BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Dinamika Hukum Laut Internasional mengalami perkembangan yang begitu pesat. Menurut J.G. Starke1, tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu setengah dekade terakhir, selain daripada hukum laut dan jalur-jalur maritim (maritime highways). Salah satu hal yang menjadi kajian dalam disiplin hukum laut internasional
adalah
permasalahan
mengenai
maritime
boundary
delimitation atau diartikan sebagai delimitasi batas maritim. Membahas mengenai delimitasi batas maritim antarnegara merupakan pembahasan mengenai persoalan yang cukup crucial, sebab hal ini merupakan persoalan kedaulatan maritim dan hak berdaulat suatu negara vis a vis dengan negara lain. Manusia dengan naluri untuk menguasai segalanya haruslah diberikan batasan. Demikian juga halnya dengan lautan yang menguasai hampir 70 % (Persen) atau 140 juta mil persegi dari permukaan bumi, terhadapnya perlu dilakukan pembatasan dengan tujuan agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan diantara negara. Pada zaman purbakala sampai dengan bagian pertama abad menengah, pelayaran di laut adalah bebas bagi semua bangsa dan setiap orang. Celsius 1
Starke, J.G., 1899, Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm: 322.
1
dari Italia, pada abad I menyatakan: “the sea like the air is common to all mankind”. Begitupun dengan Ulpian, seorang ahli hukum kenamaan diabad ketiga (III) yang berasal dari Italia, menegaskan “the sea is open to everybody by nature”. 2 Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai pelbagai fungsi antara lain: 1). Sebagai sumber makanan bagi umat manusia, 2). Jalan raya perdagangan, 3). Sarana untuk penaklukan, 4). Tempat pertempuran, 5). Tempat bersenang-senang, 6). Alat pemisah atau pemersatu bangsa. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber daya alam.3 Bertitik tolak dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa laut dapat digunakan oleh umat
manusia
sebagai sumber
daya
alam bagi
penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pertahanan dan keamanan dan pelbagai kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut yang disebutkan diatas telah dirasakan oleh umat manusia, dan telah memberikan dorongan terhadap penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara atau kerajaan yang didasarkan atas suatu konsepsi hukum.4 Lahirnya konsepsi Hukum Laut Internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan laut internasional yang mengenal 2
Mauna, Boer, 2013, Hukum internasional: pengertian, peranan dan fungsi dalam era dinamika global, Bandung, Penerbit PT. Alumni, hlm: 315. 3 Djalal, Hasyim, 1979, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Penerbit Binacipta, Jakarta, hlm: 1 4 Sodik, Dikdik Mohamad, 2011, Hukum Laut Internasional Dan Pengaturannya Di Indonesia, Bandung, Penerbit Refika Aditama, hlm: 1.
2
pertarungan antara konsepsi Res Communis dan Res Nullius. 5 Pertumbuhan dan perkembangan kedua doktrin tersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasa laut oleh Imperium Roma. Pada zaman Romawi, seluruh lautan tengah (mediteranean) berada pada kekuasaannya. Pemikiran hukum yang melandasi sikap demikian terhadap laut adalah bahwa laut merupakan suatu “res communis omnium” (hak bersama seluruh umat). Menurut konsepsi ini, penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang.6 Akan tetapi, konsepsi atau prinsip kebebasan tersebut mengakibatkan sengketa mengenai maritime boundary delimitation diantara negara-negara di dunia diantaranya Portugal dan Spanyol. Keduanya mengklaim dirinya sebagai penguasa laut. Hingga Paus Alexander VI memiliki gagasan untuk membagi laut, sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa kemaritiman antara Portugal dan Spanyol. Usaha Paus Alexander VI untuk menyelesaikan sengketa tersebut kemudian menghasilkan Piagam Intercaterea 1493, Pada perjanjian tersebut, Paus membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues (kira-kira 400 nautical mile) sebelah 5
Djalal, Hasyim, Op.Cit no. 3, hlm: 11. a) Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh masing-masing negara; b) Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara. 6 Kusumaatmadja, Mochtar, 1978, Hukum Laut Internasional, Bandung, Penerbit Binacipta (Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman), hlm: 3. Asas “res communis omnium” dalam arti hak bersama (seluruh) manusia untuk menggunakan laut yang mula-mula berarti hak semua orang untuk melayari laut bebas dari gangguan perampok (bajak laut) dengan bertambahnya penggunaan-penggunaan laut (uses of the sea) lain disamping pelayaran, seperti perikanan, menjadi dasar pula dari kebebasan menangkap ikan.
3
barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut (yang mencakup Samudera Atlantik barat, Teluk Mexico, dan Samudera Pasifik) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya (yang mencakup Samudera Atlantik sebelah selatan Maroko dan Samudera India) menjadi milik Portugal. Pembagian Paus Alexander VI tersebut diatas kemudian diperkuat oleh perjanjian tordesillas antara Spanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues sebelah barat pulau-pulau Cape Verde di pantai barat Afrika. Sedangkan negara-negara lain, seperti Denmark telah menuntut Laut Baltik dan laut utara antara Norwegia dan Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut disekitar kepulauan Inggris (Mare Anglicanum) sebagai milik masingmasing.7 Gagasan tentang Hukum Laut Internasonal tersebut kemudian diakomodasi oleh United Nations (PBB). Dalam hal ini kemudian diadakan tiga (3) kali konferensi, yang menghasilkan produk hukum berupa konvensi, yakni United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Tiga konferensi tersebut terdiri dari: Pertama, Konferensi Jenewa yang dilaksanakan pada tanggal 29 April 1958 (UNCLOS I) yang menghasilkan 4 Konvensi, yaitu8: 1. Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone (konvensi tentang laut territorial dan zona tambahan) yang mulai berlaku pada 7 8
Djalal, Hasyim, Loc. Cit no. 5, hlm:11. Ibid, Hlm: 308.
4
tanggal 10 September 1964; 2. Convention on the High Seas (konvensi tentang laut bebas) yang mulai berlaku pada tanggal 30 September 1962; 3. Convention on Fishing and Conservation of the Living Resoures of the High Seas (konvensi tentang perikanan dan konservasi sumber kekayaan hayati di laut bebas) yang mulai berlaku pada tanggal 20 Maret 1966; 4. Convention on the Continental Shelf (konvensi tentang landas kontinen) yang mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1964. Konferensi kedua, dilakukan di Jenewa pada tahun 1960 (UNCLOS II) yang mana dalam konferensi ini tidak menghasilkan kesepakatan apapun yang tertuang dalam perjanjian internasional. Konferensi PBB mengenai hukum laut yang pertama dan yang kedua masih belum menyelesaikan sejumlah besar permasalahan, khususnya mengenai:9 1. Lebar laut territorial secara tepat; 2. Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu melintasi selat-selat yang merupakan jalan raya maritim internasional, dan yang seluruhnya merupakan perairan laut territorial; 3. Hak lintas, dan terbang lintas dalam hubungannya dengan perairan kepulauan; dan 4. Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus untuk kepentingan-kepentingan ilmiah atau fasilitas kepariwisataan. Konferensi Ketiga, dilakukan PBB tahun 1973-1982 (UNCLOS III) 9
Starke, J.G., Op.Cit no. 1, hlm: 336.
5
yang kemudian menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea, atau lebih dikenal dengan UNCLOS 1982. Lahirnya berbagai konvensi tentang hukum laut tersebut tidak serta merta mengakhiri berbagai persoalan kelautan diantara negara-negara di dunia. Sengketa yang umumnya diperebutkan oleh negara-negara di dunia adalah persoalan kemaritiman, dalam hal ini persoalan mengenai batas maritim antarnegara (maritime boundary delimitation). Mengingat sengketa tentang batas maritim antarnegara adalah persoalan yang crusial, lalu apa sebenarnya alasan dari negara yang bersengketa ingin menyelesaikan persoalan tentang batas kemaritiman tersebut? Begitu banyak alasan mengapa negara mempersengketakan persoalan tentang batas maritim, sebagaimana menurut International Boundary Research Unit (IBRU), bahwa pemerintah diseluruh dunia secara langsung ataupun tidak telah sepakat bahwa batas maritim yang terdefinisikan dengan jelas merupakan hal yang penting bagi hubungan internasional yang baik dan pengelolaan laut yang efektif. Alasan lain dari pentingnya dilakukan delimitasi maritim adalah demi keamanan negara, akses dan sumberdaya laut, serta penyeimbang diantara hak dan kewajiban negara pantai yang bersangkutan. Dalam konteks yang serupa delimitasi batas maritim bisa menjadi salah satu cara yang efektif bagi negara baru untuk menegaskan kedaulatan, kekuasaan hukum dan legitimasi negara tersebut. Delimitasi juga bertujuan agar tidak terjadi tumpang tindih atau zona pertampalan klaim negara yang berpotensial
6
menimbulkan konflik antara negara-negara bertetangga.10 Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar negara pantai memiliki akses terhadap sumberdaya laut, dapat melakukan penelitian ilmiah kelautan (Marine Scientific Research) dan aktivitas lain tanpa perlu terlebih dahulu melakukan delimitasi batas maritim. Hal tersebut mungkin tidak akan menimbulkan persoalan sepanjang tidak ada kepentingan terhadap sumberdaya dan urusan kemaritiman diantara negara-negara pantai yang bertetangga. Meski demikian, dewasa ini negara pantai memberi perhatian lebih terhadap sumberdaya maritim dan perlu
melakukan
eksploitasi
terhadap
sumberdaya
tersebut
untuk
pembangunan ekonomi negaranya. Dalam hal ini konflik kepentingan antara negara pantai (Coastal States) mungkin akan muncul, khususnya untuk kawasan klaim yang tumpang tindih atau pada kawasan tumpang tindih dengan sumberdaya yang menjanjikan.11 Adanya tumpang tindih atau tidak adanya batas maritim dapat menyebabkan perebutan atau konflik atas akses terhadap sumberdaya, navigasi, dan keamanan. Dilakukannya delimitasi batas maritim tidak saja akan mempengaruhi hubungan baik antara negara-negara bersengketa, tetapi juga posisi negara tersebut secara umum di dunia internasional. Terkait dengan pengelolan sumberdaya di laut, adanya batas maritim akan memberi kepastian
dalam
proses
eksplorasi
dan
eksploitasi.
Sebaliknya,
10
Arsana, I Made Andi, 2007, Batas Maritim Antarnegara: Sebuah Tinjauan Teknis Dan Yuridis, Yogyakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press, hlm: 3. 11 Ibid, hlm: 3- 4.
7
ketidakpastian posisi, eksistensi dan status hukum batas maritim akan menghambat usaha eksplorasi sumber energi laut. Dikarenakan pentingnya persoalan tentang batas maritim antarnegara. Olehkarenanya pada penelitian ini, Penulis akan membahas mengenai sengketa antara negara Costa Rica dan Nicaragua12 dalam kaitannya dengan persoalan maritime boundary delimitation menurut United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Berikut adalah overview dari sengketa tersebut: Penyelesaian sengketa dengan jalan damai dilakukan Costa Rica dan Nicaragua sejak tahun 2002. Upaya damai berupa negosiasi dilakukan dengan tujuan agar tercapainya perjanjian batas martitim tunggal (single maritime boundary) antara dua negara di wilayah Caribbean Sea dan Pacific Ocean. Akan tetapi, selama serangkaian pertemuan dilakukan, kedua negara mengajukan permintaan yang berbeda tentang delimitasi batas maritim di Pacific Ocean, baik untuk delimitasi di laut territorial, ZEE maupun landas kontinennya. Dari perbedaan permintaan (proposal) tersebut menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih klaim kedua negara di Pacific Ocean. Pada tahun 2005 negosiasi diantara kedua negara mengenai delimitasi batas maritim di Pacific Ocean gagal dan tidak menghasilkan kesepakatan apapun. 12
Official website international court of justice (application by costa rica). Case Maritime Delimitation in the Caribbean Sea and the Pacific Ocean (Costa Rica v. Nicaragua). http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&code=crnic&case=157&k=0f. Retrieved, 3 February 2015.
8
Kedua negara tersebut tidak hanya bersengketa di wilayah Pacific Ocean, tetapi juga di wilayah Caribbean Sea. Negosiasi dilakukan kedua negara, sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2005. Pada negosiasi tersebut
keduanya
memfokuskan
pada
penentuan
titik
dasar
(basepoint/starting point) di wilayah Caribbean Sea. Tetapi pada akhirnya keduanya tidak mencapai kesepakatan mengenai titik dasar batas maritim tesebut. Menurut pandangan Costa Rica dalam aplikasinya, pada tahun 2005 Nicaragua dianggap secara sepihak telah memutus negosiasi tentang sengketa batas maritim tersebut. Dalam tahun yang sama, Nicaragua mengajukan tuntutan atas Kolombia kepada Komisi Batas Landas Kontinen (the commission on the limits of the continental shelf) berkaitan dengan sengketa territorial dan maritim. Pada Maret 2013, Costa Rica mengajak kembali Nicaragua untuk melakukan negosiasi yang berkaitan dengan sengketa di Caribbean Sea dan Pacific Ocean tersebut. Menurut pandangan Costa Rica, Nicaragua menerima ajakan tersebut tetapi menolak substansi dari klaim Costa Rica tentang hak untuk memperpanjang landas kontinen lebih dari 200 nautical mile (landas kontinen ekstensi). Pada Juli 2013, Costa Rica mengundang kembali Nicaragua untuk melakukan negosiasi, tetapi tidak mendapatkan respon. Pada tanggal 19 Agustus 2013, Nicaragua membuat deklarasi sepihak tentang penggunaan garis pangkal lurus (straight baselines) dalam
9
delimitasi batas maritimnya. Dalam hal ini menurut pandangan Costa Rica, tindakan Nicaragua tersebut dapat menjadikan perairan pedalaman (internal waters), laut territorial dan ZEE Costa Rica Terancam. Oleh karenanya, tertanggal 23 Oktober 2013 Costa Rica mengajukan keberatan kepada Sekretaris Jenderal PBB dengan menyatakan bahwa tindakan dari Nicaragua tersebut mengancam kedaulatan, hak berdaulat, serta yurisdiksi dari Costa Rica. Dikarenakan telah gagalnya serangkaian negosiasi tersebut, pada tanggal 25 Februari 2014 Costa Rica mengajukan tuntutan atas Nicaragua kepada Mahkamah Internasional berkaitan dengan sengketa delimitasi batas maritim di Caribbean sea dan Pacific ocean. Dalam sengketa delimitasi tersebut Costa Rica memohon kepada Mahkamah Internasional agar digunakannya ketentuan dalam UNCLOS serta berdasarkan prinsip-prinsip dalam hukum internasional. Dikarenakan keduanya merupakan negara anggota (states parties) dari UNCLOS 1982, maka dalam penelitian ini, penulis akan meng-implementasikan ketentuan yang ada dalam UNCLOS 1982 untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Adapun dalam aplikasinya, Costa Rica memohon agar Mahkamah Internasional: 1. Menentukan secara lengkap single maritime boundary kedua negara di Caribbean Sea dan Pacific Ocean, dengan dasar hukum internasional;
10
2. Memohon kepada Mahkamah Internasional untuk menentukan letak koordinat geografis single maritime boundary di Caribbean Sea dan Pacific Ocean. Berkaitan dengan permohonan Costa Rica, Penulis hanya meneliti aspek yuridis dalam menentukan delimitasi batas maritim berdasarkan UNCLOS 1982, dan tidak sampai mengkaji tentang penentuan letak koordinat geografis kedua negara dikarenakan hal tersebut merupakan aspek teknis dalam delimitasi batas maritim. Terhadap
sengketa
tersebut,
Penulis
akan
mencoba
meng-
implementasikan ketentuan tentang maritime boundary delimitation menurut UNCLOS 1982 kedalam sengketa antara Costa Rica v. Nicaragua tersebut. Olehkarenanya dalam penulisan hukum ini, Penulis akan melakukan
penelitian
terhadap:
“IMPLEMENTASI
BOUNDARY DELIMITATION MENURUT
MARITIME
UNITED NATIONS
CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA 1982 DALAM SENGKETA
ANTARA
COSTA
RICA
V.
NICARAGUA
DI
CARIBBEAN SEA DAN PACIFIC OCEAN TAHUN 2014”.
11
2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, dalam penelitian ini Penulis akan menganalisis permasalahan berikut, yakni: 1. Bagaimanakah relevansi prinsip-prinsip delimitasi batas maritim yang dapat
diimplementasikan
dalam
sengketa
maritime
boundary
delimitation antara Costa Rica v. Nicaragua di Caribbean Sea dan Pacific Ocean, mendasarkan pada ketentuan UNCLOS 1982? 2. Apakah hambatan yang dihadapi dalam menyelesaikan sengketa kemaritiman
khususnya
mengenai
delimitasi
batas
maritim
antarnegara Costa Rica dan Nicaragua tersebut, yang selama ini terkesan rumit (complex) dan membutuhkan jangka waktu yang lama untuk diselesaikan?
3. Tujuan penelitian 1. Bersifat obyektif 1) Untuk mengetahui relevansi prinsip delimitasi batas maritim yang dapat diimplementasikan dalam sengketa maritime boundary delimitation antara Costa Rica v. Nicaragua di Caribbean Sea dan Pacific Ocean, mendasarkan pada ketentuan UNCLOS 1982; 2) Untuk
mengetahui
hambatan
yang
dihadapi
dalam
menyelesaikan sengketa kemaritiman khususnya mengenai delimitasi batas maritim antarnegara Costa Rica dan Nicaragua
12
tersebut, yang selama ini terkesan rumit (complex) dan membutuhkan jangka waktu yang lama untuk diselesaikan.
2. Bersifat subyektif Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.
4. Manfaat penelitian a. Manfaat akademis 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum, khususnya dalam Hukum Laut Internasional; 2. Diharapkan dapat memberikan tambahan referensi dalam hal penyelesaian sengketa antara Negara di bidang Hukum Laut Internasional
khususnya
mengenai
sengketa
maritime
boundary delimitation antara Costa Rica Vs. Nicaragua di wilayah Caribbean Sea dan Pacific Ocean.
b. Manfaat praktis Penulis
menyadari
bahwa
penelitian
ini
belum
memberikan sumbangsih yang berarti bagi ilmu hukum di Indonesia,
akan
tetapi
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
13
memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi semua pihak yang mempunyai ketertarikan dalam bidang sengketa mengenai delimitasi batas-batas maritim antarnegara.
5. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran Penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum pernah ada penelitian yang membahas persoalan mengenai sengketa batas maritim antaranegara Nicaragua dan Costa Rica. Akan tetapi Penulis menemukan dua (2) penelitian dalam bentuk Penulisan Hukum (Skripsi) yang membahas mengenai Penyelesaian Sengketa Maritime Boundary Delimitation
(delimitasi batas maritim
antarnegara) menurut UNCLOS 1982, yaitu: Penelitian dari Ikhwan Tunggal Nugroho (2013) dengan judul “SENGKETA MARITIME BOUNDARY DELIMITATION ANTARA MYANMAR
DAN
BANGLADESH
DI TELUK
BENGGALA
DITINJAU DARI THE DELIMITATION PRINCIPLES OF THE 1982 CONVENTION (UNCLOS 1982)”. Dengan rumusan permasalahan: Bagaimanakah implementasi the delimitation principles of the 1982 convention (UNCLOS 1982) oleh international tribunal for the law of the sea (ITLOS) dalam penyelesaian sengketa maritime boundary delimitation antara Myanmar dan Bangladesh di teluk benggala? Perbedaan antara penelitian yang dilakukan Penulis dengan
14
penelitian Ikhwan (2013) terletak pada subyek yang bersengketa serta obyek yang disengketakan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ikhwan lebih detail membahas mengenai isi putusan (yurisprudensi) dari International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) dalam penyelesaian sengketa maritime boundary delimitation antara Myanmar dan Bangladesh di Teluk Benggala. Sedangkan dalam penelitian ini, Penulis akan mencoba mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) terhadap sengketa antara Costa Rica Vs. Nicaragua (2014) yang masih dalam proses penyelesaian di International Court of Justice (ICJ). Kemudian penelitian dari Pradnya Paramitha P (2014), dengan judul: “PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FILIPHINA”. Dengan rumusan masalah: Bagaimana hasil perundingan yang telah dicapai melalui Joint Permanent Working Group Meeting on Maritime and Ocean Concerns (JPWG-MOC) sehubungan dengan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Republik Indonesia dan Republik Filiphina? Perbedaan antara penilitian yang dilakukan Penulis dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradnya Paramitha P (2014), berbeda pada subyek yang bersengketa dan obyek yang disengketakan.
15
Letak perbedaan lainnya, bahwa penelitian yang dilakukan oleh Pradnya hanya membahas mengenai isi perundingan yang telah dicapai melalui Joint Permanent Working Group Meeting on Maritime and Ocean Concerns (JPWG-MOC) sehubungan dengan penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Republik Indonesia dan Republik Filiphina. Sedangkan dalam penelitian ini, Penulis akan lebih detail membahas mengenai sengketa maritime boundary delimitation antara negara Costa Rica v. Nicaragua yang masih dalam proses penyelesaian. Dari kedua penelitian diatas, dalam pembahasannya membahas mengenai sengketa maritime boundary delimitation yang telah memiliki kekuatan hukum mengikat dari otoritas yang memiliki yurisdiksi bagi para pihak yang bersengketa. Dengan hasil penelitian sebagai berikut: Penulisan hukum (Skripsi) dari Ikhwan Tunggal Nugroho (2013) dengan judul “SENGKETA MARITIME BOUNDARY DELIMITATION ANTARA
MYANMAR
DAN
BANGLADESH
DI
TELUK
BENGGALA DITINJAU DARI THE DELIMITATION PRINCIPLES OF THE 1982 CONVENTION (UNCLOS 1982)” maupun penelitian dari Pradnya Paramitha P (2014), dengan judul: “PENETAPAN BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK FILIPHINA” menyatakan bahwa dalam kedua sengketa tersebut menggunakan prinsip equidistant line/median line sebagai cara utama untuk membagi batas maritim diantara negaranegara yang bersengketa.
16
Berbeda dengan Penulisan hukum yang diajukan oleh Penulis, bahwa Penulis lebih tertantang untuk mencoba menyelesaikan permasalahan yang belum memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap negara yang bersengketa. Dalam Penulisan hukum ini Penulis akan mencoba menyelesaikan sengketa tersebut dari perpektif Penulis sebagai seorang calon yuris (jurist). Sehingga jika kemudian terhadap Penulisan hukum ini masih terdapat banyak kekurangan, mohon untuk diberikan kritik yang dapat membangun pemikiran Penulis. Dengan demikian, berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan Penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak ditemukan penelitian terhadap implementasi maritime boundary delimitation menurut United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 dalam sengketa antara Costa Rica V. Nicaragua di Caribbean Sea dan Pacific Ocean tahun 2014. Olehkarenanya, penelitian ini merupakan penelitian yang memiliki keaslian.
17