BAB I Kabut Hitam Penegakan Hukum Mendung
pekat
masih
menggelayuti
atmosfer
penegakan hukum kita. Keberdayaan unsur pranata dan kualitas penegak hukum dalam jihad melawan kejahatan korupsi terjungkal oleh serangan balik elite politik yang tersandung kasus korupsi. Alih-alih vonis yang dijatuhkan menimbulkan efek jera, perilaku korupsi yang semula membiak dalam lingkup partai politik justru mewabah di sejumlah birokrasi pemerintahan. Korupsi menjadi kejahatan berjamaah, sistemik, tanpa rasa malu dan kerap berakhir secara adat. Pada saat bersamaan, hukum tampil garang pada rakyat kecil. Pencuri sandal jepit, pisang, dan kakao diadili secara serius layaknya perkara besar. Sedangkan perkara besar yang melibatkan pemegang tampuk kekuasaan diadili dalam panggung kepura-puraan. Inilah potret buram supremasi hukum di negeri perampok. Adalah seharusnya hukum berjuang keras menghadapi oligarki
politik
yang
kerap
bermanuver
melemahkan
penegakan hukum. Pembentukan opini publik untuk tidak percaya dan membubarkan KPK, wacana pemaafan koruptor, produk legislasi yang mengebiri kewenangan KPK, dan Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
1
intervensi politik terhadap hukum adalah sederet persoalan yang harus dihadapi bersama agar hukum tidak dibelokkan dari cita-cita idealnya. Kumpulan artikel berikut ini merupakan gagasan besar penulis yang terserak di berbagai media massa, kemudian berusaha disatukan dalam satu tema yang senada untuk menggambarkan secara gamblang betapa hukum tak ubahnya pisau bermata dua, tumpul ke atas namun tajam menjerat kaum lemah. Harus ada komitmen kuat dari semua komponen masyarakat untuk menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Hal itu dapat dimulai dari pencerahan dalam bentuk tulisan seperti ini. Selamat membaca.
2
Achmad Fauzi
Moralitas Politik Kaum Elite1 Proses penegasian fatsun politik oleh kalangan elite kini tengah menjadi problem kritis kenegaraan. Kaum elite dalam memangku kekuasaan telah kehilangan rasa malu dan tauladan baik bagi warganya. Padahal budaya malu menjadi elan vital bagi seorang pemimpin agar tidak bertindak sewenang-wenang. Budayawan Radhar Panca Dahana pada sebuah kesempatan mengatakan, proses dekadensi moral kaum elite terjadi akibat infiltrasi budaya luar yang masuk secara cepat dan menghancurkan local genius yang ada. Orang bukan hanya tampil transparan secara fisik, mode, dan pemikiran, tapi juga telanjang dalam perilaku sebagai karakter populer. Akibatnya, meski ada indikasi kuat melakukan kejahatan korupsi, kaum elite tetap merasa “suci”, pura-pura lupa, purapura tidak tahu, dan berusaha membela diri di hadapan media sebelum dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Pudarnya budaya malu tampak terlihat pada beberapa anggota DPR nonaktif yang kini mendekam di penjara lantaran terseret kasus hukum. Meski dalam beberapa bulan atau bahkan hampir setahun tidak bekerja lagi di Senayan, ironisnya mereka masih mau menerima gaji buta. Tak pelak 2,4 miliar uang negara yang berasal dari pajak rakyat digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan mereka (Kompas, 8/9). 1
Artikel ini dimuat di Koran Jurnal Nasional tanggal 11 Oktober 2011 Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
3
Meski ada dalih menunggu keputusan pergantian antarwaktu (PAW) untuk diberhentikan dari keanggotaan, secara etika politik seharusnya gaji buta itu tidak diterima atau dikembalikan kepada negara. Bagaimana mungkin orang yang tidak mengeluarkan keringat memperjuangkan hakhak rakyat masih mendapatkan upah. Ini lakon politik yang tunarasa malu dan menimbulkan tawa. Almarhum Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai post-power syndrome—istilah untuk menggambarkan seseorang yang berperilaku anehaneh pasca-memegang kekuasaan. Memperbincangkan moralitas elite politik kontemporer memang membuat dahi mengernyit. Sebab, lazim sekali kelompok elite yang berperilaku aneh-aneh. Mulai dari pamer kewenangan, pasang badan ketika dilarang KPK bertemu Nazaruddin, melakukan kejahatan korupsi pada semua lini, merampok uang negara dan membawanya ke luar negeri, memanipulasi data kemiskinan untuk sebuah pencitraan, dan mengambil untung ratusan juta rupiah dari megaproyek pemerintahan tanpa rasa malu. Di beberapa lembaga tinggi negara, penyakit korupsi benar-benar mewabah. Kasus mutakhir, ada dua kementerian yang santer diberitakan terlibat kasus korupsi, yakni Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditengarai melibatkan Banggar DPR. Budayawan Arswendo Atmowiloto lebih radikal menyebutnya sebagai zombi yang kerjanya siang dan malam mengisap kekayaan negara. Ini tamsil yang sangat mengerikan 4
Achmad Fauzi
untuk menggambarkan sebuah negeri yang sudah tidak berdaya digerogoti para penjahat politik dan ekonomi. Etika seharusnya menjadi tumpuan utama dalam berpolitik. Dengan etika, percaturan politik lebih bermartabat dan bekerja berdasar kepentingan bangsa. Dalam etika, politik meniadakan tindakan memperkaya diri secara culas, mengabaikan kepentingan golongan, praktik saling sandera serta saling serang yang dapat merusak karakter. Pada tataran normatif, kader partai yang menduduki jabatan politis seharusnya patuh pada kaidah hukum tak tertulis itu. Tatkala elite politik mengabaikan fatsun politik yang sehat, secara kelembagaan maupun personal ia tidak lagi memiliki legitimasi moral di tengah masyarakat. Janji-janji politiknya tidak akan dipercaya, karena statement-nya penuh kebohongan dan khianat. Akibatnya, tulis Huntington dalam bukunya Political Order in Changing Societies (1968), partai kehilangan magnet politik di tengah masyarakat, dan kaderkadernya akan kehilangan kredibilitas. Secara lebih luas, sebagai entitas bangsa akan terjadi saling khianat antara warga masyarakat dengan elite politik. Jika demikian kondisinya, bukan tidak mungkin kerusakan tatanan masyarakat yang memorak-porandakan kehidupan berbangsa dapat terjadi. Bukan saja taraf penghidupan, tingkat pendidikan, kesadaran etika, dan moralitas yang melorot. Lebih dari itu, harkat, martabat, dan peradaban bangsa kita terpuruk.
Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
5
Patronase Lakon elite politik mengalami krisis legitimasi karena kehilangan patron. Keteladanan sulit dimunculkan akibat masing-masing tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Semua bersembunyi di balik topeng. Meminjam istilah Machiavelli, ia tak ubahnya politisi bunglon. Di meja parlemen bicara demokrasi, namun sesungguhnya otoriter. Mengunjungi korban bencana dengan meneteskan air mata, namun ia menilap dana bantuan bencana. Karena itu, kita perlu belajar kesederhanaan dari seorang Mahatma Gandhi dengan tubuhnya yang kurus dekil namun tak pernah berkooperasi dengan para pelahap uang rakyat. Atau pula seorang Moh. Hatta yang meski wakil presiden tapi tak mampu membeli sepatu impiannya hingga akhir hayat. Kisah-kisah para tokoh berpengaruh seperti itu diharapkan menjadi referensi dalam mengisi kekosongan nurani dan jati diri kita, sehingga mampu menempatkan makna kekuasaan sebagai amanah yang harus ditunaikan. Penyemaian keteladanan politik sejatinya dilakukan sejak proses pengaderan dalam partai. Dalam partai, para kader ditempa untuk menjadi seorang negarawan yang loyal dan berpikir holistik. Selama ini pemunculan kader-kader partai cenderung karbitan, sehingga terjun dalam karut-marut politik dalam keadaan belum matang berpikir. Akibatnya, partai politik seperti mengeram telur busuk. Ia tidak mampu menetaskan individu baru yang dapat membawa jagat politik menjadi lebih santun dan bermartabat. Maka dari itu, ke depan 6
Achmad Fauzi
partai politik perlu merombak paradigma pengaderannya, menanamkan moralitas sejak dini, patuh pada fatsun politik, sehingga ekspektasi publik terhadap peran partai pulih kembali.
Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
7
Supremasi Hukum di Negeri Perampok2 Perampokan uang negara oleh penjahat berdasi mencapai angka Rp103 triliun. Ternyata komitmen politik pemberantasan korupsi yang selama ini gencar dikampanyekan pemerintah, alih-alih membuat nyali koruptor ciut, praktik korupsi anggaran di pusat dan daerah justru marak. Sebagai tanggung jawab moral dan politik, pascaterbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin melakukan dua terobosan penting dalam menghadang laju perampokan uang negara. Pertama, pelaksanaan moratorium remisi koruptor. Roh aturan ini dilatarbelakangi ketidakseimbangan semangat pemberantasan korupsi antarlembaga hukum. Pada satu sisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersusah payah menindak penyelewengan penggunaan anggaran. Di sisi lain, berdasarkan penilaian subyektif, masa tahanan koruptor dikurangi. Ironi remisi koruptor menandakan hukum bekerja berdasarkan kemauan politik atau kekuasaan, bukan untuk kepentingan masyarakat yang menjadi hukum tertinggi (salus populi supremlex). Pemaknaan restorative justice yang antara lain adalah victim has to agree, tidak bisa diterjemahkan sebagai doktrin legalitas pemberian remisi dalam perkara korupsi. Sebab, korban atau victim dalam perkara korupsi adalah rakyat banyak yang tidak mungkin direpresentasikan oleh pihak tertentu. 2
Artikel ini dimuat di Koran Jurnal Nasional tanggal 4 November 2011
8
Achmad Fauzi
Kedua, hukuman minimal lima tahun penjara bagi koruptor. Item ini sedang dikaji dalam penyusunan draf RUU Tipikor. Batas minimal itu, selain memberi efek jera, untuk menjelaskan bahwa korupsi merupakan perkara berat (extra ordinary crime) sehingga hakim mengadili kasus korupsi tidak seperti laiknya perkara ringan. Pembatasan hukuman minimal selayaknya diikuti tingkat profesionalisme KPK dalam melakukan penyidikan dan penuntutan. Penentuan status seseorang sebagai tersangka dan terdakwa menuntut ketepatan prosedur formal, karena berimplikasi hukum terhadap pemidanaan. Dalam proses penyidikan harus ada jaminan buktibukti yang cukup tentang kualitas terdakwa dengan tindak pidana yang dilakukan. Begitu pula dalam memperoleh barang bukti, aturan hukum mensyaratkan adanya prosedur yang sah. Di negara hukum umumnya, barang bukti yang diperoleh dengan cara melanggar hak-hak dasar yang ditentukan dalam konstitusi (exclusionary rule) tidak dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Dari Hulu Selama ini proses pemberantasan korupsi masih berjalan di wilayah hilir. Hulu bersemainya korupsi jarang terjangkau. Mekanisme pembahasan anggaran, misalnya, tidak terkontrol dengan baik, padahal rawan manipulasi dan Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro
9
penggelembungan. Pembahasan anggaran di lingkungan birokrasi maupun di parlemen adalah awal mula korupsi dilahirkan. Kesulitan utama membongkar kebobrokan wilayah hulu disebabkan karena kekuasaan politik mengangkangi keagungan hukum. Sinyal itu dapat dibaca tatkala KPK memanggil sejumlah pimpinan Badan Anggaran (Banggar) DPR dalam kapasitas sebagai saksi. Beberapa anggota DPR tampak panik dan berwacana untuk membubarkan KPK. Logikanya, jika tidak terjadi apa-apa di Banggar, DPR mestinya bersikap biasa-biasa saja dan welcome terhadap KPK. Tapi kenyataannya, melalui mesin politiknya, mereka berusaha membelokkan hukum dari cita-cita ideal. Pembentukan opini publik untuk tidak percaya dan membubarkan KPK, wacana pemaafan koruptor, produk legislasi yang mengebiri kewenangan KPK, dan intervensi politik yang sifatnya memojokkan KPK justru santer keluar dari gedung Senayan itu. Membongkar modus perampokan uang negara yang secara nyata bersinggungan dengan oligarki politik membutuhkan keberanian dan dukungan penuh dari semua pihak. Sebab, menggantungkan harapan pada KPK yang notabene dalam masa pemulihan, seperti menegakkan benang basah. Maka dari itu, dibutuhkan kerja sama antarlembaga hukum dalam memerangi perampok uang negara. Saat ini KPK dalam masa pemulihan. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) soal tingkat kepercayaan 10
Achmad Fauzi