BAB I FENOMENA REMAJA ADIKSI DALAM PENYESUAIAN SOSIAL Sudah
cukup
lama
dirasakan
adanya
ketidakseimbangan
antara
perkembangan intelektual dan emosional remaja di sekolah. Kemampuan intelektual mereka telah dirangsang sejak awal melalui berbagai macam sarana dan prasarana yang disiapkan di rumah dan di sekolah. Mereka telah dibanjiri berbagai informasi, pengertian-pengertian, serta konsep-konsep pengetahuan melalui media massa yang semuanya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan para remaja sekarang. Dari segi fisik, para remaja sekarang juga cukup terpelihara dengan baik sehingga mempunyai ukuran tubuh yang sudah nampak dewasa, tetapi mempunyai emosi yang masih seperti anak kecil. Terhadap kondisi demikian, banyak orang tua yang tidak berdaya berhadapan dengan masalah membesarkan dan mendewasakan anak-anak di dalam masyarakat yang berkembang begitu cepat, yang berbeda secara radikal dengan dunia di masa remaja mereka dulu. Yusuf (2002: 185) menyebutkan bahwa masa remaja sebagai masa strum and drang, yaitu suatu periode yang berada dalam dua situasi antara kegoncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan dengan otoritas dewasa. Hafid (1997: 8) mengemukakan bahwa pada masa ini manusia mudah tergoda, mudah bergulir keyakinan dan berhadapan dengan sesuatu yang tidak menyenangkan menurut konsep dirinya. Salah satu dari ragam masalah yang terjadi itu diantaranya adalah terjadinya seorang remaja yang kurang dapat melakukan penyesuaian sosial terhadap lingkungan khususnya lingkungan sekolah. Banyak faktor penyebab yang menyebabkan remaja berlaku demikian, seperti tidak memiliki keterampilan sosial, kondisi fisik yang kurang, perkembangan dan kematangan yang belum sempurna, faktor psikologis, faktor lingkungan dan faktor adat istiadat dirinya. Spesifiknya, mengenai permasalahan remaja disini adalah remaja yang berperilaku adiktif. Adiktif atau ketergantungan obat adalah perilaku yang menyimpang. Adiktif dipandang sebagai perilaku maladaptasi yang dapat
1
menimbulkan kerusakan fisik dan psikis. Adiktif diartikan sebagai suatu keadaan psikis yang muncul secara periodik atau kronis akibat penggunaan narkoba yang berulang yang ditandai oleh 1) kehendak yang berlebihan atau memerlukan dengan paksa untuk meneruskan penggunaan obat dan berusaha mendapatkan dengan segala cara, 2) adanya gejala untuk meningkatkan dosis, 3) memiliki ketergantungan fisik dan psikis terhadap pengaruh obat, 4) adanya gangguan kepribadian (Hafid, 1995: 45). Segel (1989: 49) mengemukakan bahwa adiktif dapat menimbulkan perilaku antisosial bahkan perilaku kriminal. Steinberg menarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan saling pengaruh yang kuat (highly intercorrelated) antara problem penyalahgunaan narkoba, depresi dan kenakalan. Perilaku adiktif merupakan perilaku hasil pembiasaan (Hafid, 1997: 51). Perilaku adiktif sebagai perilaku hasil belajar dan dapat diubah menjadi perilaku yang efektif dengan cara belajar pula. Adiktif merupakan penyakit biologis, psikologis dan sosial. Rondy (2006) menyatakan bahwa adiktif dapat merusak empat aspek kehidupan, diantaranya: (1) fisik mudah jatuh sakit, sebagian besar menjadi kurus, dan mata cekung, (2) mental, cenderung berpikiran negatif, susah untuk berkonsentrasi, daya ingat menurun, (3) emosi, setiap gejolak emosi yang datang ditutup dengan pemakaian narkoba, (4) spiritual, jorok terhadap diri sendiri dan lingkungan, jauh dari Tuhan. Bertolak dari keadaan yang telah dipaparkan sebelumnya, maka diperlukan penanganan baik secara preventif maupun kuratif. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam perawatan pemulihan adiktif diantaranya adalah Therapeutic Community (TC), pendekatan yang mencakup biologis, psikologis dan sosial; Medical Model, yaitu perawatan medis, genetik dan fisiologis; Minnesota Model seperti Narcotic Anonymous Alchoholic Anonymous (NA/AA) dengan metode 12 langkah pemulihan; Eclectic Model dengan menggunakan metode gabungan, misalnya antara spiritual dan kognitif; Therapy Community (TC); Faith Based Model yaitu metode yang lebih condong ke religi (Novrudi: 2005). Metode lainnya adalah metode kognitif-perilaku, yaitu metode yang merupakan perpaduan antara pendekatan kognitif dan pendekatan perilaku. Ramli
2
(2005:
435)
mengemukakan
bahwa
terapi
kognitif-perilaku
merupakan
seperangkat prinsip dan prosedur yang berasumsi bahwa proses kognitif mempengaruhi tingkah laku dan proses tersebut dapat dipengaruhi melalui teknik kognitif dan perilaku. Terapi kognitif-perilaku adalah suatu bentuk terapi yang memadukan prinsip dan prosedur terapi kognitif dan terapi perilaku dalam upaya membantu konseli mencapai perubahan perilaku yang diharapkan. Konseling kognitif-perilaku merupakan perangkat prinsip yang bersifat kolaboratif antara konselor dan konseli, singkat namun sangat ketat dan terstruktur. Konseling ini menggunakan pendekatan kognitif, yaitu dengan mengubah perangkat kognisi yang efektif, kemudian disertai pendekatan perilaku yang akan mengubah perilaku adiktif menjadi perilaku yang efektif. Konseling kognitif-perilaku dirancang untuk membantu konseli mengidentifikasi, menguji dan memperbaiki perilaku salah suai, konsep dan keyakinan yang keliru mengenai penggunaan narkoba. Kasus remaja adiktif yang akan diintervensi dengan menggunakan konseling kognitif perilaku difokuskan pada perilaku sosialnya, yaitu : 1) Rusak secara moral dalam berintraksi 2) Anti-sosial 3) Keterampilan sosial menurun 4) Banyaknya sikap negatif terhadap perilaku masyarakat.
3
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian Pengertian penyesuaian sosial (social adjustment) menurut Kartini Kartono (1993:468) ialah: ”(1) penjalinan secara harmonis suatu relasi dengan lingkungan sosial; (2) mempelajari tingkah laku yang diperlukan, atau mengubah kebiasaan yang ada, sedemikian rupa, sehingga cocok bagi suatu masyarakat sosial". Keseluruhan proses hidup dan kehidupan individu akan selalu diwarnai oleh hubungan dengan orang lain, baik itu dalam lingkup keluarga, sekolah maupun masyrakat secara luas. Sebagai mahluk sosial individu selalu membutuhkan pergaulan dalam hidupnya dengan orang lain, pengakuan dan penerimaam terhadap dirinya dari orang lain. Penyesuaian sosial sebagai salah satu aspek dari penyesuaian diri individu yang menuju kepada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan kea'daan lingkungan tempat ia berada dan berinteraksi secara efektif dan efisien. Penyesuaian sosial adalah kemampuan bereaksi secara efektif dan sehat terhadap situasi, realita, dan hubungan sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan. Sofyan S. Willis (1993:43) mendefinisikan penyesuaian diri sebagai "Kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungan." Berdasarkan pendapat di atas, tampak jelas bahwa penyesuaian diri tidak dapat dipisahkan dengan penyesuaian sosial, karena keduanya berkaitan erat. Pendapat yang hampir serupa dikemukakan oleh Moh. Surya (1990:142) yang mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai salah satu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungannya. Lebih jelasnya adalah :
4
"Penyesuaian sosial merupakan suatu proses penyesuaian diri terhadap iingkungan sosial atau penyesuaian dalam hubungan antar manusia. Melalui penyesuaian sosial, manusi memperoieh peniuasan akan kebutuhankebutuhannya". Penyesuaian sosial sebagai suatu proses penyesuaian diri berlangsung secara kontinyu, di mana dalam kehidupannya, seseorang akan dihadapkan pada dua realitas, yakni diri dan lingkungan di sekitarnya. Hampir sepanjang kehidupannya seseorang selalu membutuhkan orang lain untuk dapat berinteraksi satu sama lain. Dalam makalah ini penyesuaian sosial siswa di sekolah diartikan sebagai kemampuan siswa untuk berinteraksi dengan orang lain dan situasi-situasi tertentu yang ada di liihgkungan sekolah secara efektif dan sehat, sehingga ia memperoleh kepuasaan dalam upaya memenuhi kebutuhannya, yang dapat dirasakan oleh dirinya dan orang lain atau lingkungannya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah Keberhasilan atau kegagalan siswa dalam proses penyesuaian sosialnya di sekolah, berkaitan erat dengan faktor-faktor yang turut mempengaruhinya. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian siswa di sekolah terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor kekuatan yang ada dalam diri individu yang meliputi kondisi jasmaniah, penetu psikologis seperti kematangan, perkembangan sosial, moral, emosional, IQ, minat, bakat, konsep diri dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal sebagai faktor kekuatan yang berada di luar din individu, diantaranya iklim kehidupan keluarga, iklim kehidupan sekolah dan masyarakat.
5
Faktor -faktor tersebut dapat digambarkan seperti berikut : Input
Proses
Internal IQ B. Minat, Bakat Konsep diri
Sosialisasi
Output
Kemampuan penyesuaian sosial
Eksternal Iklim kehidupan Keluarga Iklim kehidupan Sekolah Masyarakat Bagan 1.1 : Faktor faktor yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial siswa di sekolah (Yati Rusyati, 1995 : 6)
Lebih lanjut, Moh. Surya ( 1985: 16)) menjelaskan bahwa "penentu-penentu penyesuaian diri indentik dengan faktor yang menentukan perkembangan kepribadian". Adapun penentu-penentu yang dimaksudkan adalah "(1) kondisi jasmaniah, yang meliputi pembawaan, susunan jasmaniah, sistem syaraf, kelenjar otot, kesehatan dan lain-lain (2) perkembangan dan kematangan meliputi kematangan intelektual, sosial, moral, dan emosional, (3) penentu psikologis, yang meliputi pengalaman belajar pembiasaan, frustrasi dan konflik, (4) kondisi lingkungan, meliputi rumah, sekolah dan masyarakat, (5) penentu kultural, berupa budaya dan agama. Gerungan (1988:180) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial sebagai, berikut "(1) peranan keluarga yang meliputi status sosial ekonomi, kebutuhan keluarga, sikap dan kebiasaan orang tua dan status anak, (2) peranan sekolah meliputi struktur dan organisasi sekolah, peranan guru dalam menyampaikan pelajaran, (3) peranan lingkungan kerja, misalnya lingkungan pekerjaan industri atau pertanian di daerah, (4) peranan media massa, besarnya pengaruh alat komunikasi seperti perpustakaan, TV, film, radio, dan sebagainya".
6
Pada umumnya aspek yang mempengaruhi penyesuaian diri dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu aspek biologis, aspek psikologis, dan aspek sosiologis. Aspek biologis yang dimaksud adalah kondisi jasmaniah (fisik, seperti struktur jasmaniah), sistem saraf kesehatan dan lain sebagainya. Aspek psikologis merupakan kondisi-kondisi secara psikis dapat menentukan keadaan seseorang antara lain minat, bakat, konsep diri, sikap, emosi, tingkat kecerdasan, dan lain sebagainya. Aspek sosiologis adalah situasi lingkungan yang mendukung seseorang baik lingkungan kelnarga, sekolah ataupun lingkungan masyarakat. B. Penyesuaian Sosial Siswa pada masa Remaja Memasuki masa remaja, siswa diharuskan telah memenuhi tugas-tugas perkembangannya pada masa anak-anak. Hal ini diperlukan agar siswa dapat menjalani tugas-tugas perkembangan remajanya dengan baik, sehingga ketika ia memasuki masa selanjutnya (dewasa) ia akan memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Andi Mapiare (1984: 43) mengemukakan bahwa siswa dihadapkan pada sepuluh tugas perkembangan yang harus dipenuhinya dengan baik. Tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan adalah sebagai berikut: 1) Menerima kenyataan fisik dan memainkannya secara efektif. 2) Mencapai hubungan sosial baru yang lebih matang dengan teman sebaya, baik dengan sejenis maupun lawan jenisnya. 3) Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. 4) Mencapai peranan sosial sebagai pria dan wanita. 5) Memperoleh kepastian dalam halkebebasan pengaturan ekonomis. 6) Memilih dan mempersiapkan diri ke arah suatu pekerjaan atau jabatan. 7) Mempersiapkan diri untuk kehidupan perkawinan dan berkeluarga. 8) Mengembangkan
keterampilan
intelektual
dan
konsep-konsep
yang
diperlukan sebagai warga negara yang cakap dan terpuji. 9) Adanya
keinginan
dalam
mencapai
perilaku
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial,
7
10) Memperoleh satu kesatuan sistem norma yang dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku. Dalam pemetaan sosial, remaja mengalami proses belajar mengadakan penyesuaian sosial pada kehidupan sosial dengan orang dewasa. dalam hal ini remaja belajar pola-pola tingkah laku sosial yang dilakukan orang dewasa di lingkungan mereka berada. Sehubungan dengan hal tersebut, Havighurst (Melli S. Rifai, 1987: 23) mengungkapkan beberapa tugas perkembangan sosial yang harus dicapai pada masa remaja yaitu: 1) Mencapai hubungan sosial yang lebih matang dengan teman-teman sebayanya, baik dengan teman sejenis maupun dengan lawan jenis. Artinya para remaja memandang para gadis sebagai wanita dan laki-laki sebagai pria, menjadi manusia dewasa diantara orang-orang dewasa. Mereka dapat bekerjasama dengan orang lain dengan tujuan-tujuan bersama, dapat menahan dan mengendalikan perasaan-perasaan pribadi dan belajar memimpin orang lain dengan atau tanpa dominasi. 2) Dapat menjalankan peranan sosial menurut jenis kelamin masing-masing. Artinya mempelajari dan menerima peranan masing-masing sesuai dengan ketentuan-ketentuan/norma-norma masyarakat. 3) Memperlihatkan
tingkah
laku
yang
secara
sosial
dapat
dipertanggungjawabkan. Artinya ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial sebagai seorang dewasa yang bertanggungjawab, menghormati serta menaati nilai-nilai sosial yang berlaku dalam lingkungannya, baik regional maupun nasional. Apabila
tugas-tugas
perkembangan
remaja,
termasuk
didalamnya
perkembangan sosial diatas dapat dikuasai dan dilalui dengan baik, maka remaja yang bersangkutan akan merasa bahagia dan harmonis, serta dapat menjadi seorang yang produktif. Dengan demikian remaja tersebut dapat bekerja secara gembira untuk memenuhi kepentingan dirinya dan masyarakat. Sebaliknya, bila tugas-tugas perkembangan tidak dapat dikuasai dan dilalui dengan baik, maka
8
tugas-tugas perkembangan berikutnya akan terhambat. Hal ini akan menimbulkan ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan dalam hidup.
1. Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah Penyesuaian sosial di sekolah diartikan sebagai kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolah sehingga siswa mampu berinteraksi secara wajar dan interaksi yang terjalin dapat memberikan kepuasan bagi diri dan lingkungannya. Penyesuaian sosial siswa di sekolah penting artinya dalam menunjang keberhasilan akademis atau prestasi belajarnya, yang terpenting dalam penyesuaian sosial siswa adalah penyesuaian diri terhadap guru, mata pelajaran, teman sebaya dan lingkungan sekolah. Pertama, penyesuaian diri siswa terhadap guru banyak bergantung kepada sikap guru dalam menghadapi siswanya. Sikap yang lebih bersahabat dengan siswa akan banyak membantu guru dalam memperoleh informasi tentang keluhan siswanya, keinginan dan kesulitan-kesulitan yang siswa hadapi. Kedua, penyesuaian diri terhadap mata pelajaran. Dalam hal ini, kurikulum hendaknya disesuaikan dengan umur, tingkat kecerdasan dan kebutuhan. Dengan jalan demikian siswa akan dengan mudah menyesuaikan dirinya terhadap mata pelajaran yang diberikan guru kepadanya. Ketiga, penyesuaian diri terhadap lingkungan sekolah. Dalam hal ini adalah gedung, alat-alat sekolah, fasilitas belajar dan lingkungan sosial lainnya. Keempat, Penyesuaian diri terhadap teman sebaya. Hal ini sangat penting bagi perkembangan siswa, terutama perkembangan sosialnya.
2. Efektivitas Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah Istilah efektivitas banyak merujuk pada proses kelancaran atau keberhasilan dari suatu aktivitas yang dilakukan seseorang. Penyesuaian dapat diartikan sebagai proses respon individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik dan memelihara keharmonisan antara pemenuhan
9
kebutuhan tersebut dengan tuntutan lingkungan. Upaya memenuhi kebutuhan atau memecahkan
masalah
menampilkannya
yang
secara
wajar
dihadapi, dan
tidak
normal.
semua Moh.
individu Surya
mampu
(1988:
27)
mengemukakan ciri-ciri penyesuaian sosial yang baik adalah sebagai berikut: 1) Tidak menunjukkan ketegangan emosional 2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme psikologis 3) Tidak menunjukkan adanya frustrasi pribadi 4) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri 5) Mampu dalam belajar 6) Menghargai pengalamannya 7) Bersikap realitas dan objektif Senada dengan uraian diatas, Yusuf (2001: 130) mengemukakan penyesuaian yang sehat ditandai dengan karakteristik sebagai berikut: 1)
Mampu menilai diri secara realistik
2)
Mampu menilai situasi secara realistik
3)
Mampu menilai prestasi yang diperoleh secara realistik
4)
Menerima tanggung jawab
5)
Kemandirian
6)
Dapat mengontrol emosi
7)
Berorientasi tujuan
8)
Berorientasi keluar
9)
Penerimaan sosial
10) Memiliki filsafat hidup 11) Berbahagia Efektivitas penyesuaian sosial siswa di sekolah menurut Schneiders (1964: 454) ditandai oleh adanya : 1)
Penghormatan terhadap orang-orang yang patut dihargai di sekolah. Ditandai dalam bentuk perilaku menghargai dan menjaga kewibawaan guru dan personil sekolah lain.
2)
Penerimaan terhadap orang-orang yang patut dihormati di sekolah. Hal ini ditunjukkan dalam perilaku tidak memilah-milah teman, guru dan personil
10
sekolah lainnya dan memiliki kesadaran bahwa karakter masing-masing teman, guru dan personil lainnya berbeda-beda. 3)
Minat terhadap aktivitas sekolah. Ditunjukkan dengan bentuk perilaku minat dalam kegiatan belajar dan mengajar serta kegiatan ekstrakulikuler.
4)
Partisipasi dalam aktivitas sekolah. Ditunjukkan dalam perilaku partisipasi dalam setiap kegiatan yang diadakan di sekolah.
5)
Menjalin hubungan persahabatan yang sehat dengan teman, guru dan personil sekolah lainnya. Ditunjukkan dalam perilaku pengendalian emosi, tidak memiliki mekanisme pertahanan diri, memiliki pertimbangan rasional yang mendalam, memiliki pengarahan diri, memiliki keinginan untuk maju dan mengembangkan dirinya, memiliki sikap yang realistis.
6)
Penerimaan terhadap peraturan/tata tertib sekolah. Ditunjukkan dalam bentuk perilaku memiliki kesadaran akan pentingnya peraturan/tata tertib sekolah dan mematuhi peraturan sekolah.
7)
Membantu sekolah mencapai tujuannya. Ditunjukkan dalam bentuk mendukung kelancaran proses kegiatan belajar mengajar dan melaksanakan kewajiban sebagai siswa.
8)
Mematuhi peraturan dan tata tertib sekolah yang berlaku dengan indikator memiliki kesadaran akan pentingnya peraturan/tata tertib.
3. Permasalahan Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah Siswa SMA jika dilihat dari segi umur berada pada rentang usia antara 15 sampai 20 tahun, atau yang sering kita sebut sebagai masa remaja. Pada masa ini, remaja sedang berda pada masa transisi, disebut demikian karena pada masa ini remaja tidak dapat dikatakan lagi sebagai seorang anak kecil, tetapi belum dapat juga dikatakan sebagai orang dewasa. Sejalan dengan masa transisi yang terjadi pada masa remaja, Abin Syamsudin Makmun (1990: 79-80) mengemukakan masalah-masalah yang sering dihadapi oleh remaja, adalah sebagai berikut: 1) Masalah yang berkaitan dengan perkembang fisik dan psikomotorik. Dalam hal ini secara umum remaja banyak menghadapi kecanggungan dalam
11
pergaulan, penolakan diri karena body image-nya tidak sesuai dengan selfpicture yang diharapkan, merasa malu karena perubahan suara pada remaja laki-laki dan peristiwa menstruasi pada perempuan. dan lain sebaginya. 2) Masalah yang berhubungan dengan perkembangan bahasa dan perilaku kognitif, seperti tidak menyukai pelajaran bahasa asing dan benci terhadap gurunya dikarenakan kelemahan dalam mempelajari bahasa asing, merasa rendah
diri
karena
kapasitas
dasar
belajarnya
dibawah
rata-rata,
ketidakselarasan antara keinginan atau minat, sehingga menimbulkan kesulitan
dalam
memiliki
program/jurusan/jenis
sekolah
yang akan
dimasukinya. 3) Masalah-masalah yang berkenaan dengan perkembangan perilaku sosial, moralitas, dan religius, adalah masalah yang berkenaan dengan kenakalan remaja yang berbentuk perkelahian antar kelompok, pencurian, perampokan, prostitusi, konflik dengan orang tua (tidak senang di rumah, bahkan minggat), menggunakan narkotika, menghisap ganja, dan penyimpangan perilaku anti sosial lainnya. 4) Masalah-masalah yang berkenan dengan perkembangan perilaku afektif, konatif dan kepribadian, yaitu mudahnya remaja terbawa arus pada kegiatankegiatan yang mengarah/sifatnya destruktif spontan untuk melampiaskan ketegangan intuitif emosionalnya, sukar mengintegrasikan fungsi-fungsi psikofisiknya, yang berlanjut pada sukar pula menemukan identitas pribadinya dan mengalami masa remaja yang berkepanjangan meskipun usianya sudah menginjak masa dewasa. Permasalahan penyesuaian sosial di sekolah akan timbul ketika siswa mulai memasuki jenjang sekolah yang baru. Mereka akan mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan guru, teman dan mata pelajaran. Apabila siswa tersebut tidak dapat menyesuaikan diri maka akan berakibat pada prestasi belajarnya. Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah penyesuaian diri yang berkaitan dengan kebiasaan belajar yang baik, bagi siswa yang baru masuk dapat bekerja secara gembira untuk memenuhi kepentingan dirinya dan masyarakat. Sebaliknya, apabila tugas-tugas perkembangan tidak dapat dikuasai dan dilalui
12
dengan baik, maka tugas-tugas perkembangan berikutnya akan terhambat. Hal ini akan menimbulkan ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan dalam hidup. Berdasarkan permasalahan yang sering muncul pada masa remaja, maka fenomena remaja adiktif diasumsikan terjadi sebagai akibat dari kurangnya penyesuaian sosial remaja dalam menyikapi perkembangan perilaku sosial, moralitas, dan religius. Kasus remaja adiktif dikategorikan permasalahan sosial yang berkenaan dengan kenakalan remaja yang berbentuk penggunaan narkotika/obat-obat terlarang dan menghisap ganja. Disebut permasalahn sosial karena perilaku adiktif pada remaja sangat meresahkan warga/orang-orang sekitar terutama orang tua. Di sekolah, remaja adiktif tidak bisa menjalin hubungan persahabatan yang sehat dengan teman, guru dan personil sekolah, sehingga keberadaan mereka tidak menunjang keberhasilan akademis atau prestasi belajarnya, padahal yang terpenting dalam penyesuaian sosial siswa di sekolah adalah penyesuaian diri terhadap guru, mata pelajaran, teman sebaya dan lingkungan sekolah, sedangkan pada remaja adiktif sikap-sikap tersebut tidak dimiliki.
C. Perilaku Adiktif 1. Pengertian Adiktif Ada
berbagai
pengertian
yang
berhubungan
dengan
adiktif,
yaitu
penyalahgunaan narkoba (drug abuse) ketergantungan narkoba (drug depence) dan kecanduan narkoba (drug addiction). a.
Penyalahgunaan Narkoba (Drug Abuse) Penyalahgunaan obat adalah penggunaan zat-zat kimia yang dilakukan
bukan untuk tujuan medis dan dalam jumlah yang melebihi batas takaran, penggunaannya dapat membahayakan dirinya, sosial, kesehatan dan konsekuensi hukum (Segal, 1986: 46). Penyalahgunaan narkoba merupakan penggunaan zat kimia secara sengaja untuk alasan selain yang diindikasikan secara medis, berdampak menurunnya fungsi fisik, mental, emosi, atau sosial pengguna, keluarga, atau masyarakat secara umum.
13
Penggunaan obat tergantung pada keadaan tertentu, tujuan tertentu, keadaan dimana berusaha melarikan atau membebaskan diri dari masalah dan rasa sakit, narkoba digunakan sebagai penawar sementara yang dibutuhkan. Misalnya: karena stress,duka cita. Penggunaan obat kategori ini biasanya belum mengalami ketergantungan, karena penggunanya pada saat saat tertentu. Namun sebagian besar penyalahgunaan narkoba berujung pada ketergantungan bahkan pada tahap adiktif. b.
Ketergantungan Narkoba (Drug Dependence) Ketergantungan obat (narkoba) adalah kondisi penggunaan narkoba yang
teratur dimana kondisi fisik dan psikis yang tergantung terhadap narkoba yang berkelanjutan. Ketergantungan narkoba dicirikan oleh perilaku dan respon-respon lain yang memiliki dorongan kuat untuk menggunakan narkoba secara berkelanjutan agar mendapatkan kenikmatan secara fisik atau untuk menghindari rasa sakit jika tidak menggunakan narkoba. Dalam ketergantungan fisik, hal yang dirsakan oleh pengguna adalah dialaminya gejala-gejala fisik yang akut, seperti: mual, muntah, kejang dan sebagainya. Gejala-gejala tersebut dialami jika pengguna mulai berhenti atau tidak menggunakan narkoba. Ketergantungan psikologi diartikan sebagai suatu kebutuhan yang kuat untuk mersakan efek narkoba secara terus menerus. Dengan kata lain ketergantungan psikologis adalah kondisi yang dicirikan oleh adanya dorongan mental atau emosional untuk menggunakan narkoba, dimana pengguna akan merasa optimal dan lebih baik jika menggunakan narkoba. c.
Kecanduan Narkoba (Drugg Addiction) Kecanduan narkoba ditandai dengan adanya rasa rindu (Craving) jika
tidak menggunakan narkoba. Craving artinya rasa lemah dan perasaan putus asa yang dapat mendorong perilaku anti sosial, bahkan perilaku kriminal (Segal, 1986:49). Hafid (1997) menyatakan pengertian adiktif sebagai berikut: Adiktif diartikan sebagai suatu keadaan psikis yang muncul secara periodik atau kronis akibat penggunaan narkoba yang berulang (baik alam maupun sintetik)
14
yang ditandai oleh: 1. kehendak yang berlebihan atau memerlukan dengan paksa untuk meneruskan penggunaan obat dan berusaha mendapatkan dengan segala cara; 2. adanaya gejala untuk meningkatkan dosis; 3. memiliki ketergantungan fisik dan psikis terhadap pengaruh obat; 4. adanya gangguan kepribadian. Dari pengertian-pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa adiktif merupakan kondisi fisik dan psikis yang dialami pengguna narkoba seperti rasa sakit badan, rindu dan adanya dorongan untuk menggunakan narkoba. Pecandu tidak dapat mengontrol penggunaan narkoba. Pecandu yang kecanduan terhadap putaw dan shabu biasanya memakai obat 2 sampai 5 kali sehari. Pecandu berpikir bahwa satu hari dilewatkan tanpa menggunakan narkoba terasa ada yang tidak lengkap dengan hidupnya. Pecandu merasa bahwa narkoba adalah suatu kebutuhan, seperti halnya jika merasa lapar maka harus makan, bagi pecandu jika merasa butuh maka harus menggunakan narkoba. Perkembangan dari drug abuse-drug depence- dan drug addiction hampir tak dapat terdeteksi secara jelas, menyebabkan seseorang tak terasa telah tenggelam dalam lingkaran adiktif, seperti yang tergambar dibawah ini: Pain→want NO pain→ Use drugs → pain again Gambar 1.2 Lingkaran Adiktif
Konsekuensi kenikmatan dan euporia yang dirasakan oleh pengguna menyebabkan pengguna selalu ingin menggunakan kembali (use drugs) untuk menutupi perasaan dan permasalahan yang dihadapi pengguna narkoba (painwant no pain). Hal tersebut dialakukan secara berulang, sehingga akan membentuk belief bahwa jika menggunakan narkoba maka akan mendapatkan kenikmatan dan dapat menutupi perasaan dan masalahnya, lalu kembali merasakan sakit (pain again) dan ditutupi kembali dengan penggunaan narkoba, dan begitu seterusnya.
15
2. Karakteristik Remaja Adiktif Konseli (remaja) adiktif memiliki karakteristik khusus, baik dari orientasi berpikir, karakteristik fisik, psikologis, dan sosial. Berikut paparan mengenai karakteristik konseli (remaja) adiktif: a. Orientasi berpikir konseli adiktif Orientasi berpikir merupakan manifestasi dari perilaku kognitif yang akhirnya ditampilkan dalam perilaku yang tampak. Orientasi berpikir konseli adiktif baik yang berat, menengah maupun yang ringan menurut hasil penelitian Hafid (1997:103) memberikan gambaran bahwa konseli adiktif cenderung berpikir eksternal negatif, kemudian berpikir eksternal positif, internal negatif dan internal positif. Model berpikir eksternal adalah model berpikir yang bertolak dari suatu pemikiran dimana konseli menggantungkan diri pada sesuatu diluar dirinya saat ia membuat pertimbangan, berpikir dan bertindak (Hafid 1997: 42). Model berpikir eksternal memiliki dua kecenderungan, yaitu model berpikir eksternal negatif dan model berpikir eksternal positif. Contoh pernyataan dan tindakan hasil dari pemikiran eksternal negatif adalah saya menggunakan narkoba karena lingkungan dan teman-teman saya menggunakan narkoba, sehingga saya juga menggunakan narkoba. Adapun contoh pernyataan eksternal positif adalah keluarga saya termasuk keluarga yang taat terhadap aturan agama. Model berpikir internal adalah model pikiran yang memberikan tanggung jawab tindakannya terhadap diri mereka sendiri. Ia tidak bergantung pada opini atau persetujuan orang lain, memakai referensi diri ketika memeriksa emosinya (Hafid 1997: 44). Model berpikir internal memiliki dua kecenderungan yaitu model berpikir internal negatif dan model berpikir internal positif. Contoh pernyataan dan tindakan hasil berpikir internal negatif adalah saya menggunakan narkoba karena saya ingin tahu bagaimana rasanya narkoba, tapi akhirnya saya kecanduan. Adapun contoh pernyataan dan tindakan hasil berpikir internal positif adalah saya harus berhenti menggunakan narkoba. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis, pola pikiran konseli adiktif adalah 1) saya tidak dapat menolak teman yang menawarkan narkoba, 2) narkoba
16
dapat membantu mengatasi masalah, 3) adiktif adalah sebuah penyakit kronis yang tidak dapat disembuhkan. b. Karakteristik Fisik Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis ciri fisik addict diantaranya adalah: badan kurus kering, kulit pucat, mata sayu, berair, bengkak dan merah, mulut kering, bibir kehitam-hitaman, dekil karena malas mandi, terdapat luka sayatan atau bekas suntikan di lengan. c. Karakteristik Psikologis Rondy (2006) mengemukakan ciri psikologis individu adiktif adalah sebagai berikut: 1) Prestasi belajar menurun 2) Tidak mau bersosialisasi (mengisolasi diri) 3) Terlambat pulang ke rumah 4) Jorok (terhadap diri sendiri dan lingkungan) 5) Malas 6) Bohong (pintar memanipulasi) 7) Egois 8) Sensitif 9) boros (banyak pengeluaran) Berdasarkana hasil studi pendahuluan oleh penulis, ciri lain dari perilaku adiktif adalah: 1) Paranoid 2) Hyperaktif atau hypoaktif 3) Sensitif (emosi labil) 4) Manipulatif 5) Pikiran mesum 6) Malu 7) Bersalah 8) Insecure 9) Kemarahan 10) Kesendirian
17
11) Tidak percaya diri 12) Tdak ada kendali impulse 13) Kabur akan nilai-nilai 14) Gangguan personality 15) Tidak toleran 16) Penolakan penangkalan d. Karakteristik Sosial Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan penulis, karakteristik sosial addict cenderung anti sosial, addict tidak peka bahkan tidak peduli dengan lingkungan, kriminal, kasar dan tidak sopan. Isolasi/menarik diri. Perilaku sosial remaja adiktif diantaranya adalah: 1)
Lari dari kenyataan
2)
Manipulasi
3)
Ketidakgigihan
4)
Tidak mampu menunda gratification
5)
Rusak secara moral
6)
Motivasi rendah
7)
Anti-sosial
8)
Keterampilan sosial menurun
9)
Banyaknya sikap negatif
10) Mementingkan diri sendiri 11) Pandangan tidak realistis atas dunia.
18
BAB III INTERVENSI BIMBINGAN DAN KONSELING TERHADAP PERILAKU REMAJA ADIKSI DALAM PENYESUAIAN SOSIAL A. Teknik yang digunakan 1. Pengertian dan Tujuan Konseling Pada
awalnya
konseling
muncul
sebagai
proses
interaksi
untuk
menyelesaikan masalah atau meningkatkan potensi agar mendapat kehidupan yang terbaik. Willis (2004: 17) menyatakan bahwa secara historis asal mula pengertian konseling adalah untuk memberi nasehat. Pengertian konseling tersebut menekankan pada nasihat (advise giving), mendorong, memberi informasi. menginterpretasi hasil tes dan analisa psikologis. Shertzer dan Stone (Nurihsan, 2002: 13) mendefinisikan, counseling is an interaction process which facilititates meaningful understanding of self and environment and result in the establishment and or clarification of goals and values of future behavior. Maksudnya bahwa konseling adalah suatu proses interaksi yang membantu agar memiliki pemahaman diri dan lingkungannya dan menghasilkan ketetapan dan kejelasan tujuan hidup dan nilai perilaku dimasa yang akan datang. Krurnboltz dan Thoresen (Surya, 2003: 27) mendefinisikan konseling merupakan suatu proses membantu orang untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu. Walaupun menggunakan perspektif yang berbeda, namun dapat disimpulkan bahwa konseling adalah suatu proses interaksi dimana konselor rnembantu konseli (konseli) untuk dapat memahami diri dan lingkungannya agar dapat menyelesaikan masalahnya. Dari pengertian yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa fungsi dan konseling adalah untuk mengubah suatu keadaan yang tidak baik menjadi lebih baik dengan potensi yang dimiliki konseli (konseli). Shterzer dan Stone
19
(Nurihsan, 2002: 16) menyimpulkan bahwa tujuan konseling adalah sebagai berikut : 1.
Mengadakan perubahan perilaku pada diri konseli sehingga memungkinkan hidupnya lebih produktif dan memuaskan
2.
Memelihara dan mencapai kesehatan mental yang positif. Jika hal ini tercapai. maka individu mencapai integrasi, penyesuaian, dan identifikasi positif dengan yang lainnya. Ia akan belajar menerima tanggung jawab. berdiri sendiri, dan memperoleh integrasi perilaku.
3.
Pemecahan masalah. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa individu-individu yang rnempunyai rnasalah tidak mampu menyelesaiakan sendiri masalah yang dihadapinya.
4.
Mencapai keefektifan pribadi.
5.
Mendorong individu mampu mengambil keputusan yang penting bagi dirinya Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling tersebut diperlukan penggunaan
tekiik-teknik konseling yang tepat. Tekriik-teknik konseling diantaranya ada psikoanalisis, behavioral, rational-emotif trait and factors, client centered, analisa transaksional, gestalt, dan kognitif-perilaku. Tentunya dan teknik-teknik yang dikemukakan bukanlah teknik yang sempurna dan selalu cocok untuk setiap permasalahan
2. Konseling Kognitif-Perilaku Konseling Kognitif-Perilaku merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam konseling, dalam pemulihan adiksi pun dikenal metode pemuiihan Cognitif-Behavior Therapy. Yuliati (2004: 93) menyatakan bahwa pendekatan Kognitif-Perilaku berkembang karena adanya keterbatasan-keterbatasan dari model-model teori belajar. Secara konseptual Konseling Kognitif-Perilaku (Behaviora-Cognitive Counseling) menunjuk pada penggunaan secara kombinatif perspektif kognitif dan perspektif perilaku sebagai pendekatan dalam praktek konseling. Secara tcknis, pendekatan kognitif-perilaku menunjuk pada program konseling yang menerapkan teknik-teknik konseling yang diambil dan pendekatan perilaku dan pendekatan kognitif untuk menghasilkan perubahan perilaku yang
20
positif pada diri konseli (Yuliati: 2004: 90). Dengan kata lain metode kognitifperilaku mengacu pada metode ilmiah dan logis yang memberikan kesempatan kepada individu untuk mengubah pola pikir, perasaan dan perilaku negatif. Foreyt & Goodrick (1989) mendefinisikan metode kognitif-perilaku sebagai berikut: Cognitive-behavior therapy refers to a set of principles and prosedures that share the asumption that cognitive proccess affect behavior and these proccess can be changed through cognitive and behavior techniques. Ramli (2005: 435) mendefinisikan metode kognitif-perilaku adalah suatu bentuk terapi yang memadukan prinsip dan prosedur terapi kognitif dan terapi perilaku dalam upaya membantu konseli mencapai perubahan perilaku yang diharapkan. Berdasarkan beberapa pengertian mengenal Konseling Kognitif-Perilaku telah dipaparkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Konseling KognitifPerilaku adalah suatu metode yang sistematis, terstruktur dan singkat untuk mengubah kognisi dan perilaku yang tidak efektif menjadi efektif.
B. Proses Konseling Kognitif-Perilaku Sasaran Konseling Kognitif-Perilaku adalah aspek kognitif dan perilaku individu, maka dari itu proses konseling dilaksanakan dengan teknik-teknik dalam mengubah perilaku adiktif yaitu sebagai berikut : 1. Analisa Fungsi Kognitif (Functional Analysis) Analisa fungsi kognitif adalah salah satu teknik dalam Konseling kognitif perilaku yang bertujuan untuk mengembalikan fungsi kognitif konseli setelah menjadi adiksi. Analisa fungsi kognitif menerapkan teknik kognitif yang merupakan kelompok teknik intervensi yang dilakukan untuk membongkar akar akar keyakinan irrasional yang dimiliki konseli. Pola kognitif adiksi sangat khas, pikiran mereka berputar hanya sekitar bagaimana menghilangkan masalah dengan narkoba, bagaimana mendapatkan narkoba dan menggunakan narkoba. Pola kognisi yang harus diubah dengan analisa fungsi kognitif adalah pikiran bahwa adiksi tidak dapat hidup tanpa menggunakan narkoba, yaitu dengan cara konselor membantu konseli unnik
21
mengidentifikasi pikiran, perasaan dan keadaan sekitar sebelum dan sesudah memakai narkoba. sehingga konseli dapat menilai hal-hal yang menentukan penggunaan narkoba dan situasi-situasi beresiko tinggi terhadap penggunaan narkoba dan memberikan pengertian inengapa seseorang menggunakan narkoba. Teknik teknik intervensi yang digunakan adalah melakukan analisa. konfrontasi. Problem solving, pekerjaan rumah. restrukturisasi kognitif, diskusi dan konseling. 2 Latihan Keterampilan (Skill Training) Latihan keterampilan adalah suatu program latihan yang membantu konseli adiksi belajar meninggalkan kebiasaan adiksi yang terbentuk oleh penggunaan narkoba, kemudian belajar kembali keterampilan dan kebiasaan yang bersih dan penggunaan narkoba. Latihan keterampilan merupakan penerapan teknik perilaku. yaitu teknik-teknik intervensi yang digunakan dengan tujuan membiasakan konseli mengalarni dan bertindak dengan perilaku barn yang disepakati dalam proses terapi (Ramli, 2005: 442). Latihan keterampilan digunakan berdasarkan asumsi sebagai berikut. 1) Individu mungkin tidak pernah belajar strategi efektif untuk mengatasi masalah dan tantangan hidup orang dewasa. sementara penggunaan narkoba dimulai pada masa remaja. maka daperlukan latihan keterarnpilan hidup yang belum pernah dipelajarinya (building skill). 2) Walaupun individu telah mendapatkan strategi efektif dalam mengatasi masalah, namun keterampilan tersebut dapat hancur karena penggunaan narkoba, individu lupa dengan keterampilan yang telah dimiliki tergantikan oleh keterampilan menggunakan narkoba. maka perlu dilakukan latihan keterampilan kembali keterampilan hidupnya yang pernah dimilikinya (Rebuild skill). 3) Kemampuan individu untuk menggunakan strategi mengatasi masalah yang efektif dapat melemah oleh masalah lain, dalam hal ini oleh penggunaan narkoba.
maka
diperilukan
penguatan
keterampilan
dengan
latihan
keterampilan.
22
Latihan keterampilan dilakukan melalui teknik-teknik intervensi seperti: pekerjaan rumah (homework), penguatan, latihan tindakan, role playing, saving behavior;
pengelolaan
diri,
pelatihan
asertif
dan
kontrak
perilaku.
Sesi-sesi dalam Konseling Kognitif-Perilaku adalah: 1) Perkenalan Konseling Kognitif-Perilaku 2) Sesi perkenalan Konseling Kognitif-Perilaku bertujuan untuk: (1) menjalin hubungan kerjasama konselor dengan konseli; (2) memotivasi konseli untuk berhenti menggunakan narkoba; (3) mengetahui pola penggunaan narkoba dan masa1ah-rnasaah konseli lainnya yang mempengaruhi pemulihan adiksi, misalnya masalah pribadi. penyakit. dan kondisi Iingkungan; (4) memahami pola penggunaan narkoba; (5) membentuk komitmen awal konseli untuk berhenti menggunakan narkoba; (6) membuat kesepakatan (kontrak) waktu dan tempat untuk konseling selanjutnya;dan (7) konseli rnengetabui sesi-sesi konselinu dan latihan-latihan keterampilan yang akan dilakukan. 3) Mengatasi suges yaitu topik yang membahas, mengidentifikasi dan membangun keterampilan untuk menghadapi suges. Topik ini bertujuan agar konseli (1) memahami pengertian suges; (2) memahami pengalaman suges; (3) memahami karakteristik suges: sebagai hal normal, batasan waktu suges; (4) mengidentifikasi gejala suges dan faktor pemicu suges;dan 5) memiliki keterampilan mengatasi suges. 4) Membangun motivasi dan komitmen untuk berhenti mengguanakan narkoba, dalam topik ini melakukan pembahasan dan idetifikasi hal-hal yang mendukung dan komitmen untuk berhenti. Tujuan topik ini adalah agar konseli : (1) mendapat penguatan kembali unuk berhenti menggunakan narkoba;
(2)
mampu
mengatasi
keraguan-keraguan
untuk
berhenti
menggunakan narkoba; (3) mampu melakukan analisis fungsional mengenai pengguanaan narkoba;dan (4) mampu mengatasi pikiran tentang narkoba. 5) Keterampilan menolak narkoba, tujuan dari topik ini diantaranya adalah supaya konseli : (1) memiliki strategi untuk membatasi diri dari ketersediaan narkoba; (2) memiliki keterampilan membedakan cara menolak dengan pasif, agresif, dan asertif;dan (3) memiliki keterampilan menolak yang efektif.
23
6) Keputusan yang seolah-olah tidak berhubungan dengan penggunaan narkoba. Topik ini membahas mengidentifikasi dan melatih keterampilan untuk menghindari keputusan-keputusan yang sepertinya tidak berhubungan dengan penggunaan narkoba kembali dan memuat keputusan yang aman dari penggunaan narkoba. Tujuan topik ini adalah supaya konseli : (1) menuliskan perasaan-perasaan yang dapat menjadi situasi beresiko tinggi untuk mengguanakan narkoba; (2) konseli dapat menuliskan kondisi lingkungan yang menjadi situasi beresiko tinggi untuk menggunakan narkoba;dan (3) memilik sikap tegas dalam memutuskan rantai pikiran yang seolah-olah tidak berhubungan dengan penggunaan narkoba. 7) Rencana mengatasi perilaku adiktif secara menyeluruh. Topik
ini
mengidentifikasi situasi-situasi beresiko tinggi dan mengembangkan rencana pribadi untuk berhenti menggunakan narkoba. Tujuan topik ini adalah (1) Supaya konseli mengidentifikasi situasi beresiko dimasa yang akan datang; (2) membuat rencana untuk mengantisipasi situasi beresiko dimasa mendatang. 8) Rencana mengatasi perilaku adiktif secara menyeluruh Tujuan topik ini adalah supaya konseli : (1) mengetahui langkah dasar dalam menyelesaikan masalah;dan (2) mempraktekkan keterampilan dalam menyelesaikan masalah. 9) Managemen kasus. Topik ini melakukan kajian ulang dan menerapakan keterampilan pemecahan masalah yang sudah dibuat agar terhindar dari penghambat-penghambat dalam proses pemulihan. Tujuan topik ini adalah : (1) supaya konseli membuat strategi untuk mendapatkan layanan sosial yang dibutuhkan;dan (2) menggunakan layanan sosial yang dibutuhkan. 10) Orang lain yang mendukung pemulihan adiksi. Topik ini bertjuan agar konseli dapat : (1) mengidentifikasi orang lain yang dapat mendukung usahanya dalam menghentikan penggunaan narkobanya;dan (2) melakukan komunikasi terbuka dengan orang yang mendukungnya tersebut. 11) Penutup, pada sesi terakhir konseling kognitif perilaku ini bertujuan mengkaji ulang tujuan pemulihan dan memberikan umpan balik tentang proses konseling kognitif perilaku.
24
C. Hasil yang Diharapkan Terjadinya
perubahan
perilaku
adiktif
secara
menyeluruh
terutama
karakteristik perilaku sosial disebabkan oleh obat-obat terlarang. Intervensi Konseling Kognitif-Perilaku dalam menangani masalah ini memberikan sejumlah kontribusi bagi konseli, yaitu: 1) Secara moral, kondisi Konseli tidak rusak (terganggu). Ditandai dengan; mampu bersikap sesuai dengan norma kesopanan, adat dan agama. 2) Konseli tidak bersifat anti-sosial. Ditandai dengan: mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat; mampu berinteraksi dengan orang lain; mempunyai sifat tolong-menolong dan solidaritas yang tinggi. 3) Keterampilan sosial yang terus meningkat. Ditandai dengan: mampu bergaul dan menjalin hubungan sosial dengan siapapun tanpa ada kecanggungan. 4) Konseli cenderung banyak memiliki sikap positif. Ditandai dengan: memiliki sikap disiplin, tanggung jawab, empati, altruis, dan kooperatif.
D. Skrip Simulasi
Prolog : Pada suatu hari, seorang siswa SMA berinisial HS (laki-laki) yang diidentifikasi berperilaku adiktif (anti-sosial, mementingkan diri sendiri, keterampilan sosial menurun) sedang mengikuti kegiatan camping setelah pembagian Raport akhir semester. Dalam beberapa kegiatan yang dilaksanakan, siswa tersebut terlihat tidak bisa mengikutinya dengan baik. Yang tampak adalah sikap-sikap yang tidak sesuai dilakukan oleh remaja seusianya, seperti sering menyendiri, mengganggu teman lain secara berlebihan. Sikap tersebut sering dilakukan bahkan sampai pada tingkat yang parah, yaitu anti-sosial (tidak mau bergabung dengan temantemannya), sering marah-marah pada orang-orang disekitarnya sampai merusak barang-barang seperti melemparkan benda yang ada disekitarnya. Melihat kondisi seperti itu, konselor memanggil siswa yang bersangkutan. Teknik intervensi yang digunakan: Pekerjaan Rumah (homework) dan Kontrak Perilaku.
25
Bagian I Perkenalan konseling kognitif-perilaku oleh konselor : Konselor : “Selamat pagi, bagaimana kabar hari ini?” Konseli : “Baik Pak.” Konselor : “Maksud bapak memanggil Hasan ada sesuatu yang perlu kita diskusikan.” Konseli : “Apa pak? Tentang apa ya?” Konselor : “Dari kemarin bapak perhatikan, kamu seperti tidak gembira dalam kegiatan ini. Bapak pernah lihat kamu tidak bergabung dengan temanteman dalam berbagai acara, seperti dalam permainan-permainan. Menurutmu acara camping ini bagaimana?” Konseli : “Biasa aja pak. Ga ada yang istimewa. Teman-temannya juga masih itu-itu aja, ga ada yang baru apalagi yang aneh.” Konselor : “Oh, dengan kata lain kamu merasa bosan bermain dengan mereka?” Konseli : “Ya…bosan sih enggak, cuma kurang enak aja.” Konselor : “Maksud kurang enak?” Konseli : “Bapak juga tahu kan? Kalau saya kurang suka dalam situasi banyak orang, jangankan di luar rumah seperti ini, di sekolah pun saya kurang semangat kalau harus banyak ngobrol, bermain-main, ketawa-ketawa, mending mojok sambil berfantasi yang bikin enak.” Konselor : “Oh, begitu ya. Bapak juga tahu bahwa Hasan kemarin-kemarin pernah memakai narkoba. Masalah itu sudah berlalu, tapi yang sekarang kamu rasakan sehubungan dengan narkoba tersebut bagaimana?” Konseli : “Itu masalahnya pak. Saya masih suka berfantasi enaknya menggunakan narkoba.” Konselor : “Bapak sebagai konselor kamu di sekolah, berkewajiban membantu kamu supaya bisa lepas dari ketergantungan itu. Apakah kamu punya keinginan untuk berperilaku seperti dulu?” Konseli : “Ya keinginan pasti ada, tapi kayanya susah ya? Soalnya saya ga bisa lepas dari rasa suka pada narkoba.” Konselor : “Siapa bilang tidak bisa? Kamu adalah siswa baik-baik, semuanya bisa diubah. Bapak siap membantu asalkan kamu memiliki kesadaran bahwa sikapmu itu bisa diubah.” Konseli : “Ya pak.” Konselor : “Kalau begitu, kamu akan bapak latih bagaimana caranya supaya bisa seperti dulu, bisa bermain dengan nyaman sama teman-teman, bisa mengikuti pelajaran di kelas dengan konsentrasi. Kamu mau kan jadi orang sukses?” Konseli : “Mau sekali pak!” Konselor : “Oleh sebab itu, coba kamu ikuti apa-apa yang bapak tugaskan padamu.” Konseli : “Memang ada tugas apa Pak?”
26
Konselor : “Disini ada serangkaian tabel yang harus diisi. Jawablah pertanyaanpertanyaannya. Nanti kita sepakati kapan kita diskusi lagi, karena dalam kegiatan kita ini ada beberapa sesi yang harus kamu ikuti.” Konseli : “Baik Pak.” Konselor : “Baiklah untuk kali ini dicukupkan sekian. Nanti kita bertemu lagi minggu depan di sekolah. Jangan lupa kerjakan tugas-tugas yang tadi.” Konseli : “Baik pak, terima kasih.” (Konseli pulang dan mulai mengerjakan lembar isian yang berupa pertanyaanpertanyaan seputar perasaan yang dapat menjadi situasi beresiko tinggi untuk menggunakan narkoba. Konseli dapat menuliskan kondisi lingkungan yang menjadi situasi beresiko tinggi untuk menggunakan narkoba) Bagian II Rencana mengatasi perilaku adiktif secara menyeluruh (Problem Solving) : (Konseling dilakukan di Ruang BK sekolah) Konselor : “Bagaimana San, sudah dikerjakan?” Konseli : “Sudah pak, ini.” (Sambil menyerahkan tugas pada konselor) Konselor : (Melihat kertas jawaban konseli sambil di bolak-balik) “Dari jawaban-jawaban yang kamu tulis, coba kamu kembangkan. Kira-kira bagaimana solusinya? Ini bapak tambahkan lembaran baru yang harus kamu isi berupa solusi-solusi terhadap apa-apa yang kamu rasakan.” (sambil menyerahkan lembar isian yang baru) Konseli : “Saya coba isi Pak.” Konselor : “Silakan. Tenang aja, bapak tunggu (konseli mengisi lembaran solisi dengan serius).” Konselor : “Bagaimana, sudah selesai?” Konseli : “Sudah pak. Ini jawaban menurut saya.” Konselor : “Baiklah. Sekarang dari jawaban-jawabanmu akan bapak buat ke dalam daftar cek yang harus kamu praktekkan. Caranya, beri tanda checklist pada kolom yang tersedia apabila kamu melaksanakan solusi tersebut, dan biarkan kosong apabila kamu tidak melaksanakannya. Silakan bawa daftar cek ini dan kita akan bertemu kembali minggu depan.” Konseli : “Ya, terima kasih.” (Konseli pulang untuk mempraktekkan beberapa langkah dasar dalam menyelesaikan masalah) Bagian III Manajemen Kasus dan Kontrak Perilaku : (Konseling dilakukan di Ruang BK sekolah) Konselor : “Bagaimana San, ada kesulitan?” Konseli : “Setelah saya mencoba beberapa solusi dalam daftar ini, ternyata bisa dilaksanakan, tetapi saya mendapat kesulitan dalam hal menyesuaikan diri dengan orang-orang sekitar.” 27
Konselor : “Kesulitan menyesuaikan diri yang kamu maksud?” Konseli : “Begini pak. Saya kan sudah lama tidak berperilaku seperti yang ada dalam solusi, jadi masih merasa canggung untuk menggunakan fasilitas sosial seperti jalan ditempat umum, pergi ke masjid dan main bersama teman-teman.” Konselor : “Oh…begitu. Sekarang coba kamu urutkan layanan sosial apa saja yang kamu butuhkan baik di sekolah maupun di lingkungan sekitar. Tulis dikertas ini, Bapak tunggu!” Konseli : “Iya, Pak.” (Konseli mulai menulis layanan sosial yang dibutuhkan dalam melaksanakan solusi masalah) Konselor : “Bagaimana sudah ditulis?” Konseli : “Sudah Pak, ini.” (sambil menyerahkan lembaran) Konselor : “Tujuan dari penugasan tadi yaitu supaya kamu dapat membuat kontrak perilaku yang akan mendukung pemulihan sikap-sikap sosialmu. Coba buat dan laksanakan! Kita akan bertemu minggu depan.” Konseli : “Baik Pak.” (Konseli pulang untuk mengerjakan dan melaksanakan kontrak perilaku) Bagian IV Penutup Konseling Kognitif-Perilaku : Konselor : “Pada pertemuan kali ini, kita sudah memasuki sesi terakhir dalam konseling. Sekarang coba Hasan utarakan apa-apa saja yang sudah diperoleh selama ini dan kamu sudah melakukan apa saja yang mendukung terhadap pemulihan sikap-sikapmu.” Konseli: “Saya jadi mengetahui bahwa perilaku saya selama ini salah dan ternyata enak berperilaku sesuai norma, mampu berinteraksi dengan orang lain, mempunyai sifat tolong-menolong dan solidaritas yang tinggi sesuai tuntutan sosial. Jadi tidak ada beban.” Konselor : “Bagus kalau begitu, yang penting sekarang adalah komitmen sendiri untuk melaksanakan perilaku-perilaku tersebut. Kamu sudah tahu tujuan dari semua ini?” Konseli : “Sudah pak. Saya sudah mengetahui. Terima kasih.” (Proses Konseling Kognitif-Perilaku selesai)
28
BAB IV KESIMPULAN Penyesuaian sosial remaja akan selalu diwarnai oleh hubungan dengan orang lain, sebagai makhluk sosial remaja selalu membutuhkan pergaulan, pengakuan dan penerimaan terhadap dirinya dari orang lain. Munculnya kasus remaja adiksi disebabkan oleh penyesuaian sosial yang salah sehingga tidak terjadi hubungan yang harmonis antara diri dan lingkungannya. Selain itu, perilaku adiktif tidak cocok dengan perilaku masyarakat sosial. Dalam lingkungan sekolah, keberadaan siswa/remaja adiktif tidak bisa memenuhi harapan pendidikan karena sikap-sikap sosial yang dimiliki oleh remaja yang bersangkutan jauh dari kriteria penyesuaian sosial yang sehat, yaitu tidak ada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat ia belajar dan berinteraksi secara efektif dan efisien, padahal yang terpenting dalam penyesuaian sosial siswa di sekolah adalah penyesuaian diri terhadap guru, mata pelajaran, teman sebaya dan lingkungan sekolah, sedangkan pada remaja adiktif sikap-sikap tersebut tidak dimiliki. Konseling kognitif perilaku sebagai intervensi dalam pemulihan remaja adiktif. Hal ini dikarenakan metode konseling kognitif perilaku menggabungkan tiga pendekatan terhadap manusia yaitu pendekatan biomedik, intrapsikis, dan lingkungan. Dalam hal ini, aktivitas kognitif akan mempengaruhi perilaku adiktif yang berupa sikap-sikap maladjustment dalam lingkungan sosial di sekolah.
29
DAFTAR PUSTAKA Agustiani, Hendriati. 2006. Psikologi Perkembangan Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: Refika Aditama. Hafid, Dedi Herdiana. 1997. Profil Latar Belakang Kehidupan dan Perilaku Klien Adiksi. Tesis PPB Program Studi BK PPS IKIP: tidak diterbitkan. Hendrayani. 2007. Penggunaan Konseling Kognitif-Perilaku Untuk Mengubah Perilaku Adiktif pada Remaja (Studi Kasus Terhadap Klien Adiksi di Kelompok Dukungan Sebaya Circle Of Spirit Harm Reduction Perkumpulan KB Indonesia Jawa Barat Tahun 2006-2007). Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan. Hurlock, Elizabeth. 1997. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Mardiany, Lili. 1998. Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Penyalahgunaan Zat Psikoaktif pada Siswa Remaja. Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan. Rahmawaty, Intan. 2007. Pengambangan Program Bimbingan Penyesuaian Sosial Untuk Siswa Sekolah Menengah Atas. Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press. Schneiders, A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York: Holt Rinehart and Winston Suhendriati, Yanti. 2003. Hubungan Penyesuaian Sosial Siswa di Sekolah dengan Prestasi Belajar (Studi Deskriptif Terhadap Siswa Kelas II SMU Negeri 1 Padalarang pada Tahun 2001-2002). Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan. Susanti, Maya Meysi. 2004. Dampak Penyesuaian Sosial Terhadap Lingkungan yang Negatif Terhadap Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja. Skripsi PPB FIP UPI: tidak diterbitkan. Surya, Mohamad. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Yusuf, Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosda Karya.
30
Lampiran I
LEMBAR ISIAN PENGUNGKAP PERASAAN PENYEBAB SITUASI BERESIKO MENGGUNAKAN NARKOBA Petunjuk : Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut pada kolom jawaban sesuai dengan yang anda rasakan! NO
PERTANYAAN
1
Siapakah yang paling mempengaruhi anda untuk mengkonsumsi narkoba?
2
Dalam kondisi seperti apa anda harus mengkonsumsi narkoba?
3
Lingkungan seperti apa yang paling mendukung anda mengkonsumsi narkoba?
4
Apa yang kamu rasakan ketika berada di tengah-tengah lingkungan pengguna narkoba?
5
Bagaimana cara anda mendapatkan narkoba?
JAWABAN
Bandung, November 2007 Konselor
Konseli
___________________
HS
31
Lampiran II
LEMBAR ISIAN SOLUSI TERHADAP PERASAAN PENYEBAB SITUASI BERESIKO MENGGUNAKAN NARKOBA Petunjuk : Tulislah beberapa alternatif solusi dari jawaban anda pada tugas 1! NO
JAWABAN
SOLUSI
1
2
3
4
5
Bandung, November 2007 Konselor
Konseli
___________________
HS
32
Lampiran III
DAFTAR CHECKLIST TERHADAP SOLUSI Petunjuk : Berilah tanda check (V) pada kolom “Ya” jika anda melakukan solusi dan padak kolom “Tidak” jika anda tidak melakukannya! NO
SOLUSI
YA
TIDAK
1
2
3
4
5
Bandung, November 2007 Konselor
Konseli
___________________
HS
33
Lampiran IV
DAFTAR ISIAN IDENTIFIKASI LAYANAN SOSIAL YANG DIBUTUHKAN Petunjuk : Tulislah jenis layanan sosial yang dibutuhkan untuk mendukung pemulihan perilaku anda pada tabel berikut! NO
JENIS LAYANAN SOSIAL
NO
1
6
2
7
3
8
4
9
5
10
JENIS LAYANAN SOSIAL
Kontrak Perilaku: -
………………………………………………. ………………………………………………. ………………………………………………. ………………………………………………. Bandung, November 2007 Konselor
Konseli
___________________
HS
34