BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Persepsi 1.1 Definisi Persepsi merupakan keseluruhan proses mulai dari stimulus (rangsangan) yang diterima pancaindera (hal ini dinamakan sensasi), kemudian stimulus diantar ke otak dimana ia didekode serta diartikan dan selanjutnya mengakibatkan pengalaman
yang
disadari
(Maramis,
2006).
Persepsi
adalah
proses
pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu (Walgito, 2001 dalam Sunaryo, 2002). Secara umum, persepsi adalah proses mengamati dunia luar yang mencakup perhatian, pemahaman, dan pengenalan objek-objek atau peristiwa. Biasanya persepsi diorganisasikan kedalam bentuk (figure), dasar (ground), garis bentuk (garis luar, kontur) dan kejelasan (Pieter & Lubis, 2010). Persepsi dapat diartikan juga sebagai proses diterimanya rangsang melalui pancaindra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada di luar maupun dalam diri individu (Sunaryo, 2002). Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Terus-menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya (Slameto, 2004).
Universitas Sumatera Utara
1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Secara umum, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang yaitu : (1) Minat, adalah semakin tinggi minat seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa, maka semakin tinggi juga minatnya dalam memersepsikan objek atau peristiwa. (2) Kepentingan, adalah semakin dirasakan penting terhadap suatu objek atau peristiwa tersebut bagi diri seseorang, maka semakin peka dia terhadap objek-objek persepsinya. (3) Kebiasaan, adalah objek atau peristiwa semakin sering dirasakan seseorang, maka semakin terbiasa dirinya di dalam membentuk persepsi. (4) Konstansi, adalah adanya kecenderungan seseorang untuk selalu melihat objek atau kejadian secara konstan sekalipun sebenarnya itu bervariasi dalam bentuk, ukuran, warna dan kecemerlangan (Pieter & Lubis, 2010). Menurut Siagian (1995), faktor- faktor persepsi seseorang menyebabkan mengapa dua orang yang melihat sesuatu mungkin memberi interpetasi yang berbeda tentang yang dilihatnya itu, yaitu (a) diri orang yang bersangkutan sendiri. Apabila seseorang melihat sesuatu dan berusaha memberikan interpretasi tentang apa yang sedang dilihanya itu, ia dipengaruhi oleh karakteristik individual yang turut berpengaruh seperti sikap, motif, kepentingan, minat, pengalaman dan harapan. (b) Sasaran persepsi tersebut. sasaran itu mungkin berupa orang, benda atau peristiwa. (c) Faktor situasi. Perhatikan secara kontekstual yang berarti disituasi mana persepsi itu timbul perlu mendapat perhatian.
Universitas Sumatera Utara
1.3 Proses Terjadinya Persepsi Suatu individu dapat menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang keadaan diri individu yang bersangkutan dengan persepsinya (self perception). Menurut Sunaryo (2002) syarat untuk mengadakan persepsi perlu adanya proses fisik, fisiologis dan psikologis. Persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu stimulus berasal dari luar individu (langsung mengenai alat indra/reseptor) dan dari dalam diri individu (langsung mengenai saraf sensoris yang bekerja sebagai reseptor). Kemudian dengan diterimanya stimulus oleh reseptor, lalu diteruskan ke otak atau pusat saraf yang di koordinasikan dan diinterpretasikan sebagai proses psikologis. Lalu pada akhirnya suatu individu menyadari tentang apa yang dilihat dan didengarnya.
1.4 Indikator Persepsi Menurut Bimo Walgito (1990), persepsi memiliki indikator-indikator sebagai berikut: 1.4.1
Penyerapan terhadap rangsang atau objek dari luar individu Rangsang atau objek tersebut diserap atau diterima oleh panca indera, baik
penglihatan, pendengaran, peraba, pencium, dan pencecap secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dari hasil penyerapan atau penerimaan oleh alat-alat indera tersebut akan mendapatkan gambaran, tanggapan, atau kesan di dalam otak. Gambaran tersebut dapat tunggal maupun jamak, tergantung objek persepsi yang diamati. Di dalam otak terkumpul gambaran-gambaran atau kesan-kesan, baik
Universitas Sumatera Utara
yang lama maupun yang baru saja terbentuk. Jelas tidaknya gambaran tersebut tergantung dari jelas tidaknya rangsang, normalitas alat indera dan waktu, baru saja atau sudah lama.
1.4.2 Pengertian atau Pemahaman Setelah terjadi gambaran-gambaran atau kesan-kesan didalam otak, maka gambaran tersebut diorganisir, digolongkan (diklasifikasi), dibandingkan, diinterpretasi, sehingga terbentuk pengertian atau pemahaman. Proses terjadinya pengertian atau pemahaman tersebut sangat unik dan cepat. Pengertian yang terbentuk tergantung juga pada gambaran-gambaran lama yang telah dimiliki individu sebelumnya (apersepsi).
1.4.3 Penilaian atau Evaluasi Setelah terbentuk pengertian atau pemahaman, terjadilah penilaian dari individu. Individu membandingkan penge rtian atau pemahaman yang baru diperoleh tersebut dengan kriteria atau norma yang dimiliki individu secara subjektif. Penilaian individu berbeda-beda meskipun objeknya sama. Oleh karena itu persepsi bersifat individual.
2.
Luka Diabetik
2.1 Defenisi Luka diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan
Universitas Sumatera Utara
neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Misnadiarly, 2006 dalam Purwanti, 2013) Luka diabetik (diabetic ulcer) seringkali disebut diabetic foot ulcer, luka neuropati, luka diabetik neuropati merupakan beban sosial dan ekonomi bukan hanya bagi sistem pelayanan kesehatan di Indonesia dan Internasional, tetapi bagi pasien dan keluarganya. (Maryunani, 2013). Neuropati perifer/ luka kaki diabetik adalah suatu komplikasi kronik dari diabetes dimana syaraf-sayaraf telah mengalami kerusakan sehingga kaki pasien menjadi baal (tidak merasakan sensasi) dan tidak merasakan adanya tekanan, injuri/trauma atau infeksi. (Genna, 2003 dalam Maryunani, 2013). Luka kaki diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang melibatkan gangguan pada saraf periferal dan autonomik. Kerusakan pada syaraf ini akan menyebabkan penderita kehilangan sensasi nyeri yang dapat mengenai sebagian atau keseluruhan pada kaki yang terlibat (Suriadi, 2004). Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai bawah (Boulton, Kirsner, & Vileykite, 2004 dalam Decroli dkk, 2008).
Masalah pada kaki diabetik misalnya ulserasi, infeksi dan gangren, merupakan penyebab umum perawatan di rumah sakit bagi para penderita diabetes. Perawatan rutin luka, pengobatan infeksi, amputasi dan perawatan di rumah sakit membutuhkan biaya yang sangat besar tiap tahun dan menjadi beban
Universitas Sumatera Utara
yang sangat besar dalam sistem pemeliharaan kesehatan (Kruse & Edelman, 2006 dalam Hariani & Perdanakusuma, 2012).
2.2 Patofisiologi Salah satu akibat komplikasi kronik atau jangka panjang diabetes mellitus adalah luka diabetik. Luka diabetik disebabkan adanya tiga faktor yang sering disebut Trias yaitu Neuropati perifer, insufisiensi vaskuler (iskemia) dan Infeksi. Bagi pasien-pasien dengan neuropati perifer, pengurangan maupun hilangnya sensasi nyeri pada kaki dapat menyebabkan tidak diperhatikannya trauma akibat pemakaian sepatu dan kuku jari kaki yang cacat. Trauma berulang, khususnya tekanan yang berkepanjangan, dapat menyebabkan ulserasi pada telapak kaki, terutama dibawah kaput tulang metatarsal pertama, diatas pembengkakan pada jari yang membesar dan diatas tonjolan tulang jari kaki (Morison, 2004). Pada pasien yang mengalami “Peripheral vascular disease” akan menyebabkan kerusakan pada saraf yang berdampak pada sistem saraf otonom yang mengontrol fungsi otot-otot halus kelenjar dan organ viceral yang mempengaruhi perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah. Kejadian itu membuat kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer dan atau untuk kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek otonomi neuropati ini akan membuat kulit menjadi kering dan mudah rusak, sukar sembuh dan menimbulkan infeksi serta gangren. Dampak lainnya yaitu mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
pada saraf sensori dan sistem motor yang menyebabkan hilangnya sensasi rasa nyeri, tekanan dan temperatur (Suriadi, 2004).
2.3 Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Luka Diabetik Mengenal faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan timbulnya luka pada kaki diabetik, merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk upaya pencegahan. Salah satu faktor risiko yang sangat berperan adalah lamanya menyandang penyakit diabetes mellitus, yang juga berperan atas timbulnya berbagai komplikasi kronis lain seperti pada mata, jantung, ginjal, saluran pencernaan, organ genital dll. Faktor-faktor lain penyebab lukadan amputasi pada luka diabetik adalah gangguan saraf, kelainan bentuk kaki, peningkatan tekanan/beban pada kaki, kelainan tulang-tulang kaki, gangguan pembuluh darah, riwayat luka pada kaki, kelainan pertumbuhan kuku, tingkat pendidikan dan lingkungan sosial, pemakain sepatu yang tidak sesuai (Em Yunir, 2006). Pemeriksaan kaki dan pelajaran tentang perawatan kaki merupakan bahan yang paling penting untuk dibicarakan ketika menghadapi pasien yang beresiko tinggi mengalami infeksi kaki, yaitu (a) Lama penyakit diabetes melebihi 10 tahun (b) usia pasien yang lebih dari 40 tahun (c) riwayat penyakit (d) penurunan nadi perifer (e) penurunan sensibilitas (f) deformitas anatomis atau bagian yang menonjol (g) riwayat luka kaki atau amputasi (Smeltzer & Bare, 2002). Menurut Suriadi (2004) faktor-faktor yang juga berkontribusi dalam menyebabkan luka diabetik ini adalah perokok, diabetes, hyperlipidemia dan hipertensi.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Derajat Luka Kaki Diabetik Berdasarkan berat ringannya lesi, kelainan kaki diabetes dibagi menjadi enam derajat menurut Wagner, yaitu, (1) Derajat 0 : Tidak ada lesi yang terbuka dan terdapat deformitas atau selulitis. (2) Derajat 1 : luka/luka superfisial terbatas pada kulit. (3) Derajat 2 : Luka/luka dalam sampai menembus tendon atau tulang. (4) Derajat 3 : Luka/luka dalam dengan abses, osteomielitis atau sepsis persendian. (5) Derajat 4 : Gangren setempat, ditelapak kaki atau tumit. (6) Derajat 5 : Gangren pada seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah (Maryunani, 2013). University of Texas membagi luka berdasarkan dalamnya luka dan membaginya lagi berdasarkan adanya infeksi atau iskemi. Adapun klasifikasi University Of Texas ini meliputi : Grade 0 : Pre atau post ulserasi. Grade 1 : Luka superfisial yang mencapai epidermis atau keduanya, tapi belum menembus tendon, kapsul sendi atau tulang. Grade 2 : Luka menembus tendon atau tulang tetapi belum mencapai tulang atau sendi. Grade 3 : Luka menembus tulang atau sendi (Doupis, Veves, 2008 dalam Linda, Perdanakusuma, 2013).
2.5 Pencegahan Luka Diabetik Menurut Maryunani (2013), Pencegahan luka kaki diabetik seharusnya dimulai jauh hari sebelum terjadi luka. Usaha yang perlu dilakukan adalah rehabilitasi saat perawatan dan kemudian rehabilitasi untuk pencegahan timbulnya ukus baru. Berikut ini beberapa hal yang perlu diberitahukan pada pasien diabetik untuk mencegah luka kaki diabetik.
Universitas Sumatera Utara
2.5.1
Perawatan Mandiri Periksa kaki setiap hari, lihat apakah terdapat kalus, bula atau luka lecet.
Kemudian cuci kaki dan bersihkan setiap hari, lalu keringkan dengan baik terutama disela jari. Jaga kuliat agar tetap lembut dan lentur. Pakailah kaus kaki dan sepatu sesuai ukuran kaki setiap hari. Potong kuku secara hati-hati dan jangan terlalu dalam. Dan lakukan pencegahan dini seperti hentikan kebiasaan merokok dan olahraga teratur. 2.5.2
Nutrisi Nutrisi meliputi kemampuan klien dan keluarga dalam mengontrol diet,
mengontrol dan mengenal batasan gula darah normal dan pengobatan yang teratur untuk terapi diabetik. 2.5.3
Psikososial Peran keluarga sangan penting disini. Keluarga harus mampu membantu
dan mendukung pasien dalam mengatasi masalah penyakit ini, termasuk adaptasi terhadap lingkungan diluar dari anggota keluarga. 2.5.4
Konsultasi Pasien dan keluarga harus membawa pasien kepada tim kesehatan yang
berkaitan dengan gejala yang timbul pada pasien.
3.
Perawatan Luka Lembab
3.1 Konsep Perawatan Luka Lembab Perawatan luka lembab atau perawatan luka modern adalah suatu perawatan luka berbasis suasana lembab (moisture balance). Studi tentang
Universitas Sumatera Utara
lingkungan yang optimal yang berperan dalam proses penyembuhan luka telah diawali oleh George Winter pada tahun 1962 dengan menggunakan model babi. Hasil percobaan menunjukkan aplikasi lapisan film semi-oklusif pada permukaan luka menciptakan kondisi kelembaban optimal untuk penyembuhan luka. Penelitian lebih lanjut tentang perawatan luka berbasis suasana lembab yaitu mempercepat proses penyembuhan luka dan mengurangi rasa nyeri. Sutu lingkungan luka fisiologis yang berhubungan dengan tingkat kelembaban meliputi, meningkatkan dan mempertahankan suatu permukaan yang lembab, tidak basah dan tidak kering dengan menggunakan materi eksogen, antara lain balutan (Maryunani, 2013). Metode moist wound healing adalah metode untuk mempertahankan kelembaban luka dengan menggunakan balutan penahan kelembaban, sehingga penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami. Penanganan luka ini saat ini digemari terutama untuk luka kronik, seperti venous leg ulcers, pressure ulcers, dan diabetic foot ulcers (Tarigan, 2007). Moisture balance memiliki tujuan yaitu mempertahankan kelembaban yang seimbang, melindungi luka dari trauma saat mengganti balutan, melindungi kulit
sekitar
luka,
menyerap/menampung
cairan
luka.
Falanga
(2004)
mengemukakan bahwa cairan yang berlebihan pada luka dapat menyebabkan terganggunya kegiatan sel mediator seperti growth factor pada jaringan. Banyaknya cairan luka (eksudat) pada luka kronik dapat menimbulkan maserasi dan perlukaan baru pada daerah sekitar luka, sehingga konsep kelembaban yang dikembangkan adalah keseimbangan kelembaban dalam luka. (Arisanty, 2012).
Universitas Sumatera Utara
3.2 Penyembuhan Luka pada Konsep Lembab Pada umumnya proses fisiologis penyembuhan luka ada dalam 3 fase utama menurut Maryunani (2013), yaitu (1) fase inflamasi/ eksudasi (tahap pembersihan) yaitu mencakup homeostatis, pelepasan histamin dan mediator lain dari sel-sel yang rusak serta migrasi sel darah putih ke tempat yang rusak tersebut. Fase ini terjadi pada 0-3 hari. (2) Fase ploriferasi (granulasi/ rekonstruksi), yaitu fase yang terjadi selama 3-24 hari. Fase ini sering juga disebut sebagai fase destruktif. Fase ini memiliki banyank aktivitas. Pada tahap ini, terjadi pembersihan dan penggantian jaringan sementara serta aktivitas kontraksi yaitu penarikan tepi-tepi luka untuk mengurangi area permukaan luka. (3) Fase maturasi (epitelisasi/ diferensiasi), yaitu luka diperbaiki melalui proses pembentukan kembali. Pada fase ini sel radang akut dan kronik menghilang secara bertahap. Pada tahap ini jaringan yang telah terbenyuk menjadi lebih matang dan fungsional. Fase ini berjalan selama 24-365 hari. Penyembuhan luka yang lembab didefenisikan sebagai jumlah atau tingkat kebasahan yang tepat. Saat ini secara umum diterima bahwa lingkungan luka yang lembab mempercepat penyembuhan, baik luka akut maupun kronik dan (Maryunani, 2013). Kondisi yang lembab pada permukaan luka dapat meningkatkan proses perkembangan perbaikan luka, mencegah dehidrasi jaringan dan kematian sel. Kondisi ini juga dapat meningkatkan interaksi antara sel dan faktor pertumbuhan. Hal utama yang dapat menghambat proses perkembangan luka adalah
Universitas Sumatera Utara
menurunnya faktor per tumbuhan (growth factor ) dan tidak seimbangnya antara enzim proteolitik dan inhibitornya (Ismail, Irawaty, & Haryati, 2009). Penyembuhan luka lembab memberikan beberapa keuntungan, yaitu meningkatkan kecepatan penyembuhan, meningkatkan epitelisasi 90% setelah 3 hari, mengurangi kejadian infeksi yaitu lebih rendah dibandingkan perawatan kering (2,6% vs 7,1%), percepatan pembentukan makrofag lebih awal dengan jumlah yang banyak, mencegah pembentukan scar yang menghalagi re-epitelisasi, mengurangi resiko perpindahan perpindahan mikroorganisme dan mengurangi kemungkinan adanya luka baru pada saat penggantian balutan, menjaga luka pada temperatur optimum, menghemat waktu, uang dan mengurangi rasa sakit (Maryunani, 2013).
3.3 Pemilihan Balutan Menurut Morison (2004) masalah pemilihan balutan sekarang ini begitu banyak macam balutan yang membingungkan untuk dipilih tidak ada balutan luka tunggal yang cocok untuk segala macam luka.memilih balutan yang paling sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien merupakan hal yang penting. Karakteristik balutan luka yang ideal adalah tidak melekat, impermeabel terhadap bakteri, mampu mempertahankan kelembaban yang tinggi pada tempat luka sementara juga mengeluarkan eksudat yang berlebihan, penyekat suhu, nontoksik, nyaman dan mudah disesuaikan, mampu melindungi luka dan trauma lebih lanjut tidak perlu mengganti terlalu sering balutan, biaya ringan, awet, tersedia baik dirumah maupun di komunitas.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Maryunani (2013) Dengan perkembangan perawatan luka yang sangat pesat, penggunaan dressing/balutan didasarkan dengan mengukur kemampuan biaya yang ada, tentunya disesuaikan dengan prinsip dari perawatan luka, yaitu mempertahankan fisiologi kelembaban pada lingkungan luka sehingga memacu proses perbaikan jaringan. Pada dasarnya pemilihan balutan yang tepat harus didasarkan pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort) dan keamanan (safety). Secara umum, perawatan luka yang berkembang pada saat ini lebih ditekankan pada intervensi yang melihat sisi klien dari berbagai dimensi, yaitu dimensi fisik, psikis, ekonomi dan sosial. Balutan luka memiliki dua tipe balutan yaitu balutan primer dan balutan sekunder. Balutan primer adalah balutan yang menempel langsung pada luka dan dapat lebih dari satu jenis balutan. Sedangkan balutan sekunder merupakan balutan yang menutupi atau melapisi balutan primer yang juga dapat terdiri dari beberapa lapisan balutan (Arisanty, 2012).
3.4
Macam-macam Balutan Occlusive dressing adalah jenis balutan yang mempertahankan lingkungan
luka dalam keadaan optimal, saat penggantian balutan akan tampak peluruhan jaringan nekrosis/slough dengan dasar luka bersih (Maryunani, 2013). Berikut ini adalah contoh balutan dalam teknik balutan luka lembab menurut Maryunani (2013). (1) Gauze / Kasa kering serat alami : Bahannya mengandung katun, rayon, dan polyester. Berfungsi untuk absorbsi eksudat minimal hingga banyak. Di indikasikan untuk ‘luka parcial thickness’ dan ‘full
Universitas Sumatera Utara
thickness’, luka infeksi dan luka berongga. (2) Transparant Film : Bahannya tipis transparan. Berfungsi untuk melindungi luka dari air, bakteri dan jamur dengan tetap menjaga sirkulasi udara disekitar luka. Transparant film juga sangat elastis dengan daya rekat kuat. Kontraindikasi untuk lika dengan eksudat banyak, sinus. Contoh fixomol transparent, tegaderm, dll. (3) Hidrogels : Suatu colloid yang terdiri dari polimer dalam bentuk air tetapi tidak terlarut. Indikasi hidrogel adalah untuk luka kronis dan akut, luka kering dengan atau kedalamannya, menciptakan lingkungan luka yang lembab, nekrotik dan luka basah, luka berlubang,mengisi lubang dan mengurangi area jaringan mati. (4) Calcium Alginate : Merupakan jalinaan serabut calcium alginate yang mirip dengan jalinan bulu domba. Daya serap tinggi (15- 20x dari bobotnya). Alginate menyerap jumlah cairan yang berlebihan dan menstimulasi proses pembekuan darah jika terjadi perdarahan minor. Diindikasikan untuk luka dengan warna dasar luka merah, dengan eksudat yang banyak, luka mudah berdarah, akut maupun kronik luka potong, dll. Contoh : Cutimed Alginate, Seasorb, Curasorb, dll. (5) Hidrocolloids : Pembalut dengan lapisan rangkap yang biasanya terbuat dari polyuretin film, gelatin, pectin, dll. Diindikasikan untuk luka dengan sedikit eksudat, luka akut kronik, luka dangkal dan abses. Contoh : Cutimed Hydro-L, Comfeel dll. Luka sebaiknya dibalut rapat (occlusive dressing) dibandingkan dibiarkan terbuka karena, (1) Balutan akan menggantikan fungsi kulit sebagai pelindung. (2) Proses debris terjadi optimal pada suasana lembab, sehingga mempertahankan kelembaban akan mempercepat penyembuhan luka. (3) mencegah infeksi atau kontaminasi dari lingkungan luar. (4) suasana lembab membuat balutan tidak
Universitas Sumatera Utara
menempel pada kulit sehingga tidak nyeri saat penggantian luka. (5) menampung cairan luka sehingga tidak mengiritasi kulit sekitar. (6) meningkatkan kualitas hidup pasien karena setelah dibalut pasien dapat beraktivitas kembali. (7) Mengatasi bau. (8) Biaya, waktu dan tenaga menjadi lebih efektif karena tidak perlu setiap hari mengganti balutan (Arisanty, 2012)
Universitas Sumatera Utara