BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 2014:3). Kegiatan kreatif ini menghasilkan karya yang berbahan baku bahasa. Hal ini sejalan dengan ungkapan Pradopo bahwa karya sastra adalah karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya (2013:121). Bahasa yang digunakan dalam karya sastra bukan bahasa pada umumnya karena bahasa sastra adalah sistem tanda yang mempunyai arti serta konvensi sendiri (Teeuw, 2013:36). Tanda-tanda dalam karya sastra mempunyai makna dan menjadi hal penting yang harus dicari dalam sastra, baik tanda itu berupa indeks, ikon, atau simbol (Pradopo, 1999:76). Salah satu karya sastra yang di dalamnya mengandung banyak tanda adalah puisi. Puisi secara umum adalah gubahan bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus (KBBI, 2005:903). Abrams (via Teeuw, 2013:128) menyatakan puisi adalah peluapan spontan dari perasaan yang kuat. Selain itu, Pradopo (2010:7) mengungkapkan bahwa puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting dan digubah dalam wujud yang paling berkesan. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan pengalaman manusia yang diungkapkan melalui bahasa dan dipengaruhi serta diluapkan oleh perasaan, sehingga bahasa tersebut menjadi hal berkesan dan mempunyai tandatanda yang perlu dimaknai secara khusus.
1
2
Adapun dalam perkembangannya, puisi selalu berubah-ubah dari periode ke periode sesuai dengan evolusi selera (Riffaterre, 1987:1). Begitu juga puisi Arab (asy-syi‘r). Pada awalnya, puisi Arab adalah sebuah karya sastra yang bergantung pada wazn, qāfiyah, serta irama yang diekspresikan serta mempunyai makna dan maksud dengan cara berimajinasi yang berdampak pada emosi (Al-Mażdūb, 1967:13). Dalam sejarah sastra Arab, puisi Arab kebanyakan memusatkan perhatian pada kesempurnaa bentuk (wazn dan qāfiyah) sebagai norma fundamental yang banyak menentukan nilai sebuah puisi. Akan tetapi, pada masa pertengahan (abad ke13-19), keseimbangan antara bentuk dan isi dalam puisi Arab telah hilang sehingga keindahan bentuknya terlihat dibuat-buat. Mutran (via Kamil, 2009:2526) menjelaskan bahwa pola qasīdah tradisional Arab telah kehabisan potensi puitiknya dan harus diganti dengan bentuk puisi yang lebih bebas. Pada perkembangan selanjutnya, puisi Arab berkembang menjadi puisi bebas. Puisi bebas (asy-sy‘ir al-ḥurr), yaitu puisi yang tidak terikat wazn dan qāfiyah, yang secara bentuk terkadang mendekati gaya prosa sastra dan enjambement (susunan baris)-nya tidak dalam bentuk qasīdah (dua baris sejajar), tetapi tersusun ke bawah (Kamil, 2009:16). Di antara puisi bebas adalah puisi “Kam Marratan Yantahī Amrunā” dalam antologi Limāżā Taraktu al-Ḥiṣāna Wahīdan karya Maḥmūd Darwīsy. Puisi tersebut berisi tentang nasib orang-orang Palestina yang telah meninggalkan tanah airnya, sehingga membuat mereka kehilangan kehidupan yang aman, damai, dan tentram. Adapun nasib tersebut tidak pernah berakhir sampai sekarang dan menyebabkan mereka hidup dalam keadaan tidak berkecukupan.
3
Menurut teori semiotik, puisi merupakan sistem tanda yang mempunyai makna dan mempergunakan bahasa sebagai mediumnya (Pradopo, 2013:121-122). “Kam Marratan Yantahī Amrunā” sebagai puisi tentunya juga merupakan sistem tanda yang mempunyai makna. Di antara tanda yang terlihat pada puisi tersebut adalah kata ( الحصا ْدal-ḥisād), ( الحما ْمal-ḥamām), ( الكال ْمal-kalām), ( الظال ْمaẓ-ẓalām), ( الغما ْمal-gamām). Oleh karena itu, puisi “Kam Marratan Yantahī Amrunā” layak diteliti dengan analisis semiotik untuk mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini adalah makna puisi “Kam Marratan Yantahī Amrunā” dalam antologi Limāżā Taraktu alḤiṣāna Wahīdan karya Maḥmūd Darwīsy. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan makna yang terkandung dalam puisi “Kam Marratan Yantahī Amrunā” dalam antologi Limāżā Taraktu alḤiṣāna Wahīdan karya Maḥmūd Darwīsy. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap karya puisi Maḥmūd Darwīsy dengan analisis semiotik dan analisis lainnya telah banyak dilakukan di beberapa universitas di dalam dan luar negeri, seperti Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Kebangsaan Malasyia, dan Universitas Tel Aviv.
4
Penelitian puisi “Āsyiqun min Falasṭīna”, “Yaumiyyāt Jurḥi Filasṭīniyyīn”, dan “Syajaratu an-Nakhli” karya Maḥmūd Darwīsy telah diteliti oleh Yahya dkk (tanpa tahun, 75-85) dalam The Southeast Asian Journal of English Language Studied dengan judul “Eco Resistance in the Poetry of the Arab Poet Maḥmūd Darwīsy”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tiga puisi tersebut mengait pada alam dan lingkungan Palestina sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan. Puisi karya Maḥmūd Darwīsy “Biṭāqah Hawiyyah” juga diteliti oleh Yahya dkk (2012) yang dipublikasikan dalam Internasional Journal of Applied Linguistics and English Literature dengan judul “Identity and Land in Maḥmūd Darwīsy’s Selected Poems: An Ecopostcolonial Reading”. Penelitian ini menyimpulkan keterkaitan antara identitas Palestina dengan tanah yang diduduki; identitas dan tanah Palestina tersebut merupakan hal yang saling berhubungan dalam puisi perlawanan Maḥmūd Darwīsy. Karya Maḥmūd Darwīsy dalam antologi “Ḥālatu Ḥiṣārin” pernah diteliti oleh Behar (2011:189-199) yang dipublikasikan dalam Journal of Levantine Studies dengan judul “Maḥmūd Darwīsy: Poetry’s State of Siege”. Penelitian ini mengemukakan perjalanan dan perjuangan hidup Maḥmūd Darwīsy dalam memecahkan pengepungan di Palestina. Aaisyah (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Makna Puisi “Risālatun min al-Manfā” dalam antologi Aurāqu az-Zaitun karya Maḥmūd Darwīsy: Analisis Semiotik” menyimpulkan bahwa puisi tersebut menggambarkan kehidupan orangorang Palestina di tempat pembuangan seperti orang yang telah mati yang tidak berharga sama sekali. Hak asasi tidak mereka dapatkan, seperti beraktivitas,
5
berkomunikasi, dan melakukan hal lainnya. Segala keluh kesah yang mereka rasakan dicurahkan dalam lembaran-lembaran buku tulis yang berupa surat, tetapi mereka selalu memberi kabar baik dari tempat pengasingan kepada keluarga mereka agar mereka tidak khawatir. Puisi Maḥmūd Darwīsy “Lā‘ibu an-Nardi” juga pernah diteliti oleh Musthafa (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Makna Puisi “Lā‘ibu an-Nardi” dalam antologi Lā Urīdu lī Hāzī al-Qasīdati an Tantahiya karya Maḥmūd Darwīsy: Analisis
Semiotik”.
Musthafa
menyimpulkan
bahwa
puisi
tersebut
menggambarkan eksistensi rakyat Palestina di negaranya. Demi mempertahankan eksistensi ini mereka menggugat Israel dengan melakukan perlawanan, baik secara diplomasi maupun kekerasan. Selanjutnya puisi “Āsyiqun min Filasṭīna” juga pernah diteliti oleh Andriani (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Makna Puisi “Āsyiqun min Filasṭīna” dalam antologi al-A‘mālu al-Ūlā karya Maḥmūd Darwīsy: Analisis Semiotik”. Andriani menyimpulkan bahwa puisi tersebut penggambaran kecintaan dan kerinduan rakyat Palestina terhadap negerinya serta penggambaran kesedihan dan kesengsaraan mereka terhadap penjajahan Israel. Rasa cinta dan rindu yang dirasakan rakyat Palestina adalah bahwa mereka ingin sekali kembali ke negaranya, hidup dengan tenang dan damai, sedangkan kesedihan dan kesengsaraan yang mereka rasakan terutama karena Israel mengambil secara paksa kewarganegaraan mereka. Meskipun demikian, penderitaan tidak mematahkan semangat mereka untuk terus berjuang merebut kembali negerinya tercinta.
6
Adapun puisi “Kam Marratan Yantahī Amrunā” dalam antologi Limāżā Taraktu al-Ḥiṣāna Wahīdan belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, puisi ini layak diteliti untuk mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya. 1.5 Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotik. Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda, mempelajari fenomena sosial budaya termasuk sastra sebagai tanda (Pradopo, 1999:76). Tanda dalam karya sastra mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signified). Penanda (signifiant) merupakan bentuk formal atau bunyi pada tanda itu, sedangkan petanda (signified) adalah aspek kemaknaan dan konseptual. Tanda ditinjau dari hubungan penanda (signifiant) dan petanda (signified) ada tiga jenis, yaitu ikon, indeks, dan simbol (Teeuw, 2013:36). Karya sastra yang di dalamnya mengandung tanda-tanda adalah puisi. Puisi sebagai salah satu genre sastra yang bermedium bahasa mempunyai dua sistem semiotik, yaitu sistem semiotik tingkat pertama yang disebut meaning (arti) dan sistem semiotik tingkat kedua yang kedudukannya lebih tinggi dari bahasa disebut arti dari arti (meaning of meaning) (Pradopo, 2010:122). Menurut Riffaterre (1978:2) puisi merupakan ekspresi tidak langsung yang disebabkan oleh tiga hal, penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning). Penggantian arti disebabkan oleh metafora dan metonimi. Penyimpangan arti disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense (Riffaterre, 1978:2). Penciptaan arti menurut
7
Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh enjambement (peloncatan baris), sajak, tipografi (susunan tulisan) dan homologue (persamaan posisi). Teori semiotik ini akan dimanfaatkan untuk membahas puisi “Kam Marratan Yantahī Amrunā” dalam antologi Limāżā Taraktu al-Ḥiṣāna Wahīdan karya Maḥmūd Darwīsy dari segi maknanya. 1.6 Metode Penelitian Berdasarkan landasan teori yang dipergunakan, yaitu teori semiotik, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode semiotik Riffaterre. Menurut Riffaterre (1978:2) ada empat hal pokok dalam mengungkapkan makna puisi, yaitu pemaknaan melalui ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan semiotik, matriks, dan hipogram. Ketidaklangsungan ekspresi disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Penggantian arti disebabkan oleh metafora dan metonimi. Dalam kesusastraan Arab, hal tersebut dibahas dalam ilmu bayān, yaitu tasybīh, majāz, isti‘ārah, dan kināyah. Menurut Al-jarim (2011), tasybīh adalah ungkapan yang memiliki kesamaan sifat dengan yang lainnya secara eksplisit maupun implisit; majāz adalah penggunaan kata yang bukan pada makna yang sebenarnya; isti‘arāh adalah ungkapan yang hubungannya antara makna hakiki dan makna yang tidak hakiki; sedangkan kināyah adalah penggunaan kata untuk menunjukkan pengertian lazimnya, namun yang dimaksud pengertian asalnya. Penyimpangan arti disebabkan oleh ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense (Riffaterre, 1978:2). Ambiguitas menurut Pradopo (2013:125-128) disebabkan oleh
8
penggunaan kata-kata, frase, kalimat, atau wacana yang ambigu, yaitu mempunyai makna yang lebih dari satu (polyinterpretable), dapat ditafsirkan bermacam-macam menurut konteksnya. Kontradiksi yang disebabkan oleh penggunaan ironi, paradoks, dan antitesis. Adapun nonsense adalah “kata-kata” yang tidak mempunyai arti, yang tidak ada dalam kamus. Dalam kesusastraan Arab, kontradiksi termasuk dalam ṭibaq (antitesis) dan
muqābalah (antitesis yang
berurutan). Penciptaan arti menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh enjambement (peloncatan baris), sajak, tipografi (susunan tulisan) dan homologue (persamaan posisi). Dalam kesusastraan Arab terdapat dalam ‘arūd (ilmu persajakan Arab) dan qawāfī (persamaan rima puisi Arab). Kedua, pemaknaan dengan pembacaan semiotik, yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang menghasilkan arti puisi secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif sesuai dengan sistem semiotik tingkat pertama (first order semiotics). Sementara pembacaan hermeneutik yaitu pembacaan ulang dari awal sampai akhir sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan tafsiran (Riffaterre, 1978:5-6). Ketiga, pemaknaan dengan mencari matriks. Matriks adalah kata kunci penafsiran puisi yang dikonkretisasikan. Matriks ini berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat, atau kalimat sederhana (Riffaterre, 1978:12-13). Terakhir pemaknaan melalui hipogram atau hubungan intertekstual. Pemaknaan hipogram ini dilakukan dengan melihat hubungan sebuah karya sastra dengan karya sastra yang lain. Teeuw (via Pradopo, 1999:83) mengemukakan
9
bahwa karya sastra perlu disejajarkan dengan sastra lain yang menjadi latar belakang penciptaannya. Puisi “Kam Marratan Yantahī Amrunā” dalam antologi Limāżā Taraktu alḤiṣāna Wahīdan ini diteliti dengan memanfaatkan satu dari empat teori semiotik Riffaterre, yaitu pembacaan semiotik (heuristik dan hermeneutik). 1.7 Sistematika Penulisan Penulisan hasil penelitian ini dibagi dalam empat bab. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi. Bab II berisi biografi Maḥmūd Darwīsy dan transliterasi puisi “Kam Marratan Yantahī Amrunā” Bab III analisis semiotik terhadap puisi “Kam Marratan Yantahī Amrunā” dalam antologi Limāżā Taraktu al-Ḥiṣāna Wahīdan karya Maḥmūd Darwīsy melalui pembacaan semiotik. Terakhir, bab IV adalah kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan. 1.8 Pedoman Transliterasi Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam penelitian ini berdasarkan pada keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia no: 158 tahun 1987/0543b/U/1987. 1. Konsonan Fonem Konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf Latin.
10
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ھ ء ي
Nama Alif Baˋ Taˋ Ṡaˋ Jim Ḥaˋ Khaˋ Dal Żal Raˋ Zai Sin Syin Ṣad Ḍad Ṭaˋ Ẓaˋ ‘ain Gain Faˋ Qaf Kaf Lam Mim Nun Waw Haˋ Hamzah Yaˋ
Huruf Latin Tidak dilambangkan B T Ṡ J Ḥ Kh D Ż R Z S Sy Ṣ Ḍ Ṭ Ẓ ‘ G F Q K L M N W H ˋ Y
Keterangan Tidak dilambangkan Be Te Es (dengan titik di atas) Je Ha (dengan titik di bawah) Ka dan Ha De Z (dengan titik di atas) Er Zet Es Es dan Ye Es (dengan titik di bawah) De (dengan titik di bawah) Te (dengan titik di bawah) Zet (dengan titik di bawah) Koma terbalik di atas Ge Ef Ki Ka El Em En We Ha Apostrof condong ke kiri Ye
2. Vokal Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal pendek, vokal panjang, dan diftong. Dalam transliterasi, sebagian dilambangkan dengan huruf dan sebagian lagi dengan huruf dan tanda sekaligus.
11
No 1 2 3
Vokal Pendek ــَـ: a ــِـ: i ــُـ: u
Vokal Panjang ــَـا: ā ــِي: ī ــُو: ū
Diftong ـي ْ َ ــ: ai ْ ــَو: au
Contoh: يقول- قال/qāla - yaqūlu/ خوف
/khauf/
3. Tā ` Marbūṭah Tā ` marbūṭah hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, atau ḍammah translitarasinya adalah /t/, sedangkan tā ` marbūṭah mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya adalah /h/. Contoh: المدينة المنورة/al-madīnah al-munawwarah/ 4. Syaddah Syaddah atau tasydīd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah atau tasydīd. Dalam transliterasinya, tanda syaddah itu dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Contoh: َربّنَا
/ rabbanā /
5. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf al. Kata sandang tersebut dibedakan menjadi kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah dan huruf qamariyyah. Kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah
12
ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya, yaitu /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut, sedangkan kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah adalah kata sandang yang ditransliterasikan sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sempang (-). Contoh: ال ﱠر ُج ُل
/ ar-rajulu /
القَلَ ُم/ al-qalamu / 6. Hamzah Hamzah yang ditransliterasikan dengan apostrof hanya berlaku untuk hamzah yang terletak di tengah dan belakang. Hamzah yang terletak di depan tidak dilambangkan dengan apostrof karena dalam tulisan Arab berupa Alif. Contoh: َش ْي ٌء
/ syai `un /
7. Penulisan kata Pada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya, Contoh: َازقِ ْين ِ َوإِ ﱠن ﷲَ لَھُ َو َخ ْي ُر ال َر
13
/ Wa innallāha lahuwa khair ar-rāziqīn / atau dengan / Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīn / 8. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Contoh: َو َما ُم َح ﱠم ٌد إِالﱠ َرسُوْ ٌل
/ Wa mā Muḥammadun illā rasūl/