BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum dalam pelaksanaan pembangunan hukum yang diarahkan untuk terwujudnya sistem hukum nasional dalam rangka menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis dalam negara hukum Indonesia. Pembangunan hukum sebagai bagian integral dari pembangunan nasional merupakan perekat kehidupan berbangsa dan bernegara yang secara terus menerus harus dilakukan. Dalam pembangunan hukum di Indonesia, penegakan hukum memiliki peran yang sangat vital. Penegakan hukum tidak dapat dilihat dalam perspektif hukum semata, tetapi harus dilakukan secara luas karena penegakan hukum bukan sekedar masalah hukum. Lemah kuatnya penegakan hukum oleh aparat akan menentukan persepsi ada tidaknya hukum. Oleh karenanya penegakan hukum yang tegas dan berwibawa sangat diperlukan demi tercapainya tujuan negara.
I.
PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Sulitnya penegakan hukum dan HAM berawal sejak peraturan perundang-undangan dibuat. Berbagai persoalan dalam perencanaan dan pembentukan hukum dapat terlihat dari masih banyaknya
tumpang tindih peraturan perundang-undangan dan lemahnya koordinasi antarinstansi/lembaga dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan karena masing-masing mempunyai kepentingan (ego sektoral) serta kondisi tenaga fungsional perancang peraturan perundang-undangan dari segi kualitas dan kuantitas belum memadai, terutama di daerah, masih banyak yang belum memiliki tenaga fungsional perancang. Permasalahan lainnya adalah belum optimalnya komitmen para pemegang fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan dalam mematuhi program legislasi nasional. Berdasarkan hasil kajian dan inventarisasi Peraturan Daerah yang dilakukan pada tahun anggaran 2005 di 31 Propinsi di Indonesia, dari sejumlah 502 peraturan daerah yang telah diinventarisir, sebagian besar (sekitar 85 %) peraturan daerah belum mengikuti ketentuan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. Salah satu permasalahan yang sampai dengan saat ini perlu untuk terus dibenahi adalah masih rendahnya kinerja instansi pemerintah termasuk juga lembaga hukum. Hal ini terkait dengan masih rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum khususnya dalam rangka penegakan hukum karena dinilai sarat dengan praktek korupsi. Hal ini dapat dilihat pada berita di media massa yang mengungkapkan praktek korupsi melibatkan pejabatpejabat publik, seperti yang terjadi pada kasus korupsi anggota DPRD, Komisi Pemilihan Umum, Kepolisian, hingga Departemen Agama. Masalah korupsi di Indonesia telah menjadi gejala yang sangat mengkhawatirkan dan karena telah semakin meluas dan merambah pada lembaga pemerintahan baik di Pusat dan daerah, lembaga Perwakilan Rakyat (Legislatif) dan lembaga peradilan (Yudikatif). Dengan semakin meluasnya praktik korupsi tersebut, maka tidaklah mengherankan apabila pelaksanaan pembangunan di Indonesia mengalami hambatan yang tidak kecil dalam upaya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945. Kekurangberhasilan Pemerintah dalam memberantas korupsi memberikan implikasi ketidakpercayaan masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan absolut. Demikian juga dalam pergaulan internasional, merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dipandang 09 -2
merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Pandangan ini diperkuat dengan beberapa hasil penelitian oleh berbagai entitas asing seperti Political and Economic Risk Consultancy (PERC), yang pada Bulan Maret Tahun 2002, menempatkan Indonesia dengan tingkat skor 9.92 berdasarkan skala tertinggi 10. Sedangkan dari sumber Transparency International (TI) Indonesia, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) untuk Indonesia pada tahun 2003 menempati posisi yang cukup memperihatinkan, yaitu 1.9 dan peringkat 122 dari 133 negara dari negara yang disurvai pada tahun 2004 IPK Indonesia menjadi 2.0 dan menduduki urutan 137 dari 146 negara yang disurvai, dan pada tahun 2005 menjadi 2.2 serta menduduki urutan 140 dari 158 negara. Dalam perkembangannya, praktik korupsi telah lebih sistematis dan meluas sehingga telah dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat luas. Untuk itu korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut dengan cara-cara yang luar biasa. Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibuat sejak tahun 1957 sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa Indonesia untuk memberantas korupsi hingga saat ini baik dari sisi pidana material maupun hukum pidana formal (acara pidana), walaupun dalam pelaksanaannya masih didapati kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh tersangka melepaskan diri dari jeratan hukum. Namun dalam pelaksanaannya, instrumen normatif ternyata belum cukup untuk memberantas korupsi. Permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum yang lain juga masih dinilai oleh masyarakat belum memperlihatkan kinerja yang menggembirakan. Tidak mencukupinya anggaran yang dialokasikan negara untuk penegakan hukum masih menjadi permasalahan klasik yang harus diatasi. Rendahnya kapasitas dan kesejahteraan aparat juga menjadi pekerjaan rumah yang harus ditangani. Terkait dengan Kejaksaan, selama ini Kejaksaan menerima laporan korupsi dalam jumlah yang sangat banyak. Namun kasus09 - 3
kasus yang ditangani tidak seimbang dengan jumlah laporan yang masuk. Salah satu kendalanya adalah sumber daya manusia yang masih belum berkualitas khususnya dalam hal yang terkait dengan korupsi. Hal ini dapat terlihat dari perbandingan antara jumlah jaksa dan jumlah kasus yang diajukan ke pengadilan masih sangat minim, sehingga diperlukan peningkatan kapasitas aparat Kejaksaan agar jumlah penanganan kasus yang bisa diselesaikan dapat lebih berkualitas. Aspek lain yang masih menjadi kendala adalah dari segi sarana dan prasarana yang selama ini belum menunjang adanya peningkatan kualitas sumber daya manusia, seperti halnya literatur yang terkait dengan korupsi, serta alat-alat penyidikan yang diperlukan di lapangan. Kemudian dalam hal sistem penggajian, perlu dikaji ulang, mengingat organisasi Kejaksaan yang khusus menangani korupsi ini harus memiliki kemampuan finansial yang cukup dan layak, guna menghindari praktek-praktek korupsi di internal. Dampak dari citra buruk yang terbentuk terhadap Kejaksaan telah melahirkan ketidakpercayaan masyarakat, sehingga masyarakat akan semakin skeptis dan kurang memiliki kesadaran hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Hal tersebut perlu disikapi dengan pendekatan lembaga dan sosialisasi konsep pemberantasan korupsi yang strategis dan berkesinambungan. Konsep ini harus disusun oleh Kejaksaan dengan melakukan sharing program dengan lembaga negara lain yang kompeten. Harus diakui bahwa besarnya partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, akan mampu mewujudkan iklim kondusif dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia. Berbicara masalah korupsi tidak akan terlepas dari masalah birokrasi. Birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia, meskipun upaya untuk reformasi telah berlangsung di negara-negara yang paling parah terpukul oleh krisis finansial tahun 1997. Pelayanan publik yang masih banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Seharusnya pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat suportif dimana lebih memfokuskan diri pada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani. Faktor yang sangat terlihat jelas adalah sumber daya manusia aparatur. Fakta kondisi sumber daya manusia aparatur birokrasi masih belum optimal sebagaimana diharapkan. 09 -4
Rendahnya inisiatif, kurangnya wawasan, minimnya penguasaan teknologi informasi merupakan karakter umum sumber daya manusia aparatur birokrasi.
II.
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL YANG DICAPAI
Pembenahan sistem dan politik hukum bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, meskipun masih menemui berbagai kendala. Di bidang legislasi, berdasarkan prolegnas Tahun 2006 terdapat 43 (empat puluh tiga) RUU yang diprioritaskan pada tahun 2006 yang kemudian berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR, disetujui menambah 1 (satu) RUU yaitu RUU tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan untuk harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sampai dengan 17 Mei 2006 telah diharmonisasikan sebanyak 113 RPP. Perkembangan RUU prioritas Prolegnas Tahun 2005 dan Tahun 2006 sampai dengan bulan Juni 2006, sebagai berikut: No
Status
Pemrakarsa
Jumlah
DPR
Pemerintah
1
RUU yang telah disahkan/diundangkan
8
12
20
2
RUU yang sedang dibahas di DPR
8
22
30
3
RUU yang telah disampaikan ke Presiden dari DPR/Pemrakarsa
3
5
8
4
RUU yang sedang dipersiapkan oleh Pemerintah
-
26
26
09 - 5
Harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sampai dengan bulan Juni 2006 telah dilakukan sebanyak 116 RPP, yang terdiri dari: -
RPP bidang Politik Hukum dan Keamanan : 25
-
RPP Bidang Perekonomian
: 71
-
RPP bidang Kesejahteraan Rakyat
: 20
Terkait dengan Program Legislasi Daerah, telah dilakukan temu konsultasi penyusunan program legislasi daerah pada tanggal 13-15 September 2005 di Denpasar. Pertemuan tersebut bertujuan untuk memberikan sosialisasi program legislasi daerah kepada kalangan pemerintah daerah serta mendorong pemerintah daerah untuk mentusun prolegda sesuai amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Dalam rangka reformasi birokrasi di Indonesia, Pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) mengajukan RUU Administrasi Pemerintahan, RUU Pelayanan Publik, dan RUU Etika Penyelenggaraan Negara. RUU tersebut dimaksudkan sebagai upaya pemerintah untuk melakukan penataan birokrasi secara akuntabel, profesional, dan bebas KKN, dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance) Bidang tugas pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan bidang yang sangat luas, sehingga membutuhkan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat (citizen friendly), membatasi kekuasaan administrasi negara dalam menjalankan tugas pemerintahan, pelayanan, dan pembangunan. Oleh karena itu, dengan adanya ketiga RUU tersebut diharapkan dapat memperbaiki kualitas penyelenggara administrasi pemerintahan dan menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, efisien, dan berbasis pelayanan publik. Dalam hal penegakan hukum, naiknya apresiasi terhadap kondisi penegakan hukum selama delapan tahun terakhir banyak terkait dengan kiprah lembaga hukum sendiri yang semakin menonjol 09 -6
dalam ruang publik. Diambilnya berbagai langkah progresif oleh negara kian menguatkan sinyal harapan masa depan di Indonesia. Terlepas dari kekurangan besar yang masih ada, harapan bahwa hukum dilaksanakan sebagaimana mestinya membangkitkan harapan baru kembalinya fungsi dasar hukum sebagai sarana pengaturan sosial dan pemulih keseimbangan dalam masyarakat. Masalah penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi, walaupun masih terkendala oleh banyak hal, tetap dilakukan pembenahannya. Terkait dengan kinerja Kejaksaan, sebagai konsekwensi dari bertambahnya jumlah Kabupaten/Kota yang baru, pada Tahun 2005 telah dibentuk susunan organisasi dan tata kerja sejumlah 16 (enam belas) Kejaksaan Negeri baru. Untuk Tahun 2006, Kejaksaan telah mengajukan permohonan sebanyak 16 (enam belas) Kejaksaan Negeri baru. Terkait dengan kerjasama hukum, Kejaksaan selama ini ikut berperan dalam pengembangan kerjasama dengan negara-negara sahabat, baik melalui mutual legal assistance maupun dalam rangka pembentukan perjanjian ekstradisi. Lembaga baru yang dibentuk atas amanat UUD 1945 dan Undang-Undang No.22 Tahun 2004 adalah Komisi Yudisial (KY). KY mempunyai peran cukup besar dalam hal pemberantasan korupsi, khususnya dalam lembaga pengadilan. Dengan kewenangan yang dimiliki, yaitu mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR RI dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, KY melakukan “gebrakan”, memfokuskan pada upaya pemberantasan “mafia peradilan”, melalui kegiatan pengawasan dan penindakan terhadap sejumlah hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim. Di awal masa kerjanya, KY telah berkomitmen untuk memfokuskan pengawasan terhadap 49 hakim agung MA dan para hakim yang berada di kota-kota besar. Selain itu, KY akan membahas lebih rinci rencana pengawasan yang lebih progresif, yakni pengembangan intelijen peradilan. Hal lain yang akan dikembangkan KY adalah pengoptimalan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Di tahun 2005 KY telah memeriksa beberapa dugaan korupsi dan pelanggaran perilaku hakim yang melibatkan beberapa hakim agung. Dengan keterbatasan kewenangan dimiliki, KY mencoba berimprovisasi atas undang-undang
kasus nama yang yang 09 - 7
mengatur tentang KY. Hasilnya, banyak kritikan sekaligus pujian yang dilontarkan dari berbagai kalangan. Terlepas dari benar-tidaknya tindakan hukum yang diambil oleh KY, sikap optimis dan semangat dalam pemberantasan korupsi di lingkungan lembaga peradilan menjadi nilai lebih dari komisi ini. Lika-liku perjalanan KY dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya cukup terhambat dengan ketiadaan aturan yang mengakomodir sinergitas KY dengan lembaga kekuasaan kehakiman lainnya. Saat ini KY tengah melakukan seleksi hakim agung yang pendaftarannya terbuka untuk umum. Disamping itu dalam upaya untuk menciptakan lembaga pengadilan yang bersih beberapa hakim agung telah diperiksa dan bersedia memenuhi panggilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga yang menangani penuh kasus ini.. Lembaga lainnya yang peranannya sangat penting dalam pemberantasan korupsi adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasil audit BPK sering mendeteksi adanya indikasi korupsi dalam penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Di sinilah peran BPK untuk senantiasa melaporkan hasil auditnya kepada lembaga yang kompeten untuk pemberantasan korupsi. Validitas data BPK dapat dijadikan data awal bagi penegak hukum untuk melakukan penyidikan atas indikasi korupsi yang dilaporkan. Laporan BPK yang akurat juga akan menjadi alat bukti dalam pengadilan. Bukti peran BPK cukup berpengaruh besar terhadap proses penindakan kasuskasus korupsi yaitu banyak proses hukum akan terhambat jika hasil audit BPK tidak kunjung selesai. Melihat pada peran dan wewenang yang besar dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi, BPK hendaklah mau terbuka dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga negara dan pemerintahan lainnya. Termasuk dalam hal ini dapat menggunakan tenaga ahli lain dari luar BPK seperti penggunaan tenaga Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Harus ada sinergisitas dengan lembaga-lembaga lain yang turut berperan dalam pemberantasan korupsi. Dengan kapasitas yang dimiliki, BPKP sebenarnya dapat berperan mengembalikan fungsi lembaga internal auditor pemerintah dengan tugas memanfaatkan hasil kerja ITJEN, BAWASDA dan Aparat Pengawasan Pemerintah lainnya. Kemudian mengolah temuan dan rekomendasi serta memantau pelaksanaan tindak lanjutnya. Hal ini memungkinkan BPKP dapat melakukan pemeriksaan lapangan secara langsung, jika dipandang perlu. Dengan 09 -8
demikian BPKP dapat menjadi mitra kerja dan memberikan dukungan kepada BPK. BPKP juga dapat berperan sebagai Analis Kebijakan dengan memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan lainnya sebagai bahan analisis kebijakan publik. Kemudian memberikan rekomendasi perbaikan atas berbagai kebijakan publik. Melihat peranannya, dapat diposisikan BPKP memainkan peran strategis pemberantasan korupsi di tingkat pencegahan. Peran-peran ini tentu saja harus didukung dengan langkah-langkah pembenahan terhadap BPKP sendiri. Salah satu langkah penting yang harus dilakukan adalah menegaskan dasar hukum bagi BPKP agar tidak rentan setiap terjadi pergantian pemerintah. Karena seperti kita ketahui selama ini BPKP memiliki peran dan kewenangan yang terbatas. Upaya perbaikan kualitas pelayanan publik dilakukan melalui pembenahan sistem pelayanan publik secara menyeluruh dan terintegrasi yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang yang diharapkan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan pelayanan publik dan yang memiliki sanksi sehingga memiliki daya paksa terhadap pemenuhan standar tertentu dalam pelayanan publik. Salah satu bukti komitmen pemerintah untuk meningkatkan pelayanan publik, di bidang keimigrasian telah diterapkan Sistem Foto Terpadu Berbasis Biometric dengan mekanisme online untuk seluruh kantor imigrasi yang diberi kewenangan membuat paspor, hal ini ditujukan untuk menghindari adanya kepemilikan paspor ganda. Terkait dengan perkembangan kejahatan yang sifatnya sudah dalam lingkup kejahatan antarnegara (transnational crime) terutama mengenai tindakan pencucian uang termasuk uang dari hasil korupsi telah Disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Instrumen ini merupakan bagian yang sangat penting dalam rangka mengembalikan kerugian negara yang disebabkan korupsi.
III.
TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN
Tindak lanjut yang diperlukan sekarang adalah mencari penyebab kegagalan, kemudian diikuti pula oleh alternatif perbaikan yang mungkin dilaksanakan (implementable actions). Perbaikan 09 - 9
hukum bisa dimulai dengan memperbaiki bibit dan mutu sumber daya manusianya, dengan mulai menanamkan mental anti korupsi sejak dini kepada peserta didik. Penataan kembali substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya percepatan pemberantasan korupsi, mengandung perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia, memiliki daya laku yang efektif dan efisien serta sesuai dengan aspirasi masyarakat. Untuk memperkuat produk hukum daerah, diperlukan upaya penyediaan tenaga professional di bidang Perancangan Peraturan Perundang-undangan khususnya peraturan daerah, selain itu diperlukan kepastian mengenai pengembangan karir dan tunjangan bagi jabatan fungsional perancang untuk menarik minat. Dalam Pembenahan struktur hukum, tindak lanjut yang diperlukan antara lain penguatan kelembagaan dengan meningkatkan kualitas dan profesionalisme sumber daya manusia aparatur pelayanan dan penegak hukum; terselenggaranya sistem peradilan, cepat, murah, dan transparan serta memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran. Meningkatkan kesadaran hukum dan hak asasi manusia melalui pendidikan dan penyuluhan bagi para penyelenggara negara dan masyarakat agar mampu berperilaku sesuai dengan kaidah hukum. Pembenahan sistem dan politik hukum diarahkan kepada kebijakan untuk mendorong penyelenggaraan penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi yang ditujukan untuk melanjutkan upaya sistematis memberantas korupsi secara tegas dan konsisten melalui penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap para pelaku korupsi, terciptanya budaya dan kesadaran hukum, serta terjaminnya konsistensi peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan di atasnya, mengoperasionalkan rencana tindak secara bertahap dan konsisten Globalisasi yang merupakan konsekuensi dari hadirnya Indonesia dalam pergaulan internasional berpengaruh terhadap hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun privat. 09 -10
Melalui globalisasi, nilai-nilai internasional masuk kedalam sistem hukum nasional yang kemudian dapat merubah cara pandang bangsa Indonesia terhadap segala masalah. Perkembangan teknologi yang cepat, termasuk didalamnya teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi tidak selamanya berpengaruh positif terhadap kehidupan bermasyarakat. Dalam berbagai kesempatam, teknologi informasi berperan sebagai instrumen yang sangat efisien dalam mempengaruhi dan merubah opini publik, sementara hukum sebagai instrumen ketertiban yang terikat oleh syarat dan prosedur sehingga hanya dapat memberikan respon yang lambat. Hal ini merupakan tantangan yang harus dicarikan jalan keluarnya. Proses demokratisasi yang diperkirakan tetap berlangsung dalam lima tahun ke depan juga merupakan tantangan yang harus dihadapi agar proses tersebut berjalan dengan tertib dan tidak menimbulkan gejolak sosial di dalam masyarakat. Berlakunya berbagai kesepakatan internasional dimana Indonesia merupakan peserta. Sebagai konsekuensinya, pemerintah harus melakukan penyesuaian berbagai peraturan perundangundangan yang belum sejalan dan menyiapkan berbagai infrastruktur yang diperlukan agar dalam pelaksanaannya, masyarakat benar-benar terlindungi hak-haknya untuk ikut menikmati hasil kesepakatan globalisasi dalam bentuk peningkatan kesejahteraan yang lebih baik. Oleh karenanya dalam meratifikasi suatu kesepakatan internasional harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan segala konsekuensi yang ada apabila kesepakatan internasional tersebut diratifikasi dan disahkan menjadi undang-undang. Langkah-langkah lainnya yang perlu ditindaklanjuti antara lain menyiapkan rencana yang jelas berdasarkan situasi yang berkembang, termasuk kejelasan tahapan pelaksanaan. Membenahi sumber daya aparat untuk menunaikan tugasnya, terutama terkait dengan kesejahteraan aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian, ditambah KPK, harus dituntun menjadi tenaga profesional yang dapat menjunjung UU dan berpegang pada kode etik penegak hukum pemberantas korupsi. Peran dan fungsi lembaga-lembaga yang ada harus juga dioptimalkan dan disinergikan. Penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan, mengoptimalkan penanganan Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum dalam memperoleh kebebasan informasi hukum juga menjadi hal yang harus ditindaklanjuti. 09 - 11