9
BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN
2.1. Tinjauan Umum Mengenai Hukum Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian dan Kaitannya dengan Perikatan Mengenai perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata yang merupakan bagian dari KUH Perdata yang terdiri dari empat (IV) Buku. Buku I mengenai Hukum Perorangan, Buku II mengenai Hukum Kebendaan, Buku III tentang Hukum Perikatan dan Buku IV mengatur tentang Pembuktian dan Daluwarsa. Menurut Buku III KUH Perdata, hukum perikatan terbagi atas dua bagian, yaitu: a) Bagian Umum, yang tercantum dalam bab I-IV memuat tentang azasazas umum yang mengatur perjanjian, seperti sumber-sumber perikatan, macam-macam perikatan, lahir dan hapusnya perikatan, serta syarat sahnya perjanjian; b) Bagian Khusus, yang tercantum dalam bab V-XVIII memuat tentang aturan-aturan yang mengatur perjanjian-perjanjian khusus, yaitu perjanjian yang telah dikenal pada saat KUH Perdata dibuat, seperti perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian perburuhan dan sebagainya. Terdapat hubungan yang erat antara ketentuan umum dengan ketentuan khusus di dalam KUH Perdata. Ketentuan umum dalam KUH Perdata berlaku bagi setiap perjanjian khusus seperti termuat dalam KUH Perdata maupun perjanjian-perjanjian khusus yang pengaturannya berdasarkan kesepakatan antara para pihak yang tidak diatur dalam KUH Perdata. Maka lahir dan hapusnya perikatan, syarat sahnya perjanjian dan ketentuan lain yang diatur dalam ketentuan umum KUH Perdata berlaku bagi setiap perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak. 10 Perumusan mengenai definisi perjanjian diatur di dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menyebutkan: 10
Sri Soesilowati, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), cet. 1, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal 136.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
10
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Untuk lebih memberikan pemahaman mengenai perikatan terlebih dahulu memahami definisi perjanjian. Subekti mendefinisikan suatu perjanjian sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang.
Perhubungan
antara
dua
pihak
tersebut
adalah
suatu
perhubungan hukum, yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di depan hakim.11 Hubungan
antara
perikatan
dan
perjanjian
adalah
perjanjian
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, di sampingnya sumber-sumber lain. Sumber-sumber lain ini tercakup dengan nama undang-undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.12 Sumber-sumber perikatan yang tercakup dalam undang-undang diperinci lagi, yang dibedakan antara undang-undang saja dengan undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang. Sumber perikatan dari undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan manusia diperinci lagi, yakni dibedakan antara perbuatan yang halal dan perbuatan melanggar hukum.
11
R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hal. 1.
12
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
11
Perjanjian juga dinamakan persetujuan (overeenkomst), karena kedua belah pihak setuju untuk melakukan sesuatu hal. Maka kedua kata yakni perjanjian dan persetujuan mempunyai pengertian yang sama. Dapat disimpulkan perbedaan antara perikatan dan perjanjian, yaitu bahwa perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Apabila terdapat dua orang yang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud agar di antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.13
2.1.2 Macam-Macam Perikatan Suatu perikatan merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan itu. Apabila di masing-masing pihak hanya ada satu orang, sedangkan sesuatu yang dapat dituntut hanya berupa satu hal, dan penuntutan ini dapat dilakukan seketika, maka perikatan ini merupakan bentuk yang paling sederhana. Perikatan dalam bentuk yang paling sederhana ini dinamakan perikatan bersahaja atau perikatan murni.14 Selain bentuk tersebut, Hukum Perdata mengenal berbagai macam perikatan lainnya, yaitu15: 1. Perikatan Bersyarat Perikatan Bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu terjadi. Perikatan ini terbagi atas: a) Perikatan dengan syarat tangguh, yaitu perikatan yang lahir hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi dan perikatan lahir pada detik terjadinya peristiwa itu;
13
Ibid, hal.3.
14
Ibid, hal. 4.
15
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
12
b) Perikatan dengan syarat batal, yaitu perikatan yang sudah lahir itu, justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. 2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu Perikatan
dengan
ketetapan
waktu
adalah
perikatan
yang
menangguhkan pelaksanaan ataupun menentukan lama berlakunya suatu perjanjian atau perikatan. 3. Perikatan Mana Suka (Alternatif), yaitu suatu perikatan diamana si berutang dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang barang yang satu dan sebagian barang yang lainnya. 4. Perikatan Tanggung-menanggung atau Solider, yaitu perikatan yang salah satu pihaknya terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat di pihak debitur, maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh utang. Dalam hal beberapa terdapat di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut pembayaran seluruh utang. 5. Perikatan yang dapat Dibagi dan yang Tak Dapat Dibagi. Dapat dibagi atau tidaknya suatu perikatan tergantung dari jenis barang dan maksud atau isi perjanjian. Ukuran dapat atau tidak dapat dibaginya yaitu dalam hal prestasinya, dengan syarat pembagian tersebut tidak boleh mengurangi hakekat prestasi itu. 6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman, yaitu suatu perikatan di mana ditentukan bahwa si debitur, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi.
2.1.3. Asas Kebebasan Berkontrak dan Asas Konsesualitas dalam Hukum Perjanjian Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas atau prinsip yang harus diperhatikan bagi para pihak. Hal ini penting untuk menjadi pegangan dalam proses dan pelaksanaan perjanjian serta jika terdapat
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
13
permasalahan hukum yang berkaitan dengan proses dan pelaksanaan perjanjian tersebut. Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka, yang berarti memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.16 Sistem terbuka mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian. Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yakni “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan menekankan pada perkataan ‘semua’, maka pasal tersebut seolah-olah berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja). Dimana perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang, jika perjanjian tersebut telah memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam Hukum Perjanjian berlaku juga suatu asas, yaitu asas konsesualisme. Kata konsesualisme berasal dari perkataan latin, consensus yang berarti sepakat. Arti asas konsesualisme adalah bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karena itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.17
2.1.4. Syarat Sahnya Perjanjian Di dalam pasal 1320 KUH Perdata, para pembuat Undang-undang memberikan patokan umum tentang bagaimana suatu perjanjian itu lahir. Pasal tersebut juga menyatakan mengenai perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh para pihak supaya
16
Ibid, hal.13.
17
Ibid, hal. 15.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
14
perjanjian yang mereka lakukan dapat secara sah melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi mereka atau pihak ketiga. Syarat-syarat bagi sahnya suatu perjanjian meliputi subyeknya maupun obyeknya. Ada empat syarat untuk sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; Bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut harus bersepakat, menyetujui hal-hal pokok atau segala sesuatu yang diperjanjikan. Para pihak dalam perjanjian menghendaki atas sesuatu yang sama secara timbal balik. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dari pihak ketiga dan tidak ada gangguan berupa: •
Paksaan, yaitu paksaan rohani atau paksaan jiwa, bukan paksaan fisik. Misalnya salah satu pihak karena diancam atau ditakuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian;
•
Kekhilafan, yang terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang halhal pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang barang yang menjadi obyek perjanjian.
•
Penipuan, yang dapat terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan palsu disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lainnya agar menyetujui suatu perjanjian. Misalnya menjual mobil bekas yang telah dipoles sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan seolah-olah mobil tersebut baru dengan mengatakan kepada pembeli bahwa mobil itu baru.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian; Cakap disini menurut hukum, seseorang yang mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau untuk melakukan perbuatan hukum, baik untuk kepentingan diri sendiri atau pihak lain yang diwakili misalnya mewakili badan hukum.18 Pada azasnya setiap orang yang
18
Sri Soesilowati, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), cet. 1, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal 142.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
15
telah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUH Perdata menentukan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu: •
Orang-orang yang belum dewasa;
•
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
•
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undangundang serta semua orang yang dilarang oleh Undang-undang untuk membuat suatu perjanjian tertentu (yaitu wanita bersuami). Namun ketentuan ini dinyatakan sudah tidak berlaku lagi dengan adanya ketentuan Pasal 31 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, yang menyatakan bahwa istri adalah cakap untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk membuat perjanjian.
c. Mengenai suatu hal tertentu; Hal tertentu yang dimaksud adalah bahwa obyek atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung, dan dapat ditentukan jenisnya.19 Misalnya dalam sebuah perjanjian jual beli, harus ditentukan
mengenai
harga
dan
jenis
barang
yang
akan
diperjualbelikan. d. Suatu sebab yang halal. Sebab (oorzaak atau causa) adalah isi dari perjanjian. Berarti isi dari perjanjian itu harus halal, tidak bertentangan dengan undang-undang, norma kesusilaan atau ketertiban umum. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang di sini adalah Undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum20. Menurut Pasal 1335 KUH Perdata suatu perjanjian tanpa suatu sebab atau dibuat dengan sebab palsu atau terlarang, maka tidak mempunyai kekuatan hukum. Suatu sebab yang palsu terdapat jika suatu perjanjian dibuat dengan pura-
19
Ibid, hal. 143.
20
Ibid, hal. 144. Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 99.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
16
pura yang bertujuan untuk menyembunyikan sebab yang sebenarnya, yang tidak diperbolehkan. Kedua syarat pertama tersebut, dinamakan dengan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan
perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir
dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perjanjian tersebut. Apabila syarat subyektif dilanggar baik salah satu atau keduanya mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Adanya kekurangan terhadap syarat subyektif tersebut tidak begitu saja diketahui oleh hakim, jadi harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dan apabila diajukan kepada hakim, mungkin sekali disangkal oleh pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian. Oleh karena itu, undang-undang menyerahkan kepada para pihak, apakah mereka menghendaki pembatalan terhadap perjanjian tersebut atau tidak.21 Akan tetapi selama para pihak tidak keberatan atas pelanggaran kedua syarat subyektif tersebut, maka perjanjian itu tetap sah. Apabila syarat obyektif dilanggar maka perjanjian tersebut tidak memiliki kekuatan hukum sejak semula dan tidak mengikat para pihak yang membuat perjanjian atau disebut dengan batal demi hukum (null and void). Secara yuridis, dianggap dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu. Akibat dari batal demi hukum, maka para pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk melaksanakan perjanjian atau meminta ganti rugi, karena dasar hukumnya tidak ada.22
21
Subekti, op. cit., hal. 22.
22
Ibid..
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
17
2.1.5. Pelaksanaan Perjanjian Sumber perikatan adalah perjanjian, maka perjanjian melahirkan perikatan. Perikatan yang sah harus dilaksanakan oleh para pihak yang mengadakan perikatan, Apabila salah satu pihak mengingkari maka pihak lainnya berhak untuk menuntut realisasi atas prestasi dari perjanjian tersebut. Permasalahan yang terdapat dalam pelaksanaan perjanjian adalah apabila debitur tidak memenuhi janjinya kepada kreditur. Apabila kreditur diberikan kuasa oleh hakim untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian, maka dapat dikatakan perjanjian tersebut dapat dieksekusi secara riil. a) Perikatan untuk berbuat sesuatu Bentuk dari prestasi ini misalnya membuat gedung, membuat lukisan, perjanjian perburuhan, dan sebagainya. Dalam perjanjian ini eksekusi riil dapat dilaksanakan. Dalam Pasal 1241 KUH Perdata menyatakan bahwa jika si debitur tidak menepati janjinya maka terhadap si kreditur dapat boleh dikuasakan supaya ia sendirian yang mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si debitur. Namun apabila perjanjian itu sifatnya sangat pribadi dimana harus orang tertentu yang melaksanakannya, maka perjanjian itu tidak dapat dieksekusi secara riil. Misalnya perjanjian untuk membuat lukisan, dimana harus pelukis yang telah dijanjikan dalam perjanjian tersebut yang dapat melaksanakan prestasi tersebut. b) Perikatan untuk menyerahkan sesuatu Salah satu contoh perjanjian ini adalah perjanjian untuk tidak mendirikan tembok. Dalam perjanjian ini eksekusi riil mungkin dilakukan. Pasal 1240 KUH Perdata menyatakan bahwa si kreditur berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan bolehlah ia meminta supaya dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapus segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si debitur dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi. Pada perjanjian ini dapat secara mudah menghapuskan hasil dari perbuatan yang
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
18
melanggar janji itu, misalnya tembok yang didirikan secara melanggar janji dapat dirobohkan. c) Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu Contoh dari perikatan ini misalnya jual beli, pinjam pakai, tukar menukar, penghibahan dan sebagainya. Tidak terdapat petunjuk dari undang-undang mengenai perjanjian ini.
Para ahli hukum dan
yurisprudensi berpendapat bahwa mengenai barang yang tak tertentu, yakni barang yang telah disetujui atau dipilih oleh para pihak dalam perjanjian, eksekusi riil dapat dilakukan, tapi mengenai barang bergerak tak tertentu eksekusi riil tidak mungkin dilakukan. Mengenai barang tak bergerak terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa eksekusi riil tak mungkin dilakukan, dengan alasan bahwa untuk menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak diperlukan suatu akta bilateral yang harus diselenggarakan oleh kedua belah pihak sehingga tidak mungkin diganti dengan suatu putusan hakim. Pendapat kedua menyatakan bahwa ekesekusi riil dapat dilakukan terhadap pihak yang cidera janji, dengan alasan bahwa bila di dalam undang-undang tidak ditetapkan sebaliknya, maka sesuatu hak yang diperoleh dari suatu perjanjian pada dasarnya dapat direalisasikan selama tidak bertentangan dengan sifat perjanjian.
2.1.6. Berakhirnya Perikatan Terdapat sepuluh hal yang menyebabkan hapusnya perikatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1381 KUH Perdata. Sepuluh hal yang menyebabkan hapusnya perikatan adalah sebagai berikut:23 a. Pembayaran adalah pelaksanaan prestasi secara sukarela, artinya tidak melalui eksekusi oleh pengadilan. Kata pembayaran di sini adalah pembayaran dalam arti luas bukan hanya pembayaran sejumlah uang tetapi juga pelaksanaan prestasi yang berupa penyerahan suatu barang atau pelaksanaan suatu pekerjaan. Pembayaran ini selain dilakukan oleh Debitur dapat juga dilakukan oleh setiap orang yang 23
Sri Soesilowati, op. cit., hal. 157.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
19
berkepentingan atas perikatan tersebut seperti yang turut berutang atau penanggung utang, sehingga menyebabkan hapusnya perikatan tersebut.
Menurut Pasal 1385 KUH Perdata, pembayaran harus
dilakukan kepada kreditur, orang yang dikuasakan oleh hakim atau Undang-undang untuk menerima pembayaran. Apa yang dibayar merupakan apa yang terutang. Pembayaran itu sendiri harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian, atau di tempat di mana barang itu berada pada waktu dibuatnya perjanjian (jika mengenai barang tertentu), serta dapat juga di tempat tinggal kreditur pada waktu perjanjian dibuat. Bentuk pengalihan atas hak-hak kreditur kepada pihak ketiga dikenal dengan istilah subrogatie. Dengan demikian pihak ketiga menggantikan kedudukan kreditur. Dalam subrogatie, hutang sudah dibayar lunas oleh pihak ketiga, akan tetapi hutang itu masih ada, karena pihak ketiga inilah yang menggantikan hak kreditur untuk menagih piutang kepada debitur. Jadi pihak ketiga menjadi kreditur baru. b. Penawaran pembayaran diikuti dengan penitipan; Jika si kreditur tidak bersedia menerima pembayaran dari debitur, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran yang kemudian diikuti dengan penitipan. Penawaran pembayaran cara ini hanya berlaku bagi perikatan untuk membayar sejumlah uang dan penyerahan barang bergerak. Pasal 1405 KUH Perdata menentukan syarat-syarat untuk sahnya penawaran, yaitu: •
penawaran harus dilakukan kepada kreditur atau kuasanya;
•
dilakukan oleh orang yang berwenang membayar;
•
meliputi seluruh utang pokok, bunga, biaya yang telah ditetapkan, dan uang untuk biaya yang belum ditetapkan;
•
ketetapan waktunya telah tiba;
•
harus
dilakukan
di
tempat
dimana
menurut
persetujuan
pembayaran harus dilakukan;
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
20
•
dilakukan oleh seorang notaries atau juru sita disertai dengan dua orang saksi. Penawaran pembayaran dengan penitipan membebaskan debitur
dan berlaku sebagai pembayaran yang sah. c. Pembaharuan utang (novasi); Pembaharuan utang atau novasi terjadi jika seorang kreditur membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang sehingga perikatan antara kreditur dan debitur hapus, akan tetapi dibuat suatu perjanjian baru antara kedua pihak tersebut untuk menggantikan perikatan yang dihapuskan. d. Perjumpaan utang (kompensasi); Jika seseorang mempunyai piutang kepada orang lain tetapi pada saat yang sama orang tersebut juga berhutang kepada orang yang sama, maka menurut Undang-undang hutang piutang mereka dapat diperhitungkan atas suatu jumlah yang sama. Menurut ketentuan Pasal 1426 KUH Perdata perhitungan itu terjadi dengan sendirinya. e. Percampuran utang; Percampuran hutang terjadi bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang. Misalnya si debitur menggantikan hak-hak kreditur karena menjadi ahli warisnya. f. Pembebasan utang; Hal ini terjadi jika seorang kreditur membebaskan seorang debitur dari segala kewajibannya. Pembebasan utang ini harus dengan persetujuan debitur. g. Hapusnya barang yang menjadi obyek perikatan; Berdasarkan ketentuan Pasal 1444 KUH Perdata, jika suatu barang yang menjadi obyek perjanjian musnah bukan karena kesalahan debitur dan ia tidak melakukan wanprestasi atau terjadi keadaan memaksa (overmacht), sebelum diadakan penyerahan, maka perikatan hapus. Konsekwensinya debitur tidak wajib menyerahkan barang dan tidak dapat dituntut ganti rugi atas musnahnya barang tersebut. h. Batal atau pembatalan;
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
21
Pembatalan perjanjian dapat diputuskan oleh hakim atas permintaan orang-orang yang memberikan kesepakatan karena khilaf, paksaan atau penipuan dan permintaan wali atas perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap yang berada di bawah perwaliannya. i. Berlakunya suatu syarat batal; Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila syarat tersebut terpenuhi maka perjanjian berakhir. Dengan berakhirnya perjanjian tersebut maka membawa akibat hukum kembali kepada keadaan semula seolaholah tidak pernah terjadi perjanjian. Hal ini diatur dalam Pasal 1265 KUH Perdata. j. Lewat waktu; Berdasarkan
pasal
1946
KUH
Perdata,
lewat
waktu
dapat
menimbulkan dua akibat hukum. Pertama adalah lewat waktu untuk memperoleh hak dan kedua lewat waktu yang membebaskan dari adanya suatu perikatan. Lewat waktu untuk memperoleh hak dibahas dalam hukum benda sedangkan dalam hukum perikatan yang terpenting adalah lewat waktu yang menghapuskan perikatan. Dengan lewatnya waktu, maka kreditur kehilangan hak untuk menuntut prestasi yang menjadi kewajiban debitur. Hal ini diatur dalam Pasal 1967 KUH Perdata.
2.2. Tinjauan Umum Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 2.2.1. Pengertian Perjanjian Pemborongan 2.2.1.1. Pengertian Undang-Undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan dalam tiga macam, yaitu:24 a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu; b. Perjanjian kerja atau perburuhan dan; c. Perjanjian pemborongan pekerjaan. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah suatu perjanjian dimana suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya 24
R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet.10, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 57-58.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
22
untuk dilakukannya suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, sama sekali terserah kepada pihak lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya itu.25 Perjanjian perburuhan adalah perjanjian antara seorang ‘buruh’ dengan seorang ‘majikan’, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri: adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu ‘hubungan diperatas’ yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh yang lain.26 Sedangkan yang dinamakan perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan seorang lain (pihak yang memborong pekerjaan), dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan. Bagaimana caranya pemborong mengerjakannya tidaklah penting bagi pihak pertama tersebut, karena yang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah diterapkan dalam perjanjian.27 Ketiga Perjanjian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya yaitu bahwa pihak yang satu melakukan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan menerima upah. Sedangkan perbedaan antara ketiga perjanjian tesebut, yaitu dalam perjanjian kerja terdapat unsur subordinasi, sedangkan pada perjanjian untuk melakukan jasa dan perjanjian pemborongan terdapat koordinasi. Perihal perbedaan perjanjian pemborongan dengan perjanjian untuk melakukan jasa, 25
Ibid, hal.58.
26
Ibid.
27
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
23
yakni dalam perjanjian pemborongan berupa mewujudkan suatu karya tertentu sedangkan perjanjian untuk melakukan jasa berupa melaksanakan tugas tertentu yang ditentukan sebelumnya.28 Yang perlu mendapat perhatian adalah perbedaan antara perjanjian pemborongan dengan perjanjian jual beli, karena kedua perjanjian hampir tidak jelas batasnya. Berdasarkan pendapat C. Smith, jika obyek dari perjanjian atau setidak-tidaknya obyek pokoknya adalah suatu karya maka itu adalah perjanjian pemborongan. Sedangkan jika obyeknya berupa penyerahan dari suatu barang, sekalipun pada waktu perjanjian dibuat barangnya masih harus diproduksi, maka itu adalah perjanjian jual beli.29 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:30 “Pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”
2.2.1.2. Peraturan-Peraturan yang Mengaturnya Mengenai perjanjian pemborongan diatur dalam Bab 7A Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1601 b, kemudian pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616. Selain diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata, perjanjian pemborongan juga diatur dalam Keputusan Presiden Tahun 1994 tentang pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara dan A.V.(Algemene Voorwarden voor de uitvoering bij aanmening van openbare werken in Indonesia) 1941 tentang syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pmborongan pekerjaan umum di Indonesia. A.V. 1941 merupakan peraturan standar atau baku 28
F.X. Djumialdji, Hukum Bangunan, cet. 1, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal. 5.
29
Ibid.
30
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., ps. 1601 huruf b.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
24
bagi perjanjian pemborongan di Indonesia khususnya untuk proyekproyek Pemerintah.31
Kemudian diatur pula dalam Undang-undang
Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Di
dalam
KUH
Perdata,
ketentuan-ketentuan
perjanjian
pemborongan berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyekproyek swasta maupun pada proyek-proyek Pemerintah. Perjanjian Pemborongan pada KUH Perdata bersifat pelengkap, artinya ketentuanketentuan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dalam perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asalkan tidak dilarang oleh Undang-Undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
2.2.2 Sifat dan Bentuk Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 2.2.2.1. Sifat Perjanjian Pemborongan Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil, artinya perjanjian pemborongan itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yaitu pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya dan harga borongan atau kontrak.32 Dengan terjadinya kata sepakat, perjanjian pemborongan mengikat kedua belah pihak,
sehingga
para
pihak
tidak
dapat
membatalkan
perjanjian
pemborongan tanpa persetujuan pihak lainnya. 2.2.2.2. Bentuk Perjanjian Pemborongan Perjanjian pemborongan bentuknya bebas, artinya perjanjian pemborongan dapat dibuat dalam bentuk lisan ataupun dalam bentuk tertulis.33
31
F.X. Djumialdji, Hukum Bangunan, op. cit., hal.6.
32
Ibid., hal.7.
33
Ibid., hal.8.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
25
Namun, untuk proyek-proyek pemerintah, perjanjian pemborongan harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk perjanjian standar, artinya perjanjian pemborongan dibuat dalam bentuk model-model formulir tertentu yang isinya ditentukan secara sepihak oleh pihak yang memborongkan berdasarkan pada peraturan standar atau baku, yakni berdasarkan A.V. 1941.34 Di dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, perjanjian pemborongan disebut dengan istilah “kontrak pengadaan barang/jasa”. Menurut pasal 1 angka 17 Keputusan presiden tersebut, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kontrak adalah perikatan antara pengguna barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa, hubungan hukum antara penyedia jasa dan pengguna jasa diwujudkan dalam suatu bentuk perjanjian atau kontrak kerja konstruksi (K3). Dimana keseluruhan dokumen merupakan perikatan tertulis yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi secara umum. Kontrak Kerja Konstruksi (K3) tersebut dibuat sesuai dengan tahapan yang terdapat dalam sebuah pekerjaan konstruksi, yaitu: a. Untuk pekerjaan pelaksanaan: Kontrak Kerja Konstruksi untuk pekerjaan pelaksanaan; b. Untuk pekerjaan perencanaan: Kontrak Kerja Konstruksi untuk pekerjaan perencanaan; c. Untuk pekerjaan pengawasan: Kontrak Kerja Konstruksi untuk pekerjaan pengawasan.
34
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
26
2.2.3. Macam dan Isi Perjanjian Pemborongan Pekerjaan 2.2.3.1. Macam Perjanjian Pemborongan Perjanjian pemborongan pekerjaan dibagi menjadi dua macam, 35
yaitu:
a. Perjanjian
pemborongan
pekerjaan
dimana
pihak
pemborong
diwajibkan memberikan bahannya untuk pekerjaan tersebut. Dalam hal si pemborong diwajibkan memberikan bahannya dan kemudian pekerjaannya itu dengan cara bagaimanapun musnah sebelum diserahkan kepada pihak yang memborongkan, maka segala kerugian adalah atas tanggungan si pemborong, kecuali apabila pihak yang memborongkan telah lalai untuk menerima hasil pekerjaan itu. Jika si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, dan kemudian pekerjaannya musnah, maka ia hanya bertanggung jawab untuk kesalahannya (Pasal 1605 dan Pasal 1606 KUH Perdata). Ketentuan yang terakhir ini mengandung maksud bahwa akibat suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa bahanbahan yang telah disediakan oleh pihak yang memborongkan, dipikulkan pada pundaknya pihak yang memborongkan ini. Baru apabila dari pihaknya pemborong ada kesalahan mengenai kejadia itu, maka hal tersebut harus dapat dibuktikan oleh pihak yang memborongkan,
dengan
demikian
si
pemborong
dapat
dipertanggungjawabkan atas kesalahannya itu mengakibatkan bahanbahan tersebut musnah. b. Perjanjian pemborongan pekerjaan dimana si pemborong hanya akan melakukan pekerjaannya saja. Dalam hal si pemborong hanya diwajibkan melakukan pekerjaan saja, di dalam Pasal 1607 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa jika musnahnya pekerjaan itu terjadi diluar sesuatu kelalaian dari pihaknya si pemborong, sebelum pekerjaan itu diserahkan, sedang pihak yang memborongkan pekerjaan tidak telah lalai untuk memeriksa dan menyetujui pekerjaannya, maka si pemborong tidak berhak atas harga 35
Subekti, op.cit., hal.65.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
27
yang dijanjikan, kecuali apabila musnahnya barang atau pekerjaan itu disebabkan oleh suatu cacad dalam bahannya. Sedangkan menurut cara terjadinya, ada tiga jenis perjanjian pemborongan, yaitu:36 a. Perjanjian pemborongan bangunan yang diperoleh sebagai hasil pelelangan atas dasar penawaran yang diajukan (competitive bid contract). b. Perjanjian pemborongan bangunan atas dasar penunjukan. c. Perjanjian pemborongan bangunan yang diperoleh sebagai hasil perundingan antara si pemberi tugas dengan pemborong (negotiated contract).
Menurut
cara
penentuan
harganya,
perjanjian
pemborongan itu dapat dibedakan atas tiga bentuk, yaitu:
pelaksanaan
37
a. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Dalam hal ini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga kontrak maupun harga satuan. b. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Dalam hal ini harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan. c. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar harga satuan (unit price), yaitu harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Dalam hal ini luas pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan jumlah unit. d. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (cost plus fee). Dalam hal ini pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya. Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) sampai dengan ayat (10) Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 kontrak pengadaan barang/jasa atau disebut juga perjanjian pemborongan dibedakan atas:
36
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan, cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hal. 59.
37
Ibid., hal. 60.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
28
a. berdasarkan bentuk imbalan: •
Kontrak lump sum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua resiko yang mungkin terjadi
dalam
proses
penyelesaian
pekerjaan
sepenuhnya
ditanggung oleh penyedia barang/jasa. •
Kontrak harga satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsure pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara.
•
Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan.
•
Kontrak terima jadi (turn key) adalah kontrak pengadaan barang/jasa pemborongan atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.
•
Kontrak persentase adalah kontrak pelaksanaan jasa konsultasi di bidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, dimana konsultan yang bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan persentase
tertentu
dari
nilai
pekerjaan
fisik
konstruksi/pemborongan tersebut.
b. berdasarkan jangka waktu pelaksanaan: •
Kontrak tahun tunggal adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa 1 (satu) tahun anggaran.
•
Kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
29
untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.
c. berdasarkan jumlah pengguna barang/jasa: •
Kontrak pengadaan tunggal adalah kontrak antara satu unit kerja atau satu proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.
•
Kontrak pengadaan bersama adalah kontrak antara beberapa unit kerja atau beberapa proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama.
2.2.3.2. Isi Perjanjian Pemborongan Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ditentukan lebih lanjut mengenai isi dari perjanjian pemborongan. Oleh karena itu, baik pihak yang memborongkan pekerjaan maupun pihak yang memborong pekerjaan, dapat menentukan sendiri isi dari perjanjian pemborongan yang mereka buat, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Isi dari Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:38 “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengandung pengertian bahwa setiap orang bebas untuk: a. menentukan isi dari perjanjian b. menentukan bentuk perjanjian 38
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op.cit., ps.1338(1).
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
30
c. mengadakan perjanjian dengan siapapun d. menentukan hukum yang berlaku bagi perjanjian tersebut. Akan tetapi kebebasan dapat dilakukan dengan adanya pembatasan tertentu, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Pada umumnya, isi dari suatu perjanjian pemborongan memuat secara terperinci mengenai :39 a. Luasnya pekerjaan yang harus dilaksanakan dan memuat uraian tentang pekerjaan dan syarat-syarat pekerjaan yang disertai dengan gambar (bestek) dilengkapi dengan uraian tentang bahan material, alat-alat dan tenaga kerja yang diperlukan. b. Penentuan tentang harga pemborongan. c. Mengenai jangka waktu penyelesaian pekerjaan. d. Mengenai sanksi dalam hal terjadinya wanprestasi. e. Tentang resiko dalam hal terjadi overmacht. f. Penyelesaian jika terjadi perselisihan. g. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan. Di dalam suatu perjanjian pemborongan bangunan, harus disebutkan mengenai peraturan standar yang mengatur tentang hak dan kewajiban para peserta perjanjian pemborongan tersebut. Peraturan satandar dalam perjanjian pemborongan, selain menyangkut persyaratan teknisnya juga mengatur persyaratan administratifnya. Di Indonesia sebelum
terbentuknya
peraturan
standar
yang
baru
mengenai
pemborongan, sejak tahun 1941 telah berlaku peraturan standar yang lama yaitu Algemene Voorwarden voor de uitvoering bij aanmening van openbare werken in Indonesie, yang disingkat AV. Di mana dalam perjanjian pemborongan, mengenai hak dan kewajiban antara para peserta perjanjian tersebut dari segi administratifnya tunduk pada ketentuan AV 1941. Sedangkan mengenai segi teknisnya bangunan akan tunduk pada ketentuan yang telah diatur dalam Standard Specification yang telah dibentuk oleh Departemen Pekerjaan Umum. Mengenai ketentuan39
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, op. cit., hal. 62.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
31
ketentuan tentang prosedur pelelangan pekerjaan atau penunjukan langsung, tercantum dalam Keputusan Presiden (yang ditetapkan setiap tahun) mengenai pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yaitu ketentuan pasal-pasal tentang pelaksanaan pekerjaan untuk pemborongan (bangunan) beserta penjelasan dalam lampiran peraturan yang bersangkutan.40 Prof. DR. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, S.H., menyatakan bahwa sebelum terbentuknya peraturan standar untuk bangunan yang baru di Indonesia, maka masih berlaku peraturan standar yang lama yang tercantum dalam syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia (AV Tahun 1941). Namun, terjadi perkembangan yang berarti di bidang hukum pemborongan dengan keluarnya undang-undang yang khusus mengatur tentang pemborongan kerja ini, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tersebut, maka seluruh ketentuan lama yang bertentangan dengan Undang-Undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Ini berarti bahwa perundang-undangan yang lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tersebut.41 Di dalam Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1994, Pasal 22 ayat (2), isi perjanjian pemborongan pekerjaan memuat ketentuan-ketentuan yang jelas mengenai:42 a. Pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis dan jumlahnya b. Harga yang tetap dan pasti, serta syarat-syarat pembayarannya c. Persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terperinci
40
Ibid.
41
Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, cet. I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal.8
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
32
d. Jangka waktu penyelesaian atau penyerahan, dengan disertai jadwal waktu penyelesaian atau penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahannya e. Jaminan teknis atau hasil pekerjaan yang dilaksanakan f. Sanksi dalam hal rekanan ternyata tidak memenuhi kewajibannya g. Penyelesaian Perselisihan h. Status hukum i. Hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian yang bersangkutan j. Penggunaan barang dan jasa hasil produk dalam negeri secara tegas dirinci dalam lampiran kontrak. Namun terdapat perubahan atas Keputusan Presiden itu yakni diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Sehingga isi dari suatu kontrak kerja konstruksi berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UndangUndang Nomor 18 Tahun 1999 dan Pasal 29 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, yakni sekurang-kurangnya harus mencakup uraian mengenai: a. para pihak, yang memuat secara jelas identitas para pihak; b. rumusan pekerjaan, yang memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan; c. masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat tentang jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa; d. tenaga ahli, yang memuat ketentuan tentang jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi; e. hak dan kewajiban, yang memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannnya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memeperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi; f. cara pembayaran, yang memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
33
g. cidera janji, yang memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan; h. penyelesaian perselisihan, yang memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan; i. pemutusan kontrak kerja konstruksi, yang memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak; j. keadaan memaksa (force majeure), yang memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak; k. kegagalan bangunan, yang memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan; l. perlindungan pekerja, yang memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; m. aspek lingkungan, yang memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.
2.2.4. Peserta dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Dengan adanya perjanjian pemborongan selalu ada pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian pemborongan, tetapi ada pihak-pihak lain yang secara tidak langsung terikat dengan adanya perjanjian pemborongan. Baik pihak-pihak yang terikat, maupun yang secara tidak langsung dengan adanya perjanjian pemborongan disebut peserta dalam perjanjian pemborongan. Adapun peserta dalam perjanjian pemborongan, yaitu:43 a) Yang memborongkan/ pemberi tugas/ prinsipil/ bouwheer/ aanbesteder dan sebagainya. b) Pemborong/ kontraktor/ rekanan/ aannemer/ pelaksana dan sebagainya. c) Perencana/ Arsitek. d) Direksi/ Pengawas. 43
Djumialdji, op. cit., hal. 23.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
34
Keempat unsur tersebut di atas sesuai dengan perkembangan dan kemajuan teknologi sebaiknya terpisah satu sama lain sehingga hasil pekerjaan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Jika keempat unsur tersebut berada dalam satu tangan maka hal itu disebut swakelola/ eigenbeheer.44 Dalam Pasal 39 ayat (1) jo ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 memberikan pengertian swakelola, yaitu pelaksanaan pekerjaan yang direncanakan dikerjakan dan diawasi sendiri yang dapat dilaksanakan oleh pengguna barang/jasa, instansi pemerintah lain dan atau kelompok masyarakat/lembaga swadaya masyarakat penerima hibah. Salah satu contoh
pekerjaan
yang
dapat
dilakukan
dengan
swakelola
adalah
penyelenggaraan diklat, kursus, seminar, lokakarya, penyuluhan atau pekerjaan yang bersifat rahasia bagi instansi pengguna barang/jasa yang bersangkutan.
a. Yang Memborongkan Pihak yang memborongkan dapat berupa perorangan ataupun badan hukum, baik itu instansi pemerintah maupun swasta. Hubungan hukum antara pihak yang memborongkan dengan pihak pemborong diatur sebagai berikut:45 •
Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya pemerintah, maka hubungan hukumnya disebut hubungan kedinasan.
•
Apabila yang memborongkan pihak pemerintah sedangkan pemborongnya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang dapat berupa akta di bawah tangan, Surat Perintah Kerja (SPK), Surat Perjanjian Kerja/ Kontrak.
•
Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang dapat berupa akta di bawah tangan, Surat Perintah Kerja (SPK), Surat Perjanjian Pemborongan/ Kontrak.
44
F.X. Djumialdji, op.cit., hal. 24.
45
F.X. Djumialdji, op. cit, hal. 29.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
35
Adapun hubungan hukum antara pihak yang memborongkan dengan pihak perencana adalah sebagai berikut:46 •
Apabila pihak yang memborongkan dari pemerintah dan pihak perencana juga dari pemerintah (DPU), maka terdapat hubungan kedinasan.
•
Apabila pihak yang memborongkan dari pemerintah dan atau dari swasta, sedangkan pihak perencana dari swasta yang bertindak sebagai penasehat pemberi tugas,
maka
hubungannya dituangkan dalam perjanjian
melakukan jasa-jasa tunggal. •
Apabila pihak yang memborongkan dari pemerintah atau swasta dengan pihak perencana dari swasta dan bertindak sebagai wakil pemberi tugas (sebagai Direksi), maka hubungan hukumnya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUH Perdata)
Adapun tugas dari pihak yang memborongkan adalah:47 a. Memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan pemborong b.Menerima hasil pekerjaan c. Membayar harga bangunan. Dalam hal apabila pihak yang memborongkan merupakan pemerintah, maka terdapat tugas pokok yang harus dijalankan oleh pihak yang memborongkan. Hal ini telah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, tugas pokok yang memborongkan/pengguna barang atau jasa adalah: a) menyusun perencanaan pengadaan barang/jasa b) mengangkat panitia/pejabat pengadaan barang/jasa c) menetapkan
paket-paket
pekerjaan
disertai
ketentuan
mengenai
peningkatan penggunaan produksi dalam negeri dan peningkatan pemberian kesempatan bagi usaha kecil termasuk koperasi kecil, serta kelompok masyarakat d) menetapkan dan mengesahkan harga perkiraan sendiri (HPS), jadual, tata cara pelaksanaan dan lokasi pengadaan yang disusun panitia pengadaan 46
F.X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, cet. 3, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), hal. 8.
47
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
36
e) menetapkan dan mengesahkan hasil pengadaan panitia/pejabat pengadaan sesuai kewenangannya f) menetapkan besaran uang muka yang menjadi hak penyedia barang/jasa sesuai ketentuan yang berlaku g) menyiapkan dan melaksanakan perjanjian/kontrak dengan pihak penyedia barang/jasa h) melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang barang/jasa kepada pimpinan instansinya i) mengendalikan pelaksanaan perjanjian/kontrak j) menyerahkan asset hasil pengadaan barang/jasa dan asset lainnya kepada Menteri/Panglima
TNI/Kepala
Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota/Dewan
Polri/Pemimpin Gubernur
BI/Pemimpin
BHMN/Direksi BUMN/BUMD dengan berita acara penyerahan k) menandatangani
pakta
integritas
sebelum
pelaksanaan
pengadaan
barang/jasa dimulai.
b. Pemborong Pihak pemborong bisa berupa perorangan, badan hukum, baik swasta maupun pemerintah. Adapun tugas dari pihak pemborong adalah:48 •
Melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bestek.
•
Menyerahkan pekerjaan.
•
Sedangkan yang dimaksud dengan pemborong ekonomi lemah adalah:49
•
Perusahaan yang sebagian besar atau 50 % (lima puluh persen) ke atas modal perusahaan dimiliki oleh golongan ekonomi lemah.
•
Sebagian besar Dewan Komisaris dan Direksi perusahaan terdiri dari golongan ekonomi lemah.
•
Jumlah modal kekayaan bersih perusahaan untuk bidang usaha perdagangan dan jasa di bawah Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta
48
Ibid., hal. 8-9.
49
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
37
rupiah). Untuk bidang usaha sendiri dan konstruksi di bawah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). Selain itu
terdapat beberapa
syarat yang
harus dipenuhi oleh
Pemborong/penyedia barang/jasa apabila si pemborong mengadakan pemborongan pekerjaan dengan pihak pemerintah sebagai pihak yang memborongkan. Hal ini tercantum dalam pasal 11 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, persyaratan pemborong/penyedia barang/jasa adalah: •
memenuhi
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
untuk
menjalankan usaha/kegiatan sebagai penyedia barang/jasa •
memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis, dan manejerial untuk menyediakan barang/jasa
•
tidak dalam pengawasan pengadilan, tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam menajalani sanksi pidana
•
secara hukum mempunyai kapasitas menandatangani kontrak
•
sebagai wajib pajak sudah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir
•
dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir pernah memperoleh pekerjaan menyediakan barang/jasa baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman subkontak, kecuali penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun
•
memiliki sumber daya, modal, peralatan, dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa
•
tidak masuk dalam daftar hitam
•
memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan pos
•
khusus untuk penyedia barang/jasa perseorangan persyaratannya sama dengan di atas kecuali huruf f.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
38
Adapun yang disebut dengan golongan ekonomi lemah ialah orang Indonesia asli dan mereka yang sudah membaur sebagai orang Indonesia asli. Dalam pengetahuan pemborong golongan ekonomi lemah dan setempat harus tetap diperhatikan syarat-syarat bonafiditas. Pengertian pemborong setempat adalah konsultan perorangan, perusahaan atau cabangnya yang didirikan dan mendapat izin usaha di Kabupaten/ kotamadya tempat lokasi proyek, serta pimpinan perusahaan dan karyawannya sebagian besar adalah penduduk daerah yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan Konsultan perorangan adalah tenaga ahli yang mempunyai keahlian langka, khusus untuk melakukan pekerjaan jasa konsultasi penasihatan.50 c. Perencana atau Arsitek Arsitek adalah seseorang yang ahli dalam membuat rancangan bangunan dan yang memimpin konstruksinya.51 Pihak arsitek memegang peranan penting dalam suatu pembangunan proyek. Keterlibatan pihak arsitek dapat dipilah-pilah ke dalam tugasny pada masa pra kontrak dan pasca kontrak.52 Apabila pihak yang memborongkan adalah pemerintah, sedangkan pihak Perencana juga dari pemerintah (DPU), maka terjadi hubungan kedinasan. Tetapi jika pihak yang memborongkan dari pemerintah atau swasta yaitu Konsultan Perencana, maka hubungannya diatur dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal atau perjanjian pemberian kuasa tergantung tugas yang dilakukan oleh Konsultan Perencana. Adapun tugas Perencana adalah sebagai berikut:53 • Sebagai penasihat Dalam hal ini tugas dari Perencana adalah membuat rencana biaya dan gambar
bangunan
sesuai
dengan
pesanaan
dari
50
F.X. Djumialdji, op. cit., hal. 28.
51
Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 4, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hal. 57.
52
Munir Fuady, op. cit., hal. 20.
53
F.X. Djumialdji, op.cit., hal. 11.
pihak
yang
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
39
memborongkan. Hubungan antara pihak yang memborongkan pekerjaan dengan Perencana sebagai penasihat dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal. Dalam prakteknya, perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal disebut dengan istilah perjanjian perencana atau perjanjian pekerjaan perencana. • Sebagai wakil Dalam hal ini pihak Perencana bertindak sebagai pengawas, yang tugasnya antara lain mengawasi jalannya pelaksanaan pekerjaan. Hubungan antara pihak yang memborongkan pekerjaan dengan perencana sebagai wakilnya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUH Perdata). Sebagai seorang wakil atau pemegang kuasa, Perencana dapat diberhentikan sewaktu-waktu, hal ini tercantum dalam Pasal 1814 KUH Perdata. Perencana juga dapat menunjuk orang lain untuk mengawasi jalannya pelaksanaaan pekerjaan, dan hal ini dikatakan sebagai adanya substitusi. Mengenai hal substitusi ini dalam Pasal 1803 KUH Perdata menentukan sebagai berikut:54 “Si kuasa bertanggung jawab untuk orang yang telah ditunjuk oleh nya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya: 1) Jika ia tidak diberikan hak untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya. 2) Jika hak itu telah diberikan kepadanya tanpa pengikatan seorang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tak cakap atau tak mampu •
Pengawas atau Direksi Pengawas
atau
Direksi
bertugas
untuk
mengawasi
jalannya
pelaksanaan dari pekerjaan pemborongan. Dalam hal ini Pengawas atau Direksi dapat memberikan petunjuk-petunjuk, memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan yang ada, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya membuat penilaian dari pekerjaan. Di
54
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), op. cit., ps. 1803.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
40
samping itu, pada waktu pelelangan pekerjaan dilangsungkan, Pengawas atau Direksi bertugas sebagai panitia pelelangan. Ada pun tugas dari panitia pelelangan adalah: a. Mengadakan pengumuman pelelangan yang akan dilaksanakan b. Memberikan penjelasan mengenai Rencana Kerja dan SyaratSyarat (RKS) untuk pemborongan-pemborongan/ pembelian dan membuat berita acara penjelasan. c. Melaksanakan pembukuan surat penawaran dan membuat berita acara pembukuan surat penawaran. d. Mengadakan penilaian dan menetapkan calon pemenang serta membuat berita acara hasil pelelangan dan sebagainya.55 Hubungan antara Direksi dengan pihak yang memborongkan pekerjaan dituangkan dengan perjanjian pemberian kuasa seperti yang diatur pada Pasal 1792-1819 KUH Perdata.
2.2.5. Prosedur Perjanjian Pemborongan Dalam proses pemborongan pekerjaan terdapat kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan sebelum terjadinya perjanjian pemborongan. Kegiatan tersebut dapat dikatakan merupakan fase yang mendahului terjadinya perjanjian (precontractuale fase). Fase sebelum kontrak atau lazim disebut prosedur pelelangan, dapat terjadi jika pemborongan pekerjaan tersebut dilakukan melalui pelelangan, dimulai sejak adanya pemberitahuan atau pengumuman sampai dengan pelulusan dari pelelangan sebagai berikut:56 a. Pemberitahuan atau pengumuman secara umum atau secara terbatas tentang adanya pelelangan pekerjaan, disertai dengan penjelasan mengenai pekerjaan dan persyaratan-persyaratan pekerjaan. b. Penyaringan pemborong. c. Pemenuhan jaminan yang diwajibkan dalam pemborongan pekerjaan. d. Pelelangan dan pelulusan.
55
F.X. Djumialdji, op.cit., hal. 12.
56
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, op.cit., hal. 8.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
41
2.2.5.1. Pengumuman dan Pemberian Penjelasan Pengumuman tentang adanya pelelangan umum atau terbatas memuat petunjuk-petunjuk dimana bestek harus diambil, dimana penjelasan tentang pekerjaan akan disampaikan, yang memungkinkan adanya penambahan ataupun perubahan terhadap bestek yang telah disusun, dimana tempat lokasi proyek atau pekerjaan, dimana tempat pendaftaran dan batas waktu pendaftaran, dimana dan kapan saat pelelangan akan diadakan.57 Bestek adalah uraian tentang pekerjaan yang disertai gambar-gambar dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pekerjaan pemborongan tersebut.58 Pemborong yang berminat untuk melaksanakan pekerjaan tersebut setelah memenuhi persyaratan yang diwajibkan dapat mendaftarkan secara tertulis, yaitu dengan cara melakukan penawaran secara tertulis dengan mengingat batas waktu yang telah disebutkan dalam pengumuman, untuk kemudian ikut dalam pelelangan.
2.2.5.2. Penyaringan Pemborongan Pekerjaan Menurut teori, penyaringan pemborong terdiri atas:59 a) Kualifikasi yaitu penyaringan pemborong menurut kemampuannya dalam jangka waktu panjang, misalnya selama lima tahun. b) Prakualifikasi yaitu penyaringan pemborong menurut kemampuannya dalam jangka waktu pendek, yaitu kurang dari lima tahun. c) Klasifikasi yaitu penyaringan pemborong menurut spesialisasinya, seperti pemborong spesialisasi bidang kelistrikan, bidang perkapalan dan sebagainya. Di
Indonesia
penyaringan
pemborong
termasuk
ke
dalam
Prakualifikasi, sebab jangka waktunya kurang dari lima tahun yakni hanya
57
Ibid., hal. 9.
58
Ibid., hal. 10.
59
F.X. Djumialdji, op.cit., hal. 48.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
42
dalam jangka waktu tiga tahun.60 Sebelum ditentukan pemborong mana yang dipilih untuk mengerjakan proyek-proyek pemerintah, terlebih dahulu haruslah dilakukan prakualifikasi terhadap calon-calon pemborong yang ada. Perbuatan prakualifikasi ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dasar perusahaan, baik yang berbentuk badan hukum, maupun yang tidak berbentuk badan hukum di mana mereka mempunyai usaha pokok berupa pelaksanaan pekerjaan pemborongan, konsultasi, dan pengadaan barang/jasa lainnya.61 Prakualifikasi meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:62 a. Registrasi, yaitu pencatatan dan pendaftaran data, yang meliputi: •
data administrasi
•
data keuangan
•
data personalia
•
data peralatan
•
data perlengkapan
•
data pengalaman melakukan pekerjaan
b. Klasifikasi, adalah penggolongan perusahaan bidang, sub bidang dan lingkup pekerjaan. c. Kualifikasi, adalah penilaian serta penggolongan perusahaan menurut tingkat kemampuan dasarnya pada masing-masing bidang, sub bidang dan lingkup pekerjaannya.
Penentuan kualifikasi perusahaan pemborong dilakukan dengan memperhatikan:63 a) Kemampuan keuangan; b) Kemampuan personalia; c) Kemampuan peralatan; d) Kemampuan perusahaan. 60 61
Ibid. Munir Fuady, op. cit., hal. 173.
62
Ibid., hal. 49.
63
Ibid., hal. 14.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
43
Terhadap badan usaha yang telah melalui proses kualifikasi dan telah lulus kualifikasi untuk melakukan pekerjaan jasa pemborongan, konsultasi atau pengadaan barang/jasa tersebut disebut “Rekanan”. Para rekanan tersebut selanjutnya ditempatkan dalam suatu daftar yang disebut Daftar Rekanan Mampu (DRM). 64 DRM ini untuk bidang pemborongan akan berguna sebagai acuan persyaratan bagi peserta pelelangan terbatas yang bernilai di atas Rp. 5 juta dan acuan persyaratan bagi peserta pelelangan umum.65 Bagi para pemborong yang lulus prakualifikasi diberikan suatu sertifikat yang disebut Tanda Daftar Rekanan (TDR), yang merupakan prasyarat untuk mengikuti pelelangan dan penunjukan langsung.66
2.2.5.3. Pemenuhan Jaminan yang Disyaratkan dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Di dalam perjanjian pemborongan dikenal adanya 4 (empat) macam jaminan, yaitu:67 a. Bank Garansi/ Garansi Bank/ Jaminan Bank b. Surety Bond c. Jaminan Pemeliharaan/ Maintenance Bond d. Jaminan Pembangunan/ Bouw Garansi
Ad. a. Bank Garansi/ Garansi Bank/ Bouw Garansi Bank garansi merupakan salah satu bentuk dari perjanjian penanggungan (borgtocht). Pengertian borgtocht terdapat di dalam pasal 1820 KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu suatu perjanjian dimana seorang pihak
64
Munir Fuady, op.cit., hal. 174.
65
Ibid., hal. 17.
66
Ibid.
67
F.X. Djumialdji, op.cit., hal. 128.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
44
ketiga guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang, apabila orang ini tidak memenuhinya.68 Dalam Bank Garansi yang bertindak sebagai penanggung adalah Bank apabila si debitur wanprestasi. Sifat Bank Garansi adalah suatu perjanjian tambahan (accessoir), yaitu adanya tergantung pada perjanjian pokok. Dengan demikian Bank Garansi akan berakhir apabila perjanjian pokoknya berakhir.69 Macam-macam bank Garansi dalam Perjanjian Pemborongan: 1.Jaminan Penawaran/Jaminan Pelelangan/Bid Bond/Tender Bond 2.Jaminan Pelaksanaan/Performance Bond 3.Jaminan Uang Muka/Pre Payment Bond/Advance Payment Bond
Ad. b. Surety Bond Surety Bond adalah jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi kerugian yangmengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima jaminan apabila yang dijamin cidera janji (wanprestasi). Dengan demikian Surety Bond merupakan perjanjian tambahan dan bersifat accesoire terhadap perjanjian pokok, sama dengan sifat Garansi Bank.70 Di dalam sistem jaminan ini terdapat 3 (tiga) pihak yaitu: a. Obligee yaitu pihak yang berhak atas prestasi serta merupakan pihak yang dilindungi dengan jaminan Surety Bond terhadap suatu kerugian adalah instansi Pemberi Pekerjaan/ Pemilik Proyek/ Yang Memborongkan. b.Prinsipal yaitu pihak yang berwajib memberikan prestasi serta merupakan pihak yang dijamin dengan jaminan Surety Bond, adalah Pemborong. c. Surety Company yaitu pihak yang memberikan jaminan dalam bentuk Surety Bond adalah PT. Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Keputusan Menteri Keuangan No. 76/ KMK. 013/ 1992).71 Macam-macam Surety Bond dalam Perjanjian Pemborongan: • 68 69
Jaminan Penawaran/ Bid Bond/ Tender Bond
F.X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, op. cit., hal. 30. Ibid.
70
F.X. Djumialdji, Hukum Bangunan, op.cit., hal. 141.
71
F.X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, op.cit., hal. 40.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
45
•
Jaminan Pelaksanaan/ Performance Bond
•
Jaminan Pembayaran Uang Muka/ Advance Payment Bond
•
Jaminan Pemeliharaan/ Maintenance Bond
Ad. c. Jaminan Pemeliharaan Apabila pemborong telah menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian pemborongan, maka pemborong menyerahkan pekerjaannya dan pemborong menerima pembayarannya. Namun bagi pihak pemborong masih ada kewajiban-kewajiban untuk memelihara hasil pekerjaannya selama jangka waktu tertentu, yang dinamakan masa pemeliharaan. Jaminan pemeliharan merupakan sejumlah uang tertentu yakni sebesar 5% (lima persen) dari harga borongan yang digunakan untuk menjamin kerusakankerusakan pada pekerjaan tersebut selama jangka waktu tertentu. Apabila masa pemeliharaan sudah selesai, maka uang jaminan pemeliharaan tersebut dapat diambil oleh pemborong.72
Ad. d. Jaminan Pembangunan Dalam perjanjian pemborongan, pihak yang memborongkan/ pemberi tugas dapat mensyaratkan adanya pemborong peserta yang akan melanjutkan pekerjaan jika pemborong utama tidak menyelesaikan pekerjaannnya, misalnya karena pemborong utama meninggal dunia.73 Jaminan pembangunan dapat menguntungkan pihak yang memborongkan maupun pihak pemborong. Karena bagi pihak yang memborongkan tidak mengalami hambatan dalam melakukan pekerjaannya, sedangkan bagi pihak pemborong tidak perlu membayar ganti rugi jika tidak dapat melanjutkan pekerjaannya. Di dalam praktek, jaminan pembangunan ini jarang digunakan. Jaminan pembangunan ini merupakan jaminan yang baik karena dengan adanya jaminan ini dapat menghilangkan kemungkinan terbengkalainya suatu pekerjaan, yakni
72
Ibid., hal. 54.
73
Ibid., hal. 55.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
46
dengan adanya pihak yang akan meneruskan pekerjaannya, yaitu pemborong peserta sehingga pekerjaan akan selesai tepat pada waktunya.
2.2.5.4. Pelelangan dan Pelulusan Dalam hal pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya, dilakukan dengan metode pelelangan umum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Di dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 terdapat 4 (empat) metode dalam hal pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya yaitu: a) Pelelangan Umum adalah metoda pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat dunia usaha yang berminat dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. b) Pelelangan Terbatas adalah metoda pemilihan penyedia barang/jasa yang diumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi. c) Pemilihan Langsung adalah pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tanpa melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas yang dilakukan dengan membandingkan sebanyak-banyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawar dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi dan langsung dilakukan negosiasi baik teknis maupun harga. d) Pengadaan Langsung adalah pemilihan penyedia barang/jasa dengan penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negosiasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
47
Ukuran untuk menentukan pelulusan adalah penawaran yang paling menguntungkan bagi Negara dan yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai calon pemenang, dengan memperlihatkan keadaan umum dan keadaan pasar, baik untuk jangkan pendek atau jangka menengah.74 Dalam praktek pelaksanaan pelelangan, penentuan pelulusan pelelangan didasarkan atas penawaran yang terendah yang dapat dipertanggungjawabkan (the lowest responsible bid).75
2.2.6. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Perjanjian pemborongan pekerjaan di bidang konstruksi dapat berakhir dalam hal-hal sebagai berikut: a) Pekerjaan telah diselesaikan oleh pemborong setelah masa pemeliharaan selesai dan harga borongan telah dibayar oleh pemberi tugas. b) Pembatalan perjanjian atau pemecahan c) Menurut Pasal 1611 KUH Perdata disebutkan bahwa pihak yang memborongkan jika menghendaki boleh menghentikan pemborongannya, meskipun pekerjaan telah dimulai, asalkan ia memberikan ganti rugi sepenuhnya
kepada
pemborong
untuk
segala
biaya
yang
telah
dikeluarkannya guna pekerjaannya, serta untuk keuntungan yang terhilang karenanya. d) Kepailitan e) Pemutusan Perjanjian f) Hal ini disebabkan karena wanprestasi, untuk waktu yang akan datang. Dengan kata lain, pekerjaan yang belum dikerjakan diputuskan, namun mengenai pekerjaan yang telah dikerjakan akan tetap dibayar. g) Persetujuan kedua pihak h) Kematian pemborong Menurut Pasal 1612 KUH Perdata bahwa pekerjaan berhenti dengan meninggalnya si pemborong. Pemberi tugas harus membayar pekerjaan yang telah diselesaikan juga bahan-bahan yang telah disediakan. Tetapi masa 74
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, op.cit., hal. 32.
75
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
48
sekarang ini dengan perkembangan dunia usaha, pemborong umumnya adalah badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas. Dalam keadaan ini, perjanjian pemborongan tidak menjadi hapus dengan meninggalnya si pemborong yang merupakan pengurus badan hukum tersebut. Karena masih terdapat pengurus lain yang dapat dipertanggungjawabkan menyelesaikan pekerjaan itu. Menurut Pasal 35 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menyatakan bahwa: a) Penghentian kontrak dilakukan apabila terjadi hal-hal di luar kekuasaan kedua pihak untuk melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, yang disebabkan adanya keadaan memaksa (force majeur), seperti perang, huru hara atau bencana alam yang dinyatakan resmi oleh pemerintah, atau keadaan yang ditetapkan dalam kontrak; b) Pemutusan kontrak dapat dilakukan apabila para pihak wanprestasi dan/atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam kontrak; c) Kontrak batal demi hukum atau dibatalkan apabila para pihak terbukti melakukan kolusi, kecurangan dan/atau tindak pidana korupsi baik dalam proses pengadaan maupun pelaksanaan kontrak.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
BAB 3 TINJAUAN UMUM MENGENAI WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PADA UMUMNYA SERTA DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN BANGUNAN
3.1. Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi 3.1.1. Pengertian Wanprestasi Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.76 Klausula wanprestasi merupakan suatu hal yang penting untuk dicantumkan dalam suatu perjanjian. Prof. R. Subekti, SH, menguraikan arti dari kata wanprestasi sebagai berikut: “Apabila si berutang (Debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikan akan dilakukannya, maka dikatakan bahwa ia melakukan wanprestasi. Ia adalah alpa atau lalai atau bercidera janji. Atau juga ia melanggar perjanjian, yaitu apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.” Pengertian umum mengenai wanprestasi menurut Prof. R. Sardjono, SH : “Wanprestasi adalah suatu keadaan dimana si berutang tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk dilakukan atau melanggar perjanjian dalam hal diperjanjikan bahwa si Debitur tidak boleh melakukan sesuatu hal, sedangkan ia telah melakukannya”. Sedangkan Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, SH, merumuskan wanprestasi sebagai “ketiadaan suatu prestasi”, dimana prestasi yang dimaksudkan disini adalah prestasi dalam Hukum Perjanjian yang berarti sebagai suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Beliau juga memberikan istilah “ketiadaan pelaksanaan janji” untuk wanprestasi. Seorang Debitur yang lalai yang melakukan wanprestasi ini dapat digugat di muka Hakim dan Hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan kepada Tergugat itu.77 Akan tetapi karena wanprestasi (kelalaian) ini mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah
76
Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hal. 45.
77
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 26, (Jakarta: Intermasa, 1994), hal. 146.
49 Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
50
si Debitur (si berutang) itu melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka Hakim.78 Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia telah melakukan wanprestasi. Seseorang dianggap alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga melanggar perjanjian apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya.79 Namun tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan seorang pihak diwajibkan untuk melakukan sesuatu prestasi yang dijanjikan. Misalnya di dalam jual beli suatu barang, sering tidak ditetapkan kapan barang tersebut harus diantar ke rumah pembeli atau kapan si pembeli harus melakukan pembayaran atas pembelian barang itu. Atau dalam hal peminjaman uang, para pihak sering tidak menentukan kapan uang tersebut harus dikembalikan. Yang paling mudah untuk menetapkan bahwa seseorang melakukan wanprestasi adalah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar perjanjian.80 Sehingga Kreditur tidak perlu melakukan suatu penagihan atas prestasi, karena dengan tidak melakukan perbuatan yang dilarang maka Debitur telah melakukan wanprestasi. Sedangkan, mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika di dalam perjanjian itu tidak ditetapkan batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu
78
Ibid., hal. 45.
79
Ibid., hal. 28.
80
Ibid., hal. 46.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
51
yang ditentukan, pelaksanaan atas prestasi itu harus lebih dulu ditagih. Menurut Pasal 1238 KUH Perdata dinyatakan bahwa: “ Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Dari pasal tersebut mengandung makna yakni sebelum mengajukan gugatan wanprestasi seorang kreditur harus memberikan suatu peringatan atau somasi yang menyatakan bahwa debitur telah lalai dan agar memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Surat perintah yang dimaksud dalam Pasal 1238 KUH Perdata tersebut adalah suatu peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan. Perkataan akta sejenis itu sebenarnya oleh undang-undang dimaksudkan suatu peringatan tertulis.81 Menurut Prof.R. Wirjono Prodjodikoro, S.H, yang dimaksud dengan somasi adalah suatu penagihan (in gebreke stelling), yaitu suatu pemberitahuan oleh pihak yang berhak kepada pihak berwajib, bahwa pihak pertama ingin supaya pihak kedua melaksanakan janji, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu yang disebutkan dalam pemberitahuan itu. Apabila seorang debitur sudah diperingatkan atau sudah dengan tegas ditagih janjinya, maka jika tetap tidak melaksanakan prestasinya, ia berada dalam keadaan lalai atau alpa.82
3.1.2. Macam-Macam Wanprestasi Prof. R Subekti, S.H, membagi wanprestasi dalam 4 (empat) macam, yaitu: a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan; c. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.83 81
R.Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: PT. Intermasa, 2002), hal. 46.
82
Ibid., hal. 47.
83
Ibid.,hal. 45.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
52
Sedangkan menurut Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H, membagi wanprestasi dalam 3(tiga) macam, yaitu84: a) Pihak- berwajib sama sekali tidak melaksanakan janji Dalam hal ini jelas Debitur tidak mau melaksanakan prestasi perikatan yang telah disanggupinya untuk dilaksanakan. Debitur secara tegas menolak melakukan untuk melakukan prestasi yang telah diperjanjikannya kepada Kreditur. Dalam keadaan ini, pihak Kreditur dapat menuntut ganti rugi. b) Pihak- berwajib terlambat dalam melaksanakannya c) Dalam keadaan ini, Kreditur belum mengetahui secara pasti sikap dari si Debitur. Karena pada umumnya dalam suatu perjanjian, para pihak tidak menentukan jangka waktu prestasi harus dilaksanakan. Jika si Debitur terlambat melaksanakan prestasi perlu diberikan jangka waktu untuk memastikan pelaksanaan prestasi tersebut. Oleh karena itu diperlukan somasi yang menentukan kapan prestasi itu harus dilaksanakan. Akan tetapi bila Debitur tetap tidak melaksanakan prestasinya, maka ia dapat dinyatakan lalai, dimana pihak Kreditur dapat meminta ganti rugi. d) Pihak- berwajib melaksanakannya, tetapi tidak secara yang semestinya dan atau tidak sebaik-baiknya. Dalam hal ini, pendapat umum menyatakan bahwa keadaan ini adalah sama dengan Debitur tidak melaksanakan prestasi sama sekali. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan somasi.
3.1.3. Akibat Wanprestasi Di dalam Pasal 1267 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.”
84
R. Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung, 1981), hal. 44.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
53
Menurut pasal tersebut, pihak kreditur dapat menuntut si Debitur yang lalai dengan pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai dengan ganti rugi sesuai dengan perhitungan kerugian yang diderita oleh Kreditur dan bunga. Terhadap si Debitur yang lalai, terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh Kreditur, yaitu: •
Kreditur dapat meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan atas prestasi yang diperjanjikan sudah terlambat.
•
Kreditur dapat meminta penggantian kerugian saja, yakni kerugian yang diderita olehnya karena terlambat atau tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya.
•
Kreditur
dapat
menuntut
pelaksanaan
perjanjian
disertai
dengan
penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian. •
Kreditur dapat melakukan pembatalan perjanjian. Dalam halnya suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban bertimbal-balik, kelalaian dari satu pihak memberikan hak kepada pihak yang lainnya untuk meminta kepada Hakim supaya perjanjian dibatalkan, tuntutan mana juga dapat disertai dengan permintaan penggantian kerugian. Hak ini diberikan oleh Pasal 1266 KUH Perdata.85
Sedangkan hukuman atau akibat-akibat yang tidak enak bagi Debitur yang lalai, ada 4 (empat) macam, yaitu: a. Membayar kerugian yang diderita oleh Kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti rugi; b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; c. Peralihan risiko; d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.86
3.1.3.1. Ganti Rugi 85
R.Subekti, op. cit., hal. 147-148.
86
R. Subekti, op. cit., hal. 45.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
54
Ganti rugi adalah sanksi yang dijatuhkan seorang Debitur yang lalai dalam bentuk membayar sejumlah ganti rugi yang sebenarnya merupakan pengganti atas prestasi yang tidak dilaksanakannya sehingga menimbulkan kerugian pada pihak Kreditur. Ganti-rugi sering diperinci dalam 3 (tiga) unsur, yaitu87: a. Biaya, adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Misalnya jika seorang sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukan, kemudian pemain ini tidak datang sehingga pertunjukan dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan sewa gedung, sewa kursi, dan lain-lain. b. Rugi, adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan Kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si Debitur. Misalnya rumah yang baru diserahkan oleh pemborong, ambruk karena salah konstruksinya hingga merusakkan segala perabotan rumah. c. Bunga, adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (winstderving), yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh Kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembelian. Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh Undang-undang diberikan pembatasan mengenai apa yang dapat dituntut sebagai ganti rugi. Dalam hal ini Undang-undang memberikan perlindungan bagi si Debitur yang lalai terhadap tindakan Kreditur meminta ganti rugi. Seperti yang diatur dalam beberapa pasal dalam KUH Perdata sebagai berikut: -
Pasal 1247 KUH Perdata menyatakan: “Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang telah nyata, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.”
-
87
Pasal 1248 KUH Perdata menyatakan:
R. Subekti, op. cit., hal. 47.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
55
Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan.” Jadi, kita melihat, bahwa ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.88Apabila
prestasi
yang
harus
dilaksanakan
berupa
membayar sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh Kreditur apabila pembayaran itu terlambat adalah berupa interest, rente atau bunga.89 3.1.3.2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian merupakan sanksi kedua atas kelalaian Debitur, mungkin ada orang yang tidak dapat melihat sifatnya pembatalan atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman. Malahan dikiranya Debitur merasa lega dengan pembatalan perjanjian tersebut karena ia dibebaskan dari kewajiban melakukan prestasi. Memang ada kalanya pembatalan dirasakan sebagai suatu pembebasan, tetapi betapa beratnya pembatalan itu dirasakan.90 Misalnya seorang pengusaha catering telah menerima pesanan untuk sebuah pesta pernikahan, apabila pesanan itu dibatalkan sedangkan bahan-bahan untuk pesta itu telah dibeli, sungguh besar kerugian yang dideritanya. Pembatalan perjanjian bertujuan membawa kedua pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pokoknya perjanjian itu ditiadakan.91 Masalah
88
Ibid., hal. 48.
89
Ibid., hal. 49.
90
Ibid., hal. 49.
91
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
56
pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi dari pihak Debitur ini diatur dalam Pasal 1266 KUH Perdata yang menyatakan: “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuanpersetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.” Oleh Undang-undang kelalaian Debitur ini dipandang sebagai suatu syarat batal yang dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian. Dengan kata lain, dalam tiap perjanjian dianggap ada suatu janji (klausula) apabila salah satu pihak lalai memenuhi perjanjian, maka perjanjian dianggap batal. Namun, dalam hal demikian, perjanjian tidak dapat dibatalkan begitu saja. Kelalaian atau wanprestasi tidak secara otomatis
membuat
batal
atau
membatalkan
suatu
92
perjanjian. Pembatalan perjanjian itu harus diminta kepada Hakim. Putusan Hakim ini bersifat konstitutif yang artinya secara aktif membatalkan perjanjian tersebut. Hakim mempunyai kekuasaan discretionir, artinya kekuasaan untuk menilai besar kecilnya kelalaian Debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan perjanjian yang mungkin menimpa si Debitur itu.93 Kalau oleh Hakim menimbang kelalaian Debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa kerugian yang terlalu besar bagi Debitur, maka permohonan untuk membatalkan perjanjian akan ditolak oleh Hakim. Dapat juga dikatakan, bahwa menuntut pembatalan hanya berdasarkan suatu kesalahan kecil saja, adalah suatu sikap yang bertentangan dengan norma yang mengharuskan pelaksanaan suatu perjanjian dengan itikad baik.94
3.1.3.3. Peralihan Resiko Peralihan resiko merupakan sanksi ketiga atas kelalaian seorang Debitur, dinyatakan dalam Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata:
92
Ibid., hal. 50.
93
Ibid.,hal. 51.
94
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
57
“Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.” Yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi obyek perjanjian.95 Ini berarti meskipun barang yang menjadi obyek perjanjian tersebut musnah diluar kesalahan pihak Debitur, ia tetap harus membayar ganti kerugian kepada pihak Kreditur karena hal itu terjadi pada waktu Debitur melakukan wanprestasi. Mengenai peralihan resiko diatur dalam Pasal 1460 KUH Perdata, yang berbunyi: “Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya.” Maka, menurut pasal tersebut, resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko tersebut dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, resiko itu beralih kepada dirinya.96
3.1.3.4. Membayar Biaya Perkara Mengenai persoalan pembayaran biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi Debitur yang lalai, terdapat dalam adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat (1) H.I.R.).97
95
Ibid., hal. 52.
96
Ibid.,hal.52.
97
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
58
Seorang Debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau samapai terjadi suatu perkara di depan Hakim.98 Pihak Debitur yang dikalahkan dengan keputusan Hakim itulah yang menanggung biaya perkara itu, disamping juga mengganti kerugian kepada pihak Kreditur atas wanprestasi yang dilakukannya. Maka, dapat disimpulkan, terhadap wanprestasi yang dilakukan oleh Debitur, pihak Kreditur dapat memilih antara tuntutan-tuntutan sebagai berikut: a.
Pemenuhan perjanjian
b.
Pemenuhan perjanjian disertai ganti-rugi
c.
Ganti-rugi saja
d.
Pembatalan perjanjian
e.
Pembatalan disertai ganti-rugi.99 Seorang Debitur yang dituduh lalai dan dimintakan terhadapnya
dilakukan hukuman atas kelalaiannya itu, dapat membela dirinya dengan memajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan diri dari hukuman-hukaman itu. Pembelaan Debitur tersebut ada 3 (tiga) macam, yaitu:100 a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur); Dengan mengajukan pembelaan ini, Debitur berusaha menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang diperjanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi, sehingga ia tidak dapat menepati kewajibannya. Tidak dapat direalisirnya perjanjian otu bukan karena ia alpa, tetapi
98
Ibid.
99
Ibid., hal. 53.
100
Ibid., hal. 55.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
59
memang ia telah berusaha untuk menepati kewajibannya namun tidak berhasil.101 Mengenai keadaan memaksa diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata. Kedua pasal tersebut mengatur hal yang sama, yaitu dibebaskannya Debitur dari kewajiban mengganti kerugian, karena suatu kejadian yang dinamakan keadaan memaksa. Debitur wajib membuktikan tentang terjadinya hal yang tak dapat diduga dan tak dapat
dipertanggungjawabkan
kepadanya,
yang
menyebabkan
perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan.102 b. Mengajukan bahwa si berpiutang (Kreditur) sendiri juga telah lalai (exception non adimpleti contractus) Seorang Debitur yang dituduh telah melakukan wanprestasi dapat mengajukan pembelaan bahwa pihak Kreditur juga telah lalai, Kreditur tidak menepati janjinya. Dalam setiap perjanjian bertimbal balik, dianggap ada suatu asas bahwa kedua pihak harus sama-sama melakukan kewajibannya.103 c. Mengajukan bahwa Kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak atau rechtsverwerking) Pelepasan
hak
ini
merupakan
alasan
ketiga
yang
dapat
membebaskan Debitur yang dituduh lalai dari kewajiban mengganti kerugian dan pula memberikan alasan untuk menolak pembatalan perjanjian. Pelepasan hak ini dimaksudkan suatu sikap pihak Kreditur dari mana pihak Debitur boleh menyimpulkan bahwa Kreditur itu sudah tidak akan menuntut ganti rugi.104 Misalnya si pembeli meskipun barang yang diterimanya tidak memenuhi kualitas atau mengandung cacat
yang
tersembunyi,
tidak
menegur
si
penjual
atau
mengembalikan barangnya, tetapi barang itu dipakainya. Atau 101
Ibid., hal. 55.
102
Ibid., hal. 56.
103
Ibid., hal. 57.
104
Ibid., hal. 58.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
60
Kreditur memesan barang seperti itu lagi. Dari sikapnya yang seperti itu, dapat disimpulkan bahwa barang tersebut sudah memuaskan si pembeli. Jika kemudian si Kreditur menuntut ganti rugi atau pembatalan perjanjian, maka tuntutan itu sudah selayaknya tidak diterima oleh Hakim.105
3.2. Tinjauan Mengenai Wanprestasi dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Bangunan 3.2.1. Wanprestasi dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Bangunan Rencana pembangunan suatu proyek yang dituangkan dalam kontrak konstruksi tentu tidak selamanya tercapai. Banyak hal yang dipengaruhi oleh kehendak manusia atau di luar kehendak manusia yang mempengaruhi jalannya suatu kontrak konstruksi yang dapat menyebabkan rencana tersebut berubah atau bahkan dibatalkan. 106 Dalam
melaksanakan
pekerjaan
pemborongan
bangunan
terdapat
kemungkinan timbulnya wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak dalam perjanjian. Dalam keadaan yang demikian berlakulah ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi yang timbul akibat wanprestasi, yaitu kemungkinan pemutusan perjanjian, pengganti kerugian atau pemenuhan. Menurut Pasal 35 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang
Pedoman
Pelaksanaan
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah
dinyatakan bahwa pemutusan kontrak dapat dilakukan apabila para pihak: a. cidera janji dan/atau b. tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur di dalam kontrak. Menurut Departemen Pekerjaan Umum penghentian dan pemutusan kontrak dapat dilakukan karena: a. pekerjaan sudah selesai;
105
Ibid.
106
Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, cet. I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 202.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
61
b.terjadinya hal-hal diluar kekuasaan (keadaan kahar) kedua belah pihak sehingga para pihak tidak dapat melaksanakan kewajiban yang ditentukan di dalam dokumen kontrak; c. Bilamana penyedia jasa cidera janji atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur di dalam kontrak; d.Bilamana para pihak terbukti melakukan kolusi, kecurangan atau tindak korupsi baik dalam proses pelelangan maupun pelaksanaan pekerjaan.107 Dalam hal pemutusan kontrak konstruksi, dapat dilakukan oleh dua pihak, yaitu: 1. Pemutusan oleh pihak Bouwheer/pengguna barang/jasa Jika dalam kontrak konstruksi pihak bouwheer/pengguna barang/jasa yang memutuskan kontrak, maka seringkali kejadian yang menjadi dasar hukum untuk dapat memutuskan kontrak tersebut adalah sebagai berikut: a. Kegagalan kontraktor/penyedia barang/jasa untuk mengerjakan tugasnya; Secara hukum pihak bouwheer berhak memutuskan kontrak konstruksi apabila kontraktor gagal mengerjakan tugasnya. Akan tetapi sebaiknya dan biasanya diperinci kegagalan apa saja dari pihak kontraktor yang memungkinkan pihak bouwheer dapat memutuskan kontrak. Bergantung ketentuan dalam kontrak bagaimana cara pemutusan kontrak konstruksi tersebut.108 Biasanya ditempuh salah satu di antara dua cara sebagai berikut: -
Kontrak dapat langsung diputuskan oleh pihak pengguna barang/jasa jika ada alasan untuk itu. Pemutusan kontrak karena alasan kepailitan tidak memerlukan peringatan sama sekali.
-
Kontrak diputuskan setelah ada dua kali peringatan (notice) dan biasanya juga disyaratkan bahwa pemutusan tersebut dilakukan secara tertulis.
b.
Pelanggaran pembatasan pengalihan kontrak/subkontrak;
107
Berdasarkan hasil wawancara dengan Eko Priyatmoko (Sub Project Manager Muara TembeiBatas sarko-Sarolangun) pada tanggal 12 November 2008. 108
Ibid.,hal. 204.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
62
Dapat ditentukan bahwa jika pihak kontraktor mengalihkan atau mengsubkontrakkan pekerjaan secara tidak sesuai dengan kontrak, maka biasanya kepada pihak pengguna barang/jasa diberikan hak untuk
melakukan
bersangkutan. c.
terminasi(memutuskan)
kontrak
yang
109
Kepailitan dan/atau likuidasi dari kontraktor; Pemutusan kontrak karena alasan kepailitan dan/atau likuidasi ini dalam banyak hal berlaku ketentuan perundang-undangan yang bersifat hukum memaksa (mandatory rule). Dalam keadaan ini, biasanya kontrak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk memutuskan kontrak tersebut.110
Menurut Pasal 35 ayat (4) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, apabila pemutusan kontrak disebabkan karena kesalahan pengguna barang/jasa, maka terhadapnya dapat dikenakan sanksi yang berupa kewajiban untuk
mengganti kerugian yang menimpa penyedia
barang/jasa/kontraktor sesuai yang ditetapkan di dalam kontrak dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pemutusan oleh penyedia jasa barang/jasa /kontraktor Selain dari pihak bouwheer, maka pihak kontraktor dapat juga memutuskan suatu kontrak konstruksi, yang lazimnya dilakukan dalam hal-hal sebagi berikut: a. Pihak bouwheer gagal melaksanakan kewajibannya Pihak pengguna barang/jasa mempunyai kewajiban pokok berupa melakukan pembayaran kepada pihak kontraktor. Tetapi di samping kewajiban pokok tersebut, pihak bouwheer mempunyai kewajiban lain yang berkenaan dengan dengan penyediaan peralatan dan material, dan lain sebagainya. Kegagalan dalam melaksanakan tugas tersebut, dapat memberi hak kepada pihak kontraktor untuk memutuskan kontrak yang sedang berlangsung. 109
Ibid., hal. 206
110
Ibid., hal. 207.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
63
b. Kepailitan dan/atau likuidasi dari pihak bouwheer Pihak kontraktor juga diberikan hak untuk memutuskan kontrak jika pihak pengguna barang/jasa dalam keadaan kepailitan, likuidasi, reorganisasi dan sebagainya.111 Menurut Pasal 35 ayat (3), pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian pihak penyedia barang/jasa/kontraktor dikenakan sanksi sesuai yang ditetapkan dalam kontrak, yaitu: a. jaminan pelaksanaan menjadi milik negara; b.sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia barang/jasa; c. membayar denda/ganti rugi kepada negara; d.pengenaan daftar hitam untuk jangka waktu tertentu. Jika pemborong tidak dapat menyelesaikan pekerjaan menurut waktu yang diterapkan atau atau menyerahkan pekerjaan dengan tidak baik, maka atas gugatan dari pihak yang memborongkan, Hakim dapat memutuskan perjanjian tersebut sebagian atau seluruhnya beserta segala akibatnya. Yang dimaksud dengan akibat pemutusan perjanjian di sini ialah pemutusan untuk waktu yang akan datang, dalam arti bahwa mengenai pekerjaan yang telah diselesaikan/dikerjakan akan tetap dibayar, namun mengenai pekerjaan yang belum dikerjakan itu yang diputuskan.112 Jika terjadi pemutusan perjanjian, si pemborong selain wajib membayar denda-denda yang telah diperjanjikan juga wajib membayar kerugian yang berupa ongkos-ongkos (biaya), kerugian yang diderita, dan bunga yang harus dibayar. Dalam hal terjadi wanprestasi oleh pemborong, di dalam AV dikatakan bahwa
pengguna
tegoran/penagihan
barang/jasa agar
terlebih
pemborong
dulu
memenuhi
memberikan kewajibannya
sebagaimana diperjanjikan dalam jangka waktu yang layak yang diberikan. Jika setelah adanya tegoran tersebut pemborong tetap
111
Ibid., hal.208.
112
Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan, cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hal. 82-83.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
64
mengabaikan peringatan tersebut, maka pemborong dianggap lalai dan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada si pemborong, perjanjian dapat
langsung
diputuskan
tanpa
perantaraan
pengadilan.
Jadi
menyimpang dari ketentuan pasal 1266 KUH Perdata, dimana pemutusan perjanjian karena wanprestasi disyaratkan dengan keputusan Hakim. Dalam praktek perjanjian pemborongan jika terjadi wanprestasi dari pihak pemborong setelah memberikan peringatan tertulis kepada pemborong dan pemborong tetap lalai, maka pengguna barang/jasa dapat menyuruh orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan pemborongan tersebut atas biaya/anggaran yang dipikul oleh pemborong atau yang sedianya diterima oleh pemborong.113 3.2.2. Overmacht atau Force Majeure dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Bangunan Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, yang dimaksud dengan Keadaan Kahar (Overmacht/Force Majeure) adalah suatu keadaan yang terjadi diluar kehendak para pihak sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi. Di dalam suatu perjanjian pemborongan pekerjaan yang dianggap sebagai overmacht atau force majeure adalah: a. Bencana alam, seperti tanah longsor, gempa bumi, banjir. b. Kebakaran c. Perang, huru hara, pemogokan, epidemi, pemberontakan.114 Menurut Pasal 35 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang dimaksud dengan keadaan kahar (overmacht/force mejeure) adalah: a. perang, b. pemberontakan, c. perang saudara, d. kekacauan dan huru hara, 113
Ibid., hal. 84.
114
F.X. Djumialdji, Hukum Bangunan, cet. I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), hal. 18.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
65
e. bencana alam yang dinyatakan resmi oleh pemerintah. Berdasarkan Pasal 37 ayat (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, yang digolongkan keadaan kahar adalah: a. peperangan, b. kerusuhan, c. revolusi, d. bencana alam, seperti banjir, gempa bumi, badai, gunung meletus, tanah longsor, wabah penyakit, dan angin topan, e. pemogokan, f. kebakaran, g. gangguan industri lainnya. Akibat dari overmacht atau force majeure adalah adanya masalah resiko artinya siapakah yang menanggung kerugian.115 Di dalam praktek, biasanya yang menanggung kerugian akibat terjadinya keadaan kahar ditentukan berdasarkan kesepakatan di antara para pihak dalam perjanjian pemborongan pekerjaan itu.116 Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 37 ayat (5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi yang menyebutkan bahwa “Tindakan yang diambil untuk mengatasi terjadinya keadaan kahar, ditentukan berdasar kesepakatan dari para pihak.” Penyedia jasa memiliki kewajiban untuk memberitahukan mengenai terjadinya keadaan kahar kepada Pengguna jasa, maksimal dalam tempo 14 (empat belas) hari setelah keadaan kahar terjadi. Mengenai hal ini telah tercantum di dalam Pasal 37 ayat (6) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi. Dalam hal keadaan kahar, Pengguna Barang/Jasa dapat memberikan perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan kepada Penyedia Barang/Jasa.
115
Ibid., hal. 17.
116
Berdasarkan wawancara dengan bapak Adrinanda Kasubdit PU Provinsi Papua pada tanggal 22 Desember 2008 pukul 13.20 WIB.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
66
Hal ini tercantum dalam Pasal 34 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi. Namun, perpanjangan waktu tersebut sama dengan waktu selama tidak dapat melaksanakan pekerjaan akibat keadaan kahar.117
3.2.3. Keterlambatan
dalam
Penyelesaian
Pekerjaan
Pemborongan
Pekerjaan Terdapat berbagai permasalahan yang dapat timbul dalam suatu perjanjian pemborongan pekerjaan bangunan/jasa.
Salah satunya terlambatnya
penyelesaian pekerjaan bangunan/jasa akibat kelalaian Penyedia Barang/Jasa atau Pengguna Barang/Jasa. Berdasarkan Pasal 37 ayat (1), apabila keterlambatan penyelesaian pekerjaan akibat dari lalainya Penyedia Barang/jasa, maka Penyedia Barang/jasa yang bersangkutan dikenakan denda keterlambatan sekurang-kurangnya 1%o (satu perseribu) per hari dari nilai kontrak. Berdasarkan Pasal 37 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang
Pedoman
keterlambatan
Pelaksanaan
penyelesaian
Pengadaan
Barang/Jasa,
pekerjaan/pembayaran
karena
apabila kelalaian
Penguna Barang/Jasa, maka Pengguna Barang/Jasa membayar kerugian yang ditanggung Penyedia Barang/Jasa akibat keterlambat dimaksud, yang besarannya ditetapkan dalam kontrak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Pasal 32 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, Penyedia Barang/Jasa yang terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai jadual dalam perjanjian, akan diberikan peringatan tertulis oleh Pengguna Barang/Jasa atau dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis. Dalam Pasal 33 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, suatu kontrak dinyatakan kritis apabila: 117
Berdasarkan wawancara dengan bapak Adrinanda Kasubdit PU Provinsi Papua pada tanggal 22 Desember 2008 pukul 13.20 WIB.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
67
a. Dalam periode I (rencana fisik pelaksanaan 0%-70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana; b. Dalam periode II (rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana. c. Rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan.
3.2.4. Cara Penyelesaian Perselisihan Wanprestasi dalam Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Bangunan Sengketa konstruksi timbul karena salah satu pihak telah melakukan tindakan cidera janji (wanprestasi). Sengketa konstruksi dapat terjadi karena adanya keterlambatan pembayaran, kelambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidakmampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Atau dapat pula disebabkan Pengguna Barang/Jasa tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan tidak memiliki dukungan pendanaan yang cukup.118 Penyelesaian sengketa konstruksi atau perselisihan kontrak konstruksi merupakan kerangka untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pengguna barang/jasa dengan penyedia barang/jasa. Hal itu disebabkan karena salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya.119 Di dalam perjanjian pemborongan biasanya perselisihan terdiri atas: a) Perselisihan dalam bidang teknis b) Perselisihan dalam bidang yuridis atau hukum.120 Bagi perselisihan dalam bidang hukum atau yuridis, diselesaikan secara musyawarah
antara
pihak
pengguna
barang/jasa
dengan
penyedia
barang/jasa/kontraktor. Apabila musyawarah tidak tercapai maka akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri setempat atau dipilih oleh kedua 118
Nazarkhan Yasin, Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi, cet. 2, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), hal. 83.
119
Salim H.S.,S.H., M.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, cet. 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 120.
120
F.X. Djumialdji, op. cit., hal. 19.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
68
pihak.121 Ada kalanya perselisihan dalam perjanjian pemborongan tidak terbagi atas dua macam perselisihan, maka penyelesaian perselisihan dengan cara musyawarah antara para pihak. Apabila tidak tercapai kata sepakat, maka perselisihan diselesaikan dengan arbitrase. Selanjutnya apabila tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase maka perselisihan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri.122 Di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jasa konstruksi dan kontrak yang dibuat oleh para pihak telah ditentukan cara penyelesaian sengketa yang muncul di antara mereka. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi diatur dalam Pasal 36 sampai Pasal 37 UndangUndang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, Pasal 49 sampai Pasal 54
Peraturan
Pemerintah
Nomor
29 Tahun
1999
tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan juga di dalam Pasal 38 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat dibagi menjadi 2 (dua) cara, yaitu: a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan b. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan.123 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah cara penyelesaian sengketa
antara
pengguna
barang/jasa
dengan
penyedia
barang/jasa/kontraktor dengan memilih penyelesaian melalui pengadilan. Putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan bersifat mengikat. Artinya, putusan itu dapat dipaksakan pelaksanaannya. Apabila salah satu pihak tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela maka pengadilan dapat melaksanakan eksekusi terhadap isi putusan dengan cara paksa.124 Dalam hal pilihan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan, prosedur dan prosesnya 121
Ibid., hal. 20.
122
Ibid.
123
Salim H.S.,S.H., M.S, op. cit., hal. 121.
124
Ibid., hal. 122.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
69
mengikuti ketentuan-ketentuan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata).125 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau lazim disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak.126 Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan Pasal 38 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: a. melalui pihak ketiga, yaitu mediasi (yang ditunjuk oleh para pihak atau oleh lembaga arbitrase dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa) dan konsiliasi. b. arbitrase melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Dengan demikian, bahwa penyelesaian sengketa konstruksi melalui lembaga di luar pengadilan dapat dilakukan dengan cara: a) Mediasi; Menurut penjelasan Pasal 38 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang dimaksud dengan mediasi adalah metode penyelesaian sengketa yang diselesaikan oleh suatu panitia pendamai yang berfungsi sebagai wasit dibentuk dan diangkat oleh kedua belah pihak, yang terdiri dari anggota mewakili pihak pertama dan pihak kedua dan ketua yang disetujui oleh kedua belah pihak. Keputusan panitia pendamai mengikat kedua belah pihak dan biaya penyelesaian perselisihan yang dikeluarkan ditanggung secara bersama. b) Konsiliasi; Konsiliasi adalah suatu upaya untuk mendamaikan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa terhadap sengketa yang timbul di bidang jasa
125
Nazarkhan Yasin, op. cit., hal. 84.
126
Salim H.S.,S.H., M.S, op. cit., hal. 121.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
70
konstruksi.127 Menurut Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000, penyelesaian sengketa dengan konsiliasi dilakukan dengan bantuan seorang konsiliator yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak dan harus mempunyai sertifikat keahlian yang ditetapkan oleh lembaga. Konsiliator mempunyai tugas untuk menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika rumusan tersebut disetujui oleh para pihak, maka solusi yang dibuat konsiliator menjadi rumusan pemecahan masalah. Rumusan tersebut selanjutnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Kesepakatan tersebut bersifat final dan mengikat bagi para pihak dan dilaksanakan dengan itikad baik.128 c) Arbitrase. Menurut penjelasan Pasal 38 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian tertulis itu dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa. Dalam praktiknya bahwa para pihak yang megadakan kontrak konstruksi telah mencantumkan cara penyelesaian sengketa yang muncul di antara mereka di dalam kontrak konstruksi tersebut, disebut dengan klausula arbitrase.129 Keanggotaan dalam arbitrase ini terdiri dari seorang wakil dari Pihak Pertama (Pengguna Barang/Jasa) sebagai anggota, seorang wakil dari Pihak Kedua (Penyedia Barang/Jasa), seorang ahli sebagai Ketua, yang pengangkatannya disetujui oleh pengguna barang/jasa dan penyedia barang/jasa.130
127
Salim H.S.,S.H., M.S, op. cit., hal. 123.
128
Ibid., hal. 124.
129
Ibid.
130
Ibid.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009
71
Pilihan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan kurang disukai dan diminati
untuk
menyelesaikan
sengketa
konstruksi
dikarenakan
membutuhkan waktu yang sangat lama (bertahun-tahun), biaya yang tidak sedikit dan sifatnya terbuka untuk umum. Pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase cenderung lebih disukai oleh para pihak.131
131
Nazarkhan Yasin, op. cit., hal. 89.
Universitas Indonesia Wanprestasi dalam..., Fauziah Fitri Iskana Pane, FHUI, 2009