BAB IV DINAMIKA INDUSTRI KECIL KONVEKSI TINGKIR LOR SEBELUM MASA KRISIS (tahun 1980-an hingga 1990-an)
Pendahuluan Usaha konveksi sudah menjadi aktivitas yang menyatu dengan kehidupan masyarakat Tingkir Lor. Sejak awal dimulai usaha konveksi di Tingkir Lor sekitar tahun 1960-an, konveksi serasa begitu dekat dengan kehidupan masyarakat. Kedekatan antara konveksi dan masyarakat Tingkir Lor terjadi karena keseluruhan aktivitas konveksi dimulai dari produksi hingga pemasaran berlangsung di dalam rumah keluarga, di tengah keseharian hidup masyarakat Tingkir Lor. Hal itu telah berlangsung lama, kurang-lebih 3 generasi. Aktivitas konveksi yang sudah lama berlangsung itu, sehingga telah menjadi strategi nafkah kehidupan bagi masyarakat Tingkir Lor. Mereka bisa hidup, dibesarkan, hingga bisa membesarkan anak dan bahkan menyekolahkan anak-anaknya karena menjadikan konveksi sebagai mata pencaharian. Ketika kerentanan hidup terjadi mereka menjadikan usaha ini sebagai benteng untuk bertahan. Seperti halnya usaha lain, tak bisa dielakkan, aktivitas konveksi di Tingkir Lor mengalami proses yang dinamis. Ada masa dimana mereka harus bersusah payah untuk memulai usahanya, ada masa dimana mereka berhadapan dengan masalah, ada masa dimana usaha mereka berkembang, ada masa dimana usaha mereka jatuh. Begitu banyak proses bergelombang yang naik turun, dialami oleh usaha konveksi di Tingkir lor.
67
Pada bab empat ini, penulis hendak mengulas cerita tentang dinamika yang dialami konveksi di Tingkir lor sebelum masa krisis dalam rentang waktu sekitar tahun 1980-an hingga 1990-an. Tahun 1980 merupakan masa dimana 75 % masyarakat Tingkir Lor terjun menjadi pengusaha konveksi, menurut keterangan pak Abidin. Tahun 1990 merupakan masa keemasan usaha konveksi di Tingkir Lor karena omzet rata – rata yang diperoleh semua unit usaha konveksi di Tingkir Lor sebesar 40.000.000/bulan. Cerita tentang dinamika ini, akan penulis awali dengan paparan tentang profil usaha agar IK konveksi Tingkir Lor ini, agar usaha ini bisa dikenal karakteristiknya yang memiliki keunikan tersendiri. Selanjutnya akan dipaparkan aktivitas produksi dan pemasaran yang semuanya berlangsung sebelum masa krisis.
Profil Usaha Konveksi Rumah Tangga di Tingkir Lor Usaha yang tumbuh dalam konteks sosial yang sama memiliki warna karakteristik yang sama pula. Demikian halnya yang terjadi pada usaha konveksi di Tingkir Lor. Mereka bertumbuh dalam konteks sosial masyarakat Tingkir Lor, sehingga konteks itu memberikan sejumlah pengalaman yang sama bagi usaha konveksi yang lahir di sekitaranya. Beberapa konteks sosial Tingkir Lor yang memberi warna bagi karakter industri kecil konveksi di daerah itu, antara lain : konteks Tingkir Lor yang berdekatan dengan industri tekstil Damatex memunculkan peluang pengolahan limbah industri pada semua unit usaha. Selanjutnya, konteks Tingkir Lor juga sejak awal memberi pengalaman berusaha dalam keluarga sebagai unit terkecil masyarakat. Konteks Tingkir Lor memberi pengalaman tentang Jaringan yang dibangun untuk mendapatkan bahan baku bagi kebutuhan bersama. Dalam konteks sosial Tingkir Lor itulah, maka terlahir usaha kecil konveksi di wilayah ini yang memiliki profil tertentu. Profil ini berlaku sama pada semua unit usaha konveksi di Tingkir Lor. Profil 68
yang menggambarkan usaha konveksi di Tingkir Lor ini akan penulis deskripsikan di bawah ini:
Industri Konveksi Tingkir Lor Mengolah Kain Limbah Menjadi Barang Layak Pakai yang Bernilai Ekonomi 1. Sumber kain limbah Pada awal keberadaan usaha konveksi di Tingkir Lor, bahan baku yang digunakan adalah kain limbah industri konveksi Damatex. Kain limbah ini diperoleh atas inisiatif Damatex untuk menyalurkan limbah dan memberi ide bagi masyarakat Tingkir Lor untuk menjadikan kain limbah tersebut lebih bernilai ekonomi. Atas perjuangan beberapa pengusaha di Tingkir Lor, maka hampir 3 dekade (dari tahun 1960-an hingga 1990-an), pengusaha di Tingkir Lor tidak mengalami kekurangan bahan baku. Para pengusaha itu sebutlah Pak Mat Shodiq, Bu Norma dan mengambil peran ganda sebagai pengepul dan pengelola konveksi. Sebagai pengepul mereka menjual limbah kain sebagai bahan baku kepada pengusaha lainnya yang tidak memiliki akses modal yang memadai. Sedangkan dalam peran sebagai pengelola konveksi, mereka juga menggunakan limbah kain yang ada sebagai bahan baku. Melalui mereka inilah, pengusaha kecil di Tingkir Lor bisa mendapatkan kain limbah sebagai bahan baku usaha konveksi mereka. Dengan limbah yang berhasil diperoleh, usaha kecil konveksi Tingkir Lor bertumbuh bersama menjadi suatu komunitas konveksi di tahun 1980-an. Pertumbuhan bersama dalam komunitas konveksi ini, semakin memberikan peluang bagi mereka untuk mendapatkan limbah kain dari para pengepul lain, baik dari Solo maupun garmen Ungaran. Menurut cerita ibu Imrori yang membuka usaha di tahun 1990, mereka justru didatangi oleh pengepul, yang sudah tahu tentang keberadaan industri kecil konveksi di Tingkir Lor. Ibu Imrori yang adalah pendatang di Tingkir Lor mengatakan, ketika beliau masuk ke Tingkir Lor karena menikah dengan suami asli Tingkir lor di tahun 1987, 69
Tingkir Lor sudah terbentuk menjadi sebuah komunitas konveksi. Pak Imrori mengatakan sampai-sampai mereka diplesetkan sebagai komunitas mujahitin yakni komunitas penjahit. Jadi baik pengepul limbah kain maupun pembeli yang mendatangi mereka di tahun-tahun 1990-an. Pertumbuhan usaha konveksi yang pesat di tahun 1980-an hingga 1990-an mengakibatkan Beberapa pengusaha berusaha mencari sumber bahan baku lain seperti Tekstil Solo dan Garemen Ungaran. Hal ini dilakukan oleh Pak Shodiq yang memiliki akses ke luar Salatiga. Karena profesinya sebagai seorang sopir antar kota, memungkinkan pak Shodiq mendapatkan peluang limbah dari Solo. Pak Shodiq mendatangi pemilik konveksi dengan modal Rp 5000 di tahun 1979, menyatakan niatnya untuk menjadi pengepul limbah kain dari Solo ke Tingkir Lor. Dengan bahasa yang jujur dan sederhana, pak Shodiq mengakui segala kekurangannya pada pemilik usaha. Pemilik usaha di Solo sepakat untuk menjadikan pak Shodiq sebagai pengepulnya. Pengepul dari garmen Ungaran dating menawarkan kain limbahnya kepada pengusaha di Tingkir Lor. Hal ini direspons baik oleh pengusaha Tingkir Lor, dengan membeli kain limbah garmen Ungaran sebagai bahan baku.
2. Jenis-jenis kain limbah yang diolah serta produk yang dihasilkan oleh industri kecil konveksi di Tingkir lor Penggunaan kain limbah sebagai bahan baku produksi merupakan strategi efisiensi biaya produksi industri kecil konveksi Tingkir lor sejak awal hingga kini. Sejak pengusaha kecil di Tingkir lor berpeluang memperoleh limbah dengan harga murah pada fase awal usaha, mereka telah menggunakan kain limbah sebagai bahan baku usaha konveksi. Bahan baku yang murah, memungkinkan mereka untuk menekan biaya produksi, sehingga keuntungan bisa diperoleh meskipun dalam margin harga produk yang sangat murah. Seiring perjalanan waktu, ketika usaha mereka semakin berkembang, mereka tetap menggunakan 70
kain limbah sebagai bahan baku, karena pertimbangan efisiensi biaya produksi pula. Untuk melakukan efisiensi biaya produksi, mereka menggunakan kain limbah dalam berbagai bentuk karena berasal dari sumber yang berbeda pula. Jenis-jenis kain limbah yang digunakan sebagai bahan baku industri kecil konveksi yaitu : a) Kain limbah yang dibawa oleh pengepul dari pabrik atau garmen yang disebut kain sampah recekan yang merupakan sisa potongan kain kecil-kecil. Sisa-sisa kain recekan ini bermacammacam, sehingga pengelola industry rumah tangga konveksi harus kreatif untuk menyambungkannya menjadi produk yang bernilai ekonomi. Jika tidak bisa digunakan untuk membuat celana, maka mereka mengolahnya menjadi saku celana atau keset kaki. Harga bahan baku jenis recekan ini sangat murah yaitu Rp 12.000 per kilogram. b) Kain limbah yang dibawah oleh pengepul dari Damatex dan pabrik solo, mereka namakan kain BS-an. Jenis ini kainnya besar-besar, bisa dibuat celana, baju atau rok. Hanya saja ketika menjualnya, semua kain terbungkus di dalam karung plastik. Jadi pembeli tidak diperkenankan untuk memilih kain yang masih baik. Semua kain tercampur menjadi satu, baik itu kain yang masih terlihat baru, ataupun yang warnanya sudah memudar, ataupun yang sedikit cacat kainnya. Kata pak Imrori, membeli kain ini, sama dengan membeli kucing dalam karung. Yah kalau beruntung, mereka bisa mendapatkan keuntungan tetapi kalau lagi apes, maka mereka malah mengalami kerugian. Tetapi rusak ataupun baik, semua kain tetap diolah menjadi sesuatu yang bernilai. Jika untuk menjadi celana tidak bisa, maka mereka menggunakannya untuk membuat keset kaki. Harga Kain BS-an ini Rp 47.000 per kilogram. c) Kain limbah yang diambil mbak UL dari pengepul asal Solo. Mereka sering menamainya kain Rol. Kain ini masih tergulung membentuk rol. Pembeli diperkenankan memilih kain. Kain ini 71
bisa dipakai untuk membuat seprei atau celana. Karena kainnya masih dalam bentuk utuh, sehingga bisa dikreasikan menjadi produk apa saja. Kualitas kain ini juga lebih baik dari dua jenis kain sebelumnya. Mbak Ul mengatakan BS nya hanya sekitar 10 %. Harga kain ini RP. 50.000 ke atas per kilogram. Dalam pertimbangan efisiensi pula, pengusaha kecil konveksi Tingkir lor mengolah Kain limbah menjadi produk yang dikuasai sejak awal yaitu : celana kolor, sarung bantal, rukoh. Ketiga produk tersebut, dihasilkan sejak awal oleh IK konveksi di Tingkir Lor memiliki ceritanya sendiri. Pak Abidin menceritakan beliau awalnya belajar menjahit sarung bantal. Proses belajar itu dilakukan setiap hari ketika menjelang malam. Karena itu pak Abidin sangat menguasai proses pengolahan limbah kain menjadi sarung bantal. Sedangkan mbak Ul mengatakan kebanyakan perempuan termasuk beliau, mulai belajar menjahit rukoh untuk dipakai sendiri saat Sholat. Karena itu mereka lebih cekatan menjahit produk tersebut. Selanjutnya celana kolor menjadi produk andalan usaha konveksi di Tingkir lor. Mereka tidak mau berspekulasi membuat produk yang tidak mereka kuasai, karena takut mengalami kesalahan dalam proses pengolahan. Kegagalan ini berimplikasi pada pemborosan bahan baku dengan percuma. Sebaliknya ketika mereka mengolah kain limbah menjadi produk yang sudah dikuasai dengan baik, kemungkinan produk gagal sangat kecil. Dengan produk yang dihasilkan dari kain limbah, pengusaha pengusaha IK konveksi di Tingkir lor mampu mengakumulasi modal dan melakukan investasi. Menurut mas Susilo, Omset yang diperolehnya dari usaha konveksi ini sekitar Rp. 40.000.000 sampai Rp. 50.000.000/bulan. Aset yang dimilikinya adalah sebuah mobil carry. Selanjutnya mbak Ul mendapatkan omset tiap bulan Rp 200.000.000 dengan aset yang dimilikinya adalah mobil, motor, sawah, menyekolahkan anak hingga jenjang perguruan tinggi. Pak Mat Shodiq juga memiliki banyak aset yakni tanah kering beserta rumah Ada yang 5000M, 4000M. Sawah 2 tempat masing-masing 2 hektar. Pak Mat Shodiq juga bisa menyekolahkan 4 orang anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi. Selanjutnya pak Abidin, dulu pernah memiliki mobil, 72
tetapi sudah dijual. Pak Abidin juga memiliki sepeda motor dan mobil untuk mengangkut barang. Penggunaan kain limbah sebagai bahan baku produksi merupakan sebuah tidakan cerdas untuk efisiensi yang dilakukan pengusaha kecil konveksi di Tingkir lor. Tindakan cerdas ini mewujud dalam struktur jaringan terjalin antara Industri tekstil dan Industri kecil konveksi di Tingkir lor.
3. Struktur Jaringan suplai kain limbah dari Industri Tekstil ke pengusaha konveksi pada tahun 1980-an hingga 1990-an Jaringan langsung yang terjadi pada masa awal konveksi d Tingkir Lor mengalami kemacetan ketika kebutuhan Tingkir Lor akan kain limbah produksi semakin tinggi dan Damatex tidak mampu lagi menyediakan kain limbah dalam jumlah yang dibutuhkan di sekitar awal tahun 1970-an. Selain itu Damatex juga menjual kain di daerah lainnya sekitar Damatex. Akhirnya, Damatex tidak rutin hadir lagi setiap minggu di Tingkir Lor untuk menjual kain limbah mereka. Padahal pengusaha di Tingkir Lor sangat membutuhkan kain limbah dengan kontinyu. Untuk menghidupkan kembali relasi mutualis dengan industri tekstil Damatex dengan Industri kecil konveksi di Tingkir lor, dibentuklah jaringan baru yang dipelopori oleh beberapa pengusaha setempat sekitar pertengahan tahun 1970-an hingga 1980. Beberapa pengusaha tersebut menurut cerita informan, yaitu pak Mat Shodiq, Mbah Marijan dan Bu Norma. Dengan bermodalkan keberanian, sedikit uang dan kemampuan membangun jaringan, mereka berupaya menorobos masuk hingga ke manajemen Damatex. Kesaksian dari pak Mat shodiq sendiri bahwa di tahun 1977 beliau dengan gigih berjuang kesana-kemari demi mendapatkan kain limbah sebagai bahan baku usaha konveksi mereka. Hasilnya beliau diangkat sebagai pengepul kain limbah Damatex di Tingkir lor. Selain itu, pak Mat Shodiq karena profesinya sebagai sopir antar kota mendapatkan akses kain limbah dari 73
pabrik industri tekstil di Solo. Apabila digambarkan jaringan baru antara Damatex dan Industri tekstil solo dengan perantara Pak Mat Shodiq hingga ke konsumen adalah demikian: Supplier : Damatex dan Industri Tekstil Solo
Pengepul kain limbah sekaligus pengusaha
Pengusaha Industri Kecil konveksi di Tingkir Lor
Jaringan baru dengan Damatex dibentuk melalui proses pendekatan pak Mat Sodiq terhadap satpam Damatex. Biasanya perusahaan menggunakan orang sekitar daerah perusahaan untuk menjadi petugas keamanan. Karena orang sekitar lebih mengenal daerahnya dan warga sekitar. Sehingga biasanya satpam diangkat dari orang sekitar daerah pabrik. Dengan demikian pak Shodiq mengenal satpam tersebut karena sama-sama berasal dari daerah sekitar pabrik. Melalui satpam tersebut pak Shodiq mencari tahu tentang siapa yang memegang gudang dan rokok apa yang disukainya dan lain-lainnya. Pak Shodiq juga mencari tahu tentang pimpinan pabrik saat itu. Setelah mempelajari tentang pihak manajemen pabrik, barulah pak Shodiq menemui orang gudang dan pimpinan pabrik untuk menjadi pengepul kain limbah di Tingkir lor. Demikian penulis mengutip wawancara dengan pak Shodiq : Pertama saya mendekati satpam dulu. Di gudang itu namanya siapa. Saya diantar ke gudang dulu, berkenalan, membangun hubungan baik. Kesenangannya apa? Misalnya rokok. Saya dekati. Setelah itu saya menghadap direktur, saya butuh barang tapi saya nggak punya uang. Saya hanya punya uang 3 ribu stengah. Direkturnya bertanya :Punya rumah? Punya. Punya sertifikat? Punya. Kemudian ditanya di situ keturunan mana. Tanya-tanya ternyata saya punya turunan Tionghoa. Saya kemudian dikasih hutang Rp. 15.000.000. Satu minggu saya sudah bisa membayar
Pengepul asal Tingkir lor setelah mendapatkan akses kembali ke Damatex lalu membangun jaringan dengan pengusaha konveksi lainnya di Tingkir lor. Jaringan ini dibangun untuk mensuplai bahan baku bagi warga yang berminat di bidang konveksi namun tidak 74
memiliki modal yang besar dan tidak ada akses ke pabrik. 1Waktu itu, hampir semua warga Tingkir Lor, mengambil kain tiap rumah sekitar 10 kilo, dibuat celana kemudian dijual ke pasar2. Jadi dengan modal kecilpun masyarakat Tingkir Lor dapat memulai aktivitas industri rumah tangga. Jaringan baru ini menghidupkan kembali industri kecil di Tingkir lor, hingga menggembangkan daerah tersebut menjadi sentra industri kecil konveksi sekitar tahun 1980-an hingga sekarang ini. Jaringan baru membuka akses mendapatkan kain limbah dengan lebih lancar dan memadai, sehingga kebutuhan limbah oleh pengusaha kecil konveksi dapat terpenuhi. Semakin banyak orang yang terjun ke dunia konveksi karena tertarik dengan keuntungan ekonomi yang didapatkan. Tingkir lor akhirnya menjadi sentra industri kecil konveksi yangmana di dalamnya hampir semua masyarakat berprofesi sebagai pengusaha konveksi. Itu berarti kebutuhan terhadap bahan baku semakin tinggi. Kebutuhan kain limbah yang semakin tinggi mendorong pengusaha untuk mengantisipasi kekurangan bahan baku saat berproduksi dengan membuka pintu selebar-lebarnya untuk semua pengepul yang datang menawarkan kain limbah mereka. Hal ini terjadi sekitar tahun 1990-an. Menurut cerita dari ibu Imrori, siapa saja pengepul yang datang ke tempat produksi mereka, akan diterima dengan senang hati dan membeli sedikit-sedikit dari setiap pengepul. Ini merupakan strategi mereka untuk mengantisipasi kalau salah satu pengepul terhenti, masih ada pengepul lainnya yang siap menyuplai kain limbah. Jaringan suplai bahan baku dijalankan dengan ikatan kepercayaan antara pengepul dengan pengusaha. Hal ini nampak dalam sistem pembayaran yang terjadi dalam jaringan suplai bahan baku adalah sistem ngambil barang bayarnya kemudian. Menurut cerita 1
Transkrip wawancara dengan pak Shodiq
2
Transkrip wawancara dengan pak Imrori tanggal 10 July 2012
75
Mbak Ul pemilik Ribel, kalau barangnya diantar sekarang, bayarannya pada antaran barang berikutnya. Menurut mas Susilo selisih waktu antaran barang biasanya sebulan. Selanjutnya dari tangan Pengepul ke pengusaha, sistem ngambil barang bayar kemudian juga berlaku, dengan catatan harus membayar sekitar 20 % dari harga barang. Pengusaha diberi waktu untuk memproduksi barang jadi hingga menjualnya untuk membayar bahan baku. Semua itu bisa berjalan karena kepercayaan antara penyuplai dengan pengepul serta antara pengepul dengan pengusaha IK konveksi di Tingkir lor. Jaringan yang telah terbentuk antara penyuplai dan pengepul dipertahankan oleh pengusaha IK konveksi di Tingkir lor dengan cara menumbuhkan kepercayaan penyuplai terhadap pihak pengepul. Upaya mempertahankan jaringan ini sangat penting karena berkaitan dengan keberlanjutan usaha konveksi di Tingkir lor. Baik pengusaha yang memiliki modal ataupun tidak memiliki modal sama-sama membutuhkan jaringan dengan penyuplai bahan baku. Demikianlah relasi industri tekstil dan industri konveksi rumah tangga layaknya relasi ibu dan anak, terwujud dalam jaringan yang saling mengikat dengan loyalitas sang ibu serta kejujuran sang anak. Sang ibu dengan loyalnya, selalu menyediakan yang terbaik bagi anaknya sejak awal sang anak lahir. Sang anak dengan kejujurannya membuat sang ibu semakin menaruh kepercayaan terhadapnya. Relasi yang mewujud dalam jaringan ini yang mendorong industri konveksi di Tingkir lor sebagai sebuah usaha keluarga untuk tetap eksis hingga kini.
Industri kecil konveksi di Tingkir lor merupakan usaha yang melekat dengan keluarga Industri kecil konveksi di Tingkir lor bagaikan sebuah mobil yang bisa berjalan karena ada keluarga sebagai sumber energinya. Keluarga memiliki sejumlah elemen yang terakumulasi menjadi energi yang menggerakan mobil IK konveksi di Tingkir lor. Baik kebutuhan, nilai, modal, sumber daya manusia, bahkan sistem, integral dalam 76
keluarga di Tingkir lor, sehingga menjadi daya yang hebat bagi mobilitas IK konveksi di daerah itu.
Kebutuhan menafkahi keluarga sebagai alasan membuka usahabaru Menafkahi keluarga menjadi alasan bagi seorang pengusaha untuk menekuni Industri kecil konveksi di Tingkir lor. Seiring berputarnya jarum jam, kebutuhan keluarga makin tinggi dari hari ke hari. Jumlah anak semakin bertambah mengakibatkan kebutuhan keluarga juga bertambah. Pertumbuhan anak yang semakin besar, menghadirkan kebutuhan-kebutuhan baru yang harus dipenuhi. Ditambah lagi dengan kebutuhan untuk membekali anak-anak dengan pengetahun dan ketrampilan, mengharuskan orang tua untuk merogoh saku dalam-dalam. Semua tuntutan kebutuhan itulah, yang mendasari para informan untuk terjun menjadi pengusaha kecil konveksi di Tingkir lor. Profesi sebagai pengusaha konveksi memiliki prospek yang cerah bagi keluarga dibandingkan profesi lainnya. Pandangan tentang prospek usaha yang cerah terbersit karena adanya kemudahan mendapatkan bahan baku berupa kain limbah dengan harga yang murah pula. Keyakinan terhadap prospek usaha yang cerah, diwujudkan dengan kerelaan mereka untuk meninggalkan profesi yang lama dan mencurahkan semua energi untuk menjalankan usaha kecil konveksi mereka. Istri pak Mat Shodiq yang sebelumnya berprofesi sebagai seorang guru PNS dan Pak Mat Shodiq sendiri seorang sopir antar kota, sepakat untuk meninggalkan pekerjaan mereka dan terjun secara total sebagai pengusaha konveksi. Mereka sangat yakin melalui usaha ini mereka mampu menafkahi 5 orang anak mereka. Pengusaha lainnya sebelum ini berprofesi sebagai pedagang dan juga petani gurem yang tidak memiliki lahan. Mereka pun optimis usaha ini bisa membawa mereka keluar dari situasi rentan yang mereka alami dari hari ke hari.
77
Nilai Keluarga menjadi mentalitas pengusaha konveksi Situasi sulit yang pernah mereka alami bersama keluarga dalam kehidupan mereka, menghasilkan mentalitas yang gigih dan penuh kesabaran dalam perjuangan memulai usaha yang baru. Konteks masyarakat Tingkir lor yang merupakan petani gurem dan pedagang kecil, menyisakan nilai kesabaran dan kegigihan menghadapi kehidupan. Nilai itu kemudian menjadi modal besar bagi pengusaha yang berjuang untuk membangun kembali jaringan baru yang sempat macet. Dengan gigih dan sabar mereka yang sederhana dan bermodal sedikit, mampu membangun jaringan ke manajemen pabrik untuk memperoleh pasokan kain limbah bagi keberlanjutan usaha mereka. Nilai kejujuran dari orang-orang sederhana di Tingkir lor yang ditanamkan dan bertumbuh subur dalam keluarga, kini digunakan untuk mendapatkan kepercayaan Pabrik dan seterusnya mempertahankan jaringan suplai bahan baku. Nilai kejujuran sering diperhadapkan dengan berbagai ujian yang disengaja maupun tidak disengaja. Meskipun hidup mereka penuh lilitan kesulitan, tetapi mendapatkan sesuatu dengan jujur sudah menjadi prinsip hidup mereka sejak dulu. Justru dengan sikap yang jujur, mereka semakin merebut simpati dan kepercayaan dari pihak pabrik. Pak Shodiq mengkisahkan kepada penulis saat dimana beliau mempertahankan sikap jujur yang mengakibatkan adanya kepercayaan pabrik kepadanya, demikian : Jadi saya menaruh kepercayaan pada Direktur dan orang gudang. Kalau saya udah janji mau lunas 1 bulan, saya harus berusaha bayar dalam waktu 1 bulan. Saya kemudian dikasih lagi hutang barang seharga Rp 2.000.000,00. Saya apa adanya sama Direktur dan gudang. Kalau mereka percaya sama saya ya ngasih. Tapi kalo ngga percaya yah ngga pa-pa. Saya pernah dicoba. Saya beli 1,5 TON, di DO nya 1,5 TON, tapi sampai di rumah 3 TON. Setelah jadi uang, saya bayar 3 TON. Mereka bilang uangnya dibawa aja. Saya nggak mau, saya pulangkan uangnya. Itu terjadi beberapa kali. Saya anggap itu saya dicoba.
78
Modal Usaha bersumber dari Keluarga Keluarga merupakan lumbung padi bagi industri kecil konveksi di Tingkir lor. Ketika usaha membutuhkan modal, maka lumbung padi keluarga akan menjadi sumber modal utama. Hal tersebut terjadi karena sebagai lumbung padi, keluarga memiliki ketersedian modal bagi usaha ini yang didapatkan melalui akumulasi modal, investasi keluarga serta akses menuju sumber modal lainnya. Karena itu lumbang padi keluarga semestinya tetap terjaga persediaannya untuk membantu usaha di masa paceklik. Modal yang dimaksudkan adalah uang atau barang, jaringan, ketrampilan yang digunakan untuk menjalankan usaha atau aktivitas industri konveksi berskala rumah tangga di Tingkir Lor. Jadi, modal mewujud dalam berbagai bentuk yaitu modal Uang, modal barang, modal jaringan, modal tekhnologi dan modal ketrampilan. Dalam bahasan ini, penulis membagi dalam kategori modal yang digunakan di Tingkir lor terpilah menjadi 2 hal yakni modal untuk memulai usaha dan modal pengembangan usaha.
Modal awal usaha bersumber dari tabungan keluarga, warisan serta jaringan keluarga Sekecil apapun sebuah usaha konveksi baru dimulai, tetap saja membutuhkan modal dalam berbagai bentuknya untuk menjalankan IK Konveksi di Tingkir lor. Biasanya usaha yang baru saja dimulai, belum memiliki modal apapun, karena itu pengusaha harus mengerahkan segala yang dimilikinya untuk memulai usaha. Pada usaha kecil konveksi di Tingkir lor, pengusaha harus memiliki sedikit modal uang untuk membangun jaringan dan juga membeli bahan baku, karena bahan baku lah yang akan diolah menjadi produk dalam usaha kecil konveksi. Pengusaha juga harus memiliki modal tekhnologi untuk mengolah bahan baku. Bahkan pengusaha juga dibekali dengan modal ketrampilan untuk mengoperasikan tekhnologi. Dengan beragam modal itu, usaha kecil konveksi di Tingkir lor diawali. 79
Untuk memenuhi kebutuhan awal usaha konveksi di Tingkir lor, keluarga secara total mencurahkan keseluruhan sumber daya keuangan yang dimilikinya. Keluarga yang penuh komitmen selalu total dalam melakukan berbagai hal. Bahkan tidak ada hitungan untung-rugi, apabila dilakukan untuk kepentingan bersama di dalam keluarga. Termasuk pada soal pembiayaan usaha baru, keluarga mengerahkan semua sumber daya keuangan yang dimiliki, karena diyakini bahwa hasil yang akan diperoleh dari usaha konveksi ini adalah untuk menafkahi kehidupan keluarga. Tabungan keluarga merupakan sumber daya keuangan keluarga yang digunakan sebagai sumber modal utama pada pembukaan usaha baru di Tingkir lor. Tabungan ini dikumpulkan sedikit demi sedikit dari sisa pembelanjaan rumah tangga, yang berasal dari pendapatan bapak dan ibu keluarga. Hal ini terjadi di keluarga pak Mat Shodiq yang memulai usaha dengan modal uang 3 ribu stengah di tahun 1975. Uang tersebut merupakan sisa pembelanjaan dari gaji pak Shodiq sebagai sopir dan istrinya sebagai PNS yang mereka tabung. Ibu Musropah dan Ibu Imrori juga memulai usaha masing-masing dengan hasil simpanan mereka sebagai buruh jahit, sebelum membuka usaha sendiri. Pak Abidin sebelum memiliki usaha bekerja sebagai buruh jahit di taylor, sehingga menggunakan tabungan hasil gajinya sebagai modal memulai usaha tahap I di tahun 1987. Selain modal uang, orang tua juga mewariskan mesin jahit, yang menjadi modal berharga bagi usaha konveksi. Mesin jahit yang diontel pake tangan itu, dulunya dihibahkan oleh Damatex kepada 12 orang penjahit di Tingkir lor di tahun 1960-an. Selanjutnya ketika mereka sudah tidak menjalankan usaha konveksi lagi, mesin jahit ini diwariskan kepada anaknya sebagai modal tekhnologi untuk membuka usaha konveksi. Apabila mesin jahit itu tidak ada, tentunya pengusaha harus mengeluarkan uang untuk membelinya. Dengan mesin jahit yang sederhana inilah, pengusaha konveksi di tahun 1970-an mengolah kain limbah menjadi produk bernilai. Kekuatan Jaringan yang dimiliki keluarga menghentarkan pengusaha untuk mendapatkan akses modal. Jaringan pertemanan yang 80
dimiliki keluarga membantu mereka mendapatkan modal bahan baku pada awal usaha. Pada tahun 1990, ketika pak Imrori dan istrinya hendak memulai usaha, mereka secara kebetulan dikunjungi teman lama pak Imrori saat masih di pesantren dulu. Teman bapak tersebut istrinya memiliki garmen. Jadi mereka mendapat bantuan limbah garmen dengan harga sekitar lima juta rupiah. Hal ini dikisahkan oleh bu Imrori kepada penulis sebagai berikut: Waktu itu kakak ipar saya, mas Fauzi menikah. Nah temannya bapak di pondok dulu datang mengikuti resepsinya.Temannya bapak itu numpang sholat isya di sini. Saat itu beliau melihat ada mesin jahit di rumah kami. Beliau bertanya sama suami saya, istrimu bisa menjahit?Jawab suami saya, “ya Alhamdulillah bisa.” Waktu itu saya ngambil jahitan sedikit-sedikit dari tetangga. Ternyata istri teman suami saya itu,punya butik diAmbarawa.Saya disuruh ke rumahnya. Alhamdulillah saya di kasih modal 5 juta rupiah dan beliau nyuruh saya untuk membuka usaha konveksi. Saat itu saya memulai usaha konveksi. Modal Ketrampilan juga dibutuhkan untuk mengelola usaha dan memproduksi barang. Tanpa ketrampilan maka apalah artinya uang dan tekhnologi yang sudah dimiliki namun tidak dapat dioperasikan. Pengusaha yang memiliki ketrampilanlah yang bisa melakukan aktivitas produksi. Karena itu selain menghibahkan mesin jahit, Damatex juga membekali masyarakat dengan ketrampilan jahitmenjahit. Ketrampilan jahit-menjahit yang dimiliki masyarakat Tingkir lor sekarang ini, awalnya bersumber dari hasil binaan Damatex di tahun 1960-an kepada 12 orang warga masyarakat Tingkir lor. 12 orang pengusaha tersebut merupakan cikal bakal lahirnya pengusaha kecil konveksi di Tingkir lor. Dari mereka inilah, konveksi pengolahan kain limbah berkembang di Tingkir lor.
81
Modal pengembangan usaha bersumber dari jaringan keluarga Usaha kecil konveksi di Tingkir lor bukanlah usaha yang statis, sebaliknya memiliki kemampuan untuk mengembangkan dirinya di sekitar tahun 1980-an hingga 2000, sehingga membutuhkan modal untuk mendukung pengembangan usaha yang dilakukan. Pengembangan usaha kecil konveksi untuk pengadaan tekhnologi dan perluasan tempat produksi. Pada usaha yang mulai berkembang mereka membutuhkan pengadaan beberapa mesin jahit listrik dan mesin obras untuk semakin mengefisienkan pekerjaan mereka. Mereka juga membutuhkan tempat produksi yang lebih luas dan permanen bangunannya untuk digunakan sebagai penampung stok bahan baku dan pasar tempat menjual produk mereka. Di fase perkembangan usaha ini, pengusaha yang melakukan pengembangan tempat produksinya adalah pak Mat Shodiq di tahun 1980 memperluas ruang tamunya untuk tempat produksi sekitar 100 m², tempat berjualan dan juga tempat menerima tamu. Mbak Ul di tahun 1995 membangun 1 unit di samping rumahnya yang terhubungan dengan pintu ruang makan, besarnya sekitar 125 m². Ruangan ini dipakai untuk tempat stok bahan baku, tempat produksi dan tempat menaruh produk yang sudah jadi. Pak Imrori di tahun 2005 mempeluas ruang tamu dan memberikannya sekat sehingga menjadi tempat untuk produksi dan tempat untuk menerima tamu. Luas ruangan yang dibangun sekitar 50 m². Jadi, pengusaha membutuhkan modal untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, penyatuan modal usaha dan uang rumah tangga juga, mengakibatkan usaha kehabisan modal untuk konsumsi rumah tangga, karena itu mereka membutuhkan modal supaya usaha bisa berjalan terus. Ibu Imrori menceritakan banyak kejadian ketika hendak membayar sisa utang kredit kain limbah, pengusaha tidak memiliki uang lagi. Beliau mengatakan dirinya sendiri kadang sangat gugup menghadapi hari pembayaran, karena takut uangnya ngga nyampe. Pak Abidin juga menceritakan jika menghadapi hari pembayaran kemudian uangnya tidak cukup, pengusaha di Tingkir lor akan berusaha mencari uang untuk membayar kredit kain limbah. Apabila tidak bisa membayar kredit bahan bakunya, maka pengusaha tidak dapat 82
mengambil bahan baku yang baru untuk produksi selanjutnya bahkan jaringan dengan penyuplai bahan baku bisa terputus karenannya. Untuk itulah pengusaha konveksi membutuhkan modal lagi untuk terus menjalankan usaha. Dengan bermodalkan jaringan keluarga pengusaha mendapatkan akses ke sumber modal uang. Dengan Jaringan keluarga, pengusaha mendapatkan modal dari Bank, koperasi, dan penyuplai bahan baku, untuk menjalankan serta mengembangkan usaha. Hanya mereka yang sudah dikenal oleh bank karena keterlibatan dalam aktivitas bank dan memiliki agunan, mereka itulah yang memiliki jaringan dengan Bank dan mendapatkan pinjaman modal uang. Beberapa pengusaha mengeluhkan sulit menerobos ke bank, karena tidak dikenal oleh pihak Bank. Sedangkan Mbak Ul dan Ibu Imrori yang biasanya mengikuti kegiatan bank, dikenal dengan baik oleh mereka sehingga mudah mendapatkan pinjaman. Demikian pula dengan koperasi, Suami ibu Imrori merupakan tokoh agama di Tingkir lor, karena itu beliau dikenal banyak orang dan memilliki jaringan yang luas. Orang koperasi yang mengenal beliau, mereka datang memberikan pinjaman modal kepada ibu Imrori dan suaminya tanpa harus menggunakan jaminan. Sama halnya dengan mas Susilo yang sering ditawarkan pinjaman modal oleh temannya yang bekerja di koperasi. Di tahun 2000, mas Susilo menerima tawaran mereka untuk mengambil pinjaman modal untuk menjalankan usahanya. Jaringan bisnis yang dimiliki pengusaha baik dengan penyuplai ataupun dengan pembeli digunakan untuk mendapatkan modal uang. Cerita Pak Mat Shodiq, bahwa beliau memperoleh pinjaman untuk memperluas tempat produksinya dari penyuplainya di Solo. Sebagai sopir pak Mat Shodiq bisa menjangkau bisnis di Solo, dan selanjutnya menjadi pengepul mereka di Salatiga. Dengan alasan membutuhkan tempat penyimpanan bahan baku yang layak, pak Mat Shodiq meminta bantuan dari pemilik industri tekstil di Solo. Beliau kemudian diberikan pinjaman untuk membangun tempat produksinya, dan membayarnya dengan mencicil. Sedangkan Menurut cerita Pak 83
Imrori, jaringan mereka dengan pembeli digunakan pula untu mendapatkan modal. Ketika sudah tiba masa membayar bahan baku, mereka akan segera banting harga kepada pembeli yang sudah menjadi pelanggan mereka.
Tenaga kerja bersumber dari keluarga Pada fase awal usaha keluarga sebagai satu-satunya sumber tenaga kerja Sejak keluarga sudah memiliki kekayaan sumber daya manusia karena keluarga itu sendiri memproduksi SDM, sehingga tidaklah berlebihan dikatakan bahwa keluarga menjadi sumber tenaga kerja bagi semua pekerjaan di atas kehidupan ini. Demikian pula usaha kecil konveksi mendapatkan suplai tenaga kerja dari keluarganya sendiri. Kemelekatan usaha konveksi Tingki Lor dengan keluarga memberi ruang belajar bagi sumber daya keluarga, sehingga menjadi tenaga kerja siap pakai bagi usaha keluarga itu sendiri. Keluarga menjadi ranah bertumbuh dan berkembangnya usaha, sebaliknya usaha konveksi sudah menjadi aktivitas keseharian keluarga yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari semua anggota keluarga. Semua aktivitas manajemen, produksi hingga pemasaran berlangsung di tengah keluarga layaknya aktivitas mandi, makan dan tidur di dalam keluarga. Usaha konveksi yang berlangsung rutin dan dekat dengan anggota keluarga sehingga menjadi mudah dipelajari layaknya sebuah kebiasaan dalam keluarga. Kemelekatan usaha dengan keluarga menjadi peluang pembekalan anggota keluarga sebagai tenaga kerja trampil dan siap pakai. Anggota keluarga yang trampil dijadikan tenaga kerja pada usaha kecil konveksi di Tingkir lor sehingga biaya produksi dapat ditekan lebih efisien. Anggota keluarga yang terampil awalnya merupakan jasa Damatex kepada masayarakat Tingkir lor, yakni dengan membina sekitar 12 orang pengusaha baru dengan ketrampilan jahit-menjahit. merupakan hasil belajar otodidak dari ngewangi orang 84
tua menjahit. Ketrampilan itu diperdalam terus dengan mencoba menjahit sendiri. Berbekal ketrampilan itu mereka bekerja sebagai buruh jahit untuk mendalami lebih banyak pengalaman praktis di bidang konveksi. Kebanyakan bekerja pada keluarganya sendiri, baru kemudian mencari pengalaman di luar keluarga. Bila digambarkan cara anggota keluarga menjadi tenaga kerja trampil hingga bisa menjadi seorang pengusaha konveksi adalah demikian:
Pembinaan Damatex terhadap 12 waga Tingkir lor
Ngewangi orang tua menjahit : mengamati dan mencoba-coba
Buruh Jahit : Konveksi dan tailor :
Pengusaha IK Konveksi di Tingkir Lor
Untuk kepentingan efisiensi juga, peran yang tumpang tindih diemban oleh anggota keluarga untuk penghematan ongkos produksi pada awal usaha. Masing-masing anggota keluarga dalam mengerjakan pekerjaan produksi, mendapatkan lebih dari satu peran. Bapak keluarga berperan dalam membangun hubungan keluar dengan penyuplai limbah kain. Bapak keluarga pula yang harus mengupayakan hingga bahan baku boleh sampai di tempat produksi. Ketika waktu senggang bapak keluarga bersama istrinya mengolah limbah kain yang sudah ada. Bapak berperan sebagai pemotong kain menjadi pola tertentu. Sedangkan ibu berperan sebagai pemotong dan penjahit. Di samping itu ibu juga berperan untuk memasarkan produk yang dihasilkan unit usaha mereka. Anak-anak berperan membantu ibu menjahit produk dan memasarkan produk di tempat produksi. Peran yang tumpang tindih dilakukan dengan penuh kerelaan hati. Dengan kerelaan hati pula anggota keluarga IK konveksi di Tingkir lor, mencurahkan waktu mereka pada usaha ini, karena dengan totalis mereka dapat mengolah limbah menjadi produk tanpa harus membayar tenaga kerja/buruh. Ibu Imrori menceritakan kepada penulis, bahwa beliau bersama suaminya sudah bangun sebelum pukul 85
04.00. Ibu menyiapkan makanan untuk sarapan pagi. Setelah itu mereka melakukan sholat subuh bersama. Setelah sholat, biasanya mereka mulai duduk di meja ruang tengah, memotong kain sambil berbincang-bincang mengenai usaha mereka. Setelah itu, ibu melanjutkan menjahit. Beristirahat sebentar di jam makan siang, sekitar jam 12 siang dan melanjutkan kembali jam 1 siang hingga jam 6 sore. Mereka beristirahat sebentar untuk mandi, sholat maghrib dan makan malam. Setelah itu jam 9 malam, mereka biasanya sudah beristirahat. Jika ada pesanan yang harus diselesikan dengan cepat, maka mereka akan lembur untuk bekerja hingga jam 11 malam.
Pada fase perkembangan usaha keluarga tetap menjadi sumber utama tenaga kerja yang dibantu oleh karyawan. Ketika usaha konveksi di Tingkir Lor sudah mulai berkembang yang ditandai dengan semakin banyaknya pesanan, keluarga tetap menjadi sumber tenaga kerja utama yang dibantu oleh karyawan untuk kepentingan efisiensi biaya produksi. Semakin banyaknya pesanan yang harus dipenuhi, Keluarga tetap menjadi tenaga kerja utama yang menjadi tulang punggung usaha dan karyawan dimanfaatkan untuk membantu usaha mereka. Artinya keluarga tetap menjadi tiang penyanggah utama usaha konveksi ini. Mati hidupnya usaha sangat tergantung pada tenaga kerja keluarga, bukan pada karyawan. Karyawan hanya membantu proses penjahitan atau sekali-kali pada proses pemotongan. Segala kekurangan dalam pekerjaan ditangani oleh keluarga sebagai tenaga kerja utama yang berakibat pada semakin tingginya curahan waktu kerja anggota keluarga sebagai tenaga kerja usaha kecil. Dengan keluarga sebagai tenaga kerja utama dan karyawan sebagai pembantu ada penghematan pada biaya dan waktu produksi. Untuk efisiensi pula, pengusaha konveksi tingkir lor mengambil karyawan dari tetangganya sendiri sebagai karyawan membantu anggota keluarga. Tetangga juga merupakan warga masyaralat Tingkir lor yang sudah trampil menjahit karena proses pembelajaran turun-temurun yang terjadi di daerah itu. Karena itu 86
pengusaha tidak perlu membuang waktu untuk melatih karyawan. Alasan lainnya tetangga dipilih sebagai karyawa karena jaraknya rumahnya dekat sehingga untuk melakukan koordinasi tidak perlu lama ataupun tidak membutuhkan biaya. Mbak Ul mengatakan : yah kalau karyawan bawa jahitan ke rumah, kemudian harus diambil segera, kan gampang kalo tinggalnya dekat. Alasan berikutnya, pengusaha juga tidak perlu memperhitungkan biaya transportasi dalam pembayaran gaji, karena dengan berjalan kaki karyawan sudah bisa tiba di tempat kerja dalam waktu yang cepat. Selain alasan efisiensi, memilih tetangga sebagi karyawan mengandung nilai sosial masyarakat jawa yang memandang tetangga sebagai keluarga jauh mereka. Dalam kehidupan sehari-hari tetangga menjadi tempat berbagi cerita, berbagi kelebihan berupa makanan, berbagi bantuan tenaga, pikiran maupun materi. Karena itu dengan memilih tetangga sebagai karyawan sebenarnya merupakan wujud saling membantu yangmana di satu pihak tetangga menyumbangkan tenaga dan waktu mereka, di pihak lain pengusaha memberikan makanan, akses modal, gaji secukupnya. Jadi dengan gaji yang hanya Rp 200 per helai celana, tetangga mau memberikan bantuan kepada pemilik usaha. Mereka yang terjun sebagai karyawan konveksi hingga sukses menjadi pengusaha 80 % tidak memiliki akses ke pekerjaan formal karena pendidikan formal mereka paling tinggi SMP dan paling rendah SD. Sedangkan untuk menjadi karyawan usaha kecil, tinggi atau rendahnya pendidikan formal bukanlah sebuah syarat. Hal ini memberi peluang bagi semua orang untuk terjun ke konveksi baik sebagai karyawan maupun pengusaha. Seperti halnya dituturkan pak Abidin, beliau mulai bekerja sebagai buruh jahit sejak kelas 4 SD. Pendidikan terakhir beliau adalah Sekolah Dasar. Namun peluang kerja yang diberikan tanpa memandang jenjang pendidikan formal kepada beliau, ternyata memberikan pengalaman berharga bagi pak Abidin. Di kemudian hari beliau bisa membuka usaha di bidang konveksi dan menafkahi keluarganya dengan pekerjaan tersebut. Demikian halnya 87
dengan mbak Ul, pendidikan terakhirnya lulus SMP, juga menjadi buruh jahit di tempat kakaknya pak Abidin. Mbak Nurul anak pak Shodiq, tidak menamatkan pendidiakan pada kelas 5 SD, namun dia dipercayakan bapaknya untuk meneruskan usaha konveksi keluarga mereka ketika sang ibu telah tiada. Mbak Nur istri mas Susilo, pendidikan terakhirnya guru agama, namun lebih memilih terjun menjadi pengusaha konveksi. Mas Susilo sendiri, pendidikan terakhirnya sarjana ekonomi jurusan manajemen, namun dalam gurauannya beliau mengatakan kepada penulis banyak teori yang dipelajari tidak bisa diterapkan pada usaha konveksi mereka, karena banyak praktik yang tidak sesuai teori.3
Sistem pengorganisasian karyawan Status karyawan di industri kecil konveksi adalah karyawan kerja borongan. Mereka adalah karyawan tidak tetap yang ikatannya sangat longgar dengan industri konveksi Tingkir lor. Karyawan bisa hadir kapan saja ataupun sebaliknya bisa absen kapan saja. Kinerja mereka dihitung dari banyaknya produk yang dijahit. Karyawan tidak tetap mendapatkan haknya berdasarkan seberapa banyak produk yang berhasil dijahit, bukan berdasarkan hitungan harian atau bulanan. Karyawan dimanfaatkan untuk membantu keluarga sebagai tenaga kerja utama. Bantuan karyawan itu ada yang bekerja sebagai pemotong kain adapula yang membantu sebagai penjahit. Karyawan yang bekerja sebagai penjahit terbagi pula dalam 2 kategori yakni karyawan yang menjahit di tempat produksi dan karyawan atau buruh jahit yang menjahit di rumahnya. Karyawan di tempat produksi lebih fokus menyelesaikan tugas menjahitnya dan tidak terbagi waktunya untuk mengerjakan tugas lain. Karyawan di tempat produksi tetap menghasilkan produk setiap hari karena terkontrol efisiensi pekerjaannya. Konsekuensinya pengusaha IK konveksi harus menyediakan makan ringan dan makan siang bagi 3
Hasilwawancarapenulisdengan mas Susilo
88
karyawan yang bekerja di tempat produksi.4 Sedangkan bagi karyawan yang menjahit di rumahnya, Mereka menjahit sambil ngemong anak, memasak, atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Karyawan yang menjahit di rumahnya memiliki kebebasan untuk menunda pekerjaan dan mengambil pekerjaan dari unit usaha konveksi lainnya. Bahkan karyawan yang bekerja di tempat produksi juga memilih tidak masuk kerja, jika mereka mendapatkan banyak orderan dari tempat lain, menurut pak Abidin. Karyawan yang memotong kain melakukannya di tempat produksi. Memotong kain merupakan tugas yang berat, karena harus benar-benar efisien. Selembar kain diharapkan bisa dipotong menjadi beberapa pola produk. Pola produk itu sendiri dikerjakan oleh pengusaha IK konveksi. Karyawan hanya memotong limbah kain menurut pola yang telah dibuat pemilik usaha. Motif kain pun harus seimbang dan tidak terbalik. Karena itu, memotong kain harus dilakukan di tempat produksi, sehingga dapat diperhatikan dengan saksama oleh pengusaha konveksi.
Sistem Pengawasan karyawan Efektivitas dan efisiensi produksi menjadi tujuan pengawasan yang dilakukan pengusaha IK konveksi terhadap karyawan yang mengerjakan aktivitas produksi. Aktivitas produksi yang mendapatkan pengawasan dari pengusaha adalah pemotongan limbah kain dan penjahitan. Pengusaha menginginkan proses produksi yang dilakukan dapat menghasilkan produk yang kualitasnya tidak di bawah rata-rata. Selain itu pengawasan dilakukan agar limbah kain tidak ada yang tersisa. Semuanya bisa terpakai sebagai dengan efisien untuk menjadi produk yang bernilai ekonomi. Pengawasan terhadap Pengolahan kain limbah dilakukan dengan ketat, untuk menghasilkan pola yang rapi. Limbah kain berupa 4
Hasilpengamatanpenulisdalamsetiap kali wawancara
89
kain recekan ataupun kain BS-an memiliki banyak kekurangan. Untuk kedua jenis limbah kain tersebut, sering ditemukan motifnya luntur, warnanya luntur ataupun kainnya sobek. Sehingga Pengusaha harus mengawasi dengan ketat, agar bagian-bagian tersebut tidak dipotong menjadi pola celana. Limbah kain juga tidak memiliki bentuk dan besar yang sama. Karena itu, pemotongan kain perlu mendapat pengawasan yang ketat, supaya kain dalam bentuk apapun bisa dipotong menjadi pola produk celana yang layak pakai. Untuk kain yang agak lebar diupayakan pemotongannya menghasilkan lebih dari satu pola celana. 5 Aktivitas penjahitan diawasi pula oleh pengusaha konveksi, untuk menghasilkan kualitas jahitan yang baik. Pak Abidin menceritakan bahwa dulu ada karyawan yang membawa pulang jahitan ke rumahnya. Ketika dikembalikan jahitannya tidak rapi. Pak Abidin memintanya untuk memperbaiki jahitan tersebut. Karena itu beliau lebih senang karyawannya bekerja di tempat produksnya, karena beliau dapat mengawasi kualitas jahitan mereka. Hasil pengamatan penulis, istri pak Abidin selalu memperhatikan karyawannya ketika menjahit dan memberikan masukan-masukan terkait jahitan mereka.6 Terhadap pekerja yang membawa pulang jahitannya ke rumah, pengusaha menggunakan buku untuk menulis banyaknya potongan kain yang dibawa pulang ke rumah mereka dan jika telah selesai, dibawa kembali ke tempat produksi, kemudian dicatatkan pada buku yang telah disiapkan itu. Di Unit usaha milik mas Susilo, ketika karyawan hendak pulang, mereka memberitahukan kepada mas Susilo bahwa akan membawa pulang potongan kain untuk dijahit di rumah. Mas Susilo menanyakan berapa banyak potongan kain yang akan dibawa pulang. Kemudian mas Susilo menyuruh karyawan tersebut untuk menulis di buku yang telah disediakan pengusaha. Terhadap karyawan yang menjahit di tempat produksi, pengusaha juga mencatat banyaknya jahitan yang dihasilkan dalam 5
Hasil amatan penulis ketika pertama kali berkunjung ke unit usaha ibu Imrori.
6
Hasil wawancara dan pengamatan penulis di unit usahanya.
90
sehari dalam buku yang sama. Catatan tersebut menjadi kontrol pengusaha terhadap karyawan dan juga sebaliknya kontrol karyawan terhadap hak yang akan diperolehnya. Di unit usaha milik pak Imrori dan istrinya, karyawan diberikan kepercayaan untuk mencatat sendiri hasil jahitannya dalam sehari. Di unit usaha milik mas Susilo, karyawan akan melaporkan berapa banyak yang telah dihasilkan dan pengusaha mencatat itu pada bukunya. Pada dasarnya pencatatan sederhana ini dilakukan untuk mengawasi karyawan dalam melakukan aktivitas produksi.
Sistem Penggajian karyawan Karyawan digaji dengan sistem borongan,7artinya system penggajian ini sangat terkait dengan banyaknya produk yang dapat diborong karyawan untuk dipotong ataupun dijahit. Banyaknya produk yang dapat mereka kerjakan diakumulasi dalam sebulan dan dikalikan dengan harga per satuan jahitan. Pada masa sebelum krisis harga jahitan celana kolor Rp.200. sehingga dengan sistem borongan, jumlah uang tersebut akan dikalikan dengan jumlah jahitan. Jika dalam sehari karyawan menjahit 20 helai celana kolor, maka dikalikan Rp.200, sehingga gaji karyawan dalam hari tersebut adalah Rp.4000. Andaikan jumlah jahitan yang dihasilkan tetap seharinya 20 helai celana selama sebulan, maka gaji sebulan karyawan adalah 20 dikalikan Rp. 200 dikalikan 30 hari adalah Rp. 120.000/bulan. Sebuah jumlah yang sangat kecil dan untuk kebutuhan sang karyawan saja, tidak cukup, apalagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluargannya. Gaji bisa dibayarkan kapan saja disesuaikan dengan kebutuhan karyawan. Waktu penggajian yang berlaku adalah mingguan, bulanan dan sesuai kebutuhan karyawan.Gajian mingguan maksudnya setiap minggu karyawan bisa mengakumulasikan jumlah produk yang telah dipotong dan atau dijahit, kemudian karyawan melaporkannya kepada pengusaha IK untuk dibayarkan. Adapula karyawan yang lebih 7
Istilahsistemborongandigunakanolehsemuainforman yang diwawancaraipenulis.
91
memilih mengakumulasikan hasil kerjanya setelah sebulan bekerja, sehingga gaji karyawan tersebut dibayar oleh pengusaha IK konveksi tiap bulan. Namun bagi karyawan yang sangat membutuhkan uang untuk kebutuhan yang mendesak (seperti sakit, uang sekolah anak, dan lain-lainnya) bisa meminta gajinya pada pengusaha IK konveksi kapan saja waktunya. Pengusaha berupaya meredam gejolak karyawan karena kecilnya gaji, dengan memberikan akses pinjaman dan tekhnologi. Gaji karyawan dirasakan sangat kecil dan tidak berbanding dengan omset bulanan yang bisa dicapai oleh setiap unit usaha kecil konveksi. 8Gaji yang hendak digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga, ternyata hanya cukup untuk membayar utang kata seorang karyawan yang lain. Untuk meredam gejolak-gejolak karyawan dan mempertahankan karyawan di unit produksi, sang pengusaha9 memberikan akses pinjaman yaitu koperasi kepada karyawan yang membutuhkan uang untuk kebutuhan sekolah anak mereka. Sang pengusaha yang menjadi penjamin kepada koperasi, sehingga para karyawan bisa mengambil pinjaman. Karyawan tersebut kemudian membayar dengan potongan gaji langsung oleh sang pengusaha. Sedangkan pak Imrori memberikan pinjaman akses tekhnologi kepada penjahit yang sudah lama ikut dengan mereka, berupa mesin jahit. Dengan peralatan tersebut, karyawan berpeluang untuk mengambil jahitan dari orang lain atau konveksi lain, sehingga bisa mendapatkan penghasilan tambahan.
Sistem patron klien berlaku dalam relasi pengusaha dengan karyawan Relasi pemilik usaha dan karyawan dipandang sebagai relasi antara bapak dan anak. Hal ini dikatakan oleh pak Ahmad Shodiq, bahwa: “yang menjahit di sini anak-anak.....” Jadi karyawan diakui sebagai anak. Pemilik adalah bapak dan ibu yang berkewajiban melindungi anak-anaknya. Karena itu menyediakan makanan untuk 8Hasil percakapan penulis dengan beberapa karyawan yang meminta untuk dirahasiakan namanya. 9
Namanya dirahasiakan penulis
92
mereka makan bukanlah hal yang terpaksa dilakukan, tetapi lebih merupakan tanggung-jawab bapak terhadap anak. Mendidik mereka untuk menjadi lebih tahu dan lebih mahir menjahit juga adalah kewajiban orang tua dalam hal ini pemilik industry. Sebaliknya karyawan harus memberikan kesetiaan kepada pemilik IRT. Dalam model relasi serupa bapak dan anak tersebut, pengusaha memperlakukan karyawan secara informal. Dalam relasi itu ada saling pengertian yang mendalam antara pengusaha dan karyawan. Pengusaha lebih luwes terhadap karyawan. Sedangkan karyawan lebih bebas bekerja, menurut pilihannya. Pada unit usaha milik Pak Abidin misalnya karyawannya sudah tidak masuk beberapa hari karena ada kebutuhan mendadak, itu dimengerti oleh beliau. Jadi, pak Abidin tidak serta-merta memberi sanksi apalagi sampai memecat karyawannya yang sudah tidak masuk selama 2 minggu. Dalam kunjungan penulis 1 bulan kemudian, karyawan tersebut masih bekerja di tempat pak Abidin. Pada Usaha milik pak Shodiq ketika mereka butuh biasanya seminggu mereka sudah meminta hasil kerjanya. Pemilik dalam posisi bapak, akan memenuhi apa yang dibutuhkan karyawannya. Termasuk kebutuhan makan dan minum selama bekerja juga diakomodasi oleh pemilik usaha. Bahkan di unit usaha milik beberapa pengusaha, ketika karyawan membutuhkan sejumlah uang untuk kebutuhan keluarganya, pengusahalah yang berupaya mencarikan pinjaman dan membayarnya dengan gaji karyawan tersebut. Pada usaha konveksi pak Imrori dan istrinya, karyawan diberikan kepercayaan penuh. Saat selesai bekerja, karyawan tersebut menghitung dan mencatatkan sendiri jumlah barang yang telah dijahit pada hari itu. Bagi karyawan yang membawa pulang bahan baku ke rumah utuk dikerjakan, mereka dipercaya mengambil sendiri bahannya dan setelah menjahit mencatatkan sendiri hasilnya. Kata ibu Imrori jika ada yang tidak jujur dan tidak mau didandani. Jika tidak bisa berubah lebih baik, maka karyawan itu sendiri yang akan merasa tidak tentram dan akhirnya keluar sendiri atau berhenti. 93
Adapula karyawan yang sudah bekerja sejak awal usaha hingga kini di unit usaha milik pak Imrori, diberikan akses tekhnologi oleh pengusaha untuk dibawa pulang ke rumah karyawan tersebut. Pak Imrori memberikan mesin jahit yang diontel dengan tangan, untuk seorang karyawan mereka, yang sudah bekerja selama 15 tahun di unit usaha mereka. Mesin jahit itu tentunya sangat berarti buat sang karyawan, karena dapat dipakai untuk menjahit potongan kain dari unit usaha pak Imrori serta memperoleh peluang untuk mendapatkan pesanan dari unit lain atau orang lain.
Industri Kecil Konveksi di Tingkir lor merupakan usaha turuntemurun Industri kecil konveksi di Tingkir lor merupakan usaha turuntemurun. Dikatakan sebagai usaha turun-temurun karena usaha ini sudah berlangsung di Tingkir lor selama 3 generasi silam. Cerita beberapa informan mengindikasikan hal tersebut. Pak Abidin pemilik usaha yang berusia 58 tahun saat ini memberi kesaksian, bahwa pada masa hidup neneknya, beliau sering menemani neneknya menjahit di malam hari. Jika neneknya kesulitan memasukan benang di lobang jarum, pak Abidin berperan membantu neneknya. Itu berarti usaha konveksi di Tingkir lor sudah berlangsung turun-temurun sekitar 3 generasi silam. Jadi konveksi menjadi aktivitas turun-menurun dari nenek, orang tua, hingga generasi sekarang. Sebagai suatu aktivitas turun-temurun terjadi pewarisan ketrampilan jahit-menjahit serta pengelolaan usaha, modal tekhnologi dan rumah sebagai tempat produksi dari orang tua kepada anakanaknya. Cerita tentang pewarisan ketrampilan dan modal tekhnologi sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Kemampuan pengelolaan usaha juga dipelajari secara otodidak oleh pemilik usaha. Mbak Nunik yang sejak dulu mendampingi ibunya menjalankan usaha konveksi, sekarang ini memegang tanggung-jawab mengelola usaha konveksi keluarganya saat ibunya meninggal dunia. Pilihan bapaknya jatuh pada mbak Nunik karena kemampuan mengelola usaha konveksi lebih 94
kelihatan pada mbak Nunik dibandingkan dengan keenam saudaranya yang lain. Padahal tingkat pendidikan formal mbak Nunik hanya sampai kelas 5 SD sedangkan saudara-saudaranya yang lain semuanya Sarjana. Itu berarti kemampuan mbak Nunik mengelola usaha diperoleh bukan dari pendidikan formal tetapi dari pengalaman belajar informal bersama ibunya semasa hidup dalam mengelola usaha konveksi.
Aktivitas produksi sebelum masa krisis Aktivitas produksi pada masa sebelum krisis menjadi menarik karena dengan segala keterbatasan usaha kecil, produksi harus berjalan sehingga prinsip efisiensi produksi dipegang teguh dalam proses pengolahan kain limbah. Dalam hal pengolahan limbah, mas Susilo mengatakan pokoknya tidak ada limbah yang terbuang percuma, semuanya harus dijadikan produk. Padahal limbah yang sudah ada saja sudah sangat sulit diolah dalam pengamatan penulis. Tetapi sisa dari olahan limbah tersebut juga mereka olah menjadi produk tertentu, misalnya kesek kaki. Karena itu kreativitas pengusaha sangat penting dalam mengefisienkan pengolahan kain limbah. Jadi, semua aktivitas produksi yang dilakukan ada dalam tujuan efisien produksi tersebut. Untuk menghasilkan sebuah produk jadi yang layak pakai, harus melewati proses produksi panjang yang tidak mudah, sehingga membutuhkan kerja keras pengusaha. Proses produksi yang dimaksudkan adalah semua aktivitas pengolahan kain limbah menjadi produk yang layak pakai. Aktivitas pengolahan kain limbah terangkai menjadi suatu proses produksi pengolahan kain limbah yang berkesinambungan. Proses pengolahan kain limbah dilakukan dari analisa bahan baku, pemotongan kain, dan penjahitan kain. Jadi dengan proses produksi konveksi yang panjang dan sukar ini, sangat menguras energi pikir dan tenaga fisik pengusaha konveksi.
95
Analisa Bahan Baku Analisa bahan baku merupakan aktivitas pengusaha untuk menganalisa produk yang akan dibuat dengan bahan baku yang ada. Analisa ini penting untuk menentukan produk apa yang akan diproduksi dengan kain limbah yang tersedia, karena menurut pak Imrori membeli kain limbah itu seperti membeli kucing dalam karung. Mereka tidak mengetahui sama sekali kain limbah seperti apa yang dijual oleh pengepul. Sehingga ketika bahan baku tiba harus dianalisis bersama mau dijadikan produk yang seperti apa. Analisa bahan baku merupakan tahapan yang menunjukan kecerdasan pengusaha konveksi dalam mengelola konveksi mereka. Produk yang akan dibuat tidak asal-asalan, tetapi dianalisa dengan tajam, untuk memutuskan produk yang layak pakai dan efisien. Ibu keluarga biasanya banyak mendapatkan informasi tentang mode yang sedang trend di masyarakat. Sedangkan bapak keluarga selalu memberikan pertimbangan tentang efisiensi produksi. Dengan perimbangan ini, maka biasanya pilihan mereka akan jatuh kepada produk yang lebih efisien ongkos produksinya. Menurut cerita ibu Imrori aktivitas analisa bahan baku biasanya mereka lakukan setelah sholat subuh, mereka duduk di depan TV, di sana ada meja besar, mereka memotong kain sambil mendiskusikan bahan baku yang ada hendak dibuatkan produk apa dan bagaimana membuatnya. Saat itulah terjadi analisa terhadap bahan baku. Analisa tersebut menjadi keputusan bersama yang dipakai sebagai petunjuk dalam mengolah bahan baku yang ada pada unit usaha tersebut.
Pemotongan kain Aktivitas pemotongan kain dilakukan oleh bapak atau ibu keluarga yang memiliki kemampuan untuk menggambar pola pada kerta dan memotong kain. Pemotongan kain merupakan proses dari membentuk pola pada kertas koran hingga menggunting pola pada kain mengikuti pola kertas. Menggambar pola biasanya dilakukan oleh bapak/ibu yang diakui lebih memiliki keahlian dalam hal tersebut. 96
Pada unit usaha milik pak Imrori penggambaran pola kertas dan pengguntingannya dilakukan oleh ibu. Karena bu Imrori lebih memiliki pengalaman konveksi dari suaminya. Sedangkan di unit usaha pak Abidin, justru beliau sendiri yang lebih dipercaya istrinya untuk menggambar pola, menggunting dan memotong kain menurut pola tersebut. Pada unit usaha milik mas Susilo, istrinya mas Susilo yang menggambar pola dan mengguntingnya, beliau juga yang memotong kain berdasarkan pola. Pada unit usaha ibu Musropah, beliau sendiri yang menggambar pola pada kertas dan menggungtingnya. Pemotongan kain dilakukan secara manual satu-persatu menggunakan gunting karena itu dikerjakan langsung oleh pemilik IKRT demi efisiensi. Pemotongan secara manual dilakukan dengan sangat berhati-hati agar tidak merugikan usaha mereka., karena itu pengusaha konveksi mengambil peran untuk aktivita pemotongan kain. Menurut pak Abidin kalau beliau sendiri yang memotong, kainnya bisa dapat 3 potongan, tetapi kalau dipotong karyawan hanya bisa dapat 2 potongan.
Penjahitan potongan kain10 menjadi produk Penjahitan potongan kain merupakan proses menghubungkan kain yang masih terpotong dengan menggungakan benang dan mesin jahit, untuk menjadi produk yang utuh. Proses menghubungkan kain ini, sering disebutkan dengan menjahit. Pada masa awal usaha, menjalankan aktivitas penjahitan membutuhkan kerja keras dan kegigihan pengusaha, karena peralatan yang digunakan masih sederhana sehingga bergantung pada tenaga manusia. Mesin jahit yang digunakan selain diontel pake tangan, juga harus ditrap dengan kaki, digunakan disekitar tahun 1970-an. Selanjutnya mereka memasang dinamo pada mesin jahit tersebut di 10Semua pengusaha konveksi di Tingkir Lor menggunakan istilah potongan kain untuk menyebutkan kain yang telah dipotong menurut pola. Karena itu penulis mengikuti frase yang digunakan oleh mereka sebagai informan di Tingkir lor.
97
sekitar tahun 1980-an, karena itu aktivitas menjahit sangat melelahkan penjahit. Dengan keras dan kegigihan pengusaha, mereka dapat menjahit potongan kain menjadi produk yang layak pakai. Pasa Fase awal usaha, untuk meringankan beban pekerjaan, proses menjahit dilakukan bersama oleh ibu dan bapak keluarga karena semuanya menguasai konveksi. Penguasan suami istri terhadap konveksi memberi peluang mereka bekerja bahu-membahu. Kata pak Abidin, dengan menjahit bersama rasa lelah bisa terlupakkan. Pada masa perkembangan usaha sebelum masa krisis, pesanan semakin bertambah, aktivitas menjahit tetap menjadi tanggung-jawab ibu rumah tangga dengan dibantu oleh anak-anak dan karyawan. Ibu rumah tangga bertindak sebagai pengawas terhadap aktivitas menjahit yang dilakukan anak-anak dan karyawan, sambil ibu rumah tangga juga tetap. Sewaktu-waktu aktivitas menjahit ibu rumah tangga di tinggalkan, karena beliau harus memberi arahan kepada anak dan karyawannya, mengurusi makan siang dan melayani pembeli. Penjahit lebih diringankan lagi dengan tekhnologi mesin jahit listrik digunakan untuk menjahit di sekitar tahun1990-an. Mesin jahit ini menggunakan listrik (tanpa dinamo) untuk menggerakan jarum. Penjahit hanya perlu menggunakan tangannya untuk mengarahkan jahitan, memasukan benang dan memotong benang. Proses mengoperasikan mesin jahit listrik tidak jauh berbeda dengan mesin jahit sebelumnya. Hal yang beda hanya pada sumber tenaga pada mesin sebelumnya ada pada tenaga manusia sedangkan mesin jahit listrik bersumber pada listrik. Dengan mesin jahit listrik, pekerjaan yang dilakukan semakin cepat. Di sisi lain, Dengan keterbatasan daya listrik yang mereka miliki, pengusaha harus menyiasatinya dengan waktu kerja yang tepat. Penjahitan memerlukan listrik dengan daya yang memadai untuk memberikan energi kepada mesin jahit listrik, namun mereka rata-rata menggunakan listrik dengan daya 900 watt. Jadi dengan daya listrik yang demikian sebenarnya sangat tidak mencukupi kebutuhan pengusaha konveksi. Kekurangan ini disiasati dena cara melakukan 98
pekerjaan dari pagi hingga jam 4 sore. Dalam kurun waktu pagi hingga jam 4 sore tersebut, lampu-lampu belum dinyalakan, sehingga mesin jahit listrik dapat dioperasikan dengan baik. Saat malam hari ketika lampu-lampu rumah dinyalakan, sehingga aktivitas menjahit dikurangi bahkan dihentikan dulu.
Aktivitas pemasaran sebelum masa krisis Cerita tentang pemasaran sebelum masa krisis dimulai sejak fase awal usaha sekitar tahun 1960-an hingga 1980-an dan selanjutnya fase perkembangan usaha sekitar tahun 1990-an. Proses pemasaran yang berlangsung di setiap fase memiliki keunikan masing-masing. Pada fase awal usaha konveksi di Tingkir Lor di sekitar tahun 1960-an hingga 1970-an, proses pemasaran dimulai dari titik nol, artinya pengusaha berada dalam kondisi tidak ada dan harus membuatnya menjadi ada. Harus menjadi ada karena pemasaran itu sangat penting untuk menjual produk ke konsumen. Persoalannya adalah untuk siapa produk ini harus dijual? Dan dengan harga berapakah produk ini dilempar ke pasar? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi gumulan pengusaha konveksi di Tingkir lor saat menjalankan usaha. Metode penjualan dengan perantara pedagang memiliki resiko uang tidak kembali, pengusaha hanya bisa pasrah menghadapi kondisi ini. Resiko uang tidak kembali karena tertahan di tangan pedagang atau belum dibayar konsumen, dialami oleh beberapa pengusaha. Pak Mat Shodi mengatakan, setelah istrinya meninggal ada sekitar 5 juta rupiah yang beredar ada di tangan pedagang namun beliau tidak menagihnya dan menunggu keasadaran pedagang. Sedangkan pak Imrori pernah barangnya dibawa seharga Rp.5.000.000 tidak dibayar selama 5 tahun. Beliau pernah menagih ke rumah pedagang, namun bukan uang yang didapatkan melainkan luapan kemarahan pedagang. Pak Imrori mengikhlaskan uang tersebut. Berselang 5 tahun kemudian, sang pedagang datang membayar utang Rp.5.000.000 tersebut, sambil 99
meminta maaf kepada pak Imrori, kalau selama ini uangnya dipakai untuk mendirikan rumah dan baru bisa diganti sekarang. Relasi pak Imrori dan sang Pedagang kembali baik bahkan pedagang tersebut mengambil dagangan lagi di unit usaha pak Imrori. Hal yang sama pernah dialami pula oleh mas Susilo. Jadi, pengusaha menghadapi resiko usaha dengan keikhlasan Pada sub bab ini, penulis akan menceritakan tentang aktivitas pemasaran baik pada masa sebelum krisis baik pada fase awal usaha maupun fase perkembangan usaha.
Pemasaran di Fase Awal usaha Mencari pasar Pasar menjadi terminal akhir dari rangkaian usaha mereka, untuk menjadikan produk usaha bernilai ekonomi. Tanpa pasar maka usaha yang dikerjakan sia-sia layaknya membuang garam ke laut. Malahan pada usaha lain mereka akan melakukan usaha jika yakin pasarnya ada, karena takut merugi. Pertimbangan pasar pastilah dimiliki pula oleh 12 pengusaha konveksi mula-mula di Tingkir lor yang dibina oleh Damatex. Keterlibatan Damatex untuk menyiapkan mereka masuk ke dunia usaha kecil konveksi tentunya bukan untuk melakukan pekerjaan yang sia-sia. Mereka sudah memikirkan kemana mereka harus menjual produk yang dihasilkan oleh usaha kecil konveksi mereka. Pasar tradisional Salatiga menjadi pilihan tempat penjualan produk hasil olahan msyarakat Tingkir lor. Pasar ini pembelinya adalah masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang merupakan golongan konsumen dalam jumlah yang banyak. Sehingga produk Tingkir lor ketika dilempar ke pasar ini, akan laris. Untuk memiliki pasar yang tetap, pengusaha IK konveksi Tingkir lor terjun sendiri untuk menjual produk mereka. Itu berarti pengusaha berperan ganda sebagai pedagang. Menurut cerita pak 100
Imrori, dulu mereka menjahit 10 potong celana kolor, lalu menjual sendiri di pasar Salatiga setiap dua minggu sekali. Produk mereka laris, itu berarti mereka telah memiliki konsumen yang tetap. Di pasar itulah mereka membangun relasi dengan para pedagang yang nantinya akan berguna ketika berada dalam masa perkembangan usaha. Proses menemukan pasar dengan terjun sendiri ke pasar itu, dilakukan oleh pengusaha IK konveksi pada tahun 1970-an. Selain strategi terjun sendiri ke pasar, pengusaha juga menggunakan strategi lain untuk menemukan pasar yakni dengan menggunakan anak sebagai model bagi tetangga. Tetangga merupakan pasar terdekat bagi pengusaha, hanya saja mereka belum memiliki minat terhadap produk pengusaha. Cerita mbak Ul kepada penulis, bahwa beliau menjahit celana kolor untuk anaknya pakai sehari-hari. Ketik dilihat oleh tetangga, mereka berminat terhadap celana tersebut. Tetangga kemudian memesan celana tersebut untuk dibelinya. Dengan demikan, mbak Ul sudah menjadikan tetangganya sebagai pasar.
Menentukan Harga Produk Harga produk yang murah dapat menjangkau semua kalangan, membuat pasar produk konveksi tingkir lor semakin luas. Menentukan harga murah atau mahal untuk sebuah produk adalah pilihan terbuka bagi pengusaha Ik konveksi di Tingkir lor. Kalau harganya mahal, maka otomatis hanya kalangan tertentu yang dapat mengkonsumsi produk tersebut. Sedangkan jika harga produk murah membuka kemungkinan untuk dibeli semua kalangan masyarakat. Dalam praktek di lapangan, pengusaha tidak memilih harga mahal untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari sebuah produk. Mereka memilih mendapatkan kentungan yang sedikit dari satu produk, tetapi semua produk laris dibeli banyak orang. Pengusaha menentukan harga yang murah bagi produk mereka.11
11
Hasil wawancara dengan mas Susilo
101
Untuk menentukan harga murah bagi produk mereka, maka pengeluaran biaya produksi harus benar-benar efisien. Harga bahan baku limbah yang murah, ditambah dengan tenaga kerja yang tidak dibayar karena berasal dari anggota keluarga, tempat produksi yang tidak disewa karena menggunakan rumah keluarga bahkan mesin jahit yang digunakan adalah warisan orang tua. Kondisi ini yang menjadikan pengusaha IK konveksi di Tingkir lor berani dalam menentukan harga murah bagi produk mereka. Dengan ongkos produksi yang efisien, pengusaha berani menentukan harga murah karena masih memperoleh keuntungan yang tipis untuk masing-masing produk. Penentuan harga produk yang murah awalnya merupakan hasil pembinaan Damatex terhadap 12 pengusaha Tingkit lor. Pembinaan Damatex sekaligus membimbing mereka untuk menjadi pengusaha kecil konveksi, sehingga damatex memberikan pandangan tentang bagaimana seharusnya menjual produk tersebut. Produk yang berasal dari sisa produksi, harus dijual dengan harga yang murah, karena bahan baku yang diperoleh juga murah. Sehingga mereka diajarkan mengambil keuntungan sedikit tetapi laris barangnya. Prinsip pemasaran ini dipakai hingga masa berkembangnya usaha bahkan hingga kini, pengusaha tetap memasang harga murah untuk produk yang dihasilkan.12 Hasil pembinaan Damatex menjadi referensi untuk memutuskan harga produk dalam keluarga oleh bapak dan ibu keluarga. Dengan referensi dari pembinaan Damatex serta hasil ngobrol dengan sesama pengusaha di Tingkir Lor, mereka kemudian melakukan penghitungan bersama terhadap biaya produksi dan menentukan harga yang murah bagi produk. Harga yang ditentukan untuk masing-masing produk berbeda-beda. Sebelum masa krisis terjadi ada celana yang berharga Rp. 5000 dan adapula yang berharga Rp.2000 per satu helai. Bahkan ketika pedagang ataupun konsumen hendak menawar harga dalam proses pembelian, itu bisa dilakukan
12
HasilwawancarapenulisdenganmbakUl
102
dengan bapak atau ibu. Jadi meski harga yang ditentukan sudah murah, pembeli masih bisa melakukan tawar-menawar dengan pengusaha.
Distribusi barang dari pengusaha ke pasar Pada fase awal usaha, distribusi barang ke pasar dilakukan langsung oleh pengusaha dari tempat produksi hingga ke tangan konsumen. Jika digambarkan rantai distribusi barang dari pengusaha ke pasar pada fase awal sebelum masa krisis adalah:
Pengusaha IK Konveksi Tingkir lor
Konsumen
Pengusaha mengambil peran sebagai pedagang yang bertugas mengantarkan dagangan berupa 10 helai celana dan beberapa sarung bantal. Dagangan ini dibawa ke pasar Salatiga untuk dijual disana. Aktivitas ini dilakukan tiap akhir minggu setelah barang siap dipasarkan. Biasanya aktivitas produksi terhenti sejenak. Saat distribusi barang dilakukan, aktivitas produksi terhenti sesaat supaya pengusaha fokus untuk melariskan produknya dan selanjutnya menjadi yakin untuk melanjutkan produksi tahap berikut. Pengusaha ketika berperan sebagai pedagang untuk menjual produk, berada di tempat yang berbeda dengan rumah tempat produksi, sehingga secara otomatis produksi terhenti. Selain itu pengusaha berupaya fokus pada penjualan produk hingga habis terjual. Karena dari hasil penjualan tersebut mereka bisa membayar sisa uang kredit limbahnya dan uang muka kredit limbah bahan baku untuk produksi berikut. Dengan larisnya produk dipasaran, meyakinkan pengusaha untuk melanjutkan aktivitas usaha konveksi selanjutnya.
103
Pemasaran di Fase perkembangan usaha Membangun jaringan pemasaran dan distribusi barang ke konsumen Pengusaha IK membangun jaringan pemasaran baru yang melibatkan pedagang pasar di dalamnya. Pedagang pasar dan pengusaha saling mengenal ketika pengusaha mengambil peran sebagai pedagang terjun ke pasar untuk menjual produk di saat fase awal usaha. Ketika usaha konveksi ini semakin dikenal oleh pasar, pesanan semakin banyak. Pengusaha tidak bisa lagi turun ke pasar untuk menjual produknya karena harus mengerjakan aktivitas produksi. Pengusaha kemudian menawarkan kepada pedagang untuk menjual produknya. Kemudian pedagang menyambut tawaran ini sebagai peluang usaha bagi mereka. Maka terjalinlah jaringan pemasaran antara pengusaha IK konveksi dengan pedagang untuk memasarkan produk IK konveksi dari Tingkir lor. Jaringan pemasaran dari pengusaha ke pasar yang melibatkan pedagang dapat digambarkan demikian:
Pengusaha kecil Konveksi Tingkir lor
Pedagang di Salatiga, Amb arawa, Semar ang
Konsumen
Jaringan pemasaran dibangun berdasarkan rasa saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Pengusaha membutuhkan pedagang untuk menjual produknya ke konsumen, sehingga pengusaha tidak perlu lagi meninggalkan aktivitas produksi bahkan sampai menghentikannya sesaat. Karena produksi yang terhenti sangat merugikan Industri kecil konveksi. Di sisi lain, Pedagang juga membutuhkan barang dagangan, untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan tersebut. Konsumen adalah pasar dalam jaringan ini, sebenarnya juga membutuhkan barang yang murah dari pengusaha dan 104
pedagang. Dengan adanya rasa saling terbentuklah jaringan pemasaran tersebut.
membutuhkan
maka
Di dalam jaringan pemasaran tersebut ada kepercayaan yang mengikatnya. Kepercayaan diberikan pengusaha kepada pedagang, sehingga pedagang diizinkan membawa produk untuk dijual meski baru dibayar dengan uang muka sebesar 20 %. Pengusaha berupaya menjaga kepercayaan konsumen dengan memberikan produk terbaik yang dimilikinya. Meski dengan harga murah, produk yang disediakan pengusaha kepada konsumen adalah produk yang layak pakai, tidak sobek ataupun tidak cacat. Untuk hal tersebut, penulis menyaksikan sendiri bagaimana pengusaha mengsortir celana yang cacat, sebagai produk yang tidak layak dijual/dipasarkan. Kriteria cacat bagi pengusaha adalah sobek, warnanya yang hilang dan modelnya terbalik.13 Semua ini dilakukan untuk menjaga kepercayaan konsumen terhadap mereka, kata ibu Imrori. Pada fase perkembangan usaha, distribusi barang pada fase perkembangan usaha ini terjadi dalam dua jalur, yakni : jalur konsumen yang datang membeli barang di tempat produksi dan berikutnya jalur pedagang yang mengambil barang dari pengusaha di tempat produksi dan dijual ke konsumen. Konsumen dan pedagang yang membeli langsung di tempat produksi mendapatkan standar harga yang sama dan lebih murah daripada konsumen yang membeli pada pedagang di pasar. Konsumen dan pedagang yang mendatangi tempat usaha. Dengan cara konsumen dan pedagang mendatangi tempat produksi sebagai pasar, maka terjadi penghematan waktu, tenaga dan ongkos distribusi bagi pengusaha IK konveksi. Pengusaha tidak perlu lagi membuang waktunya untuk mendistribusikan barang. Apalagi keputusan untuk meninggalkan produksi demi distribusi barang tidak perlu lagi dilakukan pada fase ini. Pengusaha juga tidak perlu 13
Hasil observasi di unit usaha pak Imrori
105
membuang tenaga untuk mendistribusikan barang, ia tinggal menunggu konsumen dan pedagang mendatanginya di rumah. Apalagi soal ongkos, terjadi penghematan karena pengusaha tidak perlu menyewa mobil untuk distribusi.
Penutup Industri kecil konveksi di Tingkir Lor ada karena jaringan mutualis antara Damatex dengan masyarakat belakang Damatex atau sering disebut Belanda. Kepentingan Damatex untuk melariskan limbah ternyata direspons dengan antusias oleh masyarakat belakang Damatex. Gayung bersambutan, Damatex juga terpanggil untuk memberikan sesuatu bagi masyarakat. Tidak tanggung-tanggung Damatex membina 12 orang masyarakat Tingkit Lor dan dibekali dengan peralatan mesin jahit. Keterpanggilan Damatex untuk mengabdi bagi masyarakat menghadirkan suatu kehidupan baru bagi masyarakat Tingkir Lor. makanya tidak berlebihan kalau Damatex pantas diandaikan sebagai ibu dari industri kecil konveksi di Tingkir Lor. Masyarakat Tingkir Lor telah lahir sebagai sebuah industri kecil konveksi yang dengan segala keterbatasan, mereka harus menjalankan proses usaha baik produksi maupun pemasaran. Prinsip efisiensi dipakai sebagai dasar menjalankan usaha di Tingkir lor. Dengan bahan baku yang murah, tenaga kerja berasal dari keluarga, karyawan yang murah, tempat produksi yang menyatu dengan rumah tinggal, mesin jahit warisan orang tua, semuanya mewujud murah karena prinsip efisien. Prinsip ini digunakan untuk menutupi segala keterbatasan usaha ini. Dengan kekuatan jaringan yang dimiliki keluarga dan jaringan sistem produksi maupun pemasaran, usaha ini dapat terus merangkak di tengah derasnya arus usaha lainnya. Jaringan keluarga yang luas, jaringan suplai bahan baku yang kokoh dan meluas, jaringan pemasaran yang ekpansif, menjadi energi handal bagi usaha konveksi di Tingkir lor untuk terus mendayung di tengah arus dinamika usaha. 106
Lebih jauh lagi industri kecil konveksi di Tingkir lor telah menjadi strategi nafkah kehidupan bagi masyarakat Tingkir Lor. Sekian generasi bisa dibesarkan dengan usaha ini. Hasil usaha ini bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari bahkan bisa diinvestasikan untuk masa depan keluarga. Jadi usaha ini lahir dari keluarga, berjuang bersama keluarga dan untuk kepentingan hidup keluarga.
107