BAB 3 PENGALAMAN MENELITI PADA USAHA KONVEKSI DI TINGKIR LOR
Pendahuluan Awalnya industri kecil konveksi di Tingkir Lor menjadi menarik untuk dikunjungi penulis, karena usaha konveksi ini menjual produk celana dan seprei dengan harga murah.Tentunya produk yang murah sangat diminati oleh mahasiswa seperti penulis, karena harganya cocok dengan isi kantong mahasiswa. Nama konveksi Tingkir Lor itu sendiri penulis kenal dari teman seangkatan di Magister Studi Pembangunan yang asli Salatiga. Dia bercerita tentang celana dan seprei murah yang dijual di konveksi Tingkir Lor. Penulis juga diberitahukan bagaimana caranya bisa sampai ke sana, harus turun naik 2 angkutan umum. Di pertengahan Januari 2010, penulis berkunjung ke tempat ini, untuk membeli celana murah di Tingkir Lor. Hasilnya penulis bisa membeli sebuah celana dengan kualitas yang cukup baik menurut penulis, dengan harga Rp 8000, padahal kalau di toko harganya pasti tidak kurang dari Rp 20.000. Penulis menjadi bertanya, mengapa harga celana ini bisa begitu murah? Pertanyaan ini mengantarkan kembali penulis ke Tingkir Lor untuk kedua kalinya pada akhir Januari 2010, untuk mencari informasi awal pada tahap pra penelitian tesis. Pra penelitian tesis ini dilakukan sebelum penulis melakukan penyusunan proposal. Penulis mengambil data awal di lapangan untuk dijadikan referensi penulisan proposal. Dengan motor sewaan, penulis berkeliling di Tingkir Lor, untuk melakukan pra-penelitian tesis. Penulis berkeliling untuk menghitung jumlah unit industri di Tingkir Lor. Hal ini dilakukan karena penulis masih sangat buta data tentang konveksi di Tingkir Lor. Penulis hanya mengidentifikasi rumah yang memiliki papan nama konveksi di depan rumahnya atau rumah yang sedang melakukan aktivitas konveksi. 37
Hasilnya ada sekitar 15 rumah yang memiliki papan nama konveksi di depan atau sampingnya. Data lapangan ini berbeda dengan data yang tertera dalam data BPS Salatiga 2010. Perbedaan Data awal penulis dengan data data BPS Salatiga 2010 menjadi hal menarik bagi penulis. Dalam data BPS Salatiga tahun 2010 konveksi di Tingkir Lor berjumlah 34 unit usaha sedangkan pada data lapangan sejumlah 15 unit usaha. Perbedaan antara data dengan realita ini juga menimbulkan tanda tanya bagi penulis, ada apa dengan konveksi di Tingkir Lor? Apakah data tersebut hanya menyalin dari data sebelumnya tanpa melakukan klarifikasi di lapangan? Ataukah dalam tahun 2010 ini usaha konveksi mengalami penurunan yang signifikan dalam hal jumlah? mengapa demikian? Hal ini semakin menggelitik rasa ingin tahu penulis. Rasa ingin tahu penulis sedikit ditutupi oleh rasa pesimis sebagai orang luar Jawa yang harus meneliti dalam masyarakat Jawa yang penuh dengan tata krama unggah-ungguh. Ada ketakutan penulis kalau-kalau salah bicara bahkan salah bersikap. Penulis sebagai orang luar Jawa merasa takut ditolak, tidak saling mengerti, dan lain sebagainya. Namun penulis tidak mau kalah sebelum bertanding, apalagi mundur sebelum mencoba, untuk mengetahui realitas usaha konveksi di Tingkir Lor. Hasilnya penulis mendapatkan data yang menarik dengancara yang menarik pula dari Industri kecil konveksi di Tingkir Lor, meskipun untuk itu waktu penelitian berlangsung dari januari 2010 hingga januari 2012. Di tahun 2013 pun penulis juga masih berkunjung ke Tingkir Lor dalam rangka up date data terbaru tentang kondisi usaha.
Strategi peneliti mendapatkan akses Untuk menemukan jawaban pertanyaan ada apa dan mengapa dengan konveksi Tingkir lor, peneliti melakukan penelitian lapangan dengan metode tertentu. Metode yang dimaksudkan secara epistemologi berasal dari bahasa Yunani Methodos yang artinya cara atau jalan. Metode penelitian adalah cara atau jalan yang digunakan 38
untuk mencapai tujuan penelitian (Nawawi, 2001). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Metode Kualitatif Sejak awal penulis menggunakan pendekatan induktif untuk menemukan masalah. Peneliti menemukan masalah penelitian secara induktif, yakni dengan menggali data dari lapangan, menganalisis data dan merumuskan masalah penelitian. Masalah yang diteliti di Tingkir Lor awalnya masih kabur bagi penulis, karena belum pernah mengenal konveksi di Tingkir Lor sebelum ini. Menurut Sugiyono, masalah yang penuh kekaburan inilah yang cocok dimasuki oleh penelitian kualitatif, karena penelitian kualitatif akan segera masuk mengeksplorasi obyek penelitian, untuk memahami permasalahan (Sugiyono: 2005). Eksplorasi untuk menemukan masalah dilakukan penulis terhadap konveksi di Tingkir Lor. Penulis menggali dan merumuskan masalah dengan cara terus hadir di unit usaha untuk menyaksikan berbagai aktivitas produksi juga pemasaran yang berlangsung di sana. Untuk menggali dan merumuskan masalah peneliti tersebut melakukan pra-penelitian terlebih dahulu yang berlangsung pada bulan januari hingga Februari 2010 Kehadiran penulis yang kontinyu, menimbulkan rasa empati terhadap segala perjuangan pengusaha untuk mempertahankan keberlangsungan usaha mereka dalam situasi yang penuh hambatan dan tantangan. Apalagi dengan kesulitan memperoleh bahan baku yang dialami sekarang, membuat banyak unit usaha harus gulung tikar dan beralih profesi untuk menyambung hidup. Rasa empati penulis berkembang menjadi sebuah pertanyaan bagaimana usaha konveksi ini bias terus berkelanjutan di tengah berbagai tantangan dan hambatan? Pertanyaan inilah yang kemudian berkembang menjadi masalah penelitian dalam tesis ini.
39
Setelah pertanyaan penelitian dirumuskan penulis melakukan pula pendekatan yang induktif untuk menemukan data dari lapangan. Penemuan masalah di lapangan hingga memaknai serta menginterpretasikan fakta-fakta di lapangan sebagai jawaban atas masalah penelitian. Selanjutnya peneliti akan memaknai dan menginterpretasikan setiap hasil pengamatan maupun wawancara yang dilakukan. Hal ini sinkron dengan paparan Creswell tentang penelitian kualitatif itu sendiri yakni metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. (Creswell, 2010) Metode kualitatif dipilih untuk menjelaskan usaha konveksi sebagai sebuah realitas yang tumbuh dalam konteks sosial keluarga dan masyarakat, diperankan oleh pengusaha gigih sebagai aktor dan melakukan aktivitas usaha. Mencari penjelasan yang mendalam dan bersinggungan dengan banyak aspek, hanya mungkin dilakukan dengan metode kualitatif, karena itu metode kualitatif cocok dipakai penulis untuk menjelaskan realitas usaha konveksi di Tingkir Lor. Realitas yang ditemukan dalam penelitian dinterpretasi hingga menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Penelitian kualitatif tidak terjebak pada sesuatu yang diucapkan atau dinampakkan saja, tetapi pada sesuatu yang tidak ditampakan namun memberi pengaruh pada keseluruhan. penelitian kualitatif mampu merambah pada kedalaman makna terhadap ucapan, mimik, intonasi, kultur, dari individu, komunitas, organisasi, aktivitas, dalam konteks waktu dan ruang tertentu.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan untuk menemukan realitas usaha konveksi di masa krisis keuangan global adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan adalah suatu metode untuk membuat penginderaan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi. Setelah fakta ditemukan penulis bermaksud mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terkait fakta-fakta yang ditemukan, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti. (Nazir, 1985) 40
Penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan aktivitas IK konveksi di Tingkir Lor pada masa Krisis Global, tentunya untuk memiliki pembanding penulis meneliti terlebih dahulu pengalaman usaha konveksi sebelum krisis. Penulis juga hendak menjelaskan keterhubungan antara usaha kecil itu sendiri dengan krisis global dilakukan oleh penulis, untuk menjadi yakin bahwa memang krisis global memberi efek domino terhadap usaha kecil konveksi ini. Selanjutnya penulis menginterpretasikan setiap tindakan usaha konveksi dalam masa krisis keuangan global, sebagai suatu strategi untuk tetap bertahan di tengah krisis.
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yakni pada Sentra industri kecil konveksi di Tingkir Lor berada di Timur kota Salatiga. Kota Salatiga letaknya cukup strategis karena berada di persimpangan tiga kota besar, yaitu Semarang, Solo dan Yogyakarta. Kota ini dikelilingi wilayah kabupaten Semarang, berada di cekungan kaki gunung Merbabu dan di di antara gunung kecil lainnya yaitu Gajah Mungkur, Telomoyo dan Payung. Secara administratif kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan 22 kelurahan, dengan wilayah seluas 5.678,11 hektar atau 56,781 Km2 (2010). Jumlah penduduk kota Salatiga tercatat sebanyak 174.234 jiwa di tahun 2010. Kecamatan Tingkir berada di timur kota Salatiga dengan luas wilayah 1.054,85 Ha dan jumlah penduduk 40.429 jiwa. Tingkir Lor merupakan salah satu kelurahan dari 6 kelurahan yang ada di kecamatan Tingkir. Luas wilayah Tingkir Lor 1773 Ha dengan jumlah penduduknya 3.956 Jiwa (Profil kota Salatiga, 2010) Tingkir Lor merupakan Daerah Belanda (Belakang Damatex) yang menjadi korban dari pencemaran lingkungan yang terjadi oleh Damatex pada tahun 2006 dan 2007. Menurut data dinas pengelolaan lingkungan hidup tahun 2010, pencemaran dan disebabkan oleh bocornya pipa limbah Damatex itu mencemari sungai di sekitar Damatex. (Profil Kota Salatiga, 2010) itu berarti masyarakat Tingkir Lor mengkonsumsi air yang membahayakan kesehatan mereka. 41
Keberadaan Tingkir Lor yang beresiko menanggung pencemaran lingkungan yang terjadi akibat industri inilah, membuat mereka menjadi pantas menerima program bina lingkungan yang dilakukan oleh Damatex tahun 1960-an hingga 1970-an. Program ini melakukan pembinaan terhadap 12 warga tingkir dengan ketrampilan menjahit serta menghibahkan 12 unit mesin jahit kepada mereka. Momentum inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya usaha konveksi di Tingkir Lor. Kehidupan masyarakat yang sebagai petani gurem dan pedagang, tergugah untuk menerima dunia usaha baru yang ditawarkan oleh Damatex. Sebagai petani gurem, masyarakat Tingkir Lor hanya mengolah sawah yang bukan milik mereka. Sementara sawah itu sendiri sudah banyak berkurang karena konversi lahan pertanian untuk kawasan industri dan pemukiman penduduk. Sebagai pedagang, pendapatan yang tidak menentu, juga tidak menjanjikan masa depan yang pasti buat anak-anak mereka. Itulah sebabnya uluran tangan Damatex menyuguhkan sebuah habitus baru sebagai pengusaha pengolahan limbah bagi masyarakat Tingkir Lor, direspons dengan penuh antusias. Hasilnya usaha kecil konveksi pengolahan limbah kain di Tingkir Lor sudah berjalan hampir 4 dekade. Perjalanan mereka memulai usaha dengan segala keterbatasan, hingga mereka mengalami masa keemasan di tahun 1990-an, dan mulai terpukul krisis dari tahun 2000 hingga 2013 1.
Cara Peneliti memperoleh Data Sebagai orang luar Jawa yang melakukan penelitian di Jawa, bukan hal yang mudah bagi penulis. Karena penulis harus masuk ke dalam masyarakat yang berbeda budaya. Ada kekuatiran apakah penulis bisa diterima oleh masyarakat di Tingkir Lor. Penguasaan bahasa Jawa yang minim juga menjadi kesulitan besar bagi penulis untuk berkomunikasi dengan informan. Sementara informan penulis kebanyakan sudah sepuh, otomatis bahasa jawa yang digunakan juga 1
Tahun akhir penulis mengambil data di Tingkir Lor
42
haruslah yang kromo inggil bukan ngoko. Semua ini menjadi pergumulan penulis yang sulit pada masa awal penelitian. Untuk mengatasi persoalan budaya, penulis berusaha mencari hal-hal menarik untuk dipercakapkan dengan akrab di luar pertanyaanpertanyaan penelitian. Topik-topik menarik yang sering dibicarakan adalah soal pengalaman mereka berusaha, pengalaman membesarkan anak. Mereka sangat bangga menceritakan semua itu. Penulis juga dengan senang hati menerima semua itu sebagai pelajaran hidup yang berharga. Perlahan-lahan sekat budaya mulai menipis. Terkait persoalan bahasa, ternyata Pengusaha konveksi di Tingkir Lor bisa menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi . Mereka sering menggunakan kedua bahasa itu secara bersamaan. Karena itu penulis sedikit memahami makna percakapan menurut konteks percakapan. Jika ada kesulitan, penulis akan mencatatat atupun merekamnya, kemudian menanyakan itu pada tetangga ataupun teman. Pergumulan penulis terkait budaya dan bahasa tidak menyurutkan langkah penulis, berbagai strategi penulis gunakan untuk bisa diterima oleh masyarakat di Tingkir Lor. Cara-cara itu akan penulis ceritakan di bawah ini.
Mengenali Informan dan wilayah penelitian 1. Membeli celana murah Seperti yang diceritakan penulis di pendahuluan bab ini, bahwa ketertarikan penulis terhadap Tingkir Lor, karena ada informasi bahwa di tempat ini menjual celana dengan harga murah. Ketertarikan itu membuat penulis datang mengunjungi Tingkir Lor, dengan tujuan membeli celana murah. Perjalanan menuju Tingkir Lor dari pusat kota Salatiga merupakan sebuah fakta yang menantang karena harus dua kali turunnaik angkutan umum. Untuk tiba di Tingkir Lor, penulis harus naik
43
angkot sekali ke terminal Tingkir, kemudian naik bis kecil ke cengek.2 Tiba di Cengek penulis harus berjalan kaki untuk bisa melihat-lihat tempat mana yang menggunakan papan nama usaha di depannya, itu menjadi tanda tempat usaha konveksi. Penulis agak kesulitan mendapatkan tempat usaha konveksi karena posisinya berjejeran pula dengan para pedagang yang menjual pakaian. Akhirnya penulis masuk di salah satu unit usaha yang tidak menggunakan papan nama usaha di depannya, namun letaknya masih dekat dengan jalan raya. Di unit usaha ini yang ternyata pemiliknya bernama ibu Musropah, penulis membeli sebuah celemek seharga Rp. 3000. Setelah itu penulis menyusuri jalan Tingkir Lor sambil berharap bertemu dengan unit usaha konveksi yang lainnya. Sekitar 700 meter dari ibu Musropah penulis bertemu dengan rumah yang bertuliskan usaha konveksi San-San. Penulis masuk ke dalamnya, ternyata sangat sepi. Produk yang dijual pun hanya sedikit. Setelah memberi salam, keluar bapak dan ibu yang sudah tua. Penulis menanyakan harga celana boxer, ternyata Rp 8000. Penulis membeli celana tersebut sambil bertanya tentang konveksi San-San ini. kedua orang tua yang sepuh ini menjelaskan konveksi ini milik anak mereka Mbak Nur. Tempat produksi mereka agak ke dalam. Jadi mereka meninggalkan beberapa model produk, kalau berminat konsumen bisa diantar ke tempat produksi mereka. Perjalanan mengenal Tingkir Lor ini harus berakhir, karena sudah pukul 18.00, saatnya warga Tingkir Lor untuk sholat maghrib. Perjalanan hari ini sudah cukup melelahkan tetapi semakin menggelitik keingintahuan penulis tentang usaha ini.
2. Menuju kantor kelurahan Berbekal surat izin penelitian yang dikeluarkan program studi Magister Studi Pembangunan UKSW, penulis melangkahkan kaki ke kantor kelurahan untuk meminta izin melakukan penelitian di kelurahan Tingkir Lor. Sekaligus penulis ingin memperoleh data Cengekadalahnamasungai yang memisahkanTingkirLordenganTingkir Tengah. Sopirangkutanumumlebih familiar dengannamaCengek. 2
44
tentang nama-nama unit usaha di Tingkir Lor dan alamat masingmasing. Penulis menyerahkan surat izin penelitian kepada petugas kelurahan sambil menyatakan maksud penelitian. Penulis harus menelan kekecawaan karena dengan tegas petugas kelurahan menolak surat tersebut. Menurut mereka penulis harus meminta izin dulu ke KESBANGLINMAS di Pemerintah Kotamadya Salatiga. Dengan mendapatkan persetujuan KESBALINMAS, penulis baru bisa masuk ke kantor kelurahan. Begitu rumitnya dan berbelit-belit prosedur formal yang harus dilakukan. Akhirnya penulis mengatakan kepada petugas kelurahan, bahwa penulis tidak lagi mencari data di kelurahan, tetapi penulis hendak permisi jalan-jalan ke unit usaha sambil menggali data. Petugas kelurahan kalau begitu bisa saja, penulis dipersilahkan untuk menggali data secara informal di cengek atau Tingkir Lor. Keputusan ini juga sulit bagi penulis, karena harus menggali data lapangan tanpa bantuan data tertulis sedikitpun, minimal yang menerangkan nama dan alamat usaha. Tapi inilah keputusan penulis untuk menjalankan penelitian secara informal. Sekali lagi penulis tidak mau mundur dan memanfaatkan peluang penelitian informal ini dengan baik.
3. Bertanya pada pedagang makanan Sebelum melanjutkan penelitian penulis mampir di warung bakso dengan tujuan menggali informasi tentang usaha konveksi di Tingkir Lor dan juga mengganjal perut yang lapar. Sambil makan penulis bercerita dengan penjual bakso sambil bertanya tentang usaha konveksi di tempat ini. dari penjual bakso, penulis mengetahui beberapa nama pengusaha seperti mbak Nur dan pak Imrori yang kebetulan posisi rumah mereka dekat dengan warung bakso tersebut.
4. Berkeliling dengan motor Karena sudah agak sore, penulis memutuskan untuk berkeliling dengan motor di sekitar Tingkir Lor, sambil menghitung unit usaha 45
konveksi menurut papan nama atau peralatan konveksi yang tersedia. Dengan menggunakan motor, penulis bisa menjangkau daerah Tingkir Lor sampai ke sudut-sudutnya. Hasil hitungan penulis jumlah unit konveksi sebanyak 15 unit usaha. Namun banyak unit usaha yang tidak menjalankan produksi saat itu, mungkin karena sudah sore atau mungkin usahanya sepi, semakin menggelitik rasa ingin tahu penulis.
Strategi mendapatkan informasi Pertemuan pertama sangat mengesankan: hubungan antara penulis dan informan
untuk
menjembatani
Pada kunjungan pertama penulis di sebuah unit usaha yang nampak dari luar ruang pasokan bahan baku sekaligus tempat produksinya cukup besar. Pemikiran awal penulis, tempat usaha yang besar mengindikasikan sebuah usaha yang sudah maju. Tetapi nampaknya proses produksi tidak berjalan, para karyawan sedang duduk-duduk sambil bersenda gurau. Situasi yang menyenangkan ini, penulis pikirkan sebagai situasi yang baik untuk memulai penelitian. Dengan penuh senyum pula penulis masuk ke unit produksi tersebut seakan terlibat dalam senda gurau mereka, sambil memberikan salam penulis datang memperkenalkan diri sebagai masishwa yang sedang melakukan penelitian. Penulis kemudian menyatakan ingin mendengarkan kisah tentang unit konveksi tersebut. Mbak Nunik anak dari pemilik konveksi yang sudah almarhumah 6 bulan yang lalu menjawab beberapa hal yang saya tanyakan dari cerita kami. Mbak Nunik bercerita tentang keluarganya juga. Penulis hanya menyimak dengan baik cerita mbak nunik sebagai bentuk menyediakan diri untuk berempati dengan cerita itu. Beberapa saat kemudian ketika seorang kakaknya pulang mbak Nunik memperkenalkan penulis kepada kakaknya. Kebetulan kakaknya datang dengan membawa anak, jadilah percakapan kami banyak tentang anaknya. Saya menghabiskan siang higga sore hari di unit usaha mbak Nunik anak pak Mat Shodiq. Mungkin belum banyak data terkait yang penulis dapatkan, tetapi penulis sudah bisa terlibat dalam kesedihan dan 46
kegembiraan mereka, penulis merasa diterima bukan sebagai orang asing dalam keluarga mereka siang ini. Demikian pula kunjungan pertama yang penulis lakukan di unit usaha milik Ibu Imrori dan suaminya. Penulis lebih banyak mengajak mereka bercerita tentang 3 anak perempuan yang mereka banggakan. Tentang perkembangan kehidupan mereka, hingga kebutuhan pendidikan mereka. Penulis juga menceritakan tentang anak-anak penulis. Sehingga nampak keakraban antara saya dan ibu Imrori. Sangat sedikit memang percakapan tentang usaha konveksi di pertemuan pertama penulis, tetapi membuka diri untuk saling mengenal, itu yang terpenting untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan jujur. Pertemuan pertama di unit usaha milik pak Abidin dan istrinya, penulis juga tidak terlalu banyak bercerita tentang konveksi, karena mereka sedang sibuk bekerja. Penulis banyak bertanya tentang cucu mereka yang lucu. Ternyata itu cucu dari putri sulung mereka. Lalu mengalirlah cerita tentang kedua putri mereka yang dulu dinikahkan secara bersama untuk penghematan biaya, karena pak Abidin hendak membuka kembali usahanya yang sempat berhenti dari tahun 2006 hingga 2010. Pertemuan pertama ini dipenuhi tawa mereka, ketika mengetahui penulis ibu dari 4 orang anak. Penulis sengaja membuka diri untuk diketahui mereka, sehingga tak ada keraguan untuk memulai percakapan yang lebih mendalam di lain waktu. Melalui pak Abidin penulis mendapatkan informasi tentang mbak Ul adik pak Abidin pemilik usaha Ribel.
Strategi mendengarkan cerita informan yang sudah sepuh Untuk informan yang sudah sepuh, strategi mendengarkan mereka bercerita akan membuat mereka semakin bersemangat untuk mengeluarkan semua cerita yang dimiliki. Peneliti hanya perlu menyediakan satu atau dua pertanyaan terbuka, informan akan menceritakan sejumlah informasi menarik bagi kita.Peneliti harus menunjukan sikap ketertarikan terhadap cerita mereka dengan mendengarkan denga baik. Terkait kemampuan menunjukkan sikap ketertarikan memang pada dasarnya peneliti sangat senang mendengarkan pengalaman–pengalam kehidupan seseorang. 47
Hasilnya dengan seorang informan saja penulis menghabiskan waktu 2 hingga 3 jam untuk mendengarkan cerita mereka. Waktu yang panjang itu, pak Mat shodiq misalnya banyak menceritakan pengalaman saat membuka konveksii dulu, hingga pengalaman masa mudanya juga beliau ceritakan. Terhadap persoalan bahasa, informan bercerita dengan bahasa yang tercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penulis kadang bisa mengartikan bahasa Jawa dalam konteks cerita itu, karena ada bahasa Indonesia juga yang digunakan informan. kalau ada yang tidak dimengerti, penulis akan menanyakan yang teman atau kenalan yang memahami bahasa Jawa.
Mendekati beberapa pengusaha dengan membeli produk Membeli produk merupakan strategi efektif untuk melakukan percakapan dengan informan, karena mereka terfokus pada aktivitas produksi dan pemasaran di rumah mereka. Dengan membeli produk, peneliti terlibat dalam fokus informan, bahkan juga menjadi fokus informan. Pada momen inilah peneliti mendapatkan perhatian informan. hal ini terjadi pada unit Ibu Imrori dan suaminya, unit usaha pak Abidin dan unit usaha ibu Musropah.
Mendalami percakapan dengan membawa teman berbelanja Untuk melakukan pembicaran lebih mendalam peneliti membawa teman-teman seangkatan untuk berbelanja. Hal ini sekali lagi menjadi strategi peneliti untuk masuk ke dalam proses pemasaran yang menjadi fokus aktivitas informan. Terlibat dalam proses yang sama dengan informan akan menjadi hasil amatan yang menarik pula tentang pemasaran yang sedang dilakukan oleh informan. Di sela-sela kesibukan teman-teman seangkatan berbelanja, peneliti melakukan percakapan dengan pemilik usaha. Percakapan ini dilakukan dengan sepenuh hati oleh informan. strategi ini penulis lakukan pada unit usaha mbak Ul dan pak Abidin.
48
Strategi ini penulis lakukan berulang kali, karena ternyata efektif penulis dapat telibat dalam proses dan mendapatkan fokus perhatian informan. Membawa teman seangkatan berbelanja penulis lakukan 2 kali. Membawa konsumen lainnya 2 kali. Keempat momen itu, tetapi penulis gunakan untuk membangun percakapan dengan informan.
Melakukan Triagulasi Metode dan informan untuk menguji kebenaran data Untuk mengkonfirmasi kebenaran data, penulis melakukan triagulasi yakni dengan mempercakapkan data tersebut dengan informan lainnya. Konfirmasi data ini dilakukan penulis tanpa harus diketahui informan sebagai sebuah konfirmasi. Karena kalau itu sudah diketahui, informan akan cenderung tidak spontan dalam menjawab pertanyaan peneliti. Konfirmasi ini juga dilakukan tanpa diketahui oleh informan sebelumnya. Semua ini dilakukan untuk menjaga validitas data. Peneliti juga melakukan triagulasi metode, yakni dengan menggunakan metode wawancara, pengamatan dan dokumentasi untuk menggali data. Misalkan ketika awalnya informan mengatakan usaha mereka berjalan biasa-biasa saja tidak mengalami krisis, penulis mengkonfirmasi data itu dengan menggunakan metode observasi. Ternyata hasil amatan penulis terhadap produk celana yang dihasilkan bahan kainnya semakin menipis. Kualitas kain juga semakin menurun. Penulis kemudian mengambil waktu lain untuk wawancara lanjutan dengan informan untuk mengkonfirmasi kembali keadaan usaha mereka. Metode dokumentasi peneliti lakukan untuk mengecek datadata yang sempat diceritakan informan dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya serta berita-berita koran tentang konveksi di Tingkir Lor. Secara lengkap penulis mengutip Creswel dalam penggunaan ketiga metode ini untuk triagulasi demikian: 1. Observasi: pengamatan yang didalamnya peneliti langsung turun lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas 49
individu-individu di lokasi penelitian (Creswel : 2010). Dalam penelitian ini peneliti akan langsung turun mengamati aktivitas produksi hingga pemasaran yang dilakukan oleh industri konveksi di Tingkir Lor. Peneliti akan mencatat keseluruhan hasil amatan dalam buku harian penelitian. 2. Wawancara: Peneliti akan melakukan face to face interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan dengan menyiapkan pertanyaan-pertanyaan terbuka (Creswell, 2010) 3. Dokumentasi: Selama proses penelitian, peneliti juga mengumpulkan dokumen-dokumen tertentu. Dokumen ini bisa berupa dokumen publik (seperti Koran, makalauh, laporan, dan yang lainnya) ataupun dokumen privat (seperti buku harian, diary, surat, email dan yang lainnya (Creswell, 2010). Dalam penelitian ini peneliti akan mengumpulkan dokumen dari internet maupun yang ada di kantor kelurahan juga kecamatan.
Data yang Diperoleh Tabel 3.1 Data Informan No
Nama Informan
Pekerjaan sekarang
usia
Pekerjaan awal
Pnddk
1.
Mat Shodiq
Pengusaha
75
sopir, pelaut.
2.
Ibu Musropah
Pengusaha
60
3.
Pak Abidin
Pengusaha
50
50
Thn krisis
Omzet/ aset
PGA
thn awal usaha 1975
2004
ibu rumah tangga
-
1985
2004
Rumah, tanah kering 3 Ha, sawah 10.000 M Pendidikan anaknya
Pengus aha, sopir di Arab
SD kelas 4
1987, 2010
2000
Mobil, motor
No
Nama Informan
Pekerjaan sekarang
usia
Pekerjaan awal
Pnddk
4.
Mas Susilo
40
sales
5.
bu Imrori Pak Imrori
Suami mbak NurPengusaha Pengusaha
49
Suami Imrori
bu
53
Ayah mbak Nur-Guru
75
Pengusaha
42
6.
7.
8.
Pak Budi Mertua Susilo Mbak UL
Thn krisis
Omzet/ aset
S1
thn awal usaha 1990
2000
Buruh jahit Tokoh agama/ ulama Guru
-
1990
2004
Pesantren
1990
2004
Mobil dan motor 40 jt/bln Pendidikan anak Pendidikan anak
Suami pegawai Damatex
Lulus SMP
1990
2004
PGSL P
200 jt/bln Mobil, Motor, pendidikan anak
Asal Mula lahirnya industri konveksi di Tingkir Lor Industri tekstil Damatex layaknya ibu kandung bagi industri kecil konveksi di Tingkir Lor, karena perannya melahirkan industri kecil konveksi Tingkir Lor dengan menghadirkan peluang, membekali mereka dengan ketrampilan juga tekhnologi. Peluang mendapatkan kain limbah dari Damatex sebagai sang ibu, menjadi titik awal lahirnya industri kecil pengolahan kain limbah. Tidak sampai di situ, Damatex sebagai sang ibu juga membekali 12 penjahit asal Tingkir lor dengan ketrampilan jahit-menjahit, yang dikemudian hari menjadi cikal bakal pengusaha kecil konveksi di Tingkir Lor. Damatex bahkan memodali pengusaha kecil dengan mesin jahit dan peralatan lainnya. Demikianlah wujud pengabdian Damatex bagi masyarakat dengan menghadirkan sebuah kehidupan baru bagi masyarakat Tingkir lor. Untuk memberi sebuah kehidupan baru bagi masyarakat, Damatex membangun Jaringan langsung yang mutualis antara industri tekstil Damatex dan masyarakat Tingkir Lor sekitar tahun 1960-an. Damatex memberi peluang usaha baru sebagai strategi nafkah 51
penghidupan masyarakat Tingkir Lor, untuk membebaskan mereka dari lilitan kemiskinan akibat keterbatasan akses. Peluang usaha baru itu diberikan melalui jaringan langsung yang mutualis. Dalam jaringan langsung ini, Damatex bertemu langsung dengan masyarakat sebagai konsumen untuk menjajakan dagangan mereka berupa kain limbah, tanpa melalui perantara. Jaringan ini dilakukan dengan sengaja oleh Damatex yang ingin mendapatkan sedikit nilai ekonomi dari kain limbah produksi yang sudah tidak bisa diekspor lagi, sedangkan masyarakat Tingkir lor bisa memperoleh kain limbah dengan harga murah. Jadi, terbentuklah jaringan langsung yang saling menguntungkan antara industri tekstil dan masyarakat Tingkir lor, yang jika digambarkan demikian:
Pengusaha IK konveksi
konsumen : Pengusaha IK konveksi di Tingkir Lor
Damatex memilih Tingkir Lor sebagai sasaran suplai kain limbah karena keberadaannya sebagai daerah Belanda atau Belakang Damatex. Sebagai daerah yang berada di sekitar Damatex, Tingkir Lor menjadi daerah yang sangat mungkin mengalami imbas dari perkembangan industri Damatex berupa limbah. Hal ini terdeteksi pada tahun 2006 hingga 2007, bahwa sungai Cengek di Tingkir Lor mengandung racun limbah Damatex. Demikianlah Damatex telah memilih daerah Tingkir Lor sebagai saasaran suplai kain limbah. Industri kecil konveksi di Tingkir Lor dimulai pada tahun 1960an, seiring kehadiran Damatex di Salatiga pada tahun 1961. Jika diperkirakan menurut kesaksian pengusaha tertua pak Mat Shodiq dengan usaha yang tertua pula yang masih eksis hingga saat ini, memulai usaha keluarganya di tahun 1975 ketika sudah memiliki 3 anak. Beliau memberikan kesaksian kepada penulis bahwa istrinya belajar konveksi sejak masih lajang, dari ibunya yang juga menekuni konveksi. Jika pak Mat Shodiq dan istrinya memulai usaha setelah memiliki 3 anak, maka itu berarti paling minimal istri pak Mat Shodiq belajar konveksi dari ibunya kurang lebih 6 tahun lalu sebelum mereka 52
memulai usaha. Ditambah lagi beliau menceritakan di tahun 1967 beliau dan istrinya sudah mulai berpikir untuk meninggalkan PNS, karena gaji tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jadi berdasarkan cerita ini, maka konveksi di Tingkir Lor memang memulai aktivitasnya sekitar tahun 1960-an. Industri kecil konveksi di Tingkir lor dimulai dengan adanya peluang memperoleh limbah industri tekstil dari Damatex. Damatex yang berproduksi sejak tahun 1961, menyisakan limbah dari produksinya ataupun kain yang tidak layak diekspor. Limbah-limbah tersebut kemudian dijual kepada masyarakat sekitar Damatex yang terkenal dengan sebutan masyarakat Belanda3 dengan harga yang murah, dengan tujuan agar pabrik tetap mendapatkan sedikit keuntungan dari limbah tersebut. Tingkir lor termasuk salah satu tempat berlangsungnya aktivitas penjualan kain limbah tersebut.4 Aktivitas penjualan kain limbah itu merajut jalinan relasi yang mutualis antara Damatex dan masyarakat sekitarnya khususnya Tingkir lor. Ketika limbah kain bisa terjual di masyarakat, pihak Damatex mendapatkan kembali nilai ekonomi dari limbah yang sebelumnya tidak berharga lagi, karena tidak bisa diekspor. Pihak lainnya yakni masyarakat sekitar pabrik termasuk Tingkir lor berpeluang memperoleh limbah kain dalam harga murah. Hal ini diceritakan oleh Pak Mat Shodiq juga ibu Musropah demikian : Awalnya dua minggu sekali ada mobil Damatex masuk membawa limbah kain. Kain-kain yang dibawa masuk ke Tingkir Lor itu, adalah limbah sisa produksi industry tekstil damatex. Masing-masing rumah bisa membeli kain sekitar 10 kilogram.5 Jadi ada relasi yang saling menguntungkan yang lahir dari masyarakat Tingkir lor mendapatkan peluang untuk memperoleh limbah kain yang kemudian dijadikan bahan baku bagi usaha konveksi mereka.
Belanda merupakan singkatan dari Belakang Damatex, digunakan untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di belakang Damatex. 3
4 Pada tahun 1995, penulis pernah berkunjung ke karang alit, salah satu tempat penjualan limbah kain dengan harga murah. Jadi memang terjadi aktivitas penjualan limbah produksi di sekitar wilayah pabrik Damatex. 5
Menurut hasil wawancara dengan pak Mat Shodiq dan Ibu Musropah
53
Damatex semakin memperkuat peluang yang ada dengan memberi akses ketrampilan dan tekhnologi kepada masyarakat Tingkir lor sekitar tahun 1960-an. Saat itu, Tingkir lor dijadikan daerah binaan Damatex dengan melatih sekitar 12 penjahit dan memberikan bantuan peralatan berupa mesin jahit kepada mereka. Hal ini merupakan wujud tanggung-jawab sosial Damatex terhadap lingkungan sekitarnya. 6 Peluang ini direspons oleh masyarakat Tingkir lor dengan antusias, hingga menjadikan konveksi sebagai strategi nafkah kehidupan mereka. Pak Imrori menceritakan bahwa awalnya di tahun 1970-an, semua rumah tangga mengambil limbah kain dari Damatex sekitar 10 kg setiap minggunya. Kain itu dijahit menjadi produk dan selanjutnya dijual di pasar. Hasil penjualan digunakan untuk membiayai kehidupan sehari-hari rumah tangga mereka. Sejak itu mereka semakin merasakan adanya manfaat ekonomi dari usaha konveksi mereka. Ketika usaha konveksi mulai memberi manfaat secara ekonomi bagi masyarakat Tingkir lor, hampir semua warga Tingkir lor terjun menjadi pengusaha konveksi dengan jumlah produksi yang terus naik, berakibat pada semakin tinggi pula kebutuhan terhadap limbah. Sementara itu sumber lain menyebutkan bahwa saat itu, bukan hanya Tingkir lor saja yang disuplai tetapi, keseluruhan daerah Tingkir, Karang jati, Kali bening. 7Akhirnya suplai bahan baku tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan bahan baku produksi di Tingkir lor. Aktivitas penjualan secara langsung dari Damatex kepada konsumen tidak lancar lagi, padahal masyarakat Tingkir Lor sudah tumbuh menjadi pengusaha kecil konveksi yang membutuhkan suplai bahan baku dengan memadai dan kontinyu. Untuk mendapatkan lagi suplai bahan baku dengan memadai mereka harus berjuang dengan mengerahkan semua energi yang mereka miliki. Perjuangan yang mereka lakukan untuk mempertahankan Damatex sebagai sumber limbah yang tetap, sambil mencari peluang Upaya menggerakan perekonomian daerah melalui program fasilitasi percepatan pemberdayaan ekonomi daerh (FPPED) untuk industri konveksi di Tingkir lor, kota Salatiga, Kantor Bank BI Semarang tahun 2008. 6
7 Upaya menggerakan perekonomian daerah melalui program fasilitasi percepatan pemberdayaan ekonomi daerah (FPPED) untuk industri konveksi di Tingkir lor, kota Salatiga, Kantor Bank BI Semarang tahun 2008.
54
sumber limbah di tempat yang lain. Damatex masih menjadi harapan utama masyarakat tingkir lor, sebagai sumber bahan baku utama di tahun 1970-an hingga akhir tahun 1980-an. Beberapa pengusaha asal Tingkir lor yakni pak Mat Shodiq, pak Marijan8 dan bu Norma dengan berbekal sedikit modal, tekad yang kuat serta kemampuan membangun jaringan, menerobos masuk sampai ke aras manajemen pabrik Damatex. Hasilnya Pak Mat Shodiq menjadi pengepul limbah kain di Tingkir lor di tahun 1977. Saat itu Pak Mat Shodiq menampung suplai limbah kain Damatex sebanyak 4 ton setiap minggunya, berarti dalam sebulan ada 16 ton limbah yang ditampung pak Shodiq untuk pengusaha kecil di Tingkir lor.9
Profil Pengusaha IKRT di Tingkir Lor yang menjadi informan peneliti. 1. Pak Mat Shodiq aktor yang gigih dalam berjuang Pak Shodiq dan almarhum istrinya nekad keluar dari profesi mereka sebagai sopir dan guru, untuk terjun ke dunia usaha konveksi. Menurut beliau dengan anak 5 orang yang diberikan kepada mereka, nampanya menjad PNS tidak bisa menjamin masa depan anak-anak kami, sehinga dengan peluang ada untuk mendapatkan bahan baku kain limbah dari damatex, mereka mengambil sikap untuk berhenti dari profesi sebelumya pada 1975 dan terjun ke usaha konveksi. Tindakannya terjun ke usaha konveksi diawali dengan peristiwa keterputusan hubungan antara Damatex dengan masyarakat Tingkir Lor karena kain limbah yang terbatas. Damatex ternyata tidak sanggup untuk mengsuplai bahan baku secara langsug ke Tingkir Lor, sehingga beberapa saat suplainya macet. Hal ini membuat pak Shodiq berjuang untuk mendapatkan peluang lewat peran Satpam yang adalah warga Belanda untuk membangun kembali jaringan dengan pidak Damatex.
Informasi tentang pak Marijan tidak diperoleh penulis, tetapi namanya diceritakan oleh ibu Imrori kepada penulis. Ibu Imrori dulunya pernah menjadi buruh jahit Mbah Marijan. 8
9 Penulis sudah berusaha berkali-kali menjumpai ibu Norma, tetapi sangat sulit bertemu, penulis hanya sempat bercerita dengan karyawan yang sedang menjaga unit produksi bu Norma.
55
Menghidupkan kembali jaringan Damatex dengan masyarakat Tingkir Lor ternyata bukan hal mudah yang dilakoni pak Mat Shodiq. Lewat informasi peluang yang diperoleh dari seorang satpam, pak shodiq kemudian melakukan pendekatan dengan orang gudang setelah itu beliau masuk sampai ke aras manajemen pabrik. Beliau kemudian mendapatkan peran sebagai pengepul Damatex untuk Tingkir lor. Sejak saat itu Damatex selalu menyuplai bahan baku lewat pak Mat shodiq sebesar 4 Ton setiap minggunya. Pak Shodiq dengan cara pandang yang proaktif tidak hanya membangun jaringan suplai dengan Damatex tetapi juga dengan penyuplai dari indutri tekstil Solo. Sudah sejak tahun 1980 pak Shodiq mengkuatirkan tentang kemungkinan macetnya suplai kain limbah dari Damatex untuk usaha konveksi mereka. Sehingga dengan informasi yang beliau dapatkan tentang industri tekstil di Solo dan berbekal pengalaman membangun jaringan dengan Damatex, beliau kemudian menghadap manajemen di Solo dan mendapatkan peluang untuk menjadi pengepul di Tingkir Lor. Pada tahun 1970-an hingga 1990-an, pak Mat shodiq dapat memenuhi kebutuhan subsisten keluarganya dan berinvestasi dari hasil usaha konveksinya. Dari hasil usaha konveksi pak Mat Shodiq dapat menafkahi keluarganya. Anak-anaknya yang berjumlah 5 orang, 4 orang dapat disekolahkan hingga sarjana. Sedangkan yang seorang lagi yang bernama mbak Anik, sampai pada kelas 5 SD. Dia kemudian memilih untuk membantu ibunya di konveksi. Sekarang ini ketika ibunya meninggal, mbak Anik yang dipercayakan ayahnya untuk mengelola konveksi keluarga mereka. Pak Shodiq juga memiliki investasi berupa tanah pekarangan beserta rumah, tanah kering 3 Ha dan sawah 10.000 Meter. Namun usaha Pak Shodiq mengalami penurunan sekitar tahun 2004. Penurunan tersebut dikarenakan akses ke pabrik Damatex sudah terbatas. Limbah kain yang diperoleh dari pabrik Damatex semakin sedikit untuk pemakaian sendiri saja tidak cukup, sehingga tidak bisa lagi mendapatkan keuntungan dari penjualan kain kepada orang sekampungnya. Dalam kondisi yang demikian pada 2 tahun terakhir ibu
56
harus dirawat di rumah sakit, sehingga biaya habis terserap untuk perawatan tersebut. Untuk mempertahankan usahanya tetap eksis, pak shodiq akan menjual asetnya. Kutipan penggalan wawancara penulis dengan pak shodiq demikian: Saya mau bangkit lagi, dengan cara menjual tanah kering beserta rumah 3 Ha harus cash. Ada yang 5000M, 4000M, saya tawarkan. Ada juga sawah beberapa Hektar. Mana yang payu lebih dulu, saya jual. Untuk modal bisa kulakan lagi. Semua itu dulunya saya beli dari hasil usaha konveksi saya bersama almarhum ibu.
Hingga kini Usaha konveksi keluarga pak Mat Shodiq masih tetap produksi meskipun mengalami perlambatan. Mereka berproduksi dengan menggunakan bahan baku sisa yang di stoknya selama ini. Menurut beliau sudah 6 bulan, tidak kulakan bahan baku sama sekali. Kalau dulu semua kebutuhan hidupnya digantungkan pada usaha konveksi, sekarang supaya tetap bisa makan pak Mat Shodiq mengambil hasil sawah yang dulu dibeli dari hasil konveksi.10
2. Ibu Musropah aktor yang menggunakan modal simbolik suaminya untuk beralih profesi Selain Pak Mat Shodiq, adapula Ibu Musropah wanita berusia 57 tahun, yang memanfaatkan peluang dengan kehadiran Damatex. Ibu Musropah yang membuka usahanya sekitar tahun 1987. Pada tahuntahun tersebut, beliau mengambil kain sebanyak 5 sampai 6 Bagor setiap 2 minggu. 1 bagor menurut pengamatan penulis sekitar 20 kg. Berarti setiap 2 minggu ibu Musropah mengambil 100 kg kain limbah dari Damatex pada saat itu. Pada bulan Maret tahun 2012 saat pertama kali penulis mewanwancarai ibu Musropah, beliau mengungkapkan usahanya sekarang tidak selancar dulu, tetapi masih berjalan. Saat itu beliau masih punya 3 karyawan yang bekerja di tempat produksi. Beliau masih 10
Transkripwawancarapenulisbersamapak Mat Shodiqtanggal 31 April 2012
57
membeli bahan baku sendiri dan memproduksi celana kolor, celemek, seprei, sarung bantal, dan lainnya. Pada tanggal 24 Januari 2013 ketika penulis berkunjung lagi ke Tingkir Lor, usaha konveksi Ibu Musropah sudah semakin merosot. Beliau sudah sangat jarang membeli bahan baku. Karena sudah semakin sulit dan dan kalaupun ada harganya mahal. Ditambah pula kondisi internal, yangmana anak-anaknya harus menikah dan tinggal terpisah dari beliau. Ibu Musropah kehilangan tenaga kerja. Dengan berbekal modal simbolik suaminya sebagai seorang tokoh agama di Tingkir Lor, ibu Musropah mendapatkan peluang untuk menjual produk dari rekan-rekan pengusahanya yang masih eksis. Kebetulan juga rumah bu Musropah lebih dekat ke jalan raya, sehingga memungkinkan beliau untuk menjual produk-produk tersebut. Beliau hanya menjual produk seprei milik mbak UL, Celana milik pak Abidin. Dari hasil penjualan beliau mendapatkan keuntungan meskipun hanya seribu atau dua ribu kata bu Musropah. Jadi, untuk tetap bertahan hidup, beliau sudah beralih profesi sebagai pedagang.
3. Pak abidin aktor yang pantang menyerah, memegang kuat Habitusnya sebagai penjahit Bagi pak Abidin pengalaman jatuh bangun dalam usaha konveksi menjadi sejarah hidup yang berharga. Pak Abidin yang eksis sejak tahun 1987 namun mengalami kejatuhan pada tahun 2003 hingga 2009. Selama 6 tahun kejatuhannya, pak Abidin migran ke Arab, menjadi sopir di sana, untuk menafkahi keluarganya. Hal ini diceritakan oleh pak Abidin kepada penulis demikian : sebetulnya kalo mulai bikin konveksi itu udah mulai tahun 87. Tapi kemaren sempat berhenti hampir 6 tahunan heheheh (sambil ketawa). Saya sempat berhenti itu mulai 2003 sampai 2009 ya..jadi kebetulan anak saya yang pertama dan kedua kuliah, yang ketiga SMA, kemudian kondisi persaingan bisnis yang ngga sehat, terus turun. Karena saya perlu biaya, terus saya lari jadi buruh ke Saudi. Buruh nyopir di sana ya hampir 6 tahun. Terus pulang, terus skolahnya udah selesai semua, terus mulai bikin lagi.
58
Pak Abidin hanya sempat menamatkan pendidikan formal pada tingkat Sekolah Dasar. Sejak kelas 4 SD, beliau sudah belajar menjahit dari neneknya dan juga ibunya. Setelah lulus SD, pak Abidin mulai ngikut orang menjadi buruh jahit. Setelah menikah beliau mendapat kesempatan bekerja sekaligus belajar di taylor. Pada tahun 1987 beliau bersama istri mulai membuka usaha. Istri pak Shodiq juga adalah masyarakat Tingkir Lor juga yang menguasai ketrampilan menjahit secara otodidak. Menurut pak Abidin dan istrinya, pada tahun 1980-an harga kain jauh lebih murah dibandingkan sekarang. Namun usahanya mengalami kejatuhan selama 6 tahun yakni pada tahun 2003 hingga 2009. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, pak Abidin rela menjadi buruh migran ke tanah Arab. Melalui usahanya pada babak pertama pak Abidin dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga memasuki perguruan tinggi dan juga dapat membeli sebuah mobil. Namun ketika 2 orang anaknya kuliah, dalam perjalanan membutuhkan biaya yang banyak. Modal mereka digunakan untuk biaya kuliah anak. Itupun belum mencukupi, sehingga pak Abidin harus migrasi ke Saudi menjadi sopir. Saat migrasi ke Arab, Pak Abidin berusaha menabung pendapatannya sedikit untuk menjadi modal usaha konveksi yang akan dibukanya kembali. Pak Abidin percaya bahwa konveksi merupakan bagian yang tidak menyatu dengan kehidupannya. Pak Abidin memulai babak ke-2 usahanya pada tahun 2010 dan masih eksis hingga kini. Usahanya bias dimulai lagi karena ada peluang mendapatkan bahan baku dari garmen di Ungaran. Setelah usahanya mati suri sekitar 6 tahun, di tahun 2010 pak Abidin memulai kembali usahanya. Beliau memperoleh jaringan dengan pengepul Ungaran sebagai pemasok kain limbah. Pak Abidin sendiri bertindak sebagai pengepul bagi rekan-rekan pengusaha yang membutuhkan bahan baku. Pak Abidin bisa kembali eksis karena ditunjang daya inovasi yang dimiliki pak Abidin dan istrinya. Beliau menceritakan kepada penulis proses awal memulai usaha babak kedua, demikian : Dulu saya ke Arab Saudi. Begitu pulang anak saya yang pertama minta kawin, yang namanya orang kawin butuh biaya. Padahal waktu itu saya ngga ada dana sama sekali. Yah
59
sambil berdoa, sambil berusaha, Alhamdulillah dengan tidak sengaja juga, istri saya beli kain kaos 4 kilo, rencananya mau ditawarkan ke tetangga, ternyata mereka ngga mau. Jadi coba dibikin sendiri, ternyata kok malah bisa dikatakan bikin 4 kilo selesai dijual lakunya bisa beli 10 kilo, kok uang masih sisa. Habis itu malah nyari kain itu lagi. Saya bikin celana legin pake bahan kaos itu. Kalo di konveksi sini kami yang pertama membuat legin itu. Kalo di luar sana yah udah ada. Bareng-bareng kebutuhan saya kok aneh, sepertinya rejek kok di so'i dengan cara yang tidak terduga itu. Jadi yang memotivasi saya ya kebutuhan anak untuk menikah itu. Akhirnya anak saya yang kedua ta suruh menikah juga biar hemat.
4. Mbak Ul aktor yang ulet dan cerdas dalam menggunakan modal Adik perempuan pak Abidin yang biasa dipanggil Mbak Ul juga terjun ke usaha konveksi dan kini usahanya dikenal dengan nama Ribel. Mbak Ul mulai membuka usaha konveksinya pada tahun 1990. Beliau memulai usahanya setelah menikah dengan suaminya yang bekerja sebagai buruh di Damatex. Mbak Ul sempat mengambil bahan baku berupa limbah dari Damatex. Namun ternyata lama-kelamaan mbak Ul juga merasakan kesulitan memperoleh bahan baku dari Damatex. Beliau kemudin mencari alternatif penyuplai dari Solo dan Bandung. Ternyata usahanya bisa eksis hingga kini. Hubungan kekerabatan antara Pak Abidin dan Adiknya Mbak Ul, menjadi modal sosial bagi mereka.Mereka bersama-sama belajar pengetahuan jahit-menjahit dari ibu dan nenek mereka. Sebelum membuka usaha sendiri, mbak Ul ngikut kakaknya pak Abidin atau dengan kata lain menjadi buruh jahit di usaha konveksi pak Abidin. Pak Abidin mendorong mbak Ul untuk belajar dan jika sudah memiliki modal dapat berdiri sendiri. Demikian penuturan mbak Ul kepada penulis : Yah saya dulu ikut kakak saya. Kakak saya ngomong: Kerjanengkene, wes iso ya kerja dewe. Jadi kan memang di sana itu kita mencari pengalaman.
60
Relasi kekeluargaan antara Mbak Ul dan Pak Abidin menjadi sumber modal bagi mereka berdua. Dalam perkembangan selanjutnya saling membantu sampai pada modal berupa uang. Jika dalam kondisi waktu pembayaran, kemudian salah satunya belum memiliki uang, maka mereka akan saling membantu. Dengan catatan harus dibayar, tanpa bunga. Akses modal menjadi lebih mudah bagi mereka. Mbak Ul cerdas dalam berinovasi membangun sistem pemasaran baru yang memungkin pasarnya menjadi semakin luas dan tersistematis. Sistem pemasaran yang dibentuk mbak UL adalah Sistem Sales. Sistem ini mampu menjangkau pasar ke kelompok-kelompok sosial terkecil di desa-desa. Saat ini, usaha konveksi milik mbak Ul adalah yang paling eksis dibandingkan IKRT lainnya di Tingkir Lor. Hal ini dilihat dari ketersediaan stok bahan baku di tempat produksi. Aktivitas produksi sangat ramai terjadi di Ribel. Omzet yang dicapai oleh Ribel, adalah 150.000.000 sampai 200.000.000 setiap bulan. Ini menjadi standar pendapatan tertinggi usaha konveksi di Tingkir lor saat ini.Usaha konveksi milik mbak Ul bisa eksis karena cerdas memanfaatkan peluang dan jaringan sosial.
5. Ibu Imrori aktor yang memulai karir sebagai buruh sehingga bisa meraih posisi pengusaha Ibu Imrori perempuan yang ramah dan bersahaja, bercita-cita kuat untuk profesinya sebagai pengusaha konveksi. Karena itu beliau menrintisnya dengan jalan menjadi buruh jahit sejak tahun 1980 hingga 1989. Di tahun 1990 beliau meningkatkan kedudukannya sebagai pengusaha kecil konveksi. Usaha konveksi yang dibuka dalam waktu yang bersamaan dengan mbak Ul di tahun 1990, adalah usaha konveksi milik keluarga Imrori. Sebelumnya ibu Imrori adalah seorang buruh jahit yang mengambil jahitan milik tetangga untuk beliau jahitkan di rumahnya. Karena relasi persahabatan suaminya dengan seorang pengusaha di garmen ungaran, bu Imrori diberikan modal sebanyak 5 juta rupiah berupa limbah kain. Modal pemberian teman itu ditambah dengan 61
simpanan dari hasil kerja sebagai buruh jahit, bu Imrori dan suaminya memulai usaha konveksi. Meskipun usaha konveksi keluarga Imrori dimulai dalam waktu yang sama dengan Ribel, namun mereka punya strategi agar tidak tenggelam oleh arus kehebatan Ribel. Mereka memfokuskan produksi pada produk tertentu yakni celana kolor. Sedangkan Ribel lebih berkembang dengan produk sepreinya. Dalam hal pemasaran, pak Imrori tidak berebut pasar dengan Ribel. Usaha Konveksi pak Imrori memasarkan produk celana kolornya ke luar pulau jawa yakni Kalimantan, Sumatera dan Bali. Pak Imrori seorang tokoh agama berusia 46 tahun dan sangat familiar dengan siapa saja. Dengan sikap familiarnya, beliau berupaya menjaga hubungan baik dengan karyawan. Karena karyawan sangat menentukan berjalannya usaha menurut beliau. Kepercayaan penuh diberikan kepada karyawan. Bahkan adapula karyawan yang diberikan mesin jahit yang sudah agak tua, untuk menjahit di rumah mereka. Dalam wawancara penulis dengan beberapa karyawannya, mereka sangat menghormati dan setia kepada pak Imrori dan istrinya. Ada Sistem Patron dan Klien yang dibangun dalam relasi karyawan dan pemilik IKRT.
6. Mas Susilo dan Mbak Nur pasangan muda berpendidikan tinggi dan memilih terjun ke dunia usaha konveksi Usaha konveksi yang paling muda usianya di Tingkir Lor adalah milik Mas Susilo dan Mbak Nur istrinya. Mas Susilo memiliki latarbelakang pendidikan Strata 1 ekonomi. Sedangkan istrinya pernah kuliah di STAIN. Ketika penulis berkunjung di tahun 2012, mas susilo mengatakan usaha konveksinya sudah dibuka sejak 8 tahun yang lalu. Itu berarti usaha tersebut dibuka sejak tahun 2004. Dibandingkan dengan IKRT lainnya di Tingkir Lor, maka usaha mereka masih tergolong muda usianya. Memang usaha ini merupakan hasil rintisan mbak Nur ketika masih lajang. Saat itu mbak Nur melakukannya hanya untuk mengisi waktu dan mencari uang jajan. Aktivitas konveksi mbak Nur berkembang menjadi sebuah usaha ketika mbak Nur sudah menikah dan punya anak. 62
Dengan pengalaman yang banyak dimiliki mbak Nur, usaha mereka bisa berkembang baik. Perkembangan yang baik ini terlihat dari omzet yang didapatkan setiap bulannya mencapai Rp. 40.000.000. Mereka juga bisa membeli sebuah mobil bekas untuk antar-jemput barang ataupun membeli bahan baku. Sisanya ditabung untuk keperluan sekolah anak-anak di masa mendatang. Pengalaman mbak Nur sejak masih lajang mengikuti berbagai pelatihan untuk membuat proposal, manajemen usaha, cukup membekalinya dalam 11 mengembangkan usaha. Mas Susilo suami mbak Nur berusia 38 tahun memiliki latarbelakang pendikan ekonomi, penuh idealisme dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi dalam perjalan usaha mereka dan mempunyai latar belakang pendidikan ekonomi. Dalam menghadapi masalah modal misalnya, mas susilo tidak melihat kredit sebagai solusi. Karena itu justru akan menambah beban hutang. Dia lebih sabar menunggu modalnya berputar lewat hasil penjualan barang. Masalah lainnya yang mereka hadapi adalah letak rumah yang tidak strategis untuk tempat produksi dan pasar. Mas Susilo justru tidak melihatnya sebagai masalah yang besar. Papan nama industri rumah tangganya dipasang di rumah mertuanya yang berada di jalan utama. Di sanapun diletakkan sampel produk. Kalau pembeli tertarik, mereka akan dijemput oleh mas Susilo atau diantar oleh mertuanya. Mas Susilo mengatakan teori yang kita pelajari di bangku kuliah tidak cocok dengan Fakta yang ada di lapangan. Hal ini membuat IKRT di Tingkir Lor semakin menarik untuk ditelusuri.
Proses analisis Analisis data secara keseluruhan melibatkan usaha memaknai data yang berupa teks atau gambar. Untuk itu peneliti perlu mempersiapkan data tersebut untuk dianalisis, melakukan analisisanalisis yang berbeda memperdalam pemahaman akan data tersebut, menyajikan daya dan membuat interpretasi makna yang lebih luas akan data tersebut (Creswell : 2010). 11
TranskripWawancaradengan Pak San (ayah darimbakNur) tanggal 10 July 2012
63
Selanjutnya Creswell mengungkapkan bahwa analisis data merupakan proses berkelanjutan yang membutuhkan refleksi terusmenerus terhadap data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitis dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Maksudnya analisis data bisa saja melibatkan proses pengumpulan data, interpretasi dan pelaporan hasil secara serentak dan bersama-sama. Langkah-langkah analisis data yang akan dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah : Langkah pertama: Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Dalam langkah ini peneliti akan mengolah data teks ke dalam transkrip untuk selanjutnya dianalisis. Langkah kedua:
Membaca keseluruhan data untuk membangun general sense atas informasi yang diperoleh dan merefleksikan maknanya secara keseluruhan.
Langkah ketiga:
Memberikan kode dan memasukan ke dalam matriks data-data tertentu yang pokok dan terkait langsung dengan masalah penelitian.
Langkah keempat:Mendeskripsikan setting, orang-orang, kategorikategori dan tema-tema yang akan dianalisis. Langkah kelima:
Menyajikannya kembali tema-tema tersebut dalam bentuk narasi.
Langkah keenam: Analisisi data adalah menginterpretasi atau memaknai data dengan mewacanakan itu dengan teori yang bersesuain dengan tema-tema produk penelitian lapangan.
Catatan refleksi dari peneliti Penelitian lapangan untuk mengangkat realitas empirik menjadi sumber pengetahuan. Realitis empirik yang sederhana dan diluar kesadaran kultural (bahasa Bourideu untuk mengkonsepkan habitus) individu, ternyata mengandung pengetahuan teoritik maupun praktis 64
yang menarik. Karena itu penelitian lapangan sangat penting dilakukan untuk mengembakan ilmu pengetahuan. Penelitian lapangan yang penulis lakukan pada tahap ini, merupakan pengalaman berharga, untuk penelitian selanjutnya. Karena penulis baru saja belajar tentang proses penelitian meletakkan pengalaman empirik sebagai sumber pengetahuan. Proses induktif yang dilakukan dalam penelitian kualitatif ini teryata tidak mudah. Mulai dari induktif mencari data di lapangan hingga induktif dalam mengkonsepkan data. Penulis mengerjakan ini melewati proses trial dan error yang tidak berulang-ulang kali. Hal menarik dari penelitian kualitatif ini adalah penelitian ini sudah sepantasnya memakan waktu lama. Karena proses membangun hubungan dengan informan, menemukan data, sampai pada triagulasi untuk menguji otentiknya sebuah data, semuanya harus dilakukan secara comprehensif dan berulang-ulang kali. Penelitian ini hari demi hari semakin menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru, yang menimbulkan ketidakpuasan peneliti. Teruslah mencari sampai pertanyaan kita terjawab.
65