang berbeda-beda. Mereka mengatakan: The TV message is treated as a complex sign, in which a preferred reading has been inscribed, but which retains the potential, if decoded in a manner different from the way in which it has been encoded, of communicating a different meaning. The message is thus a structured polysemy. It is central to the argument that all meanings do not exist ‘equally’ in the message: it has been structured in dominance, although its meaning can never be totally fixed or ‘closed’. Further, the ‘preferred reading’ is itself part of the message, and can be identified within its linguistic and communicative structure. (Morley dan Brunsdon, 1999:129) Dalam teori ini kita menggunakan kata ‘dominan’, menurut Hall (1980:123124), karena terdapat pola ‘preferred readings’, dan keduanya memiliki tatanan kelembagaan/politik/ideologis
yang
tertanam
didalamnya
dan
mereka
telah
terinstitusionalisasi. Domain dari ‘preferred meanings’ memiliki seluruh tatanan sosial yang tertanam dia dalamnya sebagai seperangkat makna, praktek, dan kepercayaan: pengetahuan sehari-hari mengenai struktur sosial, ‘bagaimana segala hal bekerja untuk segala tujuan praktis dalam budaya ini’, urutan peringkat kekuasaan dan kepentingan dan struktur legitimasi, batasan dan sanksi. Sehingga untuk mengklarifikasi ‘kesalahpahaman’ pada level konotatif, kita harus merujuk, melalui kode, kepada tatanan kehidupan sosial, kekuatan ekonomi dan politik dan ideologi. Terni (1973) mengatakan: By the word reading we mean not only the capacity to identify and decode a certain number of signs, but also the subjective capacity to put them into a creative relation between themselves and with other signs: a capacity which is,
6
by itself, the condition for a complete awareness of one’s total environment. (Terni, 1973 dalam Hall, 1980:124) Morley berargumen mengenai konsep ‘preferred readings’: This suggests that a text of the dominant discourse does privilege or prefer a certain reading. We might now expand this to say that such texts privilege a certain reading in part by inscribing certain preferred discursive positions from which its discourse appears ‘natural’, transparently aligned to ‘the real’ and credible. However, this cannot be the only reading inscribed in the text, and it certainly cannot be the only reading which different readers can make of it. The theory of the polysemic nature of discourse must hold to the possibility of establishing an articulation between the ‘encoding’ and ‘decoding’ circuits, but it should not adopt a position of a ‘necessary correspondence’ or identity between them. (Morley, 1980:158) Dalam teori ini pula, kita tidak serta-merta membedakan makna denotatif dan konotatif secara eksplisit, melainkan menggunakannya untuk menganalisa makna tanda televisual . Yang disebut dengan level denotatif pada tanda televisual ditetapkan oleh kode tertentu, yang kompleks (tetapi terbatas atau ‘tertutup’). Namun makna konotasinya, meskipun juga terbatas, lebih terbuka. Hall menyebutnya ‘connotative level is subject to more active transformations’, yang mana mengandung nilai polisemik.Penilaian terhadap tanda apapun secara potensial dapat bertransformasi menjadi lebih dari satu pengaturan konotatif. Hall menekankan, polisemi bukan pluralisme. Kode-kode konotatif tidak sama satu sama lain (Hall, 1980:123). Menurut Hall (1980:122), setiap tanda visual di televisi memiliki artian konotatif terkait kualitas, situasi, nilai atau kesimpulan, yang mana ditunjukkan sebagai sebuah implikasi atau makna yang terlibat, tergantung pada posisi konotiasional. Contoh yang diberikan oleh Barthes mengenai sweater, sweater secara denotative selalu berarti sebuah baju hangat dan aktivitas atau pengertian tentang ‘menghangatkan diri’. Tetapi sweater juga berarti, secara konotatif, ‘musim dingin sebentar lagi datang’ atau ‘hari yang dingin’. Konotasi adalah istilah yang digunakan oleh Barthes untuk mendeskripsikan interaksi yang muncul ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi pengguna
7
tanda dan nilai-nilai budayanya. Ini ketika makna bergerak mengarah pada subjektivitas; ketika sesuatu yang ditafsir dipengaruhi oleh penafsir sebagai objek atau tanda. Barthes (1977) berargumen bahwa setidaknya nampak jelas perbedaan antara konotasi dan denotasi. Denotasi dimaknai sebagai reproduksi mekanis pada film, ketika kamera mengambil gambar suatu objek. Sedangkan konotasi merupakan bagian dari proses manusia; saat pemilihan objek yang akan difoto dalam sebuah bingkai, fokus, lubang bidik kamera, sudut pengambilan gambar, kualitas film, dan sebagainya. Sederhananya, denotasi merupakan apa yang difoto, dan konotasi adalah bagaimana objek difoto (Fiske, 1990:86). Dalam mekanisme encoding-decoding, keterlibatan audiens dalam memaknai preferred reading yang diusulkan atau diberikan oleh pengirim pesan cukup kompleks. Pesan akan di-decode dalam kerangka pesan yang berbeda dari saat pesan tersebut di-encode. Dalam rantai komunikasi, decoding merupakan momen dimana pesan diterima oleh penerima pesan kemudian diurai-sandi. Audiens layaknya produser pesan, harus melakukan jenis ‘pekerjaan’ yang spesifik supaya membaca pesan yang dikirimkan. Sebelum pesan dapat memiliki ‘efek’ terhadap audiens, pesan tersebut harus di-decode (Morley & Brunsdon, 1999:130). Dalam melakukan decoding, audiens harus secara aktif membaca dan memaknai pesan. Penemuan Hall yang penting yaitu menolak gagasan sebelumnya bahwa audiens adalah penerima pesan yang pasif. Pesan tidak lagi dipahami sebagai ‘paket’ atau ‘bola’ yang ‘dilemparkan’ kepada audiens, lantas ‘ditangkap’ (Alasuutari, 1999:3). Alasuutari menekankan, perlu dipahami dari gagasan Hall yakni bagaimana Hall berpindah dari sebuah interpretasi berdasar pada model perilaku (behavioural models) ke sebuah interpretasi yang berdasar pada linguistik dan percaya pada kerangka interpretatif (interpretative framework). Pola pemikiran penelitian audiens berubah dari ‘apa yang audiens lakukan dengan pesan’ atau ‘bagaimana pesan mempengaruhi audiens’ menjadi ‘interpretasi dan analisis terhadap pesan di televisi:
8
pada pikiran/gagasan dan proses pemaknaan’. Maka, audiens merupakan entitas yang aktif dalam membentuk dan meresepsi pesan tekstual. Studi resepsi audiens termasuk dalam kajian ilmu media karena pada awalnya berhubungan dengan kajian ilmu budaya dan dilakukan di Birmingham Centre for Contemporary Cultural Studies, Inggris. Model encoding-decoding Hall menjadi dasar dalam mengartikulasi masalah pada ‘paradigma resepsi’ dan kemudian dikenal sebagai ‘studi media’. Studi media dipahami sebagai sebuah cabang dari ilmu budaya (Alasuutari, 1999:2). Menurut Nightingale dalam Ruddock (2001:116), perbedaan yang fundamental antara penelitian komunikasi dengan ilmu budaya terletak pada fokus analisisnya, yaitu perubahan dari analisis efek media terhadap audiens menjadi analisis resepsi audiens terhadap pesan media. Sedangkan menurut Jensen (1991:135), kedua ilmu tersebut, baik ilmu budaya maupun ilmu sosial, memiliki sumbangsih sendiri-sendiri dalam studi resepsi audiens. Ilmu budaya telah berkontribusi dalam konsepsi komunikasi massa sebagai praktek budaya dalam memproduksi dan mengedarkan makna dalam konteks sosial. Sedangkan ilmu sosial kemudian menghadirkan penggunaan cara atau mode penelitian empiris tertentu dalam proses interaksi antara pesan media massa dengan audiens. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif kultural, yang mana pemaknaan pesan media dinegosiasi oleh individu berdasarkan pengalaman hidup. Jensen dan Rosengren (1990) mengkategorikan analisis resepsi dalam tradisi sosiokultural. Tradisi sosiokultural berada pada batasan ranah ilmu sosial dan budaya populer. Tradisi ini menekankan penggunaan media sebagai refleksi atas konteks sosial budaya tertentu dan sebagai proses pemberian makna terhadap produk budaya dan pengalaman sehari-hari (McQuail, 1997:16). Ciri-ciri tradisi kultural dalam penelitian audiens menurut Lindlof (1991) dalam McQuail (1997:19), antara lain:
9
1. Teks media harus ‘dibaca’ melalui persepsi audiens itu sendiri, yang mana mengkonstruksi makna yang ditawarkan oleh media (dan teks tersebut tidak pernah pasti maupun dapat diprediksi). 2. Penggunaan media untuk membuka konteks tertentu merupakan objek yang menarik. 3. Penggunaan media biasanya untuk situasi yang spesifik dan berorientasi pada tugas-tugas sosial yang berkembang dalam interpretive communities. 4. Audiens untuk genre media tertentu seringkali terdiri dari interpretive communities yang terpisah berbagi wacana dan pemikiran yang sama untuk memahami media. 5. Audiens tidak pernah pasif, tidak juga setara, karena beberapa audiens mungkin memiliki pengalaman yang lebih atau lebih aktif dari yang lain. 6. Metode atau pendekatan harus kualitatif dan mendalam, seringkali etnografi. Premis dari analisis resepsi yaitu audiens aktif memberikan makna terhadap pesan media saat membaca atau menyaksikannya, atau pada saat meresepsinya (Fingerson, 1999). Audiens mengetahui dan memahami pesan media tidak ditentukan semata-mata oleh konten program (McQuail, 1997:18-19). Melainkan karena kemampuan untuk mengawas sandi (decoding), menentang, dan menumbangkan pesan dominan atau hegemoni yang disajikan oleh media massa. Gagasan encoding-decoding Hall, menurut Alasuutari (1999:3) dinilai bukan perubahan yang radikal dalam studi audiens. Seperti model komunikasi sebelumnya seperti Model Gerbner, 1956; Model Lasswell, 1948; Model Shanon dan Weaver, 1949 (lihat Fiske, 1990), model encoding-decoding ini sebagai proses dimana pesan tertentu dikirim dan kemudian diterima dengan efek tertentu Alasuutari (1999:3). Namun Hall mengkritisi kekurangan dari konsep komunikasi massa milik Shanon dan Weaver yang linier. Dalam teori tersebut audiens diposisikan sebagai penerima pesan
10
yang pasif. Di samping itu, kekurangan dari model Shanon dan Weaver disebutkan oleh Nightingale (1996:7) tidak ada aspek ‘gangguan’ (noise), alat komunikasi (channel), ‘timbal balik’ (feedback), perbedaan budaya, dan segala ‘campur tangan’ serta batasan. Dalam model encoding-decoding, Hall menggarisbawahi bahwa pesan yang dikiriman dan yang diterima tidak selalu identik atau sama (Alasuutari, 1999:3). Terdapat ruang negosiasi saat audiens sedang berhadapan dengan media. Gitlin (dalam Ruddock, 2001:119) menilai setiap situasi mungkin dilihat secara berbeda oleh audiens, dan konsekuensi yang membedakan pengalaman subjektif audiens terletak pada reaksi terhadap pesan media. Pada prinsipnya, sebuah pesan dapat ‘dibaca’ dalam berbagai cara, dikonstruksi secara subjektif oleh audiens. Dalam prakteknya, hasil interpretasi terbatas dan dibentuk oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh masingmasing; seperti faktor psikologi, sejarah, sosial, politik dan budaya tertentu (Hall, 1980:119). Serta bingkai referensi (frame of reference) dan bidang pengalaman (field of experience). Hall, bagaimanapun tidak menyingkirkan asumsi bahwa media memiliki efek. Tetapi kerangka semiotika yang ia perkenalkan merupakan pergerakan dari model behaviouristic stimulus-response menjadi sebuah kerangka interpretatif, dimana semua efek tergantung pada interpretasi terhadp pesan media (Alasuutari, 1999). Hall lebih detil menjelaskan proses encoding-decoding, dan menekankan bahwa sebelum pesan memiliki efek, ia harus diinterpretasikan terlebih dahulu (studi interpretasi): At a certain point, however, the broadcasting structures must yield encoded messages in the form of a meaningful discourse. The institution-societal relations of production must pass under the discursive rules of language for its product to be ‘realized’. This initiates a further differentiated moment, in which the formal rules of discourse and language are in dominance. Before this message can have an ‘effect’ (however defined), satisfy a ‘need’ or be put to a ‘use’, it must first be appropriated as a meaningful discourse and be meaningfully decoded. It is this set of decoded meanings which ‘have an effect’, influence, entertain, instruct or persuade, with very complex
11
perceptual, cognitive, emotional, ideological or behavioural consequences. (Hall, 1980:119). Dalam model ini, Hall membawa pemahaman baru terhadap cara audiens memahami apa yang mereka saksikan. Perhatiannya fokus pada cara bagaimana pesan di-encoded oleh televisi dan di-decoded oleh audiens (Gorton, 2009:19). Sejumlah penelitian empiris mengenai resepsi audiens telah dilakukan terhadap beragam genre media dan kebanyakan meneliti audiens televisi (lihat Ang, 1986; Jensen, 1986; Lindlof, 1987; Lull, 1988; Brunsdon, 1978; Morley, 1980; Fingerson, 1999; Ruddock, 2001).
Figur 1. Model ‘Encoding/Decoding’ Stuart Hall (Hall 1980: 120) Figur 1 merupakan model encoding/decoding. Pada tahap ‘meaning structures 1’ merupakan proses pembuatan pesan oleh media yang dipengaruhi oleh tiga pilar, yaitu frameworks of knowledge, relations of productions dan technical infrastructure. Makna yang terkandung dalam ‘meaning structures 1’ dan ‘meaning structures 2’ mungkin tidak sama. Kode encoding dan decoding mungkin tidak secara sempurna simetris. Derajat simetris–yaitu derajat ‘pemahaman’ dan ‘kesalahpahaman’ dalam proses pertukaran komunikasi–tergantung pada derajat simetri/asimetri (hubungan persamaan derajat) dibangun antara posisi ‘personifikasi’ atau ‘perwujudan’, encoderproducer dan encoder-receiver. Namun fase ini pada gilirannya tergantung pada derajat identitas/non-identitas antara kode telah ditrasnmisikan yang secara sempurna
12
atau
tidak
sempurna
ditransmisikan,
diganggu,
atau
secara
sistematis
diubah/menyimpang. Kurangnya kesesuaian antara kode-kode memiliki banyak hubungan dengan perbedaan struktur hubungan dan posisi antara penyiar dan audiens, namun ini juga berhubungan dengan pola asimetri antara kode-kode dari ‘sumber’ dan ‘penerima’ pada saat transformasi ke dalam dan keluar dari bentuk diskursif. What are called ‘distortions’ or ‘misunderstandings’ arise precisely from the lack of equivalence between the two sides in the communicative exchange. Once again, this defines the ‘relative autonomy’, but ‘determinateness’, of the entry and exit of the message in its discursive moments. (Hall, 1980:120) Hall (1980:125-127) menekankan tiga hipotesis posisi audiens dalam mengawas sandi saat membaca makna yang diproduksi oleh media (preferred meaning): a. Dominant-hegemonic reading: audiens sepenuhnya berbagi kode, menerima pesan dan memproduksi preferred reading pada level konotatif. Dengan kata lain, dalam memaknai isi media, audiens melakukan pemaknaan dengan makna dominan (preferred reading) yang ditawarkan oleh teks media. b. Negotiated reading: merupakan campuran antara elemen adaptatif dan perlawanan terhadap kode. Ada kontradiksi dalam memaknai pesan. Audiens menerima sebagian kode teks dan secara luas menerima preferred reading, tetapi terkadang berada pada posisi yang menentang dan mengubah pesan dengan caranya sendiri. c. Oppositional reading: audiens sangat memahami makna denotasi dan konotasi teks, namun memutuskan untuk menempatkan diri pada posisi yang berlawanan dengan kode yang dominan. Sebelum melakukan analisis resepsi audiens terhadap teks, peneliti perlu mengidentifikasi preferred reading atau ideologi dominan teks terlebih dahulu. Peneliti mencoba memahami pesan yang ingin disampaikan oleh produser media dan melihat konteks yang mendasarinya. Setelah preferred reading diketahui, peneliti kemudian
menganalisa
interpretasi
audiens
13
terhadap
pesan
tersebut
dan
diklasifikasikan dalam kategori dominan, negosiasi atau opisisi. Dalam hal ini, decoding tidak hanya melibatkan pemahaman menyeluruh terhadap teks, tetapi juga interpretasi dan evaluasi terhadap makna terhadap kode teks yang relevan. Setelah mengetahui posisi pembacaan audiens, selanjutnya peneliti menganalisa bagaimana posisi tersebut dibangun. Pada tahap ini, peneliti mengaitkan pemaknaan audiens dengan latar belakang sosial dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi, seperti latar belakang pendidikan, ras, gender, dan pengalaman masing-masing audiens. 1.5.2 Audiens Aktif dalam Memaknai Pesan Media Terminologi audiens merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, audience. Penggunaan kata audiens cukup beragam sesuai konteks kajiannya. Dalam ranah Ilmu Komunikasi, menurut Wilbur Schramm (dalam McQuail, 2005:396) audiens menempati posisi sebagai penerima (receiver) pesan dalam rangkaian model proses komunikasi massa (source, channel, message receiver, effect). Lebih kompleks lagi, McQuail (2005:2) mengemukakan bahwa audiens adalah hasil atau produk dari konteks sosial (yang menunjuk pada kepentingan budaya, pemahaman, dan kebutuhan informasi yang sama) dan respon terhadap pola jenis media massa tertentu. Dalam kajian media, menurut Ross & Nightingale (2003:4), audiens merujuk pada sekelompok atau individu yang menyaksikan televisi, membaca buku, suratkabar atau majalah, atau bahkan melihat pertandingan olahraga dari stadion. Di samping itu, audiens merupakan sebuah ranah penelitian empiris dalam studi komunikasi dan media. Audiens juga merujuk pada individu atau kelompok yang menggunakan media massa. Terdapat perbedaan pandangan mengenai posisi audiens antara pakar komunikasi massa the Frankfurt School dengan the Birmingham School of Cultural Studies (Morley, 2011 dalam Jin, 2011:134). Frankfurt School menggambarkan audiens sebagai konsumen media yang pasif. Setiap hari audiens menghadapi terpaan media dan mencerna berbagai produk media. Oleh karena itu, pandangan media terhadap audiens tidak lebih dari kelompok konsumen media yang pasif. Apapun yang
14
dipikirkan oleh audiens tidak relevan, selama mereka menggunakan media. Media mengirimkan pesan kelompok yang dominan di masyarakat kepada audiens. Dalam pandangan ini, audiens diindoktrinasi dan tidak menyadari bahwa mereka didominasi oleh media (Croteau & Hoynes, 2003:266). Model kekuatan media oleh Frankfurt School berlatar belakang tahun 1930an dengan konteks Nazi Jerman dan Weimar, pada saat itu teori dikembangkan untuk kepentingan propaganda dan persuasi. Keadaan tersebut menuntut perhatian dan sensitivitas untuk mempertanyaakan kekuatan media dan manipulasi. Adorno dan Horkheimer merupakan dua dari banyak pakar budaya dan sosiologi Jerman yang tertarik dan fokus terhadap hal tersebut (lihat Gorton, 2009: 13-14). Perkembangan studi komunikasi dan media, khususnya berkaitan dengan audiens, beranggapan bahwa pandangan ini tidak cukup (Croteau & Hoynes, 2003:266). Gagasan mengenai posisi audiens sebagai audiens yang aktif (active audiens) awalnya dinilai radikal (Nightingale, 1996:7). Para pakar ilmu budaya di the Birmingham School of Cultural Studies, Inggris memiliki pandangan yang berbeda dengan Frankfurt School, Jerman. Perlu dipahami juga bahwa perkembangan audiens media di Inggris muncul pada masa dan keadaan yang berbeda. Di Inggris lebih dipengaruhi oleh pandangan budaya populer. Pergeseran pemahaman terkait aktivitas audiens dalam menggunakan media. Mereka melihat audiens sebagai pembaca aktif (active reader) dari pada penerima yang pasif (passive recipients). Menurut Morley (dalam Jin, 2011:133-134), segala bentuk membaca atau menyaksikan merupakan aktivitas yang aktif. Keaktifan, menurutnya selalu terjadi saat menginterpretasi pesan media. Gagasan audiens aktif muncul sebagai perlawanan terhadap dominasi ideologi. Pendukung teori audiens aktif berpendapat bahwa media tidak bisa mendikte apa yang dipikirkan oleh audiens bahkan menentukan perilaku audiens. Salah satu penelitian terhadap audiens dilakukan oleh David Morley, the ‘Nationwide’ Audience dan Family Television
(1986).
Penelitian
tersebut
15
berdasarkan
pada
kerangka
teori
Encoding/Decoding Stuart Hall (1974) sebelumnya. Dalam wawancaranya dengan Jin (2011), Morley mengutarakan keinginannya memahami bagaimana kekuatan media bekerja, bersamaan dengan adanya fakta bahwa audiens secara aktif memilih media dan membuat interpretasi sendiri atas pesan media: Essentially, in The ‘Nationwide’Audience I was trying to offer what I think is a better way of understanding media power than is offered by the Frankfurt School’s simplistic approach to audiences - as passive ‘dupes’ - which was predominant at that time. I’m quite happy to accept that Adorno and Horkheimer make sophisticated general arguments about the way in which the culture industry shapes consciousness. In criticizing their model of the automatic ‘effects’ of the media on the masses, I’m not trying to replace it by a theory which says that all audiences are completely ‘active’ and are making just any interpretation they want out of the media materials they come across. (2011:132) Posisi Morley dalam memahami audiens sebagai entitas yang aktif cukup kompleks. Meskipun Morley setuju bahwa audience aktif dalam memaknai pesan media, tidak dapat dipungkiri bahwa media tetap memiliki kekuatan untuk mempengaruhi audiensnya: In that respect, my perspective is quite different from that of scholars such as John Fiske in what has come to be called the ‘active audiences’ tradition. Contrary to them, I’m not trying to deny issues of media power. Moreover, despite my criticisms of Bourdieu and Bernstein’s overly deterministic model of class, I’m also very interested in the way in which the ability of a person to reinterpret or re-use the media to which they have access is, in fact, to some extent determined by their social position. That’s because their social position will limit their access to particular types of cultural codes and cultural capital. However, I’m not advocating some model of ‘free-floating’ individuals who are just able to do whatever they like with what the media offers to them. (2011:132) Karakteristik utama audiens aktif yaitu kemampuan menyaksikan atau membaca media dengan kritis; menggunakan pengalaman pribadi mereka untuk mengukur dan mengkritik pesan media (Fingerson, 1999:390-391). Selalu ada tendensi bahwa melihat audiens sebagai entitas aktif selalu lebih baik dari pada sebaliknya. Semakin aktif audiens tersebut, dalam hal memilih, memperhatikan, dan
16
merespon media, maka ia semakin resisten utnuk dipengaruhi, dibujuk, atau dimanipulasi oleh media. Audiens aktif cenderung memiliki lebih banyak feedback dan hubungan antara pengirim dan penerima lebih interaktif (McQuail, 1997:22). Aktivitas dari audiens aktif adalah menginterpretasi pesan media. Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses berpikir dan kegiatan aktif pencarian makna (Littlejohn, 2002:199). Makna dari pesan media tidak pasti. Makna tersebut dikonstruksi oleh audiens. Konstruksi pesan bukanlah aktivitas yang proses yang mudah. Ia membutuhkan proses dan kemampuan berpikir melebihi makna denotasi yang terkandung dalam pesan. Untuk menghasilkan makna bagi diri sendiri, individu menggunakan kemampuan analisis induksi, deduksi, mengelompokkan dan sintese (Croteau & Hoynes, 2003:267). Produser mengkonstruksi pesan media yang kompleks, sering kali cukup jelas menunjukkan maksudnya. Namun, pesan ini tidak semata-mata mudah diterima oleh audiens aktif. Melainkan, audiens menginterpretasi pesan tersebut. Hasil interpretasi pesan oleh audiens tersebut belum tentu sesuai dengan maksud produser, bahkan pemaknaan audiens terhadap satu pesan yang sama belum tentu sama. Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu pesan atau teks terdapat lebih dari satu makna yang dapat dikonstruksi audiens, tergantung pada derajat keaktifan dalam memaknai pesan, latar belakang sosiokultural, jaringan sosial, pengalaman, dan sebagainya. Dalam bidang ilmu budaya, para pakar menggunakan istilah ‘polysemy’ untuk mendeskripsikan gagasan atas beragam makna dalam pesan media. Menurut Fiske (1987), teks media mengandung makna yang ‘berlebihan’. Pesan dalam media massa seperti film, program televisi, majalah, surat kabar dan jenis media massa lainnya mengandung gambar dan kata-kata yang sarat makna. Croteau dan Hoyness memberi kiasan berupa puzzle dengan potongan-potongan yang sangat banyak. Kita hanya membutuhkan beberapa potongan untuk membuat gambar, namun pemilihan gambar yang berbeda akan menghasilkan gambar yang berbeda pula. Hal tersebut dapat dianalogikan seperti teks media (2003:269-271).
17
Croteau dan Hoyness (2003:272) mempertanyakan seberapa bebas audiens menginterpretasi pesan media, apakah mereka dapat memberikan makna sesuka hati mereka ataukah pesan dalam teks media terbatas oleh audiens tertentu saja? Terdapat tendensi dalam beberapa cabang ilmu budaya untuk benar-benar mendorong audiens untuk melewati batas, menanggapi hal tersebut maka pemaknaan pesan media sangat beragam. Kita tidak bisa benar-benar memahami bahkan mengontrol audiens. Mereka berargumen bahwa audiens memiliki kekuatan penuh dalam berinteraksi dengan media karena mereka dapat memaknai pesan media dengan sesuka hati. Dalam pandangan ini, struktur sosial hampir tidak memiliki daya paksa atau tekanan kepada audiens. Pesan sendiri berarti sangat kecil. Teks tersebut tidak hanya terbuka, tetapi terbuka lebar, untuk diinterpretasi dalam jumlah yang tak terhingga. 1.5.3 Pesan Kritik Sosial dalam Wayang Kulit Kritik sosial merupakan salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem sosial suatu negara ketika terdapat tindakan-tindakan yang menyimpang nilai sosial dan moral masyarakat (Abar, 1999:47). Definisi lain mengenai kritik sosial menurut Soekanto (2007) yaitu suatu aktivitas yang berhubungan dengan penilaian, perbandingan, dan pengungkapan mengenai kondisi sosial suatu masyarakat yang terkait dengan nilai-nilai yang dianut ataupun nilai-nilai yang dijadikan pedoman. Fungsi kritik sosial sebagai tindakan untuk membandingkan serta mengamati secara teliti dan melihat perkembangan secara cermat tentang baik atau buruknya kualitas suatu masyarakat. Menurut Raikka (2000), kritik sosial dilihat dari tujuannya memiliki beberapa jenis, yaitu unmasking social criticism, sociological social criticism, dan principled social criticism. Kritik sosial biasanya muncul karena ketimpangan kekuasaan, juga karena sistem yang ada tidak berlaku semestinya, sehingga salah satunya mengakibatkan kesenjangan ekonomi. Menurut Kartasasmita (1996:15-16) masalah kesenjangan ekonomi, jika tidak ditangani secara berhati-hati dan secara tepat, mempunyai potensi makin membesar apalagi dengan adanya deregulasi. Upaya deregulasi sebagai
18
penyesuaian diri terhadap globalisasi membuka persaingan lebih leluasa dan persaingan semakin ketat. Imbasnya, persoalan kesenjangan ekonomi bisa cepat berubah bentuk menjadi masalah politik, apakah itu dalih agama, ras, ayau suku. Hal ini juga berpotensi memicu pengangguran. Pengangguran berjalan bergandengan dengan proses urbanisasi. Urbanisasi, di samping ada sisi positifnya, juga berpotensi menciptakan masalah karena terkonsentrasinya masalah-masalah sosial pada ruang yang terbatas dan penduduk padat. Manurung (1996:166-167) mengkritik kehidupan di bidang hukum di Indonesia sangat memprihatinkan karena keadilan dan kebenaran bukan lagi berasal dari tuntuntan kemanusiaan yang hakiki dan azasi, melainkan keadilan dan kebenaran tersebut bisa diatur adanya faktor kekayaan dan kekuasaan. Penggusuran-penggusuran terhadap tanah rakyat, rasa takut masyarakat berhubungan dengan pejabat sipil dan militer, terjadinya kolusi dari tingkat pengadilan rendah sampai ke mahkamah agung dan masih banyak lagi hal lainnya yang menggambarkan keadaan hukum Indonesia memprihatinkan. Kondisi diperburuk dengan berkembangnya budaya materialistis dan budaya malu juga sudah sirna karena banyak orang terutama pejabat tidak malu mempertunjukkan kekayaannya. Hal tersebut memiliki tendensi untuk memperluas dan memperkuat kekuasaannya. Beberapa jenis kekuasaan di dunia bisa bertahan dengan cara sederhana, yaitu melakukan tekanan dengan mengandalkan pemakaian alat-alat kekerasan. Tidak dapat dilupakan bagaimana Soeharto semasa Orde Baru telah mengorbankan ribuan nyara bagi kelestarian kekuasaannya. Bahkan menurut Foucault, kekuasaan memang tidak dilanggengkan dengan cara kekerasan saja, tetapi juga melalui pengetahuan dan kesenangan, dengan demikian akan tampak betapa kekuasaan akan selalu berikhtiar untuk mempengaruhi publik melalui apa yang disebut-sebut sebagai pembudayaan kepatuhan. Tak ada celah untuk menyuarakan protes apalagi kritikan (Mahfud, Hamid, Marzuki, dan Prasetyo, 1999).
19
Kritik sosial disebut juga dengan social criticism dan merupakan aktivitas sosial yang merupakan bentuk tanggapan atas kondisi sosial yang tidak seharusnya. Aktivitas kritik merupakan bagian integral dari usaha manusia untuk membangun sebuah dunia yang kokoh, yang mampu memberikan rasa aman pada manusia yang bersangkutan sambil sekaligus membuka kemungkinan bagi pengembangan dunia itu ke arah yang semakin sesuai dengan tuntutan kemanusiaannya (Faruk, 1999). Kritik sosial mencoba melawan homogenitas pemikiran yang dibangun penguasa dan mencoba menawarkan alternatif pemikiran lain. Kritik yang baik adalah yang bersifat membangun dan memberi perubahan terhadap konstruksi masyarakat. Pelaku kritik sosial ini bisa saja individual, tetapi mereka juga tergabung dalam diskusi publik. Pembicaraannya merupakan cerminan terhadap kondisi kehidupan kolektif (Walzer, 1985). Kritik sosial dapat dilakukan oleh siapapun, termasuk, rakyat, pakar politik, media, budayawan yang pada dasarnya bertujuan untuk memelihara sistem sosial yang ada. Pada pertunjukan wayang, kritik sosial diungkapkan melalui dialog
sosial
antartokoh
yang
merepresentasikan
ideologi
dalang
dalam
pementasannya (Suwija, 2012). Sebagai sebuah kesenian, wayang kulit tidak hanya berperan sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana edukasi dan kontrol sosial (Ulfa, 2014). Kecenderungannya, kritik dalam wayang kulit mewakili keresahan rakyat kecil yang ditujukan kepada pemerintah yang tidak adil. Secara umum wayang kulit sarat akan pesan dan nilai moral, baik secara tersirat maupun tersurat, melalui simbol-simbol. Untuk memahami pesan yang disampaikan oleh wayang kulit, baik wayang klasik maupun wayang kontemporer, penonton perlu memahami makna yang terkandung dalam simbolsimbol, karakter, sifat, bentuk fisik, dan peran tokoh. Cerita wayang kontemporer mengangkat cerita tentang isu-isu yang sedang terjadi, fenomena kehidupan nyata yang dialami oleh rakyat Indonesia dari segi sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, dan lingkungan.
20
Pada Wayang Kampung Sebelah, tokoh yang digambarkan merupakan gambaran dari masyarakat Indonesia antara lain karakter kepala desa, anggota Polri, angorta TNI, pemuda pengangguran, orang tua yang bijak, investor asing. Wayang Kampung Sebelah mengemas tokoh-tokoh tersebut dalam lakon-lakon sebagai sarana komunikasi isu kemiskinan, kesenjangan sosial, penggusuran lahan, kerusuhan, korupsi, perdagangan manusia, penebangan hutan yang luar, pengangguran, dan sebagainya. Keadaan itu adalah keadaan sebagai kaum marginal, tidak memiliki pekerjaan, dan wujud kekecewaan terhadap sistem di Indonesia yang dianut oleh sebagian pemerintah, yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme (Ulfa, 2014). 1.5.4 Wayang Kulit Kontemporer Wayang kontemporer merupakan modifikasi dari wayang kulit yang dikembangkan untuk menarik minat masyarakat terhadap kesenian wayang. Istilah wayang kulit kontemporer merujuk pada pementasan wayang yang tidak terpatok pada pakem tradisional. Dalam konteks kesenian kontemporer, karya seni ini merupakan karya yang secara tematik merefleksikan situasi yang sedang dilalui, memiliki keragaman tema cerita dan penokohan. (Garinca, 2013:8). Menurut Garinca (2013), pusat kebudayaan Indonesia atau pakar-pakar pewayangan tidak secara resmi mengkategorikan pertunjukan wayang kontemporer guna membedakan masing-masing pertunjukan. Namun, berdasarkan pengamatan di lapangan terhadap bentuk fisik model wayang kontemporer, secara general dapat dibagi menjadi dua kategori: 1. Wayang kontemporer yang pada pergelarannya tetap menggunakan boneka wayang sebagai objek yang digenggam dimana seorang dalang memainkannya dengan cara konvensional. Sebagai contoh, wayang Cupumanik Astagina dan pertunjukan wayang oleh dalang Ki Catur Kuncoro.
21
2. Wayang kontemporer yang pada pergelarannya menghadirkan bentuk wayang yang diolah secara digital dimana objek wayang tersebut dimainkan dengan cara yang tidak konvensional menggunakan alat-alat modern. Contohnya wayang digital dan wayang cyber. Kini telah banyak wayang kontemporer yang lahir dengan gaya penokohan dan cerita yang terlepas dari kisah Ramayana dan Mahabarata, seperti Wayang Kampung Sebelah karya Ki Jlitheng Suparman dari Solo dan Wayang Cenk Blong karya I Wayan Nardayana dari Bali, Wayang Hip Hop karya Ki Catur ‘Benyek’ Kuncoro dari Yogyakarta, dan sebagainya. Atas perubahan yang terjadi di dunia pewayangan, Suartaya (2010) berargumen bahwa wayang sebagai ekspresi kebudayaan juga bertransformasi
dan
berkompromi
dengan
dinamika
sosial
yang
menjadi
penyangganya. Fenomena wayang kontemporer mendapatkan respon yang positif dari masyarakat menjadi pertanda telah terjadi pergeseran dan perkembangan cara pandang penonton masa kini terhadap seni pertunkukan wayang. Dalam wayang kontemporer, terdapat kontekstualisasi moral cerita, baik dalam ungkapan kritik sosial maupun humor. Bagi sejumlah dalang pencipta wayang kontemporer, wayang jenis ini dapat menjadi alternatif kebudayaan untuk memasuki ruang kontemporer masyarakat modern. Masyarakat dewasa ini terutama anak muda memiliki pilihan media yang lebih banyak dan lebih interaktif dibandingkan masyarakat jaman dulu sebelum teknologi maju seperti sekarang. Dalang kemudian melakukan inovasi-inovasi terhadap kesenian wayang untuk mengenalkan dunia wayang kepada generasi muda dengan menyesuaikan cerita-cerita wayang dengan konteks masayarakat sekarang. Sehingga pertunjukan wayang dapat dimaksimalkan unguk digunakan sebagai alat komunikasi masalah-masalah masyarakat kontemporer. Karakteristik wayang kulit kontemporer dipengaruhi oleh ideologi dalang. Dalang menginterpretasikan pengetahuannya dan menuangkannya dalam bentuk naskah seni pertunjukan sehingga memudahkan pembaca untuk memahami konteks
22
cerita. Biasanya wayang kontemporer seringkali membicarakan permasalahan seharihari yang ia temukan di media atau diskusi dengan kelompok. Di kalangan para pemerhati wayang, wayang dianggap sebagai sebuah kesenian dan kebudayaan, adapun pihak yang menginginkan agar setiap pergelaran wayang harus selalu mengacu pada pakem yang ada untuk memlihara sifat adipeni dan adiluhung pergelaran wayang itu sendiri. Sunjoyo (2013) menyampaikan sejauh pergelaran tersebut tidak mengubah kandungan nilai-nilai luhur atau ajaran budi pekerti yang baik, hal itu masih bisa ditolerir. Masalah durasi yang lebih singkat, menggunakan bahasa Indonesia, dan lainnya dipahami sebagai upaya untuk menarik khususnya generasi muda. Sunjoyo menambahkan, sering tidaknya pergelaran wayang diadakan itu sangat bergantung pada pasar atau keinginan publik. Sehingga semakin banyak masyarakat yang tertarik dan paham akan pertunjukan wayang, maka diharapkan semakin banyak pertunjukan wayang. 1.6 Kerangka Konsep Setelah melalui penjabaran kerangka pemikiran sebelumnya, maka dapat diambil sejumlah konsep yang membantu peneliti untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut terdiri dari: pesan kritik sosial dalam Wayang Kampung Sebelah dan decoding audiens terhadap pesan kritik sosial dalam tayangan televisi Wayang Kampung Sebelah 1.6.1 Pesan Kritik Sosial dalam Wayang Kampung Sebelah Kritik sosial merupakan salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem sosial suatu negara ketika terdapat tindakan-tindakan yang menyimpang nilai sosial dan moral masyarakat (Abar, 1999:47). Pada pertunjukan wayang, kritik sosial diungkapkan melalui dialog sosial antartokoh yang merepresentasikan ideologi dalang dalam pementasannya. Dalam wayang kontemporer, terdapat kontekstualisasi moral cerita, baik dalam ungkapan kritik sosial maupun humor.
23
Wayang Kampung Sebelah sebagai media hiburan dan media kontrol sosial mengangkat permasalahan politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan juga lingkungan hidup. Dalang Wayang Kampung Sebelah mengungkapkan keadaan kaum marginal yang tidak memiliki pekerjaan dan kecewa terhadap sistem pemerintah Indonesia.
Hal
tersebut
dikomunikasikan
melalui
lakon
atau
cerita
yang
direpresentasikan oleh karakter atau tokoh wayang. 1.6.2 Decoding Audiens terhadap Pesan Kritik Sosial dalam Tayangan Televisi Wayang Kampung Sebelah Penelitian ini mengenai studi audiens, secara spesifik tentang audiens televisi program Wayang Kampung Sebelah. Sedangkan proses komunikasi yang ingin diteliti adalah mengenai resepsi pesan kritik sosial audiens yang menyaksikan tayangan Wayang Kampung Sebelah di stasiun televisi MNCTV. Pembedahan konsep ini menggunakan analisis resepsi; karena dalam studi analisis resepsi, audiens merupakan entitas yang aktif dalam membangun dan menginterpretasikan makna atas apa yang mereka baca, lihat, dan dengar sesuai dengan latar belakang dan faktor psikologi, sejarah, sosial, politik dan budaya tertentu serta bingkai referensi (frame of reference) dan bidang pengalaman (field of experience). Pemaknaan pesan oleh audiens tayangan Wayang Kampung Sebelah mengacu pada segala bentuk proses decoding, interpretasi, pemahaman, opini, dan pandangan dari pesan yang diterimanya. 1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis resepsi. Analisis resepsi merupakan metode untuk meneliti tentang resepsi dan interpretasi audiens terhadap suatu pesan. Penelitian ini fokus pada audiens; yaitu menekankan peran audiens sebagai ‘pembaca’ dalam proses decoding sebuah teks media (McQuail, 1997). Proses decoding tersebut dipengaruhi oleh aktor kultural seperti pengalaman pribadi, ideologi, pola pikir, hingga latar belakang audiens.
24
Konteks penelitian ini yaitu analisis resepsi akan digunakan untuk meneliti resepsi dan interpretasi audiens terhadap pesan kritik sosial dalam tayangan Wayang Kampung Sebelah di televisi. 1.7.2 Kriteria Informan Penelitian Dalam penelitian ini, narasumber diposisikan sebagai ‘informan’. Peneliti mengutamakan kedalaman/kualitas data pada setiap informan, bukan pada kuantitas. Peneliti menggunakan pola snowball dalam memperoleh informan. Kriteria pemilihan informan berdasar pada usia, pekerjaan, intensitas menonton tayangan televisi, Wayang Kampung Sebelah, status pernikahan, latar belakang sosial dan budaya setiap informan. Setelah melakukan observasi pra-riset, peneliti menemukan empat orang informan yang representatif. Nama informan berikut telah disamarkan untuk menghormati privasi informan. Informasi lebih detil sebagai berikut: 1) Ade. Laki-laki berusia 53 tahun, sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Ia berprofesi sebagai dosen dan peneliti di Jurusan Antropologi UGM. Berasal dari Gianyar, Bali, namun sudah tinggal di Yogyakarta sejak awal kuliah S1. Ade
mengaku
menyukai
wayang
kulit
purwa
dan
budaya
Jawa.
Pengalamannya menonton wayang kulit secara langsung dimulai sejak SD hingga kuliah. Setelah kuliah, ia mengaku jarang menonton wayang kulit secara langsung, lebih sering melalui media televisi. Peneliti mengenal Ade dari seorang teman yang pernah menjadi mahasiswa Ade. Ade mengatakan, ia menyaksikan Wayang Kampung Sebelah karena sejak masih muda ia senang menyaksikan pertunjukan wayang, dan ketika ia mengetahui ada tayangan Wayang Kampung Sebelah yang menurutnya cukup unik, ia kemudian rutin menyaksikannya. 2) Tama. Laki-laki berusia 25 tahun, belum menikah. Ia seorang dalang muda wayang kulit purwa asal Solo. Saat ini sedang menempuh pendidikan jenjang S2 mengambil Kajian Pertunjukan dan Seni Rupa UGM. Tama mengaku
25
menyukai wayang kulit sejak masih duduk di bangku sekolah dasar dan dulu bercita-cita menjadi dalang. Sejak kecil Tama sering menyaksikan pertunjukan wayang kulit purwa secara langsung. Hingga sekarang ia pun masih rutin melakukannya, ditambah menyaksikan tayangan wayang kulit di televisi. Peneliti mengenal Tama dari seorang teman yang telah mengenal Tama dengan cukup baik. Tama mengaku sejak kecil ia sangat menyukai wayang dan ingin menjadi dalang suatu hari nanti. Ia pun gemar menyaksikan pertunjukan wayang kulit, baik wayang kulit purwa dan wayang kulit kontemporer. Ia rutin menyaksikan Wayang Kampung Sebelah karena ia senang memperhatikan sindiran satir yang dilontarkan oleh dalang. Selain itu ia mengenal karakter dalang Wayang Kampung Sebelah sehingga ada minat lebih untuk menyaksikan pertunjukannya. 3) Putra. Laki-laki berusia 25 tahun, belum menikah. Ia sarjana Ilmu Komunikasi UGM dan ingin melanjutkan belajar Ilmu Manajemen di Jerman. Pecinta alam ini pernah mendaki gunung es di Nepal. Putra lahir di Bekasi, namun besar di Semarang. Putra merupakan audiens yang sangat jarang menonton pertunjukan wayang kulit secara langsung (tanpa perantara media televisi). Ia mengaku hanya sekali. Ia lebih sering menyaksikan pertunjukan wayang yaitu Wayang Kampung Sebelah melalui siaran televisi. Putra adalah teman kuliah peneliti. Peneliti mengetahui Putra rutin menyaksikan tayangan Wayang Kampung Sebelah saat peneliti mengajukan pertanyaan di salah satu forum sosial angkatan kuliah kami. Ia senang dan rutin menyaksikan tayangan Wayang Kampung Sebelah untuk hiburan dan tertarik dengan karakter Pak Lurah. 4) Yuli. Wanita berusia 47 tahun, sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Yuli berprofesi sebagai dokter anak di beberapa rumah sakit di Semarang. Berasal dari Yogyakarta, namun sudah lama tinggal di Ungaran sejak
26
penempatan dinas. Yulinar mengaku menyukai jenis wayang orang. Sejak kecil Yuli sudah mengenal wayang. Ia mengaku senang menyaksikan pertunjukan langsung wayang golek dan wayang wong. Saat ini ia hanya menyaksikan wayang, yaitu Wayang Kampung Sebelah, melalui televisi. Peneliti mengenal Yuli atas rekomendasi dari ayah peneliti yang dulunya adalah kakak angkatan Yuli di Fakultas Kedokteran UGM. Yuli mengaku rutin menyaksikan Wayang Kampung Sebelah bersama keluarganya di rumah. Ia sangat menyukai karakter Pak Lurah yang ikonik. 1.7.3 Teknik Pengumpulan Data Proses pengumpulan data dilakukan dengan observasi, yakni melakukan pengamatan, membuat catatan, membuat rekaman tidak terstruktur serta rekaman semi terstruktur (dengan panduan pertanyaan). Peneliti juga menanyakan episode yang disaksikan oleh informan. Kemudian peneliti melakukan tindak lanjut dengan wawancara mendalam mengenai resepsi audiens terkait episode-episode. Wawancara bersifat semi-terstruktur dengan open-ended questions yang berfungsi untuk mengetahui dan mendapatkan opini atau pemikiran dari responden. Selain itu peneliti mengumpulkan dokumen publik (buku, artikel berita, jurnal penelitian, dll) dan dokumen pribadi (buku harian, surat), serta materi audio-visual seperti foto, rekaman video, obyek seni, dan film jika tersedia. 1.7.4 Teknik Analisis Data Cara menganalisis data dengan mengelaborasi proses resepsi informan berdasarkan episode-episode yang mereka saksikan dan memiliki makna yang kuat bagi mereka, karena informan dapat merepsi pesan tersebut ketika memiliki makna yang cukup kuat dalam dirinya.
27
Episode-episode disaksikan oleh informan serta isunya, antara lain: No 1
Nama Ade
Episode Nestapa di Balik Euforia Pahlawan Devisa
Isu Isu besar: Tenaga Kerja Wanita (TKW) Anak gadis yang dijadikan TKW, orang tuanya berharap anak tersebut mendapatkan uang yang banyak untuk membayar hutang orang tuanya. Namun kini tidak diketahui keberadaan dan kabarnya.
Berebut Menolong Rakyat
Isu besar: politik Tokoh-tokoh berlombalomba menyalonkan diri menjadi pemimpin namun sebenarnya tidak paham apa masalah dan kebutuhan rakyat.
Pelacur dalam Perspektif Sosiologis
Isu besar: sosial
Manusia Merencanakan, Korupsi Yang Menentukan
Isu besar: ekonomi
Bumiku Tergadai Hidupku Terbengkalai
Isu besar: penipuan sewa tanah
Dalang mencoba memberikan gambaran bahwa meskipun lokalisasi dibubarkan, pelacuran tetap terjadi dimana saja.
Masalah korupsi yang merajalela.
Rakyat ‘kecil’ yang dipermainkan oleh orang
28
‘besar’ atau penguasa dan ditipu sehingga nasib rakyat ‘kecil’ semakin melarat.
2
Tama
Desa Punya Cara, Kota Punya Tata
Isu besar: sosial
Nestapa di Balik Euforia Pahlawan Devisa
Isu besar: TKW.
Tergusur Di Bawah Panji AdilMakmur
Isu besar: Pedagang Kaki Lima (PKL)
Dalang mencoba menunjukkan bahwa rakyat desa memiliki aturan sendiri dalam mengelola daerahnya, menentang orang kota untuk bertindak seenaknya.
Anak gadis yang dijadikan TKW, orang tuanya berharap anak tersebut mendapatkan uang yang banyak untuk membayar hutang orang tuanya. Namun kini tidak diketahui keberadaan dan kabarnya.
Para PKL yang digusur dan tidak ada keadilan bagi mereka. Arus Artis Mendadak Caleg
Isu besar: politik Euforia artis yang menyalonkan diri menjadi calon legislatif, namun minim pemahaman tentang politik.
Pelacur dalam Perspektif Sosiologis
29
Isu besar: sosial Dalang mencoba
memberikan gambaran bahwa meskipun lokalisasi dibubarkan, pelacuran tetap terjadi dimana saja. Berlomba Mirip Soekarno
Isu besar: politik Masyarakat mendambakan pemimpin seperti Soekarno, kemudian saat pemilu banyak calon pemimpin yang meniru Soekarno.
Wakil Rakyat Salah Alamat
Isu besar: politik Pemimpin yang tidak tepat sasaran dalam memberikan bantuan serta tidak mendengarkan aspirasi rakyat.
Hutang Janji Dibayar Janji
Isu: politik Tentang seorang kepala atau pemimpin yang meninggalkan jabatannya sekarang demi meraih jabatan yang lebih tinggi dengan mengobral janjijanji.
3
Putra
Menakar Raskin Di Negeri Kaya
Isu: ekonomi dan penipuan Pengusaha dan penguasa saling bekerja sama untuk memperkaya golongannya. Sedangkan rakyat ‘kecil’ ditipu dan semakin miskin.
Tergusur Di Bawah Panji AdilMakmur
30
Isu besar: Pedagang Kaki Lima (PKL)
Para PKL yang digusur dan tidak ada keadilan bagi mereka. Pelacur dalam Perspektif Sosiologis
Isu besar: sosial
Terhimpit Prestasi dan Frustasi
Isu: ekonomi dan pendidikan
Dalang mencoba memberikan gambaran bahwa meskipun lokalisasi dibubarkan, pelacuran tetap terjadi dimana saja.
Rakyat kecil yang tidak sanggup membayar uang untuk sekolah dan kemudian frustasi karena pemerintah tidak membantu. Berlomba Mirip Soekarno
Isu besar: politik Masyarakat mendambakan pemimpin seperti Soekarno, kemudian saat pemilu banyak calon pemimpin yang meniru Soekarno
Manusia Merencanakan, Korupsi Yang Menentukan
Isu besar: ekonomi
Who Wants To Be A Lurah
Isu: politik
Masalah korupsi yang merajalela.
Masalah klise mengenai pemimpin politik yang berlomba-lomba menjadi pemimpin namun tidak memiliki kredibilitas.
31
4
Yuli
Desa Punya Cara, Kota Punya Tata
Isu besar: sosial
Berburu Kenyamanan Berbuah Penderitaan
Isu besar: ekonomi
Berebut Menolong Rakyat
Isu besar: politik
Dalang mencoba menunjukkan bahwa rakyat desa memiliki aturan dan harga diri dalam mengelola daerahnya, menentang orang kota untuk bertindak seenaknya.
Rakyat yang miskin ingin hidup kaya, awalnya mencari kebahagiaan dengan membeli barang mahal, namum berujung hutang.
Tokoh-tokoh berlombalomba menyalonkan diri menjadi pemimpin namun sebenarnya tidak paham apa masalah dan kebutuhan rakyat. Arus Artis Mendadak Caleg
Isu besar: politik Euforia artis yang menyalonkan diri menjadi calon legislatif, namun minim pemahaman tentang politik.
Manusia Merencanakan, Korupsi Yang Menentukan
Isu besar: ekonomi
Wakil Rakyat Salah Alamat
Isu besar: politik
Masalah korupsi yang merajalela.
Pemimpin yang tidak tepat sasaran dalam
32
memberikan bantuan serta tidak mendengarkan aspirasi rakyat. Desa Punya Cara, Kota Punya Tata
Isu besar: sosial Dalang mencoba menunjukkan bahwa rakyat desa memiliki aturan dan harga diri dalam mengelola daerahnya, menentang orang kota untuk bertindak seenaknya.
Tabel 1. Episode yang Disaksikan oleh Informan serta Isunya 1.7.5 Analisa Data dan Interpretasi Proses analisa data dan interpretasi pada penelitian kualitatif dilakukan bersamaan saat mengumpulkan data, membuat interpretasi, dan menulis laporan. Tahapan proses analisa data yang disarankan Creswell (2009: 185-190) sebagai berikut: 1. Mengatur dan mempersiapkan data untuk dianalisis 2. Memerinci analisis dengan proses koding 3. Menggunakan data yang sudah dikoding untuk menghasilkan deskripsi atas seting atau orang, begitu juga kategori atau tema untuk analisis. 4. Menghubungkan bagaimana deskripsi dan tema akan direpresentasikan dalam naratif kualitatif. 5. Membuat interpretasi atau memaknai data dengan mengaitkan pada konteks, baik konteks teks media maupun konteks sosial yang luas, dengan merujuk pada teori berdasarkan literatur. Analisis penelitian ini menekankan dan memfokuskan pada isu-isu yang muncul dalam tayangan televisi Wayang Kampung Sebelah.
33