Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum Dian Rachmawati Wasito Dwi Sarwindah S. Wiwik Sulistiani Fakultas Psikologi Universitas Hang Tuah Surabaya
Abstract. This study used qualitative descriptive research method. It was aimed to know the social adjustment procces among student who had hearing impairment which study in public shoool. Respondents of the research were three hearing impairment students with three significant others. Significant other were parent, teacher and best friend. Data was collected by interview. Result of the research have shown that all respondents have good social adjustment skill. The first respondent has effective social adjusment, although sometimes he was disturbed by his friend. The second respondent has effective social adjusment, too. She can made social adjusment although sometimes she looks introvert when she was with her friend. The third respondent has enough ability in social adjusment. She can't speak well with her friend, but she always work hard to join with other people in her school.
Keywords: social adjustment, hearing impairment, public school Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses penyesuaian anak-anak tunarungu yang bersekolah di sekolah umum. Subjek penelitian 3 orang dengan ditambah dengan beberapa informan tambahan, yakni orangtua, guru dan teman dekat mereka. Metode penggalian data dilakukan dengan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan semua subjek memiliki kemampuan penyesuaian sosial yang efektif. Subjek pertama dapat menyesuaikan diri, meskipun harus menghadapi tantangan dari teman-teman. Subjek kedua memiliki pribadi yang introvert. Sekalipun demikian ia tetap dapat menyesuaikan diri dengan baik. Subjek ketiga bahkan dapat berkomunikasi dengan lancar dan memiliki etos kerja yang tinggi.
Kata kunci: tuna rungu, penyesuaian sosial, sekolah umum
Jumlah penderita cacat fisik maupun mental di Indonesia begitu besar. Hasil analisa Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial tahun 2003 menjelaskan bahwa jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 1,48 juta atau 0,7 persen dari jumlah penduduk. Jumlah penyandang cacat umur 5-18 tahun atau masuk kategori usia sekolah
diprediksi 21,42 persen dari seluruh penyandang cacat yaitu sekitar 317.016 anak. Kategori kecacatan terbagi dalam beberapa jenis yakni tuna netra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna laras, t u n a g a n d a d a n a u t i s (merrylusianaoktaviani.wordpress.com/2009/04/ 23 tanggal 16 Desember 2009). Anak cacat
Korespondensi: Wiwik Sulistiani. Fakultas Psikologi Universitas Hang-Tuah, Jalan Arief Rahman Hakim 150 Surabaya Telp: (031) 5945894, (031)5946261. Email:
[email protected]
138
INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Dian Rachmawati Wasito, Dwi Sarwindah S., Wiwik Sulistiani
digolongkan berdasarkan kekurangannya. Adapun salah satu bagian kelompok yang digolongkan berdasarkan adanya gangguan pada pendengaran, dan kelompok tersebut disebut dengan tuna rungu. Anak tuna rungu dengan keterbatasannya juga berhak mendapatkan pendidikan seperti anak lainnya. Tempat anak tuna rungu memperoleh pendidikan disebut dengan SLB B. Sekolah tersebut menerapkan kurikulum khusus bagi anak dan remaja dengan gangguan pendengaran yang berbasiskan kompetensi berbahasa dan komunikasi untuk menuju kecakapan hidup. Program pendidikan di Indonesia saat ini mulai berkembang, hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa sekolah umum yang mau menerima anak penderita tuna rungu di samping SLB B. Sekolah tersebut biasanya disebut dengan sekolah inklusi. Sekolah inklusi menyediakan guru pembimbing khusus, sarana belajar yang aksesibel seperti alat bantu dengar dan buku berhuruf braile, sarana dan prasarana sekolah yang mendukung ruang gerak dan kurikulum yang lebih elastis. Adanya sekolah inklusi belum mampu memenuhi kebutuhan pendidikan seluruh anak tuna rungu. Hal tersebut terjadi karena banyaknya jumlah anak tuna rungu sehingga membuat anak tuna rungu lebih memilih untuk bersekolah di sekolah umum biasa dengan ketentuan dan fasilitas yang terbatas. Sekolah umum dalam hal ini kurang menekankan pada fasilitas, namun lebih mengarah pada tujuan sekolah yaitu hanya memberikan pada sarana pendidikan. Anak tuna rungu di sekolah umum tentu akan menemukan berbagai permasalahan. Permasalahan yang dihadapi oleh penderita tuna rungu diakibatkan karena adanya keterbatasan yaitu terkait dengan proses komunikasi dan sosialisasi. Anak tuna rungu juga mengalami masalah yaitu tidak mempunyai kemampuan berbahasa yang sesungguhnya sedangkan bila dilihat lebih dalam bahasa merupakan prasyarat dari kemampuan kognisi maka dari itu anak tuna rungu akan mengalami kesulitan dalam berfikir (Delphie, 2006:108). Anak tuna rungu yang bersekolah di sekolah umum akan menghadapi kesulitan dalam bersosialisasi karena keterbatasan dalam berkomunikasi. Hallahan dan Kaufman menjelaskan bahwa anak tuna rungu akan mengalami kesulitan mengikuti petunjuk lisan, INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
berpartisipasi dalam kegiatan oral dan hambatan dalam perkembangan bahasa (Delphie, 2006:103). Anak tuna rungu, dilihat secara perkembangan seperti anak normal, khususnya dalam perkembangan fisik, namun memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara verbal. Anak tuna rungu juga akan tumbuh menjadi seorang remaja. Remaja tuna rungu memiliki tugas perkembangan yang sama dengan remaja normal yaitu melakukan penyesuaian diri dan sosial.Adanya tugas perkembangan untuk pemenuhan penyesuaian diri pada lingkungan sosial tentu membutuhkan usaha yang lebih besar bagi remaja tuna rungu. Remaja tuna rungu akan berhadapan dengan permasalahan terkait dengan hubungan sosial pada lingkungan sekitar khususnya lingkungan sekolah. Proses interaksi sosial memerlukan komunikasi dan hal ini tidak dapat dihindari oleh remaja penderita tuna rungu. Sekolah merupakan tempat anak dan remaja tuna rungu belajar berkomunikasi dan bersosialisasi serta mengembangkan potensi yang dimilikinya. Remaja tuna rungu akan memerlukan penyesuaian diri yang baru ketika berada di lingkungan yang baru. Permasalahan akan muncul ketika remaja tuna rungu berada dalam satu tempat dengan anak reguler di sekolah umum. Selama ini, permasalahan yang dialami penderita tuna rungu adalah kesulitan dalam melakukan komunikasi. Kesulitan yang dimiliki remaja tuna rungu tentu akan lebih susah melakukan penyesuaian diri dan sosial dengan lingkungan biasa yaitu sekolah anak reguler, sehingga remaja tuna rungu juga lebih mudah mengalami frustasi dan memiliki kematangan sosial yang rendah. Kasus berikut merupakan bentuk dari gambaran penyesuaian remaja tuna rungu di sekolah umum. Kasus pertama, Y, merasa tidak berkesulitan dalam hal berkomunikasi karena yang selama ini dilakukan adalah mengalihkan pembicaraan dengan penggunaan tulisan. Y merasa dapat memahami pembicaraan orang lain dengan cara memahami gerak bibir setiap orang. Y tidak merasaberkesulitan dalam menyesuaikan diri dan mampu mengikuti nilai-nilai sosial yang ada di lingkungannya dengan baik. Y memang lebih banyak diam dan pasif dalam lingkungannya. Setelah dibandingkan dengan hasil wawancara dengan significant other, ternyata diperoleh
139
Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum
bahwa subyek cenderung memilih teman dalam bergaul. Y hanya mau berteman dengan beberapa teman saja yang dapat berkomunikasi dengannya dan Y dianggap kurang mampu bergaul dengan seluruh temannya. Kasus kedua, A, merupakan salah satu anak tuna rungu di SMU 66 Jakarta. A merupakan satusatunya anak tuna rungu di sekolah tersebut. Keterbatasan tidak membuat A minder dalam bergaul dan menghilangkan semangat belajarnya. Pada saat pertama masuk sekolahA merasa takut dengan lingkungan baru. A juga pernah diremehkan oleh teman-temannya dengan cara dicurigai nyontek ketika mendapatkan nilai bagus. Pandangan sinis, cemooh, dan tudingan miring dibuktikan melalui hasil semangat belajar. A dapat membuktikan meskipun memiliki kekurangan namun tetap dapat mengikuti pelajaran secara mandiri seperti murid lainnya (http//www.edukasi.kompas.comread/tidak.Bisa. Mendengar.Bukan.Halangan.Ikut.Ujian/ tanggal 20 Februari 2010). Kasus ketiga, AM, seorang model yang juga sekolah di sekolah umum. Pada saat pertama kali AM masuk sekolah umum yang terjadi adalah teman-teman memberikan cemooh dan ejekan sedangkan respon yang muncul adalah pasif karena tidak mengerti apa yang dibicarakan. Pada saat itu, AM sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa bibir yang terbatas. Keterbatasan tersebut membuat komunikasi antara AM dan lingkungannya sulit dipersatukan. AM merasa sangat tertekan yang pada akhirnya menjadi anak tertutup dan rendah diri. Perasaan rendah diri yang membuat AM lebih sering pasif dan memilih menjadi penonton atas semua kegiatan yang dilakukan oleh temannya. Orang tua AM selalu memberikan dukungan sampai akhirnya menjadi s e o r a n g m o d e l (http//www.itsamanda.multiply.Com/journalite m1/ tanggal 21 Februari 2010). Adanya permasalahan di atas ditambah dengan sumber referensi di lapangan peneliti berminat untuk meninjau lebih dalam bagaimana penyesuaian sosial remaja tuna rungu bersekolah di sekolah umum dengan berbagai hambatan baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan.
Penyesuaian Sosial 140
Hurlock (1978:287) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, berarti mempelajari berbagai keterampilan-keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan diplomatis dengan orang lain, baik teman maupun orang yang tidak dikenal, sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan. S c h e n e i d e r ( 1 9 6 4 : 45 5 ) m e n d e f i n i s i k a n penyesuaian sosial sebagai suatu kemampuan untuk memberikan reaksi efektif dan sehat kepada kenyataan sosial, situasi sosial, dan hubungan sosial sebagai pernyataan untuk kehidupan sosial menjadi terpenuhi secara memuaskan dan dapat diterima lingkungan.Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial yaitu emosi dan teman (Hurlock, 1980:233,288). Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kesulitan pada anak untuk melakukan penyesuaian sosial dengan baik yaitu pertama, adanya pola perilaku yang baru dikembangkan di rumah, anak akan mengalami kesulitan untuk melakukan penyesuaian sosial di luar rumah, meskipun anak diberi motivasi yang kuat untuk melakukan. Kedua, bila rumah kurang memberikan model perilaku untuk ditiru, anak akan mengalami hambatan serius dalam penyesuaian sosialnya di luar rumah. Anak yang ditolak oleh orang tuanya atau yang meniru perilaku orang tua yang menyimpang akan mengembangkan kepribadian yang tidak stabil, agresif, yang mendorong anak untuk melakukan tindakan yang penuh dendam atau bahkan kriminalitas, ketika anak beranjak dewasa.Ketiga, kurangnya motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial sering timbul dari pengalaman sosial awal yang tidak menyenangkan di rumah atau di luar rumah. Biasanya anak yang selalu digoda atau diganggu oleh saudaranya yang lebih tua, atau tidak dikehendaki dalam permainan, tidak akan memiliki motivasi yang kuat untuk berusaha melakukan penyesuaian sosial yang baik diluar rumah.Keempat, meskipun memiliki motivasi kuat untuk belajar melakukan penyesuaian sosial yang baik, anak tidak mendapatkan bantuan dan bimbingan yang cukup dalam proses belajar ini. Adapun beberapa faktor yang mencerminkan penyesuaian sosial yang INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Dian Rachmawati Wasito, Dwi Sarwindah S., Wiwik Sulistiani
efektif, yaitu : (1). Mampu melihat kenyataan yang ada sebagaimana adanya, (2). Mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas, (3). Mempunyai ko n s e p d i r i ya n g p o s i t i f, ( 4 ) . Ma m p u mengekspresikan emosi secara positif, (5). Mempunyai hubungan antar pribadi yang baik (Haber dan Ruyon, 1984:25). Hurlock (1978:287) menjelaskan bahwa kriteria penyesuaian sosial yaitu: pertama, penampilan nyata. Bila perilaku sosial anak seperti yang dinilai berdasarkan standar kelompok, memenuhi harapan kelompok, anak akan menjadi anggota kelompok yang akan diterima kelompok. Kedua, Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok. Anak yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok, baik kelompok sebaya maupun kelompok orang dewasa, secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Ketiga, Sikap sosial. Anak harus yang menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasisosial, dan terhadap peran terhadap kelompok sosial, bila ingin dinilai sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. Keempat, kepuasan pribadi. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, anak harus merasa puas terhadap kontak sosial dan terhadap peran dimainkan dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota. Adapun kriteria penyesuaian diri di lingkungan sekolah meliputi beberapa kriteria menurut Scheneider (1964:454) yaitu: pertama, menghargai dan menerima otoritas sekolah, peraturan sekolah, kepala sekolah, dan guru. Kedua, berminat dan berpartisipasi dalam aktivitas sekolah, mau melibatkan diri dalam pada kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh sekolah serta adanya keinginan dalam melibatkan diri dalam aktivitas tersebut. Ketiga, membina relasi sosial yang sehat dan bersahabat dengan teman sekelas, guru dan penasihat sekolah. Keempat, mau menerima tanggung jawab serta batasanbatasan yang dibuat oleh sekolah. Kelima, membantu sekolah dalam mewujudkan tujuan.
Tuna Rungu Tuna rungu ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang diakibatkan karena kerusakan INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
atau kehilangan kemampuan mendengar sedangkan remaja tuna rungu adalah seseorang dengan batasan usia antara 12 hingga 21 tahun yang anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar. Klasifikasi tuna rungu yaitu : pertama, anak tuna rungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight loses). Kedua, Anak tuna rungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 (mild loses). Ketiga, anak tuna rungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60 dB (moderate losses). Keempat, anak tuna rungu yang kehilangan p e n d e n g a ra n a n t a ra 6 0 - 7 5 d B ( s e ve r e loses).Kelima, anak tuna rungu yang kehilangan pendengaran 75 dB ke atas (profoundly loses). Perkembangan anak tuna rungu dalam Sutjihati (2006:97-100), menjelaskan bahwa : pertama, perkembangan kognitif anak tuna rungu dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sehingga hambatan bahasa akan menghambat perkembangan intelegensi anak tuna rungu. Kedua, kekurangan akan pemahaman bahasa lisan atau tulisan seringkali menyebabkan anak tuna rungu menafsirkan sesuatu secara negatif atau salah dan ini sering menjadi tekanan bagi emosinya. Tekanan pada emosinya itu dapat menghambat perkembangan dirinya dengan menampilkan sikap menutup diri, bertindak agresif atau sebaliknya, menampakkan kebimbangan dan keragu-raguan. Ketiga, anak tuna rungu banyak dihinggapi kecemasan karena menghadapi lingkungan yang beranekaragam komunikasinya. Hal seperti ini akan membingungkan anak tuna rungu. Anak tuna rungu sering mengalami berbagai konflik,kebingungan, dan ketakutan karena ia sebenarnya hidup dalam lingkungan yang bermacam-macam. Keempat, perkembangan kepribadian banyak ditentukan oleh hubungan antara anak dan orang tua terutama ibunya. Lebihlebih pada masa awal perkembangannya. Perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan atau perluasan pengalaman pada umumnya dan diarahkan pada faktor anak sendiri. Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tuna rungu yaitu ketidakmampuan menerima rangsang pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktepatan emosi, dan keterbatasan intelegensi dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat
141
Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum
perkembangan.
Penyesuaian Sosial Anak Tuna Rungu Salah satu perangkat pengukuran berupa skala, yang dapat digunakan untuk mengukur perkembangan kematangan sosial anak tuna rungu yaitu The Vineland Social Maturity Test. Beberapa yang menggunakan skala ini menunjukkan: (1). Anak tuna rungu tingkatan kematangan sosial berada di bawah tingkat kematangan sosial anak normal. (2). Anak tuna rungu dari orang tua yang tuna rungu juga menunjukkan relatif matang daripada anak tuna rungu dari orang tua normal. (3). Anak tuna rungu yang berasal dari residental school (sekolah berasrama) menunjukkan social immature (Mohammad, 2006:82). Mohammad (2006:83) menjelaskan bahwa terganggu pendengaran seseorang menyebabkan terbatasnya penguasaan bahasa. Hal ini dapat menghambat kesempatan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Berangkat dari kondisi demikian, seseorang dengan terganggu pendengaran seringkali tampak frustasi. Akibat yang muncul, penderita tuna rungu sering menampakkan sikap-sikap asosial, bermusuhan, atau menarik diri dari lingkungannya. Keadaan ini semakin tidak menguntungkan ketika beban ditambah dengan sikap lingkungan atau tekanan lain yang berasal dari luar diri (teman sebaya, keluarga, masyarakat sekitar) yang berupa cemooh, ejekan, dan bentuk penolakan lain yang sejenis dan berdampak negatif. Hal ini tentu membuat anak tuna rungu semakin tidak aman, bimbang dan ragu-ragu terhadap keberadaan diri.Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan secara kontinum oleh Van Uden (dalam Mohammad, 2006:84) berhasil mencatat beberapa sifat kepribadian anak tuna rungu yang berbeda dengan anak normal, antara lain: (1). Anak tuna rungu lebih egosentris, (2). Anak tuna rungu lebih tergantung pada orang lain dan apa-apa yang sudah dikenal, (3). Perhatian anak tuna rungu lebih sukar dialihkan, (4). Anak tuna rungu lebih memperhatikan yang konkret, (5). Anak tuna rungu lebih miskin dalam fantasi, (6). Anak tuna rungu umumnya mempunyai sifat polos, sederhana, tanpa banyak masalah, (7). Perasaan anak tuna rungu lebih cenderung dalam keadaan ekstrem tanpa banyak nuansa, (8). Anak tuna
142
rungu lebih mudah marah dan lekas tersinggung, (9). Anak tuna rungu kurang mempunyai konsep tentang hubungan, (10). Anak tuna rungu mempunyai perasaan takut akan hidup yang lebih besar.
Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum Hurlock (1978:287) menjelaskan bahwa penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada kelompok umum dan terhadap kelompok pada khusus. Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, berarti mempelajari berbagai keterampilan-keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan diplomatis dengan orang lain, baik teman maupun orang yang tidak dikenal sehingga sikap orang lain terhadap remaja tuna rungu menyenangkan. Tidak semua orang mampu melakukan penyesuaian sosial dengan baik terhadap lingkungan. Banyak individu yang kurang dapat menyesuaikan diri secara sosial maupun pribadi. Remaja dalam hal ini dengan rentang usia 12 hingga 21 tahun mempunyai tugas p e rke m b a n g a n s o s i a l ya i t u m e l a k u k a n penyesuaian diri dan sosial. Pada anak tuna rungu yang seharusnya memperoleh pendidikan di sekolah khusus yaitu SLB B, namun dengan berkembangnya dunia pendidikan ternyata anak tuna rungu dapat diterima di sekolah umum bila memenuhi ketentuan yang telah ada. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 2/U/1986 telah menyatakan anak cacat bisa ke sekolah umum, apabila siswa tersebut memiliki inteligensi normal. Anak tuna rungu dalam upaya untuk mengembangkan potensi dapat dilakukan dengan berbagai hal, dan salah satunya adalah mengembangkan proses berkomunikasi dan melakukan penyesuaian diri dan sosial. Pendidikan yang didirikan oleh pemerintah membantu dalam memfasilitasi pengembangan remaja tuna rungu. Pendidikan yang diberikan bertujuan untuk anak tuna rungu mampu mengenal dan menyadari keadaan dirinya, kemudian bersikap positif terhadap keadaannya. Pemberian pengetahuan dan keterampilan dan bermanfaat untuk memberikan
INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Dian Rachmawati Wasito, Dwi Sarwindah S., Wiwik Sulistiani
rehabilitasi untuk remaja tuna rungu. Departemen Pe n d i d i k a n d a n Ke b u d ay a a n ( 1 9 7 7 : 8 1 ) menjelaskan bahwa sekolah umum mampu menerima remaja tuna rungu, tentu dengan adanya ketentuan yang telah dipenuhi dan program ini biasa disebut dengan integrasi. Integrasi dilakukan ketika anak tuna rungu mengalami perkembangan dalam hal pendidikan, maka penderita tuna rungu dapat melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi bersama dengan anakanak yang mendengar. Adanya lingkungan yang berbeda tentu menimbulkan masalah baru bagi remaja tuna rungu. Pendengaran yang terganggu menyebabkan terbatas dalam penguasaan bahasa. Hal ini dapat menghambat kesempatan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Berangkat dari kondisi demikian, seseorang dengan terganggunya pendengaran seringkali t a m p a k f r u s t a s i . A k i b a t ny a , i a s e r i n g menampakkan sikap-sikap asosialnya, bermusuhan, atau menarik diri dari lingkungannya. Keadaan ini semakin tidak menguntungkan ketika beban ditambah dengan sikap lingkungan atau tekanan lain yang berasal dari luar diri (teman sebaya, keluarga, masyarakat sekitar) yang berupa cemooh, ejekan, dan bentuk penolakan lain yang sejenis dan berdampak negatif. Hal ini tentu membuat anak tuna rungu semakin tidak aman, bimbang dan ragu-ragu terhadap keberadaan diri (Mohammad, 2006:83). Adanya permasalahan di atas dapat dilihat gambaran permasalahan yang dihadapi remaja tuna rungu dalam lingkungan. Remaja tuna rungu yang berhasil mengatasi permasalahannya dengan baik akan membantu proses penyesuaian sosial dengan lingkungannya karena adanya penerimaan yang baik di dalam kelompok sosial dengan keterbatasan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus yang akan mengkaji secara mendalam penyesuaian sosial remaja tuna rungu yang bersekolah di sekolah umum. Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah pertama, menghargai dan menerima otoritas sekolah, peraturan sekolah, kepala
INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
sekolah, dan guru.Kedua,berminat dan berpartisipasi dalam aktivitas sekolah, mau melibatkan diri dalam pada kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh sekolah serta adanya keinginan dalam melibatkan diri dalam aktivitas tersebut. Ketiga,membina relasi sosial yang sehat dan bersahabat dengan teman sekelas, guru dan penasihat sekolah. Keempat, mau menerima tanggung jawab serta batasan-batasan yang dibuat oleh sekolah, Kelima, membantu sekolah dalam mewujudkan tujuan.Keenam, penampilan nyata. Ketujuh, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok. Kedelapan,sikap sosial. Kesembilan,kepuasan pribadi. Lokasi dalam penelitian ini adalah SMKN Negeri 8 Surabaya.Subyek penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah siswa tuna rungu yang berada di SMK Negeri 8 Surabaya. Proses pemilihan subyek selaku informan inti sendiri dilakukan melalui tahap pengisian kuisionaire sederhana. Siswatuna rungu yang berjumlah 7 orang akan diambil 3 orang sebagai subyek penelitian setelah melalui proses pemilihan berdasarkan karakteristik-karakteristik berikut: remaja tuna rungu yang bersekolah di sekolah umum, remaja yang memiliki rentang usia antara 12 -21 tahun, tidak menggunakan alat bantu pendengaran ,berasal dari keluarga menengah,memiliki penyesuaian yang cukup efisien ketika di sekolah yang dilihat berdasarkan hasil kuisionaire yang menjelaskan bahwa subyek memiliki penampilan nyata yang baik, mampu melakukan penyesuaian diri terhadap kelompok, memiliki sikap sosial yang cukup baik, dan kepuasan pribadi yang cukup baik. Data wawancara tidak hanya diperoleh dari ketiga subyek yang memenuhi kriteria. Data penunjang juga diperoleh dari hasil wawancara guru, orang tua, dan teman dari masing-masing subyek selaku signifikan other. Penelitian ini digunakan dua teknik pengambilan data yaitu wawancara dan observasi kelas. Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dalam bentuk rating scale. Teknik analisis yang digunakan dalam peneltian ini adalah teknik penelitian tematik. Kredibilitas dalam penelitian ini adalah trianggulasi yaitu triangulasi data dan teori, uji transferabilitas dalam mengarah pada adanya prosedure pengambilan sampel diarahkan pada unit-unit
143
Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum
esensial dan tipikal dari karakteristik subyek yang diteliti, dan unit-unit teoritis digunakan tersebut ditentukan sesuai dengan pemahaman konseptual terhadap subyek atau topik yang diteliti, sedangkan uji dependabilitas yang digunakan adalah keterbukaan yaitu sejauh mana peneliti membuka diri dengan memanfaatkan metodemetode yang berbeda untuk mencapai tujuan yaitu menggunakan metode wawancara dan observasi dan diskursus yaitu sejauh mana dan seintensif apa peneliti mendiskusikan temuan analisis dengan orang lain yang dimana dalam hal ini hasil wawancara didiskusikan dengan orang tua, teman dan guru selaku significant other.
Persiapan Penelitian Dalam penelitian ini secara proses diawali dengan penyebaran kuisionair. Kuisionair dalam hal ini hanya berbentuk kuisionaire sederhana. Kuisionair dalam hal ini dibuat sederhana dengan menggunakan kategori menurut Hurlock(1978:287) yaitu penampilan nyata, penyesuaian terhadap berbagai kelompok, sikap sosial, dan kepuasan diri. Setelah diberikan kuisionair diambil 3 subyek yang berusia remaja yaitu 17 hingga 18 tahun, berasal dari keluarga menengah, tidak menggunakan alat pendengaran, serta memiliki penyesuaian sosial di sekolah cukup baik. Ketiga subyek yang telah dipilah akan diobservasi selama 7 hari di dalam kelas, selain itu ketiga subyek juga akan di wawancarai 3 hingga 4 kali untuk menggali informasi terkait penyesuaian sosial remaja tuna rungu yang bersekolah di sekolah umum. Informasi ketiga subyek juga akan dibandingkan dengan tidak significant other yaitu orang tua atau ibu, guru dan teman subyek.
HASIL DAN BAHASAN Berdasarkan data yang telah didapatkan oleh peneliti, antara ketiga subyek terdapat beberapa perbedaan terkait cara subyek dalam melakukan penyesuaian sosial di sekolah. Perbedaan tersebut dipengaruhi beberapa faktor yang salah satunya adalah dukungan orang tua. Ketiga subyek Y,A, dan F mendapatkan dukungan dari orang tua walaupun kapasitas setiap anak berbeda namun adanya dukungan dari keluarga membantu proses penyesuaian sosial yang efisien. Pada Y, dukungan
144
yang diberikan oleh orang tua adalah perhatian yang diberikan dalam bentuk pertanyaan tentang aktivitas dan kegiatan yang dilakukan setiap hari. Ibu subyek juga mencari tahu apabila ada masalah yang dimiliki. Ibu subyek tidak mampu mengikuti perkembangan subyek secara mendetail karena orang tua juga harus bekerja. Ibu Y ikut serta dalam mengawasi perkembangan subyek saat pertama kali masuk sekolah dan berusaha mencari informasi tentang hal yang harus dilakukan Y saat pertama kali masuk sekolah. A mendapatkan dukungan berupa perhatian penuh dan kepercayaan. Ibu juga sangat memperhatikan perkembangan bakat dan minat agar dapat diketahui bakat yang dimiliki oleh anak. Ibu subyek fokus memberikan dukungan perkembangan anak karena ibu A adalah ibu rumah tangga. Perhatian yang juga diberikan oleh ibu A adalah membiasakan anak untuk menceritakan masalah setiap hari dan meningkatkan kepercayaan diri subyek dengan melihat kelebihan yang dimiliki. F mendapatkan dukungan berupa perhatian. Orang tua subyek selalu berusaha untuk menghilangkan rasa rendah diri yang dirasakan subyek dengan cara bekerja sama dengan wali kelas untuk memantau perkembangan F dan mencarikan teman untuk mau menemani F. F juga dibiasakan untuk menceritakan segala aktivitas setiap malam dan masalah apa yang terjadi pada saat di sekolah. Dukungan yang diberikan pada setiap anak berbeda dan hal ini mempengaruhi proses penyesuaian sosial. Hal ini terjadi karena seperti diketahui bahwasifat hubungan yang terjadi antara anak dengan orang tua pada tahun-tahun pertama kehidupan akan menentukan corak hubungan antara anak dengan lingkungan sosial sekitar dikemudian hari (Mohammad, 2006:8384). Setiap subyek memiliki kehilangan pendengaran pada taraf yang berbeda yaitu Y dan F kehilangan pendengaran sedang dan total sedangkan A kehilangan pendengaran pada tahap berat. Selain itu, pengalaman subyek masuk sekolah umum pada pendidikan sebelum SMK juga tidak secara keseluruhan mempengaruhi membantu subyek untuk melakukan penyesuaian sosial yang efektif. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan kemampuan setiap subyek penelitian dalam melakukan penyesuaian sosial. Subyek Y INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Dian Rachmawati Wasito, Dwi Sarwindah S., Wiwik Sulistiani
baru masuk sekolah umum pada saat SMK namun Y sangat mampu melakukan penyesuaian sosial p a d a s a a t d i s e ko l a h wa l a u p u n h a r u s mendapatkan penerimaan negatif dari lingkungan kelas seperti diganggu oleh teman, ada beberapa teman yang tidak mau berkelompok dengan Y karena keterbatasan, dipaksa membantu teman walaupun Y sedang sibuk dengan pekerjaan sendiri. Subyek A masuk sekolah umum sejak Sekolah Dasar. A mampu melakukan penyesuaian sosial namun tidak mampu membina kepercayaan yang pada teman dan sangat tertutup. A hanya mau bercerita masalah dengan ibu dan tidak pada teman. A sama sekali tidak mau berbagai rahasia dengan teman. A lebih suka diam dan tidak banyak bicara. Subyek F mulai masuk sekolah umum pada saat SMP namun F cukup mampu melakukan penyesuaian sosial secara efektif namun kurang mampu membina hubungan baik dengan guru dan teman karena keterbatasan dalam bahasa membuat subyek F lebih suka sendiri. F susah memahami pembicaraan guru dan teman begitu juga lawan bicara. F pada guru atau teman atau sebaliknya seringkali salah dalam menerima informasi sehingga F lebih memilih untuk diam. Penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pengalaman masa lalu tidak secara penuh mempengaruhi pembentukan penyesuaian sosial yang efektif. Beberapa faktor yang mencerminkan penyesuaian sosial yang efektif, yaitu: (1). Mampu melihat kenyataan yang ada sebagaimana adanya, (2). Mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas, (3). Mempunyai konsep diri yang positif, (4). Mampu mengekspresikan emosi secara positif, (5). Mempunyai hubungan antar pribadi yang baik (Haber dan Ruyon 1984:25). Penyesuaian sosial dalam hal ini dilihat menggunakan sembilan kategori. Pada kategori pertama, yaitu menghargai dan menerima otoritas sekolah, peraturan sekolah, kepala sekolah, dan guru. Ketiga subyek memiliki keasamaan dalam kategori ini yaitu setiap subyek Y, A dan F samasama mengenal peraturan yang sederhana dalam bentuk peraturan tertulis namun kurang memahami adanya peraturan tidak tertulis. Y, A, dan F mengenal bahwa peraturan yang ada di sekolah seperti tidak boleh terlambat, memakai seragam, dilarang merokok, dilarang membolos sedangkan untuk peraturan tertulis, Y, A, dan F menjelaskan bahwa peraturan selain peraturan INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
yang dijelaskan di atas adalah tidak ada karena peraturan yang ada hanya yang telah disebutkan diatas sama seperti anak yang lain. Adanya pemahaman tentang pengetahuan sederhana dan kurang pemahaman atas peraturan tidak tertulis disebabkan karena kehilangan pendengaran yang menyebabkan miskin kosakata, sulit mengartikan kata kiasan (Sutjiati, 2006:100). Ketiga subyek memang terbatas dalam hal bahasa namun subyek Y, A, dan F termasuk anak yang mampu menghargai guru dan kepala sekolah serta taat pada peraturan yang dibuat oleh guru dikelas. Hal tersebut ditunjukkan bahwa ketiga subyek tidak pernah mendapatkan teguran keras baik dari guru maupun kepala sekolah. Y, A, dan F mampu mengikuti pelajaran dengan tertib dan taat pada peraturan selama di dalam kelas. Peraturan yang kemungkinan dilanggar oleh ketiga subyek adalah terlambat sekolah dan mengobrol di sekolah. Perilaku yang ditampilkan Y, A, dan F menunjukkan bahwa ketiga subyek mampu menerima norma yang dibuat oleh lingkungan sekolah sedangkan anak tuna rungu seringkali mengalami hambatan sehingga sulit menerima norma di lingkungan (Sutjiati, 2006:101). Adanya gangguan pendengaran pada seseorang menyebabkan terbatas dalam penguasaan bahasa. Hal ini dapat menghambat kesempatan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Berangkat dari kondisi demikian, seseorang dengan terganggu pendengaran seringkali tampak frustasi. Akibatnya, penderita tuna rungu sering menampakkan sikap-sikap asosialnya, bermusuhan, atau menarik diri dari lingkungan (Mohammad, 2006:83). Pada ketiga subyek tidak menampakkan hal yang seperti dijelaskan dalam pernyataan di atas. Y, A, dan F berminat dalam aktivitas sekolah. Adanya gangguan pendengaran tidak membuat ketiga subyek merasa malu untuk ikut serta dalam aktivitas sekolah. Y, A, dan F memang tidak mengikuti kegiatan organisasi yang diadakan sekolah karena keterbatasan dalam berkomunikasi namun ketiga subyek tidak menarik diri. A, Y, dan F mengikuti kegiatan sekolah yang mungkin dapat diikuti seperti kegiatan ekstrakurikuler yaitu basket dan berenang. Ketiga subyek mengikuti kegiatan tersebut dengan cara memperhatikan gerakan
145
Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum
yang dipraktekkan guru atau teman dan mengikuti latihan secara rutin. Penyesuaian sosial juga dikatakan efektif apabila mampu membina hubungan antar pribadi yang baik (Haber dan Ruyon, 1984:25). Proses membina hubungan antar pribadi yang baik masuk dalam satu kategori penyesuaian sosial di sekolah yaitu mampu membina relasi sosial yang sehat dan bersahabat dengan teman sekelas, guru dan perangkat sekolah. Kemampuan subyek dalam membina relasi sosial berbeda satu sama lain. Subyek Y dan A mampu membina hubungan pribadi yang baik dengan teman dan guru sedangkan F kurang mampu membina hubungan pribadi yang baik karena masih terbatas dalam hal berkomunikasi. F lebih sering menyendiri dan terkucilkan ketika di kelas. Hubungan F dengan guru dan teman sulit, karena merasa terhambat untuk berkomunikasi. F sering terkucilkan karena kurang memahami hal yang dibicarakan teman dan mengeluarkan suara keras ketika diajak bicara dan kurang menunjukkan respon ketika diajak bicara. Y merasa diperlakukan buruk, yaitu seringkali diganggu dan dipaksa melakukan pekerjaan yang tidak ingin Y lakukan oleh teman dikelas, namun subyek mampu berteman dengan beberapa teman dekat yang mau menerima keterbatasan. A dan F diperlakukan baik oleh lingkungan kelas. A mampu membina relasi sosial yang sehat dan bersahabat dengan teman sekelas namun A tertutup dan tidak mau menceritakan masalah pada teman dekat. A hanya mau menceritakan semua masalah pada ibu dan bukan pada teman. Setiap subyek memiliki hambatan tersendiri dalam membina hubungan pribadi yang baik namun ketiga subyek berusaha untuk mampu bersikap sopan dan menghargai guru dan kepala sekolah. Y, A, dan F mau memberi salam dan mencium tangan ketika bertemu dengan guru atau kepala sekolah. Ketiga subyek mau mendengarkan perintah guru dan tertib pada saat di kelas. Ketiga subyek juga berusaha untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan cara berbicara dengan bahasa biasa dan memperjelas dalam bentuk tulisan apabila proses pembicaraan sulit dimengerti. Ketiga subyek juga berusaha untuk berinteraksi dengan teman di kelas. Sebagai seorang siswa, ketiga subyek wajib menerima tanggung jawab serta batasan-batasan
146
yang dibuat oleh sekolah. Sekolah memiliki cara tersendiri untuk mengenalkan peraturan sekolah yaitu dengan cara memberikan edaran untuk o ra n g t u a s e h i n g g a s i s wa t u n a r u n g u mendapatkan perlakukan yang sama seperti siswa yang lain. Y, A, dan F merupakan siswa dengan gangguan pendengaran dan seperti yang diketahui bahwa anak tersebut mengalami hambatan sehingga sulit menerima norma lingkungan (Sutjiati, 2006:101). Adanya penjelasan di atas diperoleh bahwa anak tuna rungu seringkali sulit menerima norma yang ada karena kurang dikenalkan oleh lingkungan. Di sekolah umum, ketiga subyek di perlakukan sama dengan siswa lain yaitu diberi surat edaran sehingga mampu mengetahui peraturan yang berlaku di sekolah. Hal tersebut ditunjukkan bahwa ketiga subyek tidak pernah melanggar peraturan sekolah seperti tidak membolos sekolah. Pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh ketiga subyek adalah terlambat sekolah. Ketiga subyek mampu menerima dan melaksanakan norma dan aturan yang ada di sekolah. Proses penyesuaian sosial dapat dilihat melalui tingkat kematangan sosial individu, sedangkan penerimaan nilai sosial bagi anak tuna rungu merupakan jembatan dalam pengembangan kematangan sosial. Siregar (dalam Mohammad, 2006:83) berpendapat untuk mencapai kematangan sosial, anak tuna rungu paling tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai nilai-nilai sosial dan kebiasaan di masyarakat dan mempunyai kesempatan yang banyak untuk menerapkan pengetahuanpengetahuan tersebut (Mohammad, 2006: 83). Adanya informasi dari sekolah membuat ketiga subyek berusaha untuk mematuhi peraturan yang ada. Adanya pelanggaran yang terjadi pada subyek seringkali disebabkan oleh kesalahpahaman menerima informasi seperti adanya informasi terkait dengan pengumuman yang hanya dibicarakan dari mulut ke mulut yang kemudian tidak didengar oleh ketiga subyek. Pelanggaran yang biasa dilakukan oleh ketiga subyek adalah terlambat sekolah. Proses pelaksanaan peraturan diterapkan melalui dua cara yaitu patuh pada peraturan yang ikut serta untuk mencegah terjadi pelanggaran. Ketiga subyek dengan keterbatasan lebih banyak menunjukkan diam ketika melihat teman yang melakukan pelanggaran namun tidak INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Dian Rachmawati Wasito, Dwi Sarwindah S., Wiwik Sulistiani
dengan subyek Y. Y mampu menegur teman yang melakukan perilaku pelanggaran. Sikap diam oleh subyek A dan F disebabkan oleh sifat salah satu penderita tuna rungu yaitu polos, sederhana, dan tanpa banyak masalah (Mohammad, 2006:84). Setiap siswa di sekolah juga ikut berperan dalam mewujudkan tujuan sekolah termasuk siswa tuna rungu. Cara yang yang dapat dilakukan oleh ketiga subyek selaku siswa tuna rungu adalah hampir sama. Ketiga subyek menunjukkan kebanggaan sebagai siswa SMK Negeri 8 Surabaya. Ketiga subyek tetap merasa senang dan mau berusaha untuk diterima di lingkungan walaupun pada subyek Y mengalami penerimaan sosial kelas yang buruk yaitu sering diganggu dan dipaksa oleh teman dan F yang merasa terkucilkan karena kesulitan dalam berkomunikasi ketika di dalam kelas. Upaya perwujudan sekolah dapat dilakukan berbagai cara seperti berprestasi di kelas, tidak melakukan pelanggaran yang dapat menyebabkan membawa nama buruk sekolah, dan menunjukkan mampu berprestasi membawa nama baik sekolah. Pencapaian kematangan sosial yang merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam penyesuaian sosial yaitu dengan cara cukup mendapatkan kesempatan mengalami berbagai macam bentuk hubungan sosial dan mempunyai dorongan untuk mencari pengalaman di atas (Mohammad, 2006:83). Y, A, dan F sebagai siswa yang memiliki keterbatasan berusaha untuk melakukan hal yang bisa dilakukan. Ketiga subyek berusaha untuk mencari pengalaman dalam bentuk hubungan sosial dengan lingkungan sekolah. Ketiga subyek berusaha menunjukkan bahwa Y, A, dan F ikut serta dalam mewujudkan tujuan sekolah. Y berusaha berprestasi pada pelajaran yang disukai dan pelajaran yang dianggap mudah oleh subyek adalah pelajaran yang lebih mengutamakan praktek namun belum mampu mengikuti lomba untuk mewakili sekolah. A berusaha menjaga sikap dengan cara tidak melakukan pelanggaran sekolah ketika menggunakan seragam, memiliki nilai yang cukup baik dalam pelajaran yang disukai, yaitu matematika dan kewarganegaraan, namun tidak mau mewakili sekolah untuk mengikuti lomba karena tidak ingin mencampuradukkan urusan pendidikan dengan hobi A di bidang modelling. F INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
mampu memiliki nilai cukup baik pada pelajaran matematika, tidak melakukan pelanggaran sekolah, namun belum pernah dikirim lomba untuk mewakili sekolah. Setiap siswa berusaha untuk memberikan penampilan nyata yang baik terhadap lingkungan sekolah. Hal ini dilakukan sebagai upaya siswa untuk mampu diterima di lingkungan sekolah baik oleh guru maupun teman. Penampilan nyata yang baik dapat dilihat baik apabila perilaku sosial anak yang dinilai berdasarkan standar kelompok, memenuhi harapan kelompok, anak akan menjadi anggota kelompok yang akan diterima kelompok (Hurlock, 1980:287). Penampilan nyata yang diberikan ketiga subyek pada teman adalah mau membantu teman walaupun hanya memberikan bantuan sederhana seperti memberi pinjaman buku, membeli makanan di kantin atau piket kelas. Ketiga subyek juga berusaha untuk berinteraksi dengan teman tanpa malu dengan keterbatasan dan mampu berdiskusi dengan teman. A dan Y mampu menampilkan sikap ramah pada siswa di luar dan dalam kelas, yaitu mau tersenyum ketika bertemu teman luar kenal di jalan. Ketiga subyek mampu membina hubungan antar pribadi yang baik dan memiliki konsep diri yang positif yang merupakan bagian dari faktor penyesuaian sosial yang efektif (Haber dan Ruyon, 1984:25). Penampilan nyata pada teman juga dilihat melalui cara subyek dalam menghadapi teman yang marah. Y tidak pernah marah pada teman walaupun teman di kelas bersikap sewenangwenang. Sikap yang ditampilkan Y adalah hanya menggerutu, A tidak pernah marah namun mau memberikan perlawanan apabila teman bersikap sewenang-wenang, F tidak pernah marah pada teman namun lebih sering dimarahi karena sering salah paham dan respon subyek F adalah diam. Salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah emosi. Emosi memainkan peran penting dalam menentukan cara penyesuaian pribadi dan sosial yang akan dilakukan anak, tidak hanya dalam masa kanakkanak tetapi juga setelah mereka tumbuh tumbuh menjadi remaja dan dewasa maka perkembangan emosi individu harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan penyesuaian yang baik (Hurlock, 2006:233). Bentuk emosi yang ditampilkan ketiga subyek berbeda-beda dan penyaluran emosi yang
147
Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum
berlebihan tidak muncul walaupun lingkungan tidak memahami keadaan subyek. Ketiga subyek mampu menekan emosi ketika menghadapi perasaan marah dan berusaha memberikan ekspresi emosi positif. Penampilan nyata juga ditunjukkan pada guru, kepala sekolah dan lingkungan sekolah. Kematangan sosial merupakan salah satu satu syarat yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam penyesuaian sosial dan kematangan anak tuna rungu diharapkan memiliki yaitu cukup mendapatkan kesempatan mengalami berbagai macam bentuk hubungan sosial dan mempunyai dorongan untuk mencari pengalaman (Mohammad, 2006:83). Y, A, dan F berusaha untuk membina hubungan sosial yang baik dengan guru dengan cara bersikap sopan pada guru yang ada di kelas, bersikap baik dengan cara memberi salam ketika bertemu kepala sekolah. Cara yang dilakukan oleh ketiga subyek adalah mampu mendengarkan perintah guru dan bersikap ramah terhadap guru ketika di kelas seperti dengan cara berusaha untuk tetap tenang ketika di kelas, memperhatikan ketika guru mendengarkan, melaksanakan tugas dari guru yang bersangkutan dan mau menjawab ketika diajak berbicara oleh guru. Lingkungan yang berbeda tidak membuat ketiga subyek merasa malu dengan kekurangan y a n g d i m i l i k i . K e t i g a s u b ye k m a m p u mendapatkan penerimaan yang cukup baik dari lingkungan kelas. Ketiga subyek mampu mencerminkan penyesuian sosial yang efektif yaitu mampu mengatasi rasa tertekan dan cemas dan mampu mengekspresikan emosi secara positif (Haber dan Ruyon, 1984:25). Y, A, dan F mampu mengatasi perasaan malu serta kurang percaya diri subyek sehingga mampu berinteraksi dengan teman sekelas ketika beristirahat yang dalam hal ini ditunjukkan melalui pengisian kegiatan waktu istirahat dengan pergi ke kantin bersama teman. Proses membina hubungan sosial di sekolah membutuhkan penyesuaian diri terhadap kelompok. Anak yang mampu melakukan penyesuaian diri yang baik terhadap kelompok baik kelompok sebaya maupun dewasa secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik (Hurlock, 1978:287). Proses penyesuaian diri terhadap kelompok dilakukan ketiga subyek dengan cara
148
berbeda. Y dan A akan cuek dan diam ketika lingkungan kurang menyukai sedangkan F berusaha mendapatkan teman lain ketika ada teman tidak menyukai subyek. A tidak sama seperti Y dan F ketika menghadapi masalah. A mau memberikan perlawanan diri apabila merasa teman berlaku sangat sewenang-wenang sedangkan Y dan F hanya diam. Berdasarkan sifat dan kepribadian anak tuna rungu menunjukkan bahwa anak tuna rungu mempunyai sifat polos, s e d e r h a n a d a n t a n p a b a nya k m a s a l a h (Mohammad, 2006:84). Ketiga subyek memilih diam atau berusaha untuk mencari jalan lain dari pada mempermasalahkan keadaan lingkungan yang dianggap kurang menghargai subyek namun selama ini ketiga subyek masih diperlakukan cukup baik dari lingkungan sekolah. Bentuk penyesuaian diri terhadap teman yang juga dilakukan oleh ketiga subyek adalah mau meminta maaf ketika melakukan sebuah kesalahan. Proses penyesuaian diri terhadap kelompok juga dapat dilihat melalui kegiatan di kelas yaitu proses kerja kelompok. Ketiga subyek selalu bekerja kelompok dengan teman dekat yang mau membantu. Ketiga subyek berkelompok dengan teman yang sama yang mau menerima keterbatasan dan serta dapat membantu mengajarkan ketika ada tugas kelompok. Berdasarkan salah satu sifat kepribadian anak tuna rungu adalah lebih tergantung pada orang lain dan apa-apa yang sudah dikenal (Mohammad, 2006:84). Y, A, dan F berusaha bekerja sama dengan teman dalam melakukan tugas kelompok. Ketiga subyek akan melakukan tugas yang mungkin mampu dikerjakan oleh subyek seperti mengetik, menulis dan lain-lain. Proses pemilihan kelompok dari ketiga subyek terjadi perbedaan. A dan F mampu memilih anggota kelompok secara mandiri sedangkan Y dipilihkan oleh guru subyek. Hal ini terjadi karena tidak semua teman subyek Y mau menerima keterbatasan subyek. Adanya sikap lingkungan atau tekanan lain yang berasal dari luar diri (teman sebaya, keluarga, masyarakat sekitar) yang berupa cemooh, ejekan, dan bentuk penolakan lain yang sejenis dan berdampak negatif. Hal ini tentu membuat anak tuna rungu semakin tidak aman, bimbang dan ragu-ragu terhadap keberadaan diri penderita tuna rungu (Mohammad, 2006:83). Y dalam hal ini mampu mengatasi penolakan yang diberikan oleh INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Dian Rachmawati Wasito, Dwi Sarwindah S., Wiwik Sulistiani
lingkungan sehingga tetap mampu bekerja sama dengan teman yang mau membantu dan menerima keterbatasan subyek. Salah satu kriteria penyesuaian sosial adalah sikap sosial. Anak harus yang menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial, dan terhadap peran kelompok sosial, bila ingin dinilai sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, bila ingin dinilai sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial (Hurlock, 1978:287). Sikap sosial yang ditunjukkan Y, A, dan F cukup berbeda. A dan Y sering bercanda dan berkomunikasi dengan teman sedangkan F lebih suka menyendiri karena merasa terhambat dalam hal berkomunikasi. A dan Y mampu membina hubungan baik dengan teman di kelas dan mampu mengekspresikan emosi tertekan pada lingkungan yang berbeda dengan cara berusaha untuk berinteraksi dengan teman di kelas. F lebih senang sendiri karena merasa lingkungan kurang mampu memahami bahasa. F kurang mampu membina hubungan pribadi dengan teman serta kurang mampu menekan rasa rendah diri terhadap keterbatasan sehingga lebih suka sendiri. Beberapa faktor yang mencerminkan penyesuaian sosial yang efektif, yaitu mampu mengekspresikan emosi secara positif dan mempunyai hubungan antar pribadi yang baik (Haber dan Ruyon, 1984:25). Y, A, dan F memiliki kepedulian terhadap teman yang memiliki kesulitan atau memerlukan bantuan. Ketiga subyek mempunyai inisiatif untuk menjenguk teman yang sedang sakit walaupun terkadang terhadang oleh jarak rumah subyek yang jauh dengan teman yang sakit. Y dan F juga mau memberikan perhatian ketika teman sedang bersedih namun A sedikit lebih kurang perhatian terhadap lingkungan. Y akan bertanya penyebab dari kesedihan teman namun subyek tidak berani untuk bertindak lebih jauh, sedang F berusaha untuk menghibur teman subyek yang sedang bersedih ketika berkesempatan dan menganjurkan untuk sabar. F, A, dan Y memiliki sikap sosial yang tinggi. Y mau peduli, berbagi dan menolong temannya yang mengalami kesulitan. Hal tersebut ditunjukkan bahwa Y mau menunggui temannya yang mencontek pekerjaan rumah miliknya, membantu merapikan dan menyediakan alat praktek untuk INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
teman, membantu teman untuk mencuci alat. F termasuk anak yang cukup peduli pada teman. F mampu berbagi dengan teman. Hal tersebut ditunjukkan melalui perilaku yang muncul seperti mau memberikan contekan pada teman, meminjami teman penghapus dan memberikan perhatian pada teman dengan cara memberikan teman tisu tanpa dimintai terlebih dahulu. A juga mau peduli dan mau berbagi dengan teman. Perilaku peduli dan mau berbagi dapat ditunjukkan melalui perilaku meminjami penghapus dan berbagi buku milik dengan teman. Adanya penjelasan diatas dapat dilihat bahwa ketiga subyek memiliki empati yang baik pada teman sekitar. Empati merupakan bagian dari kematangan emosi. Emosi memainkan peran penting dalam menentukan cara penyesuaian pribadi dan sosial yang akan dilakukan anak, tidak hanya dalam masa kanak-kanak tetapi juga setelah mereka tumbuh menjadi remaja dan dewasa maka perkembangan emosi individu harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan penyesuaian yang baik (Hurlock, 1980:233). Kepuasan pribadi merupakan salah satu bagian dari penyesuaian sosial yang paling menentukan. Proses untuk menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, anak harus merasa puas terhadap kontak sosial dan terhadap peran dimainkan dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota (Hurlock, 1978:287). Kepuasan diri sangat penting bagi setiap orang. Remaja tuna rungu dengan keterbatasan yang dimiliki memerlukan adanya dukungan dan bimbingan untuk mampu memunculkan kepuasan diri. Adanya dukungan dari orang terdekat sangat membantu penyesuaian sosial karena meskipun memiliki motivasi kuat untuk belajar melakukan penyesuaian sosial yang baik, anak tidak mendapatkan bantuan dan bimbingan yang cukup dalam proses belajar ini (Hurlock, 1980:288). Y dan A memiliki kepuasan diri yang baik. Hal tersebut dapat dilihat adanya keterbatasan yang dimiliki tidak membuat subyek merasa rendah diri. Hal tersebut ditunjukkan melalui hasil wawancara yang menjelaskan bahwa Y tidak merasa malu dan terganggu dengan kekurangan yang dimiliki dan subyek cuek terhadap lingkungan yang ada, sedangkan A tidak merasa malu dengan kekurangan yang dimiliki karena
149
Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum
subyek merasa memiliki kelebihan yang tidak dimiliki teman. F memiliki kepuasan diri lebih rendah daripada A dan Y. Hal tersebut ditunjukkan melalui F merasa sedikit malu karena kesulitan dalam hal berkomunikasi, namun subyek berusaha untuk memberanikan diri berkomunikasi dengan teman subyek. Ketiga subyek memiliki kepuasan diri yang baik, karena didukung oleh orang terdekat yaitu ibu. Ibu berperan dalam memberikan bimbingan dan bantuan bagi ketiga subyek, selain itu meningkatkan rasa kepercayaan diri dalam menghadapi lingkungan sosial sekolah yang terkadang memberikan penolakan secara tidak langsung. Kepuasan pribadi subyek F berbeda dengan subyek A dan Y. Subyek F sedikit malu dengan kekurangan yang dimiliki, namun berusaha menutupi kekurangan dengan mau berkomunikasi dengan orang lain, sedangkan A dan Y tidak merasa malu dan merasa cuek dengan keadaan lingkungan. Ketiga subyek memiliki perbedaan dalam memandang keterbatasan yang dimiliki. A dan Y mampu memiliki rasa percaya diri yang tinggi sehingga tidak merasa malu dengan keterbatasan yang dimiliki berbeda dengan F yang sedikit malu dengan keterbatasan yang dimiliki. Penyesuaian sosial yang efektif juga dicerminkan melalui adanya konsep diri yang positif (Haber dan Ruyon, 1984:25) Kepuasan diri dipengaruhi oleh adanya kekurangan dan kelebihan oleh subyek. Kelebihan Y yaitu baik, jujur dan bertanggung jawab dan kekurangan Y adalah cuek dan keras kepala. A memiliki yaitu baik, cantik, namun kekurangan yang A miliki yaitu pilih-pilih teman dan sangat tertutup. F memiliki kelebihan, yaitu sifat baik, suka menolong, dan ramah. Kekurangan yang dimiliki F yaitu sulit berkomunikasi dengan teman. Adanya kekurangan dan kelebihan dari masing-masing subyek mempengaruhi proses penyesuaian sosial. Subyek Y cuek, hal ini membantu ketika subyek mendapatkan penolakan secara tidak langsung dari lingkungan maka Y masih mampu untuk menerima keadaan. A memiliki sifat yang sangat tertutup. A hanya mau menceritakan masalah pada ibu, bukan teman. Hal ini menjadi sedikit masalah dalam membina relasi sosial yang sehat dan bersahabat dengan teman. A terlihat lebih banyak diam. Sifat tertutup
150
terjadi karena subyek sangat dekat dengan ibu, sehingga keakraban lebih diberikan pada orang tua yaitu ibu. A belum mampu memenuhi tugas p e rke m b a n g a n re m a j a , ya i t u b e r u s a h a melepaskan diri dari ketergantungan emosi terhadap orang tua (Sarwono, 2006:40-41). Ketiga subyek cuek terhadap lingkungan dan lebih memilih diam, pasrah dan bersabar ketika lingkungan mengejek. Hal tersebut yang mampu dilakukan oleh ketiga subyek dalam menghadapi lingkungan. Terganggu pendengaran seseorang menyebabkan terbatas penguasaan bahasa. Hal ini d a p a t m e n gh a m b a t ke s e m p a t a n u n t u k berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Berangkat dari kondisi demikian, seseorang dengan terganggunya pendengaran seringkali tampak frustasi. Akibat yang muncul, penderita tuna rungu sering menampakkan sikap-sikap asosialnya, bermusuhan, atau menarik diri dari lingkungannya. Keadaan ini semakin tidak menguntungkan ketika beban ditambah dengan sikap lingkungan atau tekanan lain yang berasal dari luar diri (teman sebaya, keluarga, masyarakat sekitar) yang berupa cemooh, ejekan, dan bentuk penolakan lain yang sejenis dan berdampak negatif. Hal ini tentu membuat anak tuna rungu semakin tidak aman, bimbang dan ragu-ragu terhadap keberadaan diri (Mohammad, 2006:83). Ketiga subyek tidak menunjukkan sikap yang dijelaskan di atas. Y, A, dan F mampu menampilkan sikap cuek, sabar, dan diam. Ketiga subyek mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas dalam menghadapi penolakan lingkungan, memiliki konsep diri yang positif karena cukup mampu mengatasi masalah yang ada dan mampu mengekspresikan emosi secara positif. Ketiga subyek mampu menunjukkan penyesuaian yang efisien melalui mampu mengatasi perasaan tertekan dan cemas, mempunyai konsep diri yang positif, mampu mengekspresikan emosi secara positif (Haber dan Ruyon, 1984:25).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ketiga subyek mampu melakukan penyesuaian sosial yang cukup efektif. Y mampu melakukan penyesuaian sosial terhadap
INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
Dian Rachmawati Wasito, Dwi Sarwindah S., Wiwik Sulistiani
lingkungan sekolah dengan sangat efektif, A mampu melakukan penyesuaian sosial di sekolah dengan efektif sedangkan F mampu melakukan penyesuaian sosial di sekolah cukup efektif. Hal tersebut ditunjukkan melalui kemampuan subyek dalam melakukan penyesuaian sosial yang dengan melihat melalui sembilan kategori yaitu kemampuan menghargai dan menerima otoritas, peraturan sekolah, guru, kepala sekolah dan perangkat sekolah, berminat dan ikut serta dalam aktivitas sekolah, mampu membina relasi sosial yang sehat dan bersahabat dengan teman sekelas, mau menerima bertanggung jawab serta batasanbatasan yang dibuat oleh sekolah, membantu sekolah dalam mewujudkan tujuan sekolah, penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap kelompok, sikap sosial dan kepuasan diri. Y memiliki penyesuaian sosial di sekolah yang sangat efektif karena setelah dilihat berdasarkan sembilan kategori yang ada subyek sangat mampu melaksanakan seluruh kategori dengan baik walaupun subyek mengalami penolakan dari teman kelas yang tidak mau menerima kekurangan subyek. A mampu melaksanakan penyesuaian sosial dengan efektif. A mampu melaksanakan sembilan kategori walaupun subyek mengalami sedikit masalah terkait dengan ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan atau bercerita masalah pada teman dekat yang dimana dalam hal ini mempengaruhi kategori membina relasi sosial yang sehat dan bersahabat dengan teman sekelas dan kepuasan diri. F memiliki penyesuaian sosial di sekolah yang cukup efektif karena mampu melaksanakan sembilan kategori walaupun F memiliki kesulitan dalam berkomunikasi sehingga membuat subyek kesulitan untuk berinteraksi dengan orang sekitar yang dimana hal ini mempengaruhi kategori membina relasi sosial yang sehat dan bersahabat, sikap sosial dan kepuasan diri. F berusaha menutupi keterbatasan subyek dengan cara menampilkan sikap mau berusaha, bersabar dan lebih berjiwa sosial terhadap teman. Adanya dukungan berupa perhatian, bimbingan dan kepercayaan dapat membantu ketiga subyek dalam melakukan penyesuaian sosial di sekolah sedangkan pengalaman untuk mendapatkan pendidikan dari sekolah umum sebelumnya tidak sepenuhnya mempengaruhi INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010
pembentukan penyesuaian sosial yang efektif.
Saran 1. Siswa Tuna Rungu yaitu sebagai siswa tuna rungu yang bersekolah di sekolah umum diharapkan mampu menekan adanya penolakan dari lingkungan dengan cara menampilkan perilaku positif pada lingkungan serta memiliki gambaran diri yang positif untuk menekan rasa rendah diri atas keterbatasan yang dimiliki. 2. Peneliti lain yaitu diharapkan mampu melakukan penambahan kajian tentang teori yang berhubungan dengan penyesuaian sosial di sekolah selain itu, mampu melakukan pengembangan terhadap penelitian dengan melihat faktor lain yang mempengaruhi penyesuaian sosial di sekolah. 3. Penderita tuna rungu lain yaitu sebagai penderita tuna rungu lain yang belum bersekolah di sekolah umum diharapkan mampu mengambil keputusan untuk bersekolah di sekolah umum karena dengan begitu dapat mengembangkan kemampuan penyesuaian sosial dan pendidikan. 4. Orang tua siswa tuna rungu di sekolah umum yaitu pemberian bimbingan berupa perhatian dan dukungan secara maksimal untuk meningkatkan motivasi anak dikembangkan pada pengarahan minat anak sehingga anak lebih berkembang sesuai dengan minat yang dimiliki. 5. Guru sekolah umum yaitu banyak menambahkan informasi tentang anak tuna rungu sehingga mampu lebih memahami keadaan dari siswa tuna rungu dan mampu untuk lebih bekerja sama mengembangkan dan meminimalisasi hambatan yang dialami oleh siswa tuna rungu di sekolah umum sehingga siswa tidak merasa terkucilkan. 6. Sekolah Umum yang menerima anak tuna rungu yaitu memberikan penyuluhan kepada guru tentang Anak tuna rungu sehingga dapat meningkatkan kualitas bakat dan minat siswa tuna rungu di sekolah umum
151
Penyesuaian Sosial Remaja Tuna Rungu yang Bersekolah di Sekolah Umum
PUSTAKA ACUAN Burhan. (2000). Peneltian kualitatif: Komuniasi, ekonomi, kebijakan publik dan ilmu sosial lainnya. Jakarta: Kencana. Chaplin, J. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Dariyo, A. (2004). Psikologi perkembangan remaja. Bogor : Ghalia Indonesia. Delphie, B. (2006). Pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Bandung Refika Aditama. Daniels, H, dkk. (2002). Understand children: An observation guide for educator. Mc Graw Hill Higher Education. Effendi, M. (2006). Pengantar psikopedagogik anak berkelainan. Jakarta: Bumi Aksara. Haring, N. (1986). Exceptional children and youth. Third Edition. University of Washington. Haber, A & Runyon, (1984). Psychology of adjusment. Homewood : Doorsey Press. Hurlock, E. (1980).Psikologi perkembangan. edisi keenam(terjemahan Dra.Istiwidayanti dan Drs. Soedjarwo, Msc). Jakarta: Penerbit Erlangga ----------, E, (1990). Perkembangan anak jilid 1. edisi keenam(terjemahan dr. Med. Meitasari Tjandrasa dan Dra. Muslichah Zarkasih) Jakarta: Penerbit Erlangga. Kardinata, S. (1996). Psikologi anak luar biasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moleong, L. (2010). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya . Neuman, W.L. (2003). Social research methods: Qualitatif and Quantitatif Aproaches. Edisi kelima.Massachusetts: Ally and Bacon. Poerwandari, K. (2009). “Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia”. Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Putri, D. (2007). Pengaruh penerimaan orang tua terhadap penyesuaian diri anak tuna rungu di sekolah tahun ajaran 2006-2007. Skripsi (tidak diterbitkan). Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang yang diakses melalui digilib.unnes.ac.id/gsdl/cgi-bin/library tanggal 1 November 2009. Salim, A. (2001). Teori dan paradigma penelitan sosial. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya Sarwono, S. (2006). Psikologi remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Scheneider, A. (1964). Personal adjusment and mental health. New York : Holt, RineHart and Winston. Soemantri, S. (2006). Psikologi anak luar biasa. Bandung Refika Aditama Sugiyono. (2006). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Cetakan ke dua. Bandung : Alfabeta. “Komitmen Depdiknas terhadap pendidikan khusus baru sentuh 21 persen ABK”, diakses melalui merrylusianaoktaviani.wordpress.com/2009/04/23 pada tanggal 16 Desember 2009 pukul 20.15 ”Terbang bersama pendidikan inklusi” yang diakses melalui http//www.bintangpelajar.compage=berita_umum&kn=no&id=1196653159&pilih=11tanggal 21 Desember 2009 pukul 18.45 “Tidak bisa mendengar bukan halangan untuk ikut ujian”, diakses melalui http//www.edukasi.kompas.comread2009042014104465Tidak.Bisa.Mendengar.Bukan.Halangan.Ikut. Ujian tanggal 20 Februari 2010 pukul 20.00 “Tuna rungu lecut karir melaju”, diakses melalui http//www.itsamanda. multiply.comjournalitem1 tanggal 21 Februari 2010 pukul 20.00 Yin, K. (2006). Studi kasus desain dan metode. Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada.
152
INSAN Vol. 12 No. 03, Desember 2010