BAB 4 ANALISA KELAYAKAN BISNIS
4.1
Deskripsi Bisnis
4.1.1 Deskripsi Umum Sebagai perusahan yang memiliki sertifikasi standard mutu ISO 9002;2000, PT. XYZ dalam menjalankan operasional armada kapal-kapalnya dalam rangka menjalankan dan menyediakan jasanya pada para pelanggan, menetapkan dan menggariskan suatu Kebijakan Mutu, sebagaimana berikut; “ Menyediakan jasa angkutan laut secara profesional bagi pelanggan dengan selalu meningkatkan mutu dan menjamin keselamatan pelayaran.” Adapun penjelasan dari hal tersebut adalah sebagai berikut; Profesional, melakukan pekerjaan yang selalu didasari oleh sikap yang selalu mengutamakan kepuasan pelanggan yang telah disetujui pada kontrak dengan menempatkan pekerja yang mampu, dimana kemampuan karyawan ditingkatkan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya melalui pelatihan yang memadai. Selalu Meningkatkan Mutu, komitmen manajemen untuk selalu meningkatkan mutu layanan berkesinambungan dan mengefektifkan sistem manajemen mutu. Keselamatan Pelayaran, Komitmen manajemen untuk selalu memberikan jaminan keselamatan baik di darat maupun selama pelayaran dengan menunjuk supplier yang memiliki komitmen sama terhadap keselamatan pelayaran.
49
4.1.2 Profil Armada Secara umum armada PT. XYZ total berjumlah 24 kapal, terdiri dari 13 kapal tanker, 2 kapal kontainer, dan 9 kapal Bulk & Off shore (detail fleet list atau daftar kapal-kapal armada seperti terlampir). Dari jumlah tersebut 4 dari 13 kapal tanker yang dimiliki dioperasikan sendiri dalam bisnis charter muatan (tramper business) termasuk yang akan digunakan untuk (rencana) komoditi CPO dan sisanya dioperasikan dalam bisnis Time Charter. Dari keseluruhan armada kapal PT. XYZ sebagai alat produksi atau penyedia jasa, semuanya menerapkan standard mutu dan keselamatan yang tinggi yang menjamin keselamatan pelayaran dan muatan yang ada di dalamnya. Adapun standard mutu dan kualitas itu sendiri telah melibatkan dan telah diterapkan pada semua aspek baik itu aspek perencanaan (design), struktur kapal, peralatan-peralatan yang ada, perawatan, peremajaan, perbaikan, perawakan, pembelanjaan maupun aspek operasional secara menyeluruh. Semua standard tersebut setidaknya telah memenuhi aturan dan tuntutan dari lembaga-lembaga Maritime dan Industry International sebagai berikut; 1. IMO (International Maritime Organization) untuk ISMC, SOLAS, MARPOL, COLREG, ISPS 2. ILO (International Labor Organization) 3. WHO (World Health Organization) untuk Health and Hygine 4. Classification Society Rules (Lembaga Klass) 5. Pemerintah negara bendera kapal 6. Port Authority (Syahbandar setempat) dan Coast Guard
50
7. Beberapa Major Terminal Vetting requirement.
4.1.3 Manajemen Armada Disamping dilibatkannya standard mutu dan keselamatan yang tinggi, untuk selalu dapat menjamin tuntutan atas mutu dan keselamatan yang tinggi tersebut, PT. XYZ telah menunjuk dan mempercayakan kepada pihak ketiga melalui suatu Kontrak Manajemen untuk secara profesional dan fokus khusus menangani manajemen armada PT. XYZ yang dalam hal ini adalah PT. XXX. Dengan ditanganinya masalah manajemen aramada oleh pihak ketiga diharapkan manajemen PT. XYZ dapat lebih fokus pada masalah pengembangan usaha dan masalah komersial lainnya dengan tanpa merasa ragu akan terjaminnya selalu tuntutan standard mutu dan keselamatan yang tinggi atas armada kapalnya. Sedangkan PT. XXX sendiri meskipun masih dalam satu Holding Company dengan PT. XYZ adalah pihak ketiga yang memang secara khusus dibentuk untuk mengelola armada Kapal secara professional dan modern yag meliputi semua aspek baik itu teknis, ekonomis, keselamatan, legal, maupun informasi. PT. XXX juga memiliki sertifikasi Standard mutu internasional (ISO), sertifikasi standard manajemen keselamatan di laut (ISMC), dll. Adapun konteks Manajemen Kontrak antara PT. XYZ dengan PT. XXX sendiri meliputi berbagai hal sebagai berikut di bawah ini; 1. Penanganan Asuransi dan Legal kapal-kapal armada (H&M and P&I) 2. Pelaksanaan Perawatan berkala kapal-kapal armada (perbaikan, perawatan, docking, dll)
51
3. Pelaksanaan Supply / Pembelian kebutuhan kapal-kapal armada (suku cadang, persediaan minyak pelumas, running store) 4. Penyediaan kebutuhan tenaga kerja laut (crew kapal) yang berkualitas dan memenuhi standard internasional 5. Pelaksanaan Audit keselamatan internal dan eksternal 6. Sertifikasi Kapal 7. Cost Budgetting dan perencanaan 8. Accounting service untuk kapal-kapal armada 9. Manajemen Informasi teknis kapal-kapal armada
Dari internal Organisasi PT. XYZ sendiri yang banyak terlibat di operasional kapal-kapal aramada XYZ adalah Divisi Operasi yang lebih banyak terlibat pada masalah Operational & Commercial kapal-kapal armada dan Divisi Fleet Control & Safety yang lebih banyak bersentuhan dengan pihak Ship Manager untuk masalahmasalah yang berkaitan dengan teknis dan standard safety dari kapal-kapal armada.
4.1.4 Rute Pelayanan CPO Pada analisa kelayakan bisnis ini menitikberatkan pada pembahasan kemungkinan bagi PT XYZ untuk membuka jalur pelayanan kargo yang baru khusus untuk mengangkut CPO. Selama ini PT XYZ lebih berfokus pada angkutan kargo methanol dan caustic soda baik angkutan yang bersifat domestik maupun internasional. Hal ini dapat dilihat dari komposisi kargo yang diangkut dalam
52
beberapa tahun terakhir dimana kargo methanol dapat mencapai 70% dari total angkutan sepanjang tahun. Dalam mencermati kondisi persaingan usaha di masa yang akan datang dan makin matangnya industri methanol dan turunannya di Indonesia dan di skala regional, PT XYZ berupaya untuk mengembangkan kemungkinan rute yang baru dengan jenis angkutan kargo lain yang masih berpotensi untuk dikembangkan. Salah satu jenis kargo yang mempunyai potensi tinggi untuk mendatangkan penghasilan adalah kargo CPO. Selama ini pengangkutan CPO dilayani oleh armada dari perusahaan pelayaran lainnya yang beroperasi di Indonesia dan regional. Pusat penyimpanan CPO terbesar di Indonesia terdapat di Belawan, Sumatera Utara. Kontribusi Sumatera Utara terhadap keseluruhan produksi CPO nasional mencapai 32% dan angka tersebut diprediksikan akan terus stabil dalam beberapa tahun ke depan. CPO tersebut kemudian diangkut ke daerah tempat industri yang membutuhkan. Di dalam negeri, permintaan terbesar ada di Pulau Jawa sedangkan untuk ekspor terbesar adalah India. Dalam analisa kelayakan ini, pembahasan dilakukan untuk menguji kelayakan rute kargo CPO dari Belawan ke Surabaya dan juga Belawan ke Tanjung Priok, khusus untuk melayani kebutuhan domestik Indonesia dengan menggunakan kapal berbobot 6000 metric ton. Diasumsikan bahwa kapal tersebut didedikasikan khusus untuk mengangkut kargo CPO sepanjang tahun. Dengan dua pelabuhan tujuan tersebut, diperkirakan bisnis baru ini dapat mengambil pangsa pasar yang cukup signifikan untuk melayani permintaan CPO dari pabrik yang berlokasi di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.
53
Rute domestik dipilih karena adanya permintaan yang tinggi terhadap CPO (pembahasan lebih lanjut di bagian Aspek Pasar) dan juga dilakukan sebagai langkah awal untuk masuk ke rute luar negeri yang meliputi India, China dan Korea.
4.2
Aspek Pasar
4.2.1 Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan kelapa sawit Indonesia hingga saat ini sebagian besar masih berada di Pulau Sumatra. Hal ini tidak terlepas dari sejarah perkembangan perkebunan kelapa sawit yang memang dirintis di daerah ini. Hingga tahun 1995, luas areal perkebunan sawit di Sumatera masih mencapai 81,9% dari luas perkebunan kelasa sawit secara nasional. Tetapi pada beberapa tahun terakhir ini sejalan dengan mulai dibukanya perkebunan kelapa sawit di daerah lain seperti di Kalimantan, proporsi perkebunan kelapa sawit di Sumatera diperkirakan kurang dari 70% di tahun 2002. Perkembangan luas daerah prkebunan di Kalimantan dalam beberapa tahun terakhir ini terlihat cukup pesat. Luas areal perkebunan di daerah ini pada tahun 1995 baru sekitar 14% dari total luas areal perkebunan yang ada, tetapi pada tahun 2002 daerah ini sudah memiliki sekitar 26% dari luas perkebunan nasional. Perkembangan areal perkebunan kelapa sawit di Sumatera saat ini terlihat menunjukkan pergeseran. Sumatera Utara pada beberapa tahun lalu memiliki luas perkebunan yang apling besar mencapai 40,8% dari total
54
perkebunan nasional, pada saat ini kontribusi proporsinya hanya kurang dari 16% di tahun 2002. Penambahan perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat selama beberapa tahun terakhir ini di Sumatera yaitu di propinsi Riau. Luas perkebunan pada tahun 2002 telah mencapai 20% dari total perkebunan nasional. Adapun perkembangan luas lahan di perkebunan kelapa swit dalam beberapa tahun terakhir ini dapat dilihat di tabel 4.1 sebagai berikut. Tabel 4.1 Perkembangan Luas Kebun Kelapa Sawit (ha) Lokasi
1999
2000
2001
2002
3.172.163
3.769.609
3.974.337
4.116.646
2.383.691
2.743.779
2.810.207
2.864.504
Jawa
20.926
21.122
21.122
21.122
Kalimantan
637.380
844.389
973.349
1.057.361
Sulawesi
102.331
107.927
114.267
116.267
Irian Jaya
27.855
52.392
56.392
57.392
Perkebunan Nasional Sumatera
Sumber: CIC Indonesia, 2004
4.2.2 Produksi CPO Indonesia Sumatera hingga saat ini masih merupakan penghasil utama CPO di dalam negeri. Kontribusinya terhadap produksi CPO nasional tetap yang paling besar, meskipun sedikit mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 1995, Sumatera memiliki kontribusi sebesar 92% dari total produksi CPO nasional. Pada tahun-tahun berikutnya kontribusi sedikit
55
mengalami penurunan sehingga pada tahun 2002 menjadi sebesar 85%. Daerah yang mengalami peningkatan pesat dalam produksi CPO yaitu Kalimantan. Pada tahun 1995, daerah ini baru memiliki kontribusi sebesar 6% tetapi pada tahun 2002 kontribusinya meningkat menjadi 11%. Secara keseluruhan produksi CPO Indonesia hingga saat ini sebagian besar dihasilkan di propinsi Sumatera Utara. Secara perlahan, kontribusi daerah ini memang mengalami penurunan yang disebabkan karena pesatnya pertumbuhan di Kalimantan. Pada tahun 1995 propinsi ini memiliki kontribusi sebesar 45,6% dari total produksi CPO nasional. Pada tahun 2002 kontribusinya menurun menjadi 32% walaupun dari sisi volume terjadi peningkatan yang signifikan. Daerah lainnya yang cukup banyak menghasilkan minyak sawit adalah Riau. Dalam beberapa tahun terakhir ini produksi CPO di propinsi ini mengalami peningkatan pesat. Tahun 2002, kontribusinya mencapai 21%, kemudian diikuti oleh propinsi Sumatera Selatan sebesar 10,9%, Jambi sebesar 6,5%, Aceh sebesar 5,7% dan Sumatera Barat sebesar 4,3%. Kalimantan merupakan kawasan di luar pulau Sumatera yang memiliki potensi sebesar 10,9% dari produksi nasional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 4.2 berikut ini. Tabel 4.2 Produksi CPO Nasional (ton) Daerah
1999
2000
2001
2002
DI Aceh
368.651
434.107
450.963
466.387
56
Sumatera Utara
2.395.853
2.580.453
2.594.194
2.611.495
Sumatera Barat
321.624
332.380
345.248
352.610
Riau
1.262.434
1.666.725
1.728.465
1.760.477
Jambi
303.625
470.240
517.439
529.181
Sumatera Selatan
459.140
798.766
875.822
892.536
91.100
92.725
94.351
Bangka Belitung Bengkulu
85.250
82.647
90.045
95.686
Lampung
97.774
140.736
155.270
161.310
Jawa
29.305
34.073
36.871
39.001
Kalimantan
523.013
740.825
834.425
892.539
Sulawesi
106.706
117.501
147.565
157.065
Irian Jaya
51.524
90.953
99.859
104.552
Total
6.004.899
7.580.501
7.968.891
8.157.191
Sumber: CIC Indonesia, 2004
4.2.3 Produsen CPO dan Kapasitasnya Pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) di Indonesia selama ini dikelola dua badan usaha yaitu perusahaan milik negara melalui PT Perkebunan Nusantara dan perusahaan swasta. Pengolahan kelapa sawit tersebut selain memproses tandan buah segar dari hasil perkebunan mereka sendiri juga mendapatkan pasokan dari perusahaan lain dan perkebunan rakyat.
57
Pada awal perkembangannya industri pengolahan kelapa sawit ini hanya dilakukan oleh perusahaan perkebunan milik negara yang pada tahun 1996 diubah menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Namun dalam perkembangannya perusahaan milik swasta justru lebih pesat daripada milik negara. PTPN III yang berlokasi di Medan, Sumatera Utara merupakan perusahaan negara yang tercatat sebagai pengelola pabrik PKS terbesar. Saat ini perusahaan tersebut setidaknya mengelola 20 unit pabrik PKS dengan kapasitas 960 tandan sawit (TBS) per jam. PTPN IV yang berkedudukan di Jambi adalah pengelola PKS terbesar kedua dengan kapasitas 853 ton TBS per jam. Perusahaan swasta asing yang memiliki unit pabrik PKS terbanyak adalah PT Socfindo yang mengelola 10 unit pabrik PKS dengan kapasitas 170 ton TBS per jam. PT London Sumatra Plantation tercatat sebagai pengelola pabrik PKS terbesar kedua yang memiliki 7 unit pabrik dengan kapasitas 205 ton TBS per jam. Sementara itu jumlah pabrik pengolahan TBS milik perkebunan besar swasta nasional yang beroperasi hingga saat ini paling tidak tercatat sekitar 90 unit dengan kapasitas lebih dari 3000 ton TBS per jam. PT Sinar Mas memiliki 4 unit dengan kapasitas seluruhnya 155 ton TBS per jam PT Astra Agro Lestari juga terus meningkatkan kapasitas produksi CPO, ini dilakukan untuk mendukung usaha perkebunan kelapa sawit yang dimiliki. Saat ini kelompok perusahaan tersebut memiliki 15 pabrik
58
pengolahan CPO dengan kapasitas produksi sebesar 700 ton TBS per jam dan akan ditingkatkan dua kali lipat. Adapun penyebaran pabrik pengolahan CPO berdasarkan lokasinya dapat dilihat di tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3 Produsen CPO Indonesia dan Kapasitasnya Propinsi/Pulau
Kabupaten
Kapasitas Produksi (ton/TBS/jam)
DI Aceh
Sumatera Utara
Riau
Jambi
Aceh Barat
60
Aceh Selatan
188
Aceh Timur
244
Asahan
465
Deli Serdang
307
Labuhan Batu
955
Langkat
325
Simalungun
333
Tapanuli Tengah
20
Tapanuli Selatan
45
Indragiri
355
Kampar
816
Batang Hari
260
Sumatera Barat
134
Sumatera Selatan
469
Bengkulu
120
59
Lampung
180
Jawa Barat
60
Kalimantan
331
Sulawesi
142
Irian Jaya
200
Sumber: CIC Indonesia, 2004
4.2.4 Supply Minyak Sawit Dalam Negeri Supply minyak sawit di dalam negeri dapat diketahui dengan menjumlahkan produksi dengan impor, kemudian dikurangi dengan ekspornya pada periode yang sama. Dari data yang berhasil dikumpulkan dapat diketahui bahwa supply minyak sawit yang terdiri dari Crude Palm Oil dan Palm Kernel Oil dari tahun 1996 terus mengalami kenaikan sampai tahun 2003. Melonjaknya supply tersebut karena pemerintah melakukan pembatasan ekspor melalui kebijakan pemberlakuan kuota dan pembebanan pajak ekspor. Kebijakan tersebut ditempuh karena ekspor CPO yang meningkat pesat akibat tingginya harga di luar negeri. Akibatnya di dalam negeri mengalami kekurangan pasok CPO, sehingga banyak perusahaan minyak goreng yang mengalami kekurangan bahan baku. Kurangnya produksi minyak goreng pada saat itu sempat mengakibatkan krisis sosial di masyarakat. Tetapi pada tahun 1999 supply minyak kelapa sawit kembali normal, yaitu sebesar 4,76 juta ton. Dan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai sekitar 5,36 juta
60
ton. Lebih jelasnya mengenai perkembangan supply minyak kelapa sawit dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut. Tabel 4.4 Perkembangan Supply Minyak Kelapa Sawit (ton) Tahun
Produksi
Ekspor
Impor
Supply
1996
5,983,334
1,322,870
110,685
4,771,141
1997
6,609,780
2,584,530
94,839
4,120,080
1998
6,923,851
711,560
18,170
6,230,460
1999
7,397,610
2,637,570
2,857
4,762,894
2000
9,335,719
3,646,020
7,476
5,697,169
2001
9,622,562
4,271,560
5,117
5,356,276
2002
11,139,193
5,871,700
8,827
5,276,320
2003
11,629,346
6,273,000
4,546
5,360,892
Sumber: CIC Indonesia, 2004 14.000.000 12.000.000 10.000.000 Produksi 8.000.000
Ekspor
6.000.000
Impor Supply
4.000.000 2.000.000 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Grafik 4.1 Supply CPO Dalam Negeri
61
4.2.5 Konsumsi CPO Dalam Negeri 4.2.5.1
Konsumsi CPO oleh Industri Minyak Goreng Peningkatan produksi minyak goreng kelapa sawit tentu saja akan
semakin memperbesar kebutuhan akan bahan bakunya. Menurut beberapa produsen minyak goreng yang menggunakan CPO sebagai bahan bakunya, kebutuhan untuk memproduksi munyak goreng setiap ton sangat bervariasi tergantung dari tingkat teknologinya disamping juga peralatan yang digunakan. Ada pabrik yang setiap ton CPO bisa menghasilkan sekitar 0,6 ton minyak goreng. Apabila diambil rata-rata bahwa setiap ton CPO dapat diproses menjadi minyak goreng sebanyak 0,65 ton minyak goreng, maka konsumsi CPO bagi industri minyak goreng sawit tersebut pada tahun 1996 mencapai 2,8 juta ton. Pada tahun 2000 konsumsi CPO menjadi 3,9 juta ton. Pada tahun 2003 konsumsi CPO sedikit mengalami penurunan karena menurunnya jumlah produsen minyak goreng skala kecil. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 4.5 berikut. Tabel 4.5 Konsumsi CPO oleh Industri Minyak Goreng (ton) Tahun
Produksi Minyak Goreng
Konsumsi CPO
1996
1,849,761
2,811,637
1997
2,007,627
3,051,897
1998
2,163,247
3,288,135
1999
2,385,058
3,625,303
62
2000
2,571,990
3,909,425
2001
2,686,061
4,082,813
2002
2,566,959
3,901,778
2003
2,572,800
3,910,656
Sumber: CIC Indonesia, 2004
4.2.5.2
Konsumsi CPO oleh Industri Margarin Margarin secara keseluruhan saat in dibuat dari minyak kelapa sawit,
pembuatan margarin tidak lagi menggunakan minyak kelapa, hal ini terutama dipengaruhi oleh ketersediaan bahan bakunya yang tidak kontinu, disamping harganya sering berfluktuasi. Penggunaan minyak kelapa sawit untuk bahan baku margarin juga lebih efisien sehingga produksi yang dicapai lebih tinggi. Menurut beberapa produesn margarin, komponen minyak sawit dalam produk tersebut mencapai 80% dan sisanya merupakan bahan lainnya. Dengan demikian penentuan pemakaian minyak kelapa sawit untuk produk margarin ini digunakan potongan kandungan minyak sawit dalam margarin yaitu sekitar 80% dari jumlah produksi. Peningkatan produksi margarin selama ini tentu saja membawa pengaruh bagi konsumsi CPO. Pada tahun 1996 pemakaian minyak sawit oleh industri margarin baru sekitar 238 ribu ton, dan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai 324 ribu ton. Adapun konsumsi CPO oleh industri margarin di
63
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini secara singkat dapat dilihat di tabel 4.6 berikut ini. Tabel 4.6 Konsumsi CPO oleh Industri Margarin (ton) Tahun
Produksi Margarin
Konsumsi CPO
1996
297,592
238,074
1997
308,603
246,882
1998
273,374
218,699
1999
328,048
262,438
2000
338,050
270,440
2001
356,452
285,162
2002
384,281
307,425
2003
405,416
324,333
Sumber: CIC Indonesia, 2004
4.2.5.3
Konsumsi CPO oleh Industri Sabun Dalam industri sabun mandi, minyak kelapa sawit merupakan bahan
baku utama. Selain itu dibutuhkan juga beberapa bahan penolong yang diantaranya adalah soda ash, caustic soda dan parfum. Penggunaan CPO dalam industri ini sangat bervariasi tergantung kepada jenis serta mutu sabun yang diproduksi. Bahan baku utama pembuatan sabun ini adalah minyak nabati yang dicampur dengan minyak kelapa. Campuran itu umumnya berkisar sekitar 80% minyak sawit dan minyak kelapa 20% atau tergantung
64
kepada jenis sabun yang akan dihasilkan. Namun secara umum komposisi dapat disimpulkan bahwa untuk 1 ton sabun mandi dibutuhkan 600 kg minyak sawit. Dalam proses produksinya setiap ton minyak nabati yang merupakan campuran antara minyak kelapa dan minyak sawit dapat dibuat sabun mandi sebanyak 1,2 sampai 1,46 ton. Campuran antara minyak sawit dan minyak kelapa mutlak diperlukan karena minyak kelapa bisa meningkatkan busa tetapi campurannya sangat bervariasi tergantung dari jenis dan kualitas sabun yang dikehendaki. Dengan menggunakan asumsi tersebut, pemakaian CPO oleh industri sabun mandi pada tahun 1996 diperkirakan mencapai 308 ribu ton dan pada tahun 2003 diperkirakan mencapai 368 ribu ton. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.7 dibawah ini. Tabel 4.7 Konsumsi CPO oleh Industri Sabun Mandi (ton) Tahun
Produksi Sabun
Konsumsi CPO
1996
513,591
308,155
1997
523,790
314,274
1998
509,134
305,480
1999
537,316
322,390
2000
571,833
343,100
2001
589,920
353,952
2002
593,524
356,114
65
2003
614,297
368,578
Sumber: CIC Indonesia, 2004
4.2.5.4
Konsumsi CPO oleh Industri Oleochemical Oleochemical merupakan hasil olahan dari minyak nabati maupun
hewani, maka bahan bakunya bisa berupa minyak sawit, minyak kelapa, minyak kedelai dan minyak hewani. Sedangkan produsen oleochemical Indonesia pada umumnya menggunakan bahan baku berupa CPO dan minyak inti sawit (PKO) karena bahan baku ini yang termurah dan jumlahnya melimpah. Menurut Departemen Perindustrian, pada umumnya dari 1 ton CPO dapat diproses sekitar 900 kg produk oleochemical. Analisa perhitungan ini masih kasar, sebab produk yang dihasilkan sangat bergantung dari jenis dan tingkat efisiensi prosesnya. Namun sebagai dasar analisa sidah dapat dipergunakan koefisien tersebut, khususnya untuk produk oleochemical yang menggunakan bahan baku CPO atau PKO. Dengan demikian pemakaian CPO untuk industri oleochemical dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut. Tabel 4.8 Konsumsi CPO oleh Industri Oleochemical (ton) Tahun
Produksi Oleochemical
Konsumsi CPO
1996
516,522
573,339
1997
483,663
536,866
1998
564,766
626,890
66
1999
512,676
569,070
2000
529,293
587,515
2001
521,253
578,591
2002
494,946
549,390
2003
497,463
552,184
Sumber: CIC Indonesia, 2004
4.2.5.5
Konsumsi Total CPO Minyak goreng merupakan industri pemakai minyak sawit terbesar di
Indonesia, menyusul industri oleochemical, industri sabun dan yang terakhir industri margarin. Pada tahun 1996 dari total pemakaian CPO sebesar 3.931 ribu ton, pemakaian oleh industri minyak goreng mencapai sebesar 2.811 ribu ton atau mencapai 75,1% dari total pemakaian minyak kelapa sawit. Menyusul kemudian oleh industri oleochemical sebesar 573 ribu ton (14,6%), indsutri sabun sebesar 308 ribu ton (7,8%) dan industri margarin sebesar 238 ribu ton (6,1%). Peranan minyak goreng dalam pemakaian minyak sawit tersebut menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada tahun 2001 dari total konsumsi minyak sawit sebesar 5.300 ton, pemakaian untuk industri minyak goreng mencapai sebesar 4.082 ribu ton atau sekitar 77% dari total pemakaian minyak sawit. Industri oleochemical pada tahun yang sama mengkonsumsi sebesar 579 ribu ton (10,9%), industri sabun sebesar 353 ribu ton (6,7%) dan
67
industri margarin sebesar 285 ribu ton (5,4%) dari total pemakaian minyak sawit nasional. Pada tahun 2002 total konsumsi CPO tercatat sebesar 5.114 ribu ton dan pada tahun 2003 sekitar 5.155 ribu ton dengan proporsi yang hampir sama. Adapun perkembangan konsumsi minyak kelapa sawit oleh masingmasing industri pemakai utamanya secara jelas dapat dilihat pada tabel 4.9 dibawah ini. Tabel 4.9 Konsumsi CPO Total (ton) Tahun
M. Goreng
Margarin
Sabun
Oleochemical
Total
1996
2.811.637
238.074
308.155
573.339
3.931.204
1997
3.051.897
240.882
314.274
536.866
4.149.919
1998
3.288.135
218.699
305.480
626.890
4.439.205
1999
3.625.303
262.438
322.390
569.070
4.779.202
2000
3.909.425
270.440
343.100
587.515
5.110.480
2001
4.082.813
285.162
353.952
578.591
5.300.517
2002
3.901.778
307.425
356.114
549.390
5.114.707
2003
3.910.656
324.333
368.578
552.184
5.155.751
Sumber: CIC Indonesia, 2004
68
6.000.000 5.000.000 M. Goreng
4.000.000
Margarin 3.000.000
Sabun Oleochemical
2.000.000
Total
1.000.000 0 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Grafik 4.2 Konsumsi Total CPO Dalam Negeri
4.2.6 Proyeksi Konsumsi CPO Dalam Negeri 4.2.6.1
Proyeksi Konsumsi Industri Minyak Goreng
Selama beberapa dekade ini industri minyak goreng sawit mengalami kenaikan lebih tinggi dibandingkan dengan produksi minyak goreng kelapa. Bahkan pada saat yang bersamaan produksi minyak goreng kelapa mengalami kecenderungan menurun. Laju pertumbuhan produksi rata-rata minyak goreng sawit dalam beberapa tahun terakhir ini mencapai 6,8% per tahun, sedangkan produksi minyak goreng kelapa hanya mencapai 3% per tahun. Kenaikan produksi ini tampaknya masih akan berlangsung dalam beberapa tahun mendatang yang diantaranya didorong oleh penambahan jumla penduduk yang mencapai 1,8% per tahun. Pada lima tahun mendatang produksi minyak goreng kelapa sawit diperkirakan akan mengalami pertumbuhan lebih dari 4,5% per tahunnya. Dengan
69
tingkat pertumbuhan tersebut maka produksi minyak goreng kelapa sawit pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 2,7 juta ton dan hingga tahun 2008 produksinya diperkirakan akan mencapai 3,2 juta ton. Dengan adanya peningkatan produksi tersebut tentu saja juga akan semakin memperbesar kebutuhan bahan bakunya yang diperkirakan pada tahun 2008 akan menyerap sekitar 4,9 juta ton CPO. Lebih jelasnya mengenai proyeksi produksi minyak goreng kelapa sawit dan konsumsi CPO oleh industri tersebut dalam lima tahun mendatang secara singkat dapat dilihat pada tabel 4.10 dibawah ini. Tabel 4.10 Proyeksi Konsumsi CPO oleh Industri Minyak Goreng (ton)
4.2.6.2
Tahun
Produksi Minyak Goreng
Konsumsi CPO
2004
2,688,660
4.086.763
2005
2.809.640
4.270.067
2006
2.936.083
4.462.847
2007
3.068.207
4.663.675
2008
3.206.277
4.873.540
Proyeksi Konsumsi Industri Margarin
Permintaan akan produk margarin di dalam negeri pada tahun-tahun mendatang diyakini juga akan mengalami kenaikan dengan tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi dari sebelumnya. Pertumbuhan permintaan tersebut terutama didorong oleh konsumsi margarin pada industri biskuit atau juga sektor informal
70
lainnya serta untuk keutuhan rumah tangga seperti pengoles roti atau untuk keperluan memasak. Selama lima tahun mendatang produksi margarin diperkirakan akan mengalami pertumbuhan lebih dari 5,5% per tahun. Tingkat pertumbuhan produksi tersebut lebih tinggi dari yang terjadi beberapa tahun terakhir ini yang rata-rata sekitar 4,8% per tahun. Dengan tingkat pertumbuhan sebesar itu maka pada tahun 2004 produksi margarin diperkirakan mencapai 427 ribu ton dan hingga tahun 2008 akan mencapai 530 ribu ton. Sehingga konsumsi CPO oleh industri ini pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 342 ribu ton, yang akan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun 2008 diperkirakan akan mencapai lebih dari 423 ribu ton. Lebih jelasnya mengenai proyeksi produksi margarin serta proyeksi konsumsi CPO oleh margarin dalam beberapa tahun mendatang secara singkat dapat dilihat pada tabel 4.11 dibawah ini. Tabel 4.11 Proyeksi Konsumsi CPO oleh Industri Margarin (ton) Tahun
Produksi Margarin
Konsumsi CPO
2004
427.774
342.171
2005
451.239
360.991
2006
476.057
380.845
2007
502.240
401.792
2008
529.863
423.891
71
4.2.6.3
Proyeksi Konsumsi Industri Sabun
Demikian juga dengan industri sabun mandi, pada lima tahun mendatang produksinya diperkirakan akan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Krisis ekonomi yang terjadi memang berpengaruh terhadap perkembangan produksi industri ini. Selama enam tahun terakhir ini produksi sabun rata-rata mengalami peningkatan sekitar 2,4% pr tahun. Pada lima tahun mendatang pertumbuhannya diperkirakan akan mengalami peningkatan 3,5%. Peningkatan produksi tersebut selain karena meningkatnya konsumsi di dalam negeri juga akan banyak dipengaruhi oleh tingginya permintaan di pasar ekspor. Dengan proyeksi tingkat pertumbuhan tersebut maka produksi sabun pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 635 ribu ton. Hingga pada tahun 2007 diperkirakan akan mencapai 730 ribu ton. Peningkatan produksi sabun tersebut tentu saja akan mendorong semakin tingginya konsumsi CPO oleh industri ini, sehingga pada tahun 2008 nanti diperkirakan mencapai 437 ribu ton. Adapun proyeksi produksi dan konsumsi CPO di industri sabun dalam lima tahun secara singkat dapat dilihat pada tabel 4.12 dibawah ini. Tabel 4.12 Proyeksi Konsumsi CPO oleh Industri Sabun (ton) Tahun
Produksi Sabun
Konsumsi CPO
2004
635.798
381.479
2005
658.051
394.830
2006
681.082
408.649
72
4.2.6.4
2007
704.920
422.952
2008
729.593
437.756
Proyeksi Konsumsi Industri Oleochemical
Industri Oleochemical di Indonesia dalam lima tahun mendatang diperkirakan akan tetap berkembang. Namun demikian sulit untuk dapat memeprkirakan secara tepat karena sangat dipengaruhi oleh permintaan di pasar internasional, yang merupakan konsumen paling besar. Sedangkan di pasar dalam negeri kebutuhan akan industri ini masih terbatas. Perkembangan produksinya selama ini terlihat berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan hanya sebesar 0,8% per tahun. Dengan asumsi pertumbuhan tersebut maka permintaan CPO oleh industri oleochemical pada tahun 2004 diperkirakan akan mencapai 530 ribu ton dan terus mengalami peningkatan hingga pada tahun 2008 yang diperkirakan akan mencapai 564 ribu ton. Adapun proyeksi produksi oleochemical dan konsumsi CPO oleh sektor industri tersebut selama lima tahun dapat dilihat pada tabel 4.13 dibawah ini. Tabel 4.13 Proyeksi Konsumsi CPO oleh Industri Oleochemical (ton) Tahun
Produksi Oleochemical
Konsumsi CPO
2004
500,448
550,493
2005
503,460
553,795
2006
506,471
557,118
2007
509,510
560,461
73
2008
4.2.6.5
512,567
563,824
Proyeksi Konsumsi CPO Total
Secara keseluruhan, konsumsi CPO di dalam negeri oleh sektor industri pemakainya di pasar dalam negeri masih menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Selama lima tahun mendatang diperkirakan kebutuhan CPO akan meningkat sebanyak 1 juta ton. Dimana konsumsi CPO oleh industri pada tahun 2004 mencapai 5,36 juta ton dan pada tahun 2008 permintaannya menjadi sekitar 6,3 juta ton. Lebih jelasnya mengenai proyeksi konsumsi CPO oleh industri pemakainya selama lima tahun mendatang dapat dilihat pada tabel 4.14 dibawah ini. Tabel 4.14 Proyeksi Konsumsi CPO Total (ton) Tahun
M.Goreng
Margarin
Sabun
Oleochemical
Total
2004
4,086,763
324,171
381,479
550,493
5,360,905
2005
4,270,667
360,991
394,830
553,795
5,580,283
2006
4,462,847
380,845
408,649
557,118
5,809,459
2007
4,663,675
401,792
422,952
560,461
6,048,880
2008
4,873,540
423,691
437,756
563,824
6,299,010
74
7.000.000 6.000.000 5.000.000
M.Goreng
4.000.000
Margarin Sabun
3.000.000
Oleochemical
2.000.000
Total
1.000.000 0 2004
2005
2006
2007
2008
Grafik 4.3 Proyeksi Konsumsi CPO Dalam Negeri
4.2.7 Penyebaran Produsen Pengguna CPO 4.2.7.1
Penyebaran Produsen Minyak Goreng
Pada saat ini di Indonesia terdapat sekitar 84 buah pabrik minyak goreng kelapa sawit dengan kapasitas produksi sebesar 9,2 juta ton. Tetapi dari jumlah tersebut yang aktif berproduksi adalah sebanyak 53 pabrik. Dari keseluruhan pabrik yang masih beroperasi tersebut kapasitas produksi yang ada mencapai 7,2 juta ton. Jumlah terbanyak produsen minyak goreng kelapa sawit pada saat ini masih terdapat di wilayah Sumatera khususnya Sumatera Utara, hal ini dilatarbelakangi oleh ketersediaan bahan baku yang melimpah dan kedekatan dengan sumber bahan baku. Berikut adalah tabel penyebaran produsen minyak goreng dan kapasitasnya di Indonesia
75
Tabel 4.15 Penyebaran Produsen Minyak Goreng Daerah
Jumlah
Kapasitas (ton/thn)
Share
25
3.702.327
51,31%
18
2.106.456
29,2%
Jawa Timur
8
1.379.100
19,12%
Kalimantan Barat
1
30.000
0,4%
Sumatera Jakarta,
Jawa
Barat,
Banten
Sumber: Diolah dari data CIC
4.2.7.2
Penyebaran Produsen Margarin
Industri margarin di Indonesia pada saat ini juga menunjukkan perkembangan yang baik. Pada saat ini setidaknya terdapat 17 industri dengan kapasitas produksi total mencapai 455.200 ton per tahun. Kapasitas produksi tersebut menurut beberapa produsen dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan produksinya. DKI Jakarta tercatat sebagai propinsi yang memiliki kapasitas produksi margarin yang terbesar sekitat 65% dari total kapasitas nasional. Tabel 4.16 Penyebaran Produsen Margarin Daerah
Jumlah
Kapasitas (ton/thn)
Share
Jakarta, Jawa Barat
9
325.400
71,5%
Jawa Timur
3
109.900
24,1%
Sumatera
4
19.900
4,3%
Sumber: Diolah dari data CIC
76
4.2.7.3
Penyebaran Produsen Sabun
Perkembangan
industri sabun, terutama sabun mandi tetap menunjukkan
perkembangan yang baik karena semakin meningkatnya kebutuhan di dalam negeri. Hingga saat ini tercatat paling tidak 25 perusahaan yang memproduksi sabun mandi dan 26 perusahaan yang memproduksi sabun cuci. Sebagian besar industri sabun berlokasi di Pulau Jawa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.17 Penyebaran Produsen Sabun Daerah
Jumlah
Kapasitas
Share
Sumatera
16
94.250
21,8%
Jakarta, Jawa Barat
17
193.868
44,9%
Jawa Timur
16
141.980
32,9%
Kalimantan, Sulawesi
2
1250
0.003%
Sumber: Diolah dari data CIC
4.2.7.4
Penyebaran Produsen Oleochemical
Pembangunan industri Oleochemical murni di Indonesia secara nyata baru terealisasi pada tahun 1975 melalui PT Cisadane Raya Chemical yang berstatus PMDN dan dirintis pada tahun 1974. Secara nasional, produsen oleochemical lebih terpusat pada daerah Sumatera Utara dan Jawa Barat dengan perbandingan yang hampir berimbang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.18 Penyebaran Produsen Oleochemical Daerah
Jumlah
Kapasitas (ton/thn)
77
Share
Sumatera
5
355.900
54%
Jawa Barat
2
303.500
46%
Sumber: Diolah dari data CIC
4.2.8 Proyeksi Pangsa Pasar Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa rute pelayanan CPO yang diajukan dalam rencana bisnis ini adalah yang melayani rute Belawan-Surabaya dan Belawan-Tanjung Priok. Sebagai suatu perusahaan yang baru pertama kali menerjuni bisnis transportasi CPO ini, ditargetkan pangsa pasar yang mampu diraup sekitar 10%. Perkiraan ini dapat dianggap cukup konservatif dan dapat dicapai, malah bisa dilewati apabila kegiatan pemasaran yang dilakukan berhasil mendatangkan konsumen baru. Untuk rute Belawan-Tanjung Priok difokuskan untuk melayani kebutuhan CPO dari para produsen yang berlokasi di propinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Secara detail mengenai komposisi pangsa pasar yang diperkirakan dapat diraup dapat dilihat pada tabel 4.19 dibawah ini. Tabel 4.19 Perkiraan Volume Rute Belawan-Tanjung Priok Tahun 2006 Produsen
Proyeksi
Share
Proyeksi
Supply
Proyeksi
Kebutuhan
Jakarta,
Kebutuhan
Belawan
Target
Nasional
Banten,
Regional
(ton/thn)
Volume
(ton/thn)
Jawa Barat
32%
10% (ton/thn)
Minyak
4,462,847
29.2%
Goreng
78
1,303,152
1,428,111
142,811
Margarin
380,845
71.5%
272,304
121,871
12,187
Sabun
408,649
44.9%
183,484
130,768
13,076
Oleochemical
557,118
46%
256,275
178,278
17,827
2,015,215
1,859,026
185,902
Total
Untuk rute Belawan-Surabaya difokuskan untuk melayani kebutuhan CPO dari para produsen yang berlokasi di propinsi Jawa Timur dan sekitarnya. Secara detail mengenai komposisi pangsa pasar yang diperkirakan dapat diraup dapat dilihat pada tabel 4.20 dibawah ini Tabel 4.20 Perkiraan Volume Rute Belawan-Surabaya Tahun 2006 Produsen
Proyeksi
Share Jawa
Proyeksi
Kebutuhan
Timur
Kebutuhan
Nasional
Regional
(ton/thn) Minyak
4,462,847
19.12%
853,297
Margarin
380,845
24.1%
91,784
Sabun
408,649
32.9%
134,445
Oleochemical
557,118
-
-
Goreng
Total
4.3
1,079,526
Aspek Pemasaran
4.3.1 Market Segmentation Pasar yang akan dituju dalam bisnis ini adalah pasar industri. Secara umum pasar industri lebih homogen daripada pasar konsumen karena dari segi jumlah jauh
79
lebih sedikit pemainnya. Namun demikian tetap saja terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat menjadi dasar bagi pengelompokkan konsumen. Perbedaan-perbedaan tersebut bisa berupa kondisi keuangan, keinginan, lokasi, sikap terhadap suatu produk dan perbedaan lainnya. Dari perbedaan-perbedaan ini dapat dilakukan segmentasi pasar. Tidak ada cara yang tunggal dan sama bagi setiap manajemen perusahaan untuk melakukan segmentasi pasar. Manajemen dapat melakukan pengkombinasian dari beberapa variabel untuk mendapatkan suatu cara yang paling pas dalam segmentasi pasarnya. Dalam hal ini, segmentasi pasar industri untuk bisnis pelayanan kargo CPO PT XYZ akan dibagi berdasarkan beberapa aspek sebagai berikut. Tabel 4.21 Segmentasi Geografis GEOGRAFIS Negara
Republik Indonesia
Propinsi
Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta
Kotamadya
Bandung, Surabaya
Iklim
Tropis
Tabel 4.22 Segmentasi Demografis DEMOGRAFIS Usia Industri
Diatas 5 tahun
Jenis Industri
Industri Sabun mandi, margarin, minyak goreng dan oleochemical
Penghasilan
Diatas Rp 10 milyar per tahun
80
Segala
Pendidikan
jenis
golongan
dan
tingkat
pendidikan Kelas Sosial
Menengah ke atas
Warga Negara
Warga Negara Indonesia dan Asing
Tabel 4.23 Segmentasi Perilaku PERILAKU User status
Potential user, First time user and Regular user
Usage state
Light user, Medium User, Heavy user
Loyality status
Low, Medium, Strong
Buyer
Aware, Informed and Interested
Readiness stage Attitude Toward Enthusiastic, Positive Product
Tabel 4.24 Segmentasi Konsumen Industri Tramper Critical needs
Good service
Demographics
High
COA Good and continual service
income,
well High income, well established,
established, educated Decision maker
educated
Purchasing manager and Purchasing director
director
81
manager
and
Setelah mengevaluasi segmen-segmen yang berbeda, manajemen perusahaan dapat mempertimbangkan dan memilih pola pemasaran pasar seperti apa yang tepat untuk mengembangkan bisnis ini.
4.3.2 Market Targeting Setelah segmen pasar diketahui, selanjutnya perusahaan perlu melakukan analisa untuk dapat memutuskan berapa segmen pasar yang akan dicakup dan dilayani karena akan sangat sulit bagi perusahaan untuk dapat melayani semua segmen yang ada. Keunggulan kompetitif suatu perusahaan hanya dapat dieksploitasi untuk memuaskan keinginan beberapa segmen konsumen saja. Analisis dapat dilakukan dengan menelaah faktor-faktor seperti ukuran dan pertumbuhan segmen dan kemenarikan struktural segmen. Tabel 4.25 Penetapan Sasaran Konsumen M1
M2
X
X
p1 p2 p3
Keterangan:
p = produk M = Market
Dalam hal ini, perusahaan berkonsentrasi dalam memberikan suatu servis yang terstandarisasi yang ditujukan untuk melayani keseluruhan segmen yang dengan
82
berbagai kebutuhan yang diinginkan. Melalui strategi standarisasi pelayanan dan kualitas, perusahaan berusaha membangun reputasi yang kuat di bidang usaha ini.
4.3.3 Marketing Approach Pemasaran space pemuatan kapal dalam hal ini dibedakan menjadi dua segmen yang berbeda seperti tersebut di bawah ini; a. Segmen market spot atau tramper (berdasarkan Voyage Contract) – kontrak yang berbeda-beda untuk setiap single voyage b. Segmen market COA – kontrak yang sama untuk beberapa serial voyage Secara natural dan konteks hubungan dengan shipper (yang dalam hal ini adalah customer), pengelompokan kedua market segmen tersebut untuk membedakan metode pendekatan pemasaran yang diterapkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah pentingnya keberhasilan kinerja divisi pemasaran dalam menunjang rencana bisnis ini. Terdapat dua departemen dari organisasi PT. XYZ yang terlibat secara aktif dalam usaha-usaha pemasaran space pemuatan kapal, yakni Departament Chartering di bawah koordinasi Divisi Comercial and Operation dan Business Dev / Marketing Executive di bawah koordinasi Divisi Marketing and Business Development.
4.3.3.1 Segmen Tramper Pada segmen pasar ini, space / ruang pemuatan kapal ditawarkan kepada pemakai (shipper) secara spot berdasarkan ketersediaan kapal pada suatu kondisi lay
83
can.(pada rentang waktu tertentu). Pada prinsipnya si pemilik barang (shipper) menginformasikan ketersediaan barang muatan (cargo) mereka melalui perantara “Cargo Broker” kepada pihak Ship Operator (carrier) untuk diangkut dari satu pelabuhan muat tertentu ke pelabuhan bongkar tujuan yang dimulai pada satu rentang waktu tertentu yang biasa disebut lay can. Sementara para Ship Operator (carrier) jika pada saat yang sama memiliki ketersediaan space pemuatan pada kapal mereka yang memiliki kesesuaian dengan lay can sesuai yang ditawarkan oleh pihak shipper, melalui pihak “Cargo Broker” menawarkan tingkat harga freight kepada pihak shipper. Setelah disepakati tingkat freight dan kondisi pemuatan tertentu, maka muatan (cargo) akan diangkut oleh shipper dibawah suatu kontrak voyage yang telah disepakati dimuka. Dalam hal ini kebanyakan kasus pihak Cargo Broker akan mendapatkan fee atau komisi atas jasa intermediasinya dari pihak shipper. Dalam segmen market ini Departemen Charatering lebih banyak berperan dalam pemasaran space pemuatan kapal-kapal armada PT. XYZ. Dalam pelaksanaan tugasnya tersebut, departemen ini banyak bersentuhan dengan pihak-pihak seperti tersebut di bawah ini; 1. Pihak Cargo Broker 2. Pihak Shipper (bisa sebagai pemilik barang, baik itu “Industri penghasil atau pengguna” maupun hanya sebatas Cargo Integrator atau trader)
84
3. Pihak Ship Operator atau Shipping Company yang lain (terdapat banyak kasus dimana pemilik barang / cargo juga memiliki dan mengoperasikan kapal) Untuk menjamin kelanjutan order dan kesinambungan operasional kapalkapal armada Departemen Chartering memiliki kewajiban untuk selalu menjaga dan membina hubungan baik (relasi) dengan pihak-pihak yang sudah disebut di atas. Yang salah satu pendekatannya dapat dilakukan dengan selalu memberikan up-date ketersediaan kapal dan utilitas ruang (space) pemuatan kapal secara akurat, dan berkala (timely manner) kepada pihak-pihak yang disebut di atas setidaknya untuk fix shipment schedule satu bulan di muka.
4.3.3.2 Segmen COA Pada segmen market ini, space pemuatan kapal ditawarkan kepada pihak Industri pemilik muatan (cargo) atau pihak Cargo Integrator (Trader) untuk didedikasikan mengangkut sejumlah volume muatan dalam satu kurun waktu tertentu (terdiri dari beberapa shipment atau pengapalan). Dalam hal ini pihak Ship Operator (carrier) berkewajiban untuk selalu menyediakan space kapalnya (bisa beberapa kapal yang berbeda) setiap saat untuk mengangkut sejumlah volume cargo yang telah disepakati, sebaliknya shipper (pemilik cargo) berkewajiban pula untuk selalu menyediakan muatan (cargo) mereka sejumlah volume yang telah disepakati dalam satu kurun waktu tertentu.
85
Untuk segmen market ini yang banyak berperan dalam pemasaran space kapal kepada pihak pemilik muatan (cargo) baik itu sebagai Industri penghasil atau pengguna maupun Cargo Integrator (Trader) adalah Bagian Marketing / Business Development Executive. Dalam hal ini space kapal untuk COA ditawarkan kepada industri yang memiliki cargo, tentunya dengan iming-iming berupa harga freight yang lebih kompetitif dari market dan juga jaminan ketersediaan kapal setiap saat dibutuhkan. Secara natural bentuk kontrak ini memberikan kemudahan berupa jaminan kepada kedua belah pihak, ketersediaan kapal dipihak shipper dan juga kelanjutan/ kesinambungan operasional di pihak carrier selama masa kontrak (biasanya selama satu tahun) Dalam pemasaran space kapal untuk segmen market ini, Bagian Marketing/ Bisdev Executive membina hubungan baik dengan pihak-pihak Industri pemilik muatan dengan cara membangun suatu kepercayaan dan komitmen jangka panjang, dalam bentuk kunjungan rutin, penyampaian presentasi, pemberian company profile dari PT. XYZ yang memberikan gambaran PT. XYZ sebagai reliable partner untuk masalah transportasi laut yang memiliki standard quality yang tinggi yang selalu menjamin tingkat kepuasan pelanggan.
4.3.4 Pricing Policy Secara umum Pola Kebijakan Penentuan Freight yang berlaku pada PT. XYZ mengacu kepada dan ditentukan oleh dua hal sebagai berikut:
86
i. Perhitungan biaya voyage (seluruh biaya baik fixed maupun variabel yang harus ditanggung untuk mengangkut muatan, dalam konteks pembahasan ini adalah “CPO” dalam jumlah volume tertentu dari suatu pelabuhan muat tertentu ke pelabuhan bongkar tertentu dan menempuh jarak sekian miles, termasuk juga didalamnya biaya pajak dan komisi jika ada). ii. Tingkat freight yang berlaku di pasar Pada suatu prospek pengangkutan muatan (dalam konteks ini adalah CPO) dari suatu pelabuhan pemuatan tertentu ke pelabuhan bongkar tertentu semua komponen biaya pengapalan tersebut dapat diketahui dan dihitung dimuka (sebelum proses pengapalan dilakukan). Dari sana akan dapat diketahui total biaya yang harus ditanggung untuk melaksanakan proses pengapalan tersebut. Jika total biaya yang dimaksud sudah diketahui, tentunya biaya freight minimal untuk menutup biaya pengangkutan per-ton muatan CPO dapat diketahui. Setelah unit freight per-ton muatan sudah diketahui maka penentuan harga freight (per-ton) yang akan diberikan kepada shipper dapat ditentukan berdasarkan satuan freight rate yang berlaku dipasar pada saat itu untuk ukuran shipment (volume) muatan dan ukuran kapal (tonase) tertentu, tentunya dengan tetap mempertimbangkan tingkat profitabilitas maksimal yang dapat diberikan kepada perusahaan dan atau juga pertimbangan-pertimbangan taktis pemberian bonus yang meliputi beberapa aspek seperti tersebut di bawah ini; a. Kontinuitas order dari Prime Customer yang memungkinkan untuk diberikannya suatu bonus tertentu
87
b. Kontinuitas voyage yang memungkinkan untuk diperolehnya consecutive voyage atau back haul cargo dari pelabuhan bongkar yang di tuju. c. Optimalisasi shipment lot yang memungkinkan tingginya load factor dari suatu perjalanan kapal (voyage) Dari semua perhitungan biaya voyage, secara umum dapat di simpulkan halhal sebagai berikut; 1. Semakin besar ukuran kapal dan shipment lot (ukuran volume pengapalan) maka unit cost akan menjadi lebih kecil untuk carrier (pengoperasi kapal). 2. Secara alamiah semakin tinggi/bagus kondisi kapal (kapal yang masih baru/muda) maka unit cost per-milege dan per-ton muatan akan menjadi semakin tinggi. 3. Secara umum shipper yang menawarkan suatu consecutive voyage atau yang mampu memberikan suatu back haul cargo (muatan balik) pada carrier (pengoperasi kapal) maka tentunya akan berhak untuk mendapatkan harga freight yang lebih kompetitive 4. Freight akan semakin tinggi untuk jarak (mileage) yang semakin jauh 5. Freight rate berbeda untuk masing-masing jenis muatan dan biasanya juga berbeda dari waktu ke waktu (berdasarkan kondisi supply and demand) Pada pelaksanaannya Pola Kebijakan Penentuan Freight pada PT. XYZ diterjemahkan lebih jauh menjadi suatu bentuk petunjuk pelaksanaan penentuan freight yang menjadi petunjuk dan rujukan dari Departement Chartering dalam pelaksanaan tugasnya dalam rangka memasarkan space pemuatan kapal armada.
88
Adapun petunjuk pelaksanaan itu sendiri meliputi hal-hal sebagai berikut di bawah ini; 1. Staff Chartering Executive mempersiapkan perhitungan cost dan freight untuk setiap prospek pengangkutan muatan. 2. Staff Chartering Executive membandingkan perhitungan cost dengan freight rate yang ada di market. 3. Staff Chartering Executive mengajukan dan mendiskusikan hasil perhitungan dengan Chartering Manager. 4. Chartering Manager berdasarkan data-data yang disajikan Chartering Executive memutuskan tingkat freight yang dikehendaki dalam penawaran disertai dengan petunjuk strategi negosiasi. 5. Staff Chartering Executive menyampaikan penawaran kepada prospek customer dan menegosiasikan seperlunya. 6. Untuk
kasus-kasus
tertentu
Chartering
Manager
berhak
untuk
memberikan bonus khusus kepada pihak customer tentunya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dan atas sepengetahuan General Manager. 7. Untuk shipment regular (regular customer) Chartering Executive berhak memutuskan tingkat freight (tanpa sepengetahuan Manager) berdasarkan batasan-batasan yang sudah ditetapkan dan disetujui Chartering Manager.
89
4.3.5 Competitor Analysis •
BLTR PT. Berlian Laju Tanker didirikan pada tahun 1981 dengan nama PT. Bhaita Laju Tanker dan memulai bisnisnya dengan 2 kapal tanker minyak. Secara legal perusahaan mengubah namanya menjadi PT. Berlian Laju Tanker pada tahun 1988 dan sampai saat ini mengoperasikan 51 kapal tanker. Seiring dengan pertumbuhan industri petrochemical, perusahaan memperluas bisnisnya.
Pada tahun 1989, perusahaan memilah bisnis transportasinya
menjadi liquid cargo seperti kimia, Liquified Petroleum Gas (LPG), Palm oil dan Molas. Perusahaan ini menjadi perusahaan terbuka pada tahun 1990. Mission Statement: Is to serve the public interest, as well as the needs of our Customers by preventing loss of life, marine casualties, and environmental pollution. BLTR fokus dalam transportasi industrial liquid bulk cargo dan jasa-jasa kelautan, bertujuan untuk memposisikan dirinya sebagai specialized shipping company di industrial tankers.
Bisnisnya meliputi spot market, kontrak
jangka pendek dan panjang (COA). BLTR mempunyai 15 kapal oil tanker, 32 kapal chemical tanker dan 4 kapal gas carrier. Pada saat ini BLTR telah memasuki transportasi CPO dengan mengoperasikan 1 kapal khusus. •
Tahta Bahtera Tahta Bahtera bukan merupakan perusahaan terbuka. Pada saat ini Tahta Bahtera mengoperasikan dua kapal yang melayani rute domestik dengan total
90
kapasitas 7,700 DWT dengan usia rata-rata kapal 26 tahun. Tahta Bahtera juga belum melayani jalur angkutan CPO. •
Taruna Cipta Kencana Taruna Cipta Kencana adalah salah satu anak perusahaan Salim Group yang juga bergerak di bidang transportasi liquid. Pada saat ini TCK mengoperasikan 8 kapal dengan total 67,000 DWT. Usia rata-rata kapal adalah 30 tahun. Pada saat ini TCK sudah melayani transportasi CPO dengan kakuatan sekitar 3 kapal.
Dari analisis kekuatan kompetitor perusahaan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang menjadi kompetitor utama di bidang bisnis CPO ini adalah PT Berlian Laju Tanker dan Taruna Cipta Kencana. Hal ini dikarenakan BLTA dan TCK mempunyai konsentrasi bisnis yang sama dengan PT XYZ yaitu di bidang liquid cargo, termasuk didalamnya adalah cargo CPO yang selama ini telah dilayani oleh BLTA dan TCK.
4.4
Aspek Teknis
4.4.1 Pemilihan Jenis Kapal Secara umum berdasarkan IMO, jenis muatan (cargo) CPO dikategorikan sebagai salah satu jenis muatan non-IMO, dalam arti tidak masuk ke dalam jenisjenis muatan yang pelaksanaannya di atur oleh aturan-aturan IMO. Dengan demikian berarti jenis muatan tersebut secara umum dinilai memiliki potensi
91
hazard yang rendah terhadap lingkungan (untuk potensi bahaya polusi) dan kesehatan manusia. Namun demikian salah satu hasil dari pertemuan MEPC - 52 (Marine Environment Protection Committee), Organisasi Maritime Internasional (IMO) merekomendasikan untuk meningkatkan status cargo CPO dari sebelumnya nonIMO cargo menjadi IMO type III cargo, dimana penerapannya secara keseluruhan akan dilaksanakan pada tahun 2007 dan sosialisasinya sudah dimulai dari sekarang. Namun demikian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan pemilihan jenis kapal tanker yang tepat untuk jenis muatan (cargo) CPO ini beberapa hal di bawah perlu diperhatikan: (i) Berdasarkan jenis design dan konstruksi, jenis muatan ini memerlukan cukup kapal non IMO (sampai tahun 2007), tentunya pengunaan kapal tanker dengan standard yang lebih tinggi (IMO class type II or III) akan sangat diperbolehkan, tetapi kembali lagi pertimbangan ekonomis tentunya harus diperhatikan. (ii) Berdasarkan jenis coating atau lining dari tanki pemuatan, cukup bare steel (tanpa pelapisan) dan tidak diperkenankan penggunaan jenis pelapisan (coating) berbahan dasar Epoxy atau phenguard, tentunya penggunaan kapal dengan tangki stain less atau zinc coated diperbolehkan, tetapi kembali masalah ekonomis harus diperhatikan. (iii)Peralatan standard tangki pemuatan, dibutuhkan heating coils pada setiap tangki pemuatan untuk menjaga kualitas atau kondisi muatan di
92
ruang pemuatan pada saat perjalanan (pelayaran) terutama terhadap kemungkinan pembekuan minyak CPO. (iv) Jika kapal yang dimaksud direncanakan untuk suatu saat mengangkut jenis muatan lain selain CPO, maka diperlukan adanya peralatan Cleaning Machine dalam jumlah dan kapasitas yang memadai, sedangkan jika kapal tersebut selamanya memang didedikasikan khusus untuk memuat CPO maka kebutuhan akan adanya peralatan Tank Cleaning Machine tidaklah mutlak. (v) Peralatan standard pemompaan, untuk kebutuhan dasar pemompaan (baik Loading maupun Discharge) dibutuhkan suatu sistem perpipaan dan pompa dengan jenis dan kapasitas yang memadai serta sesuai dengan jenis muatan (CPO) yang kualitasnya bersifat sangat rentan terhadap kontaminasi (misal: dari cairan hidrolik)
4.4.2 Fleet Maintenance Policy Secara umum permasalahan-permasalahan klasik yang berkaitan dengan permasalahan perawatan dan perbaikan yang selalu dihadapi oleh kapal sebagai sarana angkut laut, yang membuat suatu kebijakan perawatan kapal yang efektif menjadi sangat penting adalah hal-hal sebagai berikut; 1. Tingginya tingkat isolasi dari suatu kapal pada saat beroperasi di tengah laut (jauh dari tempat fasilitas repair dan spare parts) 2. Tingginya nilai atau harga dari suatu kapal dan komponen-komponennya
93
3. Beratnya biaya yang harus ditanggung apabila kapal sampai downtime (tidak dapat bekerja) 4. Tingkat biaya dan kualitas pekerja repair dan komponen repair (spare part) yang sangat bervariasi di seluruh dunia 5. Para crew kapal adalah operator yang sekaligus sebagai pihak yang harus merawat kapal. 6. Crew kapal (awak kapal) yang selalu berganti-ganti dari waktu ke waktu. (dalam kurun waktu tertentu) 7. Tingginya tingkat bahaya akan keselamatan manusia, pelayaran dan lingkungan.
Tujuan dari suatu kebijakan perawatan yang efektif adalah sebagai berikut; 1. Untuk memastikan ketersediaan atau kesiapan dari peralatan-peralatan yang ada. 2. Untuk memastikan tingkat kecukupan dari efisiensi peralatan. 3. Untuk mengontrol laju kerusakan dari peralatan. 4. Untuk mengombinasikan semua tujuan yang telah disebut di atas sehingga suatu tingkat biaya yang paling optimal dapat dicapai.
Pada akhirnya suatu kebijakan perawatan yang baik akan banyak membantu untuk mengoptimalkan seluruh biaya perawatan kapal yang harus ditanggung oleh perusahaan pelayaran dalam berbagai hal sebagai berikut; 1. Suatu tingkat penurunan biaya perawatan
94
2. Penurunan biaya Running Cost 3. Tingkat efisiensi yang tinggi 4. Tingkat downtime (kapal tidak dapat beroperasi) yang rendah
Dalam konteks operasional kapal-kapal armada PT. XYZ, seperti yang sudah pernah disinggung dan di bahas pada bab terdahulu (Manajemen Armada), PT XYZ mempercayakan pengelolaan dan perwatan kapal-kapal armadanya kepada pihak Ship Management (satu pihak ketiga yang independent) dalam suatu Kontrak Manajemen. Pelaksana manajemen kapal-kapal armada PT. SSS adalah PT. XXX yang merupakan suatu perusahaan tersendiri yang secara profesional dan fokus menangani pengelolaan dengan perawatan termasuk di dalamnya dari kapal-kapal armada.
4.4.2.1 Kebijakan Pemeliharaan Dalam melaksanakan pengelolaan dan pemeliharaan kapal-kapal armada PT. XYZ, PT. XXX sebagai perusahaan Manajemen Kapal (Ship Management) yang profesional telah menggariskan suatu pola kebijakan perawatan kapal secara umum yang disebut Kebijakan Pemeliharaan Pencegahan (Preventive Maintenance). Secara umum Kebijakan Pemeliharaan Pencegahan tersebut meliputi usahausaha yang dilakukan untuk mengantisipasi (mencegah) suatu kerusakan dengan suatu usaha inspeksi (pengecekan) yang rutin dan berkala, service dan perbaikan yang berkala dan terencana, dimana hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga peralatanperalatan pada suatu tingkat kondisi dimana kemungkinan kerusakan-kerusakan dapat diminimalkan.
95
Dalam pelaksanaanya apa yang harus dilakukan dan kapan harus dilakukan secara rutin dan terencana dari kebijakan pemeliharaan tersebut, didesain untuk selalu mengacu kepada hal-hal sebagai berikut: 1. Pabrik (Manufacturer) – Operation & Service Manual dan terutama kondisi jaminannya. 2. Classification Survey – Survey dan inspeksi Keas Kapal 3. Tuntutan dari Governmental Body (Departemen Perhubungan Laut) – Survey dan inspeksi dari pemerintah. 4. Tuntutan dari Pihak Asuransi kapal (seperti tertera dalam Polis) 5. Catatan / Record atau berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya
Lebih jauh kebijakan pemeliharan itu sendiri diterjemahkan kedalam suatu tataran operasional menjadi suatu bentuk Sistem Pemeliharaan Terencana (Planned Maintenance System) untuk setiap kapal-kapal armada. Dalam applikasinya PT. XXX telah berhasil membangun suatu sistem komputerisasi terpadu melalui suatu penerapan software Planned Maintenance System (PMS) pada kapal-kapalnya.
4.4.2.2 Pola Kebijakan Penentuan Vendor Sebagai suatu perusahaan yang memiliki standard mutu (ISO) dan memiliki standard keselamatan yang tinggi, dalam penentuan vendor pelaksana pekerjaan repair dan penyuplai barang-barang kebutuhan kapal, PT XXX memiliki dan selalu
96
berpedoman pada petunjuk pelaksanaan pemilihan vendor yang antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Vendor harus terdaftar pada Approved List Vendor yang selalu dievaluasi dan dinilai secara berkala. 2. Vendor memiliki standard mutu yang sama (bersertifikasi) dan memiliki concern yang sama atas nilai keselamatan (safety) 3. Vendor memberikan jasa dan barang dengan tingkat fairness dan competitiveness yang tinggi 4. Untuk tenaga repair peralatan, hanya vendor yang memiliki kualifikasi & kompetensi personal dan metoda pekerjaan yang sesuai dengan tuntutan standard dari pabrik pembuat peralatan tersebut (manufacturer) 5. Untuk Supplier, hanya vendor yang mampu memberikan spare parts genuine dengan kualitas seperti rekomendasi dari pabrik pembuat (manufacturer) 6. Vendor yang memiliki komitmen kerja sama yang tinggi atas batas waktu (time frame) yang diberikan. 7. Vendor yang mampu memberikan nilai jaminan kepuasan yang fair.
Seperti yang sudah digariskan di atas, untuk spare parts PT. XXX hanya akan memilih dan menggunakan spare parts yang genuine (original) dan bersertifikat jelas dengan kualitas yang sesuai dengan tuntutan manufacturer, sedangkan untuk jasa repair, hanya akan diberikan kepada subcontractor yang memiliki metoda kerja dan
97
kualifikasi dan kompetensi personnel yang sesuai dengan tuntutan atau rekomendasi dari manufacturer.
4.5
Aspek Lingkungan Industri
4.5.1 Analisis Internal Perusahaan
Strength -
Untuk menjamin kemampuan menyediakan quality services secara konsistensi yang diinginkan oleh para pelanggan, PT XYZ telah mengimplementasikan Quality Management System yaitu ISO 9001:2000.
-
PT XYZ telah berhasil memenuhi semua persyaratan yang dibutuhkan untuk mendapatkan International Safety Management Code (ISM Code). Dimana keamanan di atas kapal tidak diragukan lagi.
-
Samudera Indonesia sudah berdiri sejak tahun 1965, sehingga sudah lama dikenal dibidang pelayaran, dan juga mempunyai pengalaman yang sangat tinggi dibidangnya.
-
Liquid Financing, dengan nama yang sangat baik dan juga pengalaman dibidangnya, Samudera Indonesia memiliki kemudahan dalam segi pembiayaan penambahan kapal baru.
-
Sudah mempunyai jaringan diseluruh pelabuhan di Indonesia dan memiliki kantor cabang perwakilan disetiap pelabuhan tersebut
-
Mempunyai cakupan jelajah bisnis yang cukup luas untuk level internasional.
98
Weakness -
Sistem pemasaran yang masih kurang memadai dan sangat manual
-
Keterbatasan hubungan dengan para broker, dimana sebagian besar pemasarannya masih tergantung pada broker.
-
Keterbatasan hubungan dengan para produsen, karena strategi pemasarannya masih bergantung pada broker
-
Kapasitas kapal–kapal yang dimiliki perusahaan relatif besar, sehingga perusahaan mempunyai keterbatasan untuk menjangkau tempat yang tidak dapat dilalui oleh kapal yang relatif besar
Opportunity -
Dari segi pemasaran, dengan melakukan Business Process Re-engineering dan ditunjang dengan teknologi sistem informasi yang sangat memadai, maka diduga dapat meningkatkan penjualan dan juga dapat menurunkan harga jual jasa.
-
Dengan adanya Inpres No. 5/2005, dimana Presiden menginstruksikan muatan pelayaran dalam negeri wajib diangkut dengan kapal berbendera Indonesia, dan juga kapal tersebut dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional, maka diharapkan market share bagi perusahaan ini akan bertambah.
-
Masih banyak jenis angkutan jenis dry and liquid cargo yang dapat dilayani oleh perusahaan di masa datang
99
Threats -
Inpres No. 5/2005 juga membawa ancaman, dimana akan bertambahnya pesaing lokal, jika perusahaan tidak mewaspadai hal ini dan tidak merespon dengan cepat dan tepat, pesaing lokal ini dapat merebut market share yang tersedia.
-
Resiko terjadinya fluktuasi nilai tukar rupiah dan perubahan tingkat suku bunga akan mempengaruhi kondisi keuangan perusahaan.
4.5.2 Analisis Eksternal Perusahaan 4.5.2.1
Ancaman Pendatang Baru
Dengan adanya Inpres No.5/2005, maka akan banyak pendatang-pendatang baru dari perusahaan pelayaran domestik yang dapat menjadi pesaing. Akan tetapi dengan dilindungi oleh regulasi-regulasi yang ada, kemudian untuk memulai bisnis dibidang ini membutuhkan start-up cost yang sangat tinggi, disamping itu dengan keberadaan perusahaan sejak tahun 1965 yang sudah mempunyai brand yang baik, maka dapat disimpulkan ancaman bagi para pendatang baru masih tergolong rendah.
4.5.2.2
Persaingan dalam Industri
Untuk perusahaan pelayaran domestik, hanya ada beberapa perusahaan yang mempunyai standar manajemen kualitas (ISO) dan keamanan (ISM Code) yang setara dengan SSS, sehingga persaingan dari sisi tersebut tidak terlalu tinggi. Akan tetapi terjadi persaingan yang cukup tinggi untuk harga yang ditawarkan, sebab fixed cost dan running cost untuk memenuhi standar kualitas relatif besar. Apabila para
100
shippers sudah memperhatikan masalah keamanan dan kualitas maka PT XYZ mempunyai keunggulan dibanding kompetitor kecil lainnya.
4.5.2.3
Ancaman Jasa Pengganti
Untuk industri ini, produk yang perusahaan tawarkan tidak banyak mempunyai produk pengganti, hanya saja kapasitas kapal yang beragam yang menjadi obyek customization. Selain itu, untuk transportasi jangka pendek masih dapat menggunakan jasa mobil tanki tentunya dengan kapasitas yang jauh lebih kecil. Sehingga dapat disimpulkan ancaman dari produk pengganti hampir tidak ada.
4.5.2.4
Kekuatan Tawar Konsumen
Kemampuan dari para pembeli menggambarkan efek pembeli sangat mempengaruhi dari profitabilitas perusahaan. Transaksi antara penjual dan pembeli akan membuat suatu nilai untuk kedua belah pihak.
Jika pembeli mempunyai
economic power yang lebih dibanding penjual, maka kemampuan penjual untuk mendapatkan porsi dari nilai transaksi itu akan menurun, dan akan mendapat profit yang lebih kecil. Produk dari perusahaan ini adalah jasa transportasi, untuk industri tersebut di Indonesia banyak pesaingnya, tapi yang mempunyai skala besar relatif sedikit. Pengguna jasa transportasi ini sangat sensitif terhadap harga (Price sensitive), sehingga mereka akan mencari harga yang termurah. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa para pengguna jasa mempunyai Bargaining power yang cukup kuat.
101
4.5.2.5
Kekuatan Tawar Supplier
Setiap bisnis memerlukan input, dalam hal ini misalnya vendor kapal, perawatan kapal, bahan bakar, dan lainnya. Sebagai bahan pertimbangan, supplier tidak berhubungan atau menjual barang langsung kepada para customer, kemudian adanya persaingan yang ketat diantara para supplier tersebut, disamping itu biaya yang dikeluarkan untuk pindah supplier (Switching Cost) yang relatif rendah, maka dapat disimpulkan bahwa Bargaining Power yang dimiliki oleh para supplier relatif lemah. Lagipula rekanan yang melakukan perawatan kapal bagi perusahaan masih merupakan satu grup dengan PT XYZ.
4.6
Aspek Finansial
4.6.1 Biaya Operasional Kapal PT XYZ Secara umum struktur biaya operasional Armada XYZ dibagi menjadi beberapa kelompok biaya seperti tersebut di bawah; 1. Biaya Kapal (Vessel Cost) Yaitu kelompok semua biaya yang melekat pada pengoperasian suatu kapal baik pada saat digunakan untuk aktifitas yang menghasilkan revenue maupun tidak, kelompok biaya ini terdiri dari; (i.)
Biaya Running Cost, terdiri dari Biaya Asuransi (M&M and P&I), Perawatan dan perbaikan, Biaya supply dan persediaan, Biaya gaji Crew Laut, Biaya akomodasi di laut, Biaya Radio dan komunikasi
(ii.) Biaya Depresiasi
102
(iii.) Biaya Interest (Bunga) Kelompok biaya (ii) dan (iii) biasa disebut kelompok Biaya Modal (Capital Expenditure) sedangkan kelompok biaya (i) biasa disebut Biaya Operasional (Operational Expenditure) 2. Biaya Perjalanan (Voyage Cost) Yaitu kelompok semua biaya yang melekat pada perjalanan suatu kapal dari satu pelabuhan (port) ke pelabuhan lain baik untuk aktivitas yang sifatnya menghasilkan revenue maupun tidak, kelompok biaya ini terdiri dari; (i.)
Biaya Bahan bakar (bunker), terdiri dari Bahan bakar Mesin Induk maupun mesin Bantu untuk beberapa lama (hari) perjalanan.
(ii.) Biaya Port Disbursement, yang terdiri dari komponen Biaya pada saat di pelabuhan (Port Expense, misal: biaya agen) dan Biaya sewa pelabuhan (Port Charges) yang besarnya berbeda tergantung dari tiap pelabuhan. 3. Alokasi Biaya Umum (G&A Allocation) Yaitu kelompok biaya administrasi dan umum yang terdiri dari biaya komisi, biaya administrasi dan lain-lain yang besarnya tergantung dari kesepakatan manajemen.
4.6.2 Financial Projection Dalam subbab ini akan ditampilkan beragam hasil perhitungan secara finansial dari bisnis ini. Proyeksi perhitungan dibuat sampai dengan 10 tahun mendatang. Adapun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan kelayakan bisnis ini adalah pada besaran Interest rate of return dan Profitability on sales. Semakin tinggi
103
nilai IRR dan POS maka bisnis ini semakin menguntungkan. Perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 5. 4.6.2.1
Penjelasan Asumsi
Dalam perhitungan finansial ini terdapat beberapa asumsi yang digunakan untuk mendukung kelancaran perhitungan kelayakan bisnis ini. Asumsi-asumsi yang digunakan tersebut didasarkan pada pengalaman historis perusahaan dan melihat kondisi pasar ekonomi secara makro di Indonesia. Beberapa asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut: •
Dalam permodalan untuk pembelian kapal diasumsikan sekitar 70% modal berasal dari pinjaman lunak dengan suku bunga sekitar 6% yang akan dibayarkan setiap kuarter selama 10 tahun. Sisa dana 30% berasal dari modal perusahaan.
•
Masa perhitungan untuk analisa kelayakan ini dilakukan dengan tenure 10 tahun, pada umumnya usia kapal dapat mencapai 25 tahun. Pada akhir tahun ke-10 perhitungan, kapal tersebut diasumsikan dijual dengan harga sesuai dengan perhitungan book value pada saat itu.
•
Perhitungan dilakukan dalam mata uang US dollar dan diasumsikan nilai tukar 1 $ adalah Rp 9300, sesuai dengan asumsi dalam APBN revisi 2005.
•
Harga bahan bakar yang digunakan adalah harga bahan bakar yang ditentukan oleh Pertamina selaku pihak yang menyediakan di Indonesia. Biaya untuk bahan bakar diasumsikan meningkat sebesar 5% per tahun.
104
•
Biaya untuk Port Disbursement ditentukan oleh masing-masing pengelola pelabuhan dan diasumsikan akan mengalami kenaikan sebesar 5% per tahun.
•
Biaya untuk komisi kepada broker selaku marketing channel yang digunakan oleh perusahaan sebesar 1,5%, sesuai dengan kondisi umum yang terjadi di pasar sekarang ini.
•
Biaya-biaya untuk Pre-operational cost telah dihitung sesuai dengan pola perhitungan standar yang pada umumnya dipakai oleh perusahaan pelayaran dalam melakukan feasibility study sebelum melakukan pembelian kapal.
•
Jumlah vessel day diasumsikan bervariasi dari tahun ke tahun karena pada prakteknya setiap kapal pasti mengalami downtime yang bervariasi penyebabnya dan tingkat kerusakannya. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap jumlah muatan yang dapat diangkut setiap tahun.
•
Jumlah cargo yang dapat diangkut diasumsikan mengalami peningkatan 5% per tahun. Pada tahun pertama diproyeksikan PT XYZ mampu memperoleh pangsa pasar sekitar 10%.
•
Persentase freight tax yang dibebankan pada perusahaan adalah persentase aktual yang besarnya berbeda-beda tergantung pada jenis kapal dan muatan yang dibawa.
•
Income tax tidak diperhitungkan karena baru akan dihitung pada laporan keuangan di tingkat korporasi.
105
•
Biaya-biaya untuk asuransi diasumsikan mengalami kenaikan sebesar 2,5% per tahun.
•
Biaya-biaya untuk Recurring Cost diasumsikan mengalami kenaikan sebesar 3% per tahun.
•
Biaya-biaya umum lainnya diasumsikan mengalami kenaikan sebesar 2,5% per tahun.
•
Freight rate yang dibebankan ditentukan berdasarkan Pricing Policy dan dibandingkan dengan tingkat harga di pasar. Perbandingan juga dilakukan terhadap perhitungan harga freight/mile rata-rata dari beberapa freight rate rute domestik yang berlaku di pasaran.
•
Untuk perhitungan dalam Precision Tree, apabila kompetitor juga melakukan ekspansi ke bisnis CPO ini maka diasumsikan IRR yang didapat akan turun sebesar 20%.
106
SUMMARY FEASIBILITY STUDY - NEW BUILT CHEMICAL TANKER (2,850 DWT) in US$ Vessel Price
3,255,000
Cost of Project
3,374,591
Loan
68.9%
2,242,695
Total Equity
31.1%
1,012,305
Interest
6.0%
Tenure
10
Depreciation
25
POS
9.8%
ROE
20.02%
IRR
13.77%
Earning After Tax
244,540
211,198
219,689
200,689
107
167,947
190,115
187,000
160,846
180,219
264,083
Cash Flow Projection Earning Bfr Interest & Tax
1st Year
2nd Year
3rd Year
4th Year
5th Year
6th Year
7th Year
8th Year
9th Year
10th Year
431,928
385,130
383,154
350,041
304,500
312,555
295,984
257,030
262,291
335,837
337,459
337,459
337,459
337,459
337,459
337,459
337,459
337,459
337,459
337,459
116,300
116,300
131,320
131,320
136,860
142,400
142,400
Add Back - Depreciation - Amortized Docking
-
-
58,150
-
-
(290,750)
Less - Docking Cost
-
-
(328,300)
-
(356,000)
-
-
Operating Cash Flow
769,387
722,589
488,013
803,800
758,259
453,034
764,763
375,349
742,150
815,696
Less Tax
(46,659)
(46,659)
(49,649)
(48,992)
(49,649)
(48,992)
(48,992)
(49,649)
(48,992)
(52,131)
Cash Flow Aft Tax
722,728
675,930
438,364
754,808
708,611
404,043
715,771
325,701
693,158
763,565
Residual Value
187,100
Cash Flow For IRR Calc
722,728
675,930
438,364
754,808
708,611
404,043
715,771
325,701
693,158
950,665
Interest & Installment
353,785
340,329
326,873
313,417
299,960
286,504
273,048
259,592
246,136
232,680
NET CASH FLOW
368,943
335,601
111,492
441,392
408,650
117,538
442,723
66,109
447,022
717,986
ENDING BALANCE
368,943
704,544
816,035
1,257,427
1,666,077
1,783,615
2,226,338
2,292,447
2,739,469
3,457,455
108
SUMMARY FEASIBILITY STUDY - BUILT CHEMICAL TANKER (7,657 DWT) in US$ Vessel Price
7,700,000
Cost of Project
7,834,375
Loan
71.7%
5,484,932
Total Equity
28.3%
2,215,068
Interest
6.0%
Tenure
10
Depreciation
25
POS
12.0%
ROE
19.24%
IRR
12.76%
Earning After Tax
347,391
316,973
452,570
422,991
464,479
109
377,904
335,687
433,364
414,893
696,235
Cash Flow Projection Earning Bfr Interest & Tax
1st Year
2nd Year
3rd Year
4th Year
5th Year
6th Year
7th Year
8th Year
9th Year
10th Year
782,176
718,848
831,355
763,577
777,445
652,671
577,544
647,601
590,931
849,674
783,437
783,437
783,437
783,437
783,437
783,437
783,437
783,437
783,437
783,437
136,500
136,500
208,500
208,500
205,391
202,282
202,282
Add Back - Depreciation - Amortized Docking
-
-
68,250
-
-
(341,250)
-
-
(521,250)
-
(505,705)
-
Less - Docking Cost
-
Operating Cash Flow
1,565,613
1,502,285
1,341,792
1,683,515
1,697,382
1,123,358
1,569,482
1,130,724
1,576,651
1,835,394
Less Tax
(90,605)
(90,605)
(100,424)
(95,135)
(100,424)
(95,135)
(95,135)
(100,424)
(95,135)
(105,445)
Cash Flow Aft Tax
1,475,008
1,411,680
1,241,368
1,588,380
1,596,958
1,028,223
1,474,347
1,030,300
1,481,516
1,729,948
Residual Value
320,000
Cash Flow For IRR Calc
1,475,008
1,411,680
1,241,368
1,588,380
1,596,958
1,028,223
1,474,347
1,030,300
1,481,516
2,049,948
Interest & Installment
865,248
832,338
799,429
766,519
733,610
700,700
667,790
634,881
601,971
569,062
NET CASH FLOW
609,760
579,342
441,939
821,860
863,348
327,523
806,556
395,419
879,544
1,480,886
ENDING BALANCE
609,760
1,189,102
1,631,041
2,452,901
3,316,250
3,643,773
4,450,329
4,845,748
5,725,293
7,206,179
110
4.6.2 Analisa Perhitungan Dari hasil perhitungan diatas, dapat dilihat dengan jelas bahwa bisnis baru ini akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan apabila dijalankan. Dengan pemilihan penggunaan kapal berukuran 6000 DWT, diperkirakan Interest rate of return yang akan didapat perusahaan adalah sebesar 12,76% sedangkan dengan penggunaan kapal berukuran 3000 DWT, tingkat IRR sebesar 13,77%. Angka IRR tersebut adalah angka rata-rata yang paling mungkin terjadi setelah diasumsikan terjadi beberapa perubahan dari variabel-variabel perhitungan. IRR yang didapat perusahaan lebih tinggi daripada tingkat suku bunga yang ada sekarang, sehingga bisnis ini menarik untuk dilakukan. Dari sisi cashflow perusahaan tidak mengalami negative cashflow sepanjang masa operasional untuk bisnis ini, hal ini berarti menandakan perusahaan tidak mengalami kesulitan likuiditas. Nilai profitability on sales juga cukup baik, masing-masing 12% untuk kapal berukuran 6000 DWT dan 9.8% untuk kapal berukuran 3000 DWT. Return on equity sebesar 19,24% untuk kapal berukuran 6000 DWT dan 20.02% untuk kapal berukuran 3000 DWT. Sebagai perbandingan, nilai IRR yang dianggap layak untuk melakukan bisnis baru di bidang industri yang sama adalah sekitar 10%, tergantung pada kebijakan perusahaan masing-masing. Salah satu hal yang perlu diingat adalah bahwa dalam penggunaan kapal berukuran 3000 DWT, jumlah muatan yang dapat diangkut per tahun hanya sekitar 112.000 ton sedangkan untuk kapal berukuran 6000 DWT dapat mengangkut muatan sebesar 209.000 ton per tahun. Hal ini tentunya berpengaruh pada pengambilan
111
keputusan yang akan mengacu kembali kepada target penguasaan pangsa pasar sebesar 10% atau sekitar 185.000 ton per tahun. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan software Precision Tree maka diambil keputusan untuk melaksanakan bisnis ini dengan menggunakan kapal berukuran 3000 DWT karena menghasilkan IRR yang lebih tinggi. Dalam skenario lebih lanjut tentunya ada kemungkinan kompetitor juga melakukan ekspansi dalam bisnis angkutan CPO ini, oleh karena itu perlu dibuat suatu Precision Tree yang menggambarkan kondisi yang terjadi. Dalam perhitungan dengan Precision Tree digunakan asumsi probabilitas kompetitor juga melakukan ekspansi sebesar 70% dan probabilitas kompetitor tidak melakukan ekspansi sebesar 30%. Dari hasil perhitungan dengan software didapat bahwa perusahaan masih bisa mendapatkan IRR sebesar 11,84% jika ada kompetitor yang melakukan ekspansi, hal ini berarti bisnis ini tetap feasible walaupun ada kompetitor. Dengan menggunakan rencana bisnis ini maka interval waktu kapal untuk melayani rute tertentu berkisar 17 hari. Berdasarkan informasi keuangan diatas, perusahaan dapat mengambil keputusan untuk memilih penggunaan jenis kapal yang dipandang tepat untuk melayani jalur bisnis CPO ini.
4.6.3 Sensitivity Analysis Pada subbab ini akan dibahas mengenai kelayakan bisnis apabila terjadi beberapa perubahan variabel yang berpengaruh terhadap IRR dan POS. Beberapa dari
112
variabel tersebut akan disimulasikan dengan menggunakan software Palisade Decision Tools dengan menjalankan fungsi Risk 4.5 for Excel. Jumlah iterasi yang digunakan adalah 100. Selain itu juga akan dilihat pengaruh dari perubahan variabel tersebut terhadap kelayakan bisnis ini. Variabel-variabel yang disimulasikan dalam sensitivity analysis ini adalah sebagai berikut: •
Sebagai variabel output adalah nilai IRR yang menjadi pedoman tingkat kelayakan suatu bisnis.
•
Harga bahan bakar jenis Marine Diesel Oil dan Marine Fuel Oil yang ditentukan oleh Pertamina disimulasikan dengan menggunakan distribusi Triangle.
•
Jumlah muatan kargo yang diangkut pada setiap pelayaran disimulasikan dengan menggunakan distribusi Triangle
•
Freight rate yang dikenakan terhadap shipper disimulasikan dengan menggunakan distribusi Normal.
•
Port
Disbursement
yang
ditentukan
oleh
pengelola
pelabuhan
disimulasikan dengan menggunakan distribusi Normal. •
Simulasi dilakukan untuk kedua rute yang diajukan yaitu rute BelawanJakarta dan rute Belawan-Surabaya.
Dari hasil sensitivity analysis dapat dilihat variabel yang mempunyai pengaruh dan korelasi terbesar terhadap IRR bisnis ini. Berikut adalah hasil dari sensitivity analysis dalam bentuk Tornado Diagram dan data statistik.
113
Regression Sensitivity for IRR - Full Equity / Singapore... 5 Surabaya / US$/MT/V22
,657
4 Jakarta / US$/MT/V19
3
,588
@RISK Student Version -,251Academic Use Only For
2 Surabaya / (MT/ship)/K22
MFO / DOM/L12
,179
1 Jakarta / (MT/ship)/K19
0
-1
-0,75
,176
-0,5
-0,25
0
0,25
0,5
0,75
1
Std b Coefficients
Gambar 4.4 Tornado Diagram Kapal 3000 DWT
Regression Sensitivity for IRR - Full Equity / Singapore...
Surabaya / US$/MT/V22
,811
Jakarta / US$/MT/V19
,703
-,298
MFO / DOM/L12
@RISK Student Version For Academic Use Only
Surabaya / (MT/ship)/K22
,209
Jakarta / (MT/ship)/K19
,196
-,023
-1
-0,75
-0,5
-0,25
MDO / DOM/L11
0
0,25
0,5
0,75
Std b Coefficients
Gambar 4.5 Tornado Diagram Kapal 6000 DWT
114
1
Tabel 4.26 Sensitivity Statistics Name
Worksheet
Minimum
Mean
Maximum
Output 1
IRR - Full Equity / Singapore
Calc
-7,13E-02
0,123858
0,29727
Output 2
IRR - Full Equity / Singapore
Calc
9,75E-02
0,137711
0,30629
Input 1
MDO / DOM
Serv dsg
256,0243
312,9893
390,519
Input 2
MFO / DOM
Serv dsg
256,834
317,9139
392,9922
Input 3
Jakarta / (MT/ship)
Serv dsg
5017,824
5499,434
5937,104
Input 4
Jakarta / US$/MT
Serv dsg
10,25804
15,00745
20,10093
Input 5
Jakarta / Port Disb
Serv dsg
12155,45
15580,98
18185,24
Input 6
Surabaya / (MT/ship)
Serv dsg
5056,424
5499,91
5943,49
Input 7
Surabaya / US$/MT
Serv dsg
11,54154
17,9971
23,90651
Input 8
Surabaya / Port Disb
Serv dsg
11819,21
13756,8
16285,99
Input 9
MDO / DOM
Serv dsg (2)
256,4598
313,0106
393,3736
Input 10
MFO / DOM
Serv dsg (2)
257,2309
317,866
388,6675
Input 11
Jakarta / (MT/ship)
Serv dsg (2)
2423,961
2600,252
2896,453
Input 12
Jakarta / US$/MT
Serv dsg (2)
12,1784
17,01654
23,55323
Input 13
Jakarta / Port Disb
Serv dsg (2)
15389,74
18704,65
21196,8
Input 14
Surabaya / (MT/ship)
Serv dsg (2)
2401,572
2599,703
2884,645
Input 15
Surabaya / US$/MT
Serv dsg (2)
13,97385
20,01424
27,35136
Input 16
Surabaya / Port Disb
Serv dsg (2)
13076,63
15054,08
17017,73
115
Dari Tornado Diagram dan data statisik sensitivity analysis diatas, dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling berpengaruh pada IRR bisnis ini jika menggunakan kapal berukuran 3000 DWT berturut-turut adalah: •
Freight Rate Belawan-Surabaya, yang mempunyai nilai korelasi 0,657, berarti semakin tinggi freight rate yang dibebankan pada shipper, makin tinggi IRR yang didapat perusahaan.
•
Freight rate Belawan-Jakarta, dengan nilai korelasi 0,588, berarti semakin tinggi freight rate yang dibebankan pada shipper, makin tinggi IRR yang didapat perusahaan.
•
Harga bahan bakar MFO, dengan nilai korelasi –0,251, berarti semakin tinggi harga bahan bakar maka semakin mengurangi nilai IRR bisnis ini.
•
Jumlah muatan yang diangkut oleh kapal rute Belawan-Surabaya, dengan nilai korelasi 0,179, berarti semakin banyak muatan yang diangkut maka IRR bisnis ini semakin baik.
•
Jumlah muatan yang diangkut oleh kapal rute Belawan-Jakarta, dengan nilai korelasi 0,176, berarti semakin banyak muatan yang diangkut maka IRR bisnis ini semakin baik
•
Port Disbursement dan harga MDO tidak berpengaruh terhadap IRR bisnis ini karena nilainya relatif sangat kecil dibandingkan dengan total biaya secara keseluruhan.
117
Sedangkan untuk kapal berukuran 6000 DWT, variabel yang berpengaruh terhdap IRR adalah sebagai berikut: •
Freight Rate Belawan-Surabaya, yang mempunyai nilai korelasi 0,811, berarti semakin tinggi freight rate yang dibebankan pada shipper, makin tinggi IRR yang didapat perusahaan.
•
Freight rate Belawan-Jakarta, dengan nilai korelasi 0,708, berarti semakin tinggi freight rate yang dibebankan pada shipper, makin tinggi IRR yang didapat perusahaan.
•
Harga bahan bakar MFO, dengan nilai korelasi –0,298, berarti semakin tinggi harga bahan bakar maka semakin mengurangi nilai IRR bisnis ini.
•
Jumlah muatan yang diangkut oleh kapal rute Belawan-Surabaya, dengan nilai korelasi 0,209, berarti semakin banyak muatan yang diangkut maka IRR bisnis ini semakin baik.
•
Jumlah muatan yang diangkut oleh kapal rute Belawan-Jakarta, dengan nilai korelasi 0,196, berarti semakin banyak muatan yang diangkut maka IRR bisnis ini semakin baik
•
Port Disbursement dan harga MDO tidak berpengaruh terhadap IRR bisnis ini karena nilainya relatif sangat kecil dibandingkan dengan total biaya secara keseluruhan.
Dengan demikian, perusahaan dapat melakukan antisipasi resiko terhadap variabel yang mempunyai pengaruh yang paling signifikan, dalam hal ini adalah freight rate.
118
4.6.4 Risk Management Back up Plan sangat diperlukan oleh perusahaan yang ingin melakukan suatu bisnis. Persiapan untuk menghadapi bisnis membutuhkan proses yang panjang. Selain modal dan riset pasar, juga perlu memperhatikan hal-hal lain yang menyangkut kapabilitas untuk mengelola bisnis sendiri. Backup Plan bukan hanya berisi tentang bagaimana antisipasi jika bisnis yang sudah dibangun ternyata mengalami kegagalan tetapi juga antisipasi terhadap hambatan yang muncul sewaktu-waktu. Oleh sebab itu pengetahuan tentang manajemen resiko sangatlah penting untuk mengantisipasi hambatan-hambatan dan kegagalan dalam proses bisnis tersebut. Hambatan – hambatan yang dapat dihadapi sebelum melakukan bisnis yaitu : 1. Resources Perlu adanya calculation budgeting secara detail untuk melakukan perkiraan berapa penghasilan dari bisnis agar effort seperti modal dan pengeluaran yang dikeluarkan untuk membiayai bisnis ini tidak sia-sia. Tentang resources perusahaan juga harus melakukan antisipasi terhadap resiko yang mungkin muncul sewaktu-waktu, oleh sebab itu perlu adanya perlindungan terhadap aset perusahaan dengan cara mendaftarkan gedung dan kendaraan kita ke perusahaan asuransi, sehingga aset tersebut akan terjamin keberadaannya dan akan terhindar dari kerugian akibat bencana alam seperti kebakaran dan hal-hal lain yang tidak diinginkan. Mengenai data perusahaan, kita juga harus melakukan antisipasi terhadap kehilangan data akibat rusaknya hardware atau error yang terjadi,
119
oleh sebab itu backup data harus dilakukan setiap saat agar data-data crucial perusahaan tidak hilang.
2. Pelanggan Dalam dunia bisnis, kepuasan pelanggan adalah hal utama. Oleh sebab itu perusahaan harus memperhatikan apa saja yang diinginkan pasar dan memanfaatkan setiap celah atau peluang yang ada. Jika perusahaan telah memenuhi keinginan pasar dan pelanggan, maka akan tercapai customer satisfaction, tetapi sebaliknya jika bisnis yang dijalankan hanya berdasarkan keinginan perusahaan maka bisnis akan sulit untuk maju dan berkembang. Selain itu kepercayaan merupakan hal penting dalam bisnis. Tanpa kepercayaan perusahaan tidak akan pernah memperoleh pelanggan. Untuk menjaga kepercayaan ini antara lain dengan cara menjaga kualitas produk dan kualitas pelayanan yaitu memberikan servis atau pelayanan yang memuaskan kepada pelanggan. Untuk mengantisipasi ini perlu adanya kontrol kualitas dari sisi internal dan eksternal. Dari sisi internal perlu adanya sistem Quality Control yang baik sehingga produk yang dihasilkan dapat sesuai dengan keinginan pelanggan. Dari sisi eksternal perlu adanya sistem penilaian seperti kuesioner untuk mengetahui apa yang diinginkan pelanggan dan juga penilaian ServQual yaitu untuk mengetahui kepuasan pelanggan akan service.
120
Bisnis yang sudah berjalan tidak selalu running smooth dan berkembang sesuai dengan kemauan pemilik perusahaan, hal ini dikarenakan oleh beberapa hambatan dan faktor-faktor yang prinsipal sehingga bisnis mengalami suatu kegagalan.
Faktor–faktor umum yang menjadi penyebabnya antara lain karena : 1.
Poor Management •
Ketidakmampuan seorang pemimpin dalam mengatur manajemen dan operasional dalam bisnisnya.
•
Kesalahan dalam mengambil suatu keputusan (decision making).
•
Kegagalan dalam menerapkan strategi pemasaran dan tidak tanggap akan perubahan pasar.
•
Kesalahan dalam perencanaan jangka panjang dan ketidakakuratan dalam merencanakan budgeting.
Yang harus dilakukan jika hal ini terjadi adalah: 1. Melakukan restrukturisasi organisasi dengan cara mengganti staff yang tidak berkompeten tersebut dan merekrut kembali staff yang baru dengan sistem rekrutmen yang ketat 2. Memberikan training-training tambahan tentang manajemen agar dapat menjalankan operasional perusahaan dengan lebih baik.
121
3. Menetapkan reward and punishment sistem kepada para staff penjual apabila tidak dapat mencapai target penjualannya.
2. Unprofitable Business Hal ini merupakan implikasi yang timbul akibat faktor poor management diatas sehingga secara tidak langsung akan mengacaukan semua proses bisnis yang berjalan dan menyebabkan bisnis berkurang likuiditasnya. Dampaknya akan terlihat dari : •
Penjualan yang tidak mencapai target yang telah ditetapkan
•
Pengeluaran yang lebih besar dari pemasukan karena ternyata produk yang kita jual tidak sesuai dengan keinginan pasar sehingga cost operasional mengalir terus tetapi tidak ada revenue yang masuk.
Dari faktor-faktor diatas jika tidak diantisipasi secepatnya akan menyebabkan perusahaan mengalami kerugian terus menerus dan akhirnya bangkrut, akibatnya akan mengecewakan para shareholder yang sudah menanamkan investasinya pada bisnis ini. Langkah-langkah yang mungkin dilakukan oleh pemilik perusahaan adalah 1. Redesign business plan dengan bantuan para konsultan manajemen atau keuangan yang khusus menangani masalah bisnis jika bisnis ini tetap mau dijalankan.
122
2. Apabila ingin beralih dan menutup bisnis ini mungkin perusahaan akan menjual bisnisnya ke pihak lain dengan perhitungan kontrak yang sesuai dengan kemauan kedua belah pihak. Dan berusaha untuk mencari peluang bisnis yang baru dengan menggunakan sisa resources yang ada dan mencari sumber investasi lain atau meminta bantuan kredit kepada bank.
3. Poor Economic Conditions Faktor ini merupakan salah satu penyebab yang tidak dapat diprediksi dan dapat muncul sewaktu-waktu. Oleh sebab itu pemilik perusahaan harus mengantisipasi penyebab ini secepatnya. Penyebab ini dapat terjadi jika situasi perekonomian tidak stabil akibat terjadinya inflasi, suku bunga yang naik turun atau nilai tukar yang tidak menentu. Hal ini merupakan cerminan dari kondisi arus barang dan arus uang, sehingga jika terjadi kemacetan arus barang pasti disebabkan oleh regulasi pemerintah yang terlalu ketat dan berbelit-belit, sehingga akan mengakibatkan kesulitan bagi bisnis ini untuk berkembang di masa depannya. Antisipasi resiko yang dapat dilakukan adalah : 1) Dengan cara cut loss atau menjual dengan harga dibawah yang seharusnya atau dengan kata lain menjual walaupun mengalami kerugian. 2) Atau dengan cara memberikan discount terhadap freight rate, sehingga persentase penjualan dapat sedikit meningkat walaupun jumlah omset atau revenue tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pemilik perusahaan.
123
124