BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1.
Lansia
1.1 Pengertian Lansia Menurut UU No. 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia menyatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Notoatmojo, 2007). Sedangkan dalam bukunya Hardywinoto (2005) mengatakan yang dimaksud dengan kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas. Batasan lanjut usia menurut dokumen perkembangan lanjut usia dalam kehidupan bangsa yang diterbitkan oleh Departemen Sosial dalam rangka pencanangan hari lanjut usia nasional tanggal 29 Mei 1996 oleh Presiden RI, batas umur lanjut usia adalah 60 tahun atau lebih (Setiabudi, 1999 dalam Setiadi 2005). Ada beberapa pembagian lansia, antara lain : menurut Depkes RI, WHO, dan menurut pasal 1 Undang – undang No. 4 tahun 1965. a.
Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut : kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas, kelompok usia lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium, kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) sebagai senium.
b.
Organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59
tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, usia tua (old) antara 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. c.
Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1965 : “Seseorang dinyatakan sebagai orang jompo atau usia lanjut setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari orang lain” (Mubarak, 2009 ).
1.2 Proses Penuaan Lansia bukan merupakan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan (Pudjiastuti, 2003). Proses penuaan merupakan proses alamiah setelah tiga tahap kehidupan, yaitu masa anak, masa dewasa, dan masa tua yang tidak dapat dihindari oleh setiap individu (Mubarak, 2009). Menua menurut Constantinides (1994) dalam Setiadi (2005) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua (aging) merupakan suatu perubahan progresif pada organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain. Proses menua yang terjadi pada lansia secara
linier dapat digambarkan melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran (Bondan, 2006). Pertambahan usia akan menimbulkan perubahan-perubahan pada struktur dan fisiologis dari berbagai sel/jaringan/organ dan sistem yang ada pada tubuh manusia. Proses ini menjadikan kemunduran fisik maupun psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, penurunan pendengaran, penglihatan menburuk, gerakan lambat, dan kelainan berbagai fungsi organ vital. Sedangkan kemunduran psikis
terjadi peningkatan sensitivitas emosional,
menurunnya gairah, bertanbahnya minat terhadap diri, berkurangnya minat terhadap penampilan, meningkatnya minat terhadap material, dan minat kegiatan rekreasi tidak berubah (hanya orientasi dan subjek saja yang berbeda)( Mubarak, 2009). 1.3 Teori-Teori Penuaan Dalam Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu : teori biologi, teori psikologi, teori sosial, dan teori spiritual. Teori biologi. Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi, immunology slow theory, teori stress, teori radikal bebas, dan teori rantai silang. Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara genetik untuk spesiesspesies tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul-molekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi. Menurut Immunology slow theory, system imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan usaha, dan stres yang dapat menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai. Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi. Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas, kakacauan, dan hilangnya fungsi sel. Teori psikologi. Pada usia lanjut, proses penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Kepribadian individu yang terdiri atas motivasi dan intelegensi dapat menjadi karakteristik konsep diri dari seorang lansia. Konsep diri yang positif dapat menjadikan seorang lansia mampu berinteraksi dengan mudah terhadap nilai-nilai yang ada ditunjang dengan status sosialnya. Adanya penurunan dari intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada saat usia lanjut menyebabkan mereka sulit untuk dipahami dan berinteraksi. Teori sosial. Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu: teori interaksi sosial menjelaskan mengapa lansia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pada
lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang sehingga menyebabkan interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah. Teori penarikan diri menyatakan bahwa kemiskinan
yang
diderita
lansia
dan
menurunnya
derajat
kesehatan
mengakibatkan seorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan di sekitarnya. Teori aktivitas menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas
yang dilakukan. Teori kesinambungan mengemukakan
adanya
kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah meskipun ia telah menjadi lansia. Teori perkembangan menjelaskan bagaimana proses menjadi tua merupakan suatu tantangan dan bagaimana jawaban lansia terhadap berbagai tantangan tersebut yang dapat bernilai positif ataupun negatif. Akan tetapi, teori ini tidak menggariskan bagaimana cara menjadi tua yang diinginkan atau yang seharusnya diterapkan oleh lansia tersebut. Teori stratifikasi usia adalah teori dengan pendekatan yang dilakukan bersifat deterministik dan dapat dipergunakan untuk mempelajari sifat lansia secara kelompok dan bersifat makro. Setiap kelompok dapat ditinjau dari sudut pandang demografi dan keterkaitannya dengan kelompok usia lainnya. Kelemahannya adalah teori ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai lansia secara perorangan, mengingat bahwa stratifikasi sangat kompleks dan dinamis serta terkait dengan klasifikasi kelas dan kelompok etnik.
Teori spiritual. Komponen spiritual dan tumbuh kembang merajuk pada pengertian hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti kehidupan. 1.4 Tugas Perkembangan Lansia Seiring tahap kehidupan, lansia memiliki tugas perkembangan khusus. Hal ini dideskripsikan oleh Burnside (1979), Duvall (1977), dan Havighurst (1953) dan meliputi tujuh kategori utama yaitu ; 1) menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan, 2) menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan atau penetapan pendapatan, 3) menyesuaikan terhadap kematian pasangan, 4) menerima diri sendiri sebagai individu lansia, 5) mempertahankan kepuasan pengaturan hidup, 6) mendefenisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa, 7) menemukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). 1.5 Masalah Lansia Menurut Nugraha (2000), permasalahan yang berkaitan dengan lanjut usia secara individu, proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, biologi, mental, maupun sosial ekonomi. Semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya gangguan di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain. Menurut Mubarak (2009), terdapat beberapa tren dan isu pada lansia, di antaranya : pertama, masalah kehidupan seksual berupa adanya anggapan bahwa
semua ketertarikan seks pada lansia telah hilang adalah mitos atau kesalahpahaman. Kedua, perubahan perilaku ; pada lansia sering dijumpai terjadinya perubahan perilaku, di antaranya : daya ingat menurun, pelupa, sering menarik diri, ada kecenderungan penurunan merawat diri, timbulnya kecemasan karena dirinya sudah tidak menarik lagi, dan lansia sering menyebabkan sensitivitas emosional seseorang yang akhirnya menjadi sumber banyak masalah. Ketiga, pembatasan aktivitas fisik; semakin lanjut usia seseorang, mereka akan mengalami kemunduran, terutama di bidang kemampuan fisik yang dapat mengakibatkan
penurunan
pada
peranan-peranan
sosialnya.
Hal
ini
mengakibatkan timbulnya gangguan dalam hal mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain. Keempat, kesehatan mental; Selain mengalami kemunduran fisik, lansia juga mengalami kemunduran mental. Semakin lanjut seseorang, kesibukan sosialnya akan semakin berkurang dan dapat mengakibatkan berkurangnya integrasi dengan lingkungannya.
2.
Perawatan Diri
2.1 Pengertian Perawatan Diri Perawatan diri atau kebersihan diri (personal hygiene) merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis (Hidayat, 2009). Kebersihan diri adalah upaya individu dalam memelihara kebersihan diri yang meliputi kebersihan rambut, gigi dan mulut, mata, telinga, kuku, kulit, dan kebersihan dalam berpakaian dalam meningkatkan kesehatan yang optimal (Effendy, 1998).
Lansia perlu mendapatkan perhatian dengan mengupayakan agar mereka tidak terlalu tergantung kepada orang lain dan mampu mengurus diri sendiri (mandiri), menjaga kesehatan diri, yang tentunya merupakan kewajiban dari keluarga dan lingkungannya. Dalam teori self care, Dorothea Orem menganggap bahwa perawatan diri merupakan suatu kegiatan membentuk kemandirian individu yang akan meningkatkan taraf kesehatannya. Sehingga bila mengalami defisit, ia membutuhkan bantuan dari perawat untuk memperoleh kemandiriannya kembali (Hapsah, 2008). Pemeliharaan kebersihan diri sangat menentukan status kesehatan, di mana individu secara sadar dan atas inisiatif pribadi menjaga kesehatan dan mencegah terjadinya penyakit. Upaya ini lebih menguntungkan bagi individu karena lebih hemat biaya, tenaga dan waktu dalam mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan. Upaya pemeliharaan kebersihan diri mencakup tentang kebersihan rambut, mata, telinga, gigi, mulut, kulit, kuku, serta kebersihan dalam berpakaian. Dalam upaya pemeliharaan kebersihan diri ini, pengetahuan keluarga akan pentingnya kebersihan diri tersebut sangat diperlukan. Karena pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 1997). 2.2 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Perawatan Diri Menurut Potter & Perry (2005), sikap seseorang melakukan perawatan diri (personal hygiene) dipengaruhi oleh sejumlah faktor yaitu : citra tubuh, praktik sosial, status sosioekonomi, pengetahuan, variabel kebudayaan, pilihan pribadi, dan kondisi fisik.
a. Citra tubuh Citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang tentang penampilan fisiknya. Personal hygiene yang baik akan mempengaruhi terhadap peningkatan citra tubuh individu (Stuart & Sundeen, 1991). Citra tubuh ini dapat seringkali berubah. Citra tubuh mempengaruhi cara mempertahankan hygiene seseorang. b. Praktik sosial Kelompok-kelompok sosial wadah seorang individu berhubungan dapat mempengaruhi praktik hygiene pribadi. Praktik hygiene lansia dapat berubah dikarenakan situasi kehidupan. Misalnya, lansia yang tinggal di rumah perawatan tidak dapat mempunyai privasi dalam lingkungan yang baru. Mereka tidak mempunyai kemampuan fisik untuk membungkuk keluar masuk bak mandi kecuali kamar mandi telah dibentuk untuk mengakomodasi keterbatasan fisik mereka. c. Status sosioekonomi Sumber daya ekonomi seseorang mempengaruhi jenis dan tingkat praktik kebersihan yang digunakan. Dari segi ekonomi, harus diperhatikan apakah individu dapat menyediakan bahan-bahan yang penting seperti deodorant, sampo, pasta gigi, dan kosmetik. Sedangkan dari aspek sosial dilihat apakan penggunaan produk-produk tersebut merupakan bagian dari kebiasaan sosial yang dipraktikkan oleh kelompok sosial individu. d. Pengetahuan Pengetahuan akan pentingnya hygiene dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktek hygiene. Kendati demikian, pengetahuan itu sendiri
tidaklah cukup. Seseorang juga harus termotivasi untuk memelihara perawatan diri sehingga akan terus meningkatkan perawatan dirinya. e. Variabel kebudayaan Kebudayaan dan nilai pribadi mempengaruhi kemampuan perawatan hygiene. Seorang dari latar belakang kebudayaan berbeda memiliki praktik perawatan diri yang berbeda. Keyakinan yang didasari kultur sering menentukan definisi tentang kesehatan dan perawatan diri. f. Pilihan pribadi Menurut pilihan dan kebutuhan pribadi, setiap individu memiliki keinginan dan pilihan tentang kapan untuk melakukan perawatan diri dan bagaimana ia melakukannya. g. Kondisi fisik Semakin lanjut usia seseorang, maka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik, yang dapat mengakibatkan penurunan peranan-peranan sosialnya. Hal ini mengakibatkan timbulnya gangguan di dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga dapat meningkatkan bantuan orang lain. 2.3 Tingkat Kemampuan Perawatan Diri Lansia Perubahan patofisiologis pada korteks serebri mengakibatkan lansia mengalami defisit perawatan diri. Sehingga perlu diupayakan penyusunan aktivitas sehari-hari yang lebih sederhana dan singkat yang dapat menimbulkan kepuasaan bagi lansia dalam melakukannya (Smeltzer, 2001). Dalam Nursalam (2009), klasifikasi tingkat kemampuan perawatan diri (tingkat ketergantungan
klien) berdasarkan teori Orem terdiri dari butuh sedikit bantuan (minimal care), butuh bantuan sebagian dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri (partial care), dan butuh bantuan penuh dalam mmenuhi perawatan diri (total care). Berdasarkan indeks Activity Daily Living (ADL) Barthel, tingkat ketergantungan klien terdiri dari mandiri, ketergantungan ringan, ketergantungan sedang, ketergantungan berat, dan ketergantungan total. Tabel 2.1 : Indeks ADL Barthel No 1
2
Aktivitas Transfer (tidur → duduk)
Mobilisasi (berjalan)
3
Penggunaan toilet (pergi ke/dari WC, melepas/memgenakan celana, menyeka, menyiram)
4
Membersihkan diri (lap muka, sisir rambut, sikat gigi)
5
6
Mengontrol BAB
Mengontrol BAK
7
Mandi
8
Berpakaian (mengenakan baju)
9
Makan
Kemampuan Mandiri Dibantu satu orang Dibantu dua orang Tidak mampu Mandiri Dibantu satu orang/walker Dengan kursi roda Tergantung orang lain Mandiri Perlu pertolongan orang lain Mandiri Perlu pertolongan orang lain Kontinen teratur Kadang-kadang inkontinen Inkontinen Kontinen teratur Kadang-kadang inkontinen Inkontinen Mandiri Tergantung orang lain Mandiri Sebagian dibantu Tergantung orang lain Mandiri Perlu pertolongan Tergantung
Skor 3 2 1 0 3 2 1 0 1 0 1 0 2 1 0 2 1 0 1 0 2 1 0 2 1 0
10
pertolongan orang lain Mandiri Perlu pertolongan Tidak mampu
Naik turun tangga
2 1 0 19
Skor total
Nilai ADL = 19
3.
: Mandiri
15– 18
: Ketergantungan ringan
10– 14
: Ketergantungan Sedang
5– 9
: Ketergantungan Berat
0–4
: Ketergantungan total
Self Care Self care adalah tindakan yang matang dan mematangkan orang lain yang
mempunyai potensi untuk berkembang, atau mengembangkan kemampuan yang dimiliki
agar
dapat
digunakan
secara
tepat,
nyata
dan
valid
untuk
mempertahankan fungsi dan berkembang dengan stabil dalam perubahan lingkungan. Self care digunakan untuk mengontrol atau faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi aktivitas seseorang untuk menjalankan fungsinya dan berproses untuk mencapai kesejahteraannya (Hapsah, 2008). Pandangan teori Orem dalam tatanan pelayanan keperawatan ditujukan kepada kebutuhan individu dalam melakukan tindakan keperawatan mandiri serta mengatur dalam kebutuhannya. Dalam konsep praktek keperawatan Orem
mengembangkan tiga bentuk teori self care di antaranya perawatan diri sendiri (self care) dan self care deficit (Hidayat, 2009). 3.1 Perawatan Diri Sendiri (Self Care) Dalam teori self care, Orem mengemukakan bahwa self care meliputi : pertama, self care itu sendiri, yang merupakan aktivitas dan inisiatif dari individu serta
dilaksanakan
oleh
individu
itu
sendiri
dalam
memenuhi
serta
mempertahankan kehidupan, kesehatan, serta kesejahteraan; kedua, self care agency merupakan suatu kemampuan individu dalam melakukan perawatan diri sendiri, yang dapat dipengaruhi oleh usia, perkembangan, sosiokultural, kesehatan dan lain-lain; ketiga, adanya tuntutan atau permintaan dalam perawatan diri sendiri yang merupakan tindakan mandiri yang dilakukan dalam waktu tertentu untuk perawatan diri sendiri dengan menggunakan metode dan alat dalam tindakan yang tepat; keempat, kebutuhan self care merupakan suatu tindakan yang ditujukan pada penyediaan dan perawatan diri sendiri yang bersifat universal dan berhubungan
dengan
proses
kehidupan
manusia
serta
dalam
upaya
mempertahankan fungsi tubuh, self care yang bersifat universal itu adalah aktivitas sehari-hari (ADL) dengan mengelompokkan ke dalam kebutuhan dasar manusianya. Sifat dari self care selanjutnya adalah untuk perkembangan kepercayaan diri serta ditujukan pada penyimpangan kesehatan yang memiliki ciri perawatan yang diberikan dalam kondisi sakit atau dalam proses penyembuhan (Hidayat, 2009).
3.2 Self Care Defisit Merupakan bagian penting dalam perawatan secara umum di mana segala perencanaan keperawatan diberikan pada saat adanya penurunan kemampuan dalam perawatan dan tuntutan dalam peningkatan self care, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dalam pemenuhan perawatan diri serta membantu dalam proses penyelesaian masalah, Orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi dukungan, meningkatkan pengembangan lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau mendidik orang lain. Dalam praktek keperawatan Orem melakukan identifikasi kegiatan praktek dengan melibatkan pasien dan keluarga dalam pemecahan masalah, menentukan kapan dan bagaimana pasien memerlukan bantuan keperawatan, bertanggung jawab terhadap keinginan, permintaan, serta kebutuhan pasien, mempersiapkan bantuan secara teraturbagi pasien dan mengkoordinasikan serta mengintegrasikan keperawatan dalam kehidupan sehari-hari pada pasien dan asuhan keperluan diperlukan ketika klien tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, perkembangan, dan sosial (Hidayat, 2009).
4.
Konsep Diri Konsep diri (self-concept) merupakan bagian dari masalah psikososial
yang tidak didapat sejak lahir, akan tetapi dapat dipelajari sebagai hasil dari pengalaman seseorang terhadap dirinya. Konsep diri ini berkembang secara bertahap sesuai dengan tahap perkembangan psikososial seseorang (Hidayat, 2009). Konsep diri merupakan suatu integrasi yang kompleks dari perasaan, sikap
sadar maupun tidak sadar dan persepsi tentang totalitas diri, tubuh, harga diri dan peran (Potter & Perry, 2005). Tarwoto & Wartonah (2006) menyatakan perkembangan konsep diri secara bertahap dimulai sejak bayi sudah mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain. Setiap individu memiliki pandangan yang berbeda mengenai konsep diri, ada yang positif dan ada yang negatif. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang terlihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual, dan penguasaan lingkungan sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan sosial yang maladaptif (Keliat, 1992). Terdapat beberapa komponen konsep diri yaitu identitas, citra diri, harga diri, ideal diri, dan peran. 4.1 Identitas Diri Identitas diri adalah penilaian individu tentang dirinya sebagai suatu kesatuan yang utuh. Identitas mencakup konsistensi seseorang sepanjang waktu dan dalam berbagai keadaan serta menyiratkan perbedaan atau keunikan dibandingkan dengan orang lain. Identitas seringkali didapat melalui pengamatan sendiri dan dari apa yang didengar seseorang dari orang lain mengenai dirinya (Hidayat, 2009). Identitas diri adalah kesadaran dari individu dan keunikan yang terjadi terus menerus sepanjang hidup. Menurut Kozier (2004) identitas diri seseorang biasanya berupa karakteristik-karakteristik yang membedakan seseorang dengan yang lainnya meliputi nama, jenis kelamin, umur, ras, suku, budaya, pekerjaan atau peran. Menurut Erikson (1963) dalam Potter & Perry (2005) identitas diri
menunjukkan kesadaran akan suatu kepastian dan adanya pemisahan dari yang lainnya, perasaan diri seutuhnya dan pemeliharaan solidaritas dengan kelompok sosial yang ideal melalui ekspresi dan keunikan individu. Identitas seperti halnya citra tubuh sangat berkaitan erat dengan penampilan dan kemampuan. Pada lansia, pensiun atau meninggalkan pekerjaan mungkin berarti kehilangan makna penting dari pencapaian dan keberhasilan yang berlanjut. Ketidakmampuan lansia untuk memenuhi kebutuhan dirinya sering membuat lansia mempertanyakan tentang identitas mereka dan pencapaian mereka dan dapat mengakibatkan isolasi fisik dan emosional (Potter & Perry, 2005). 4.2 Citra Diri Gambaran atau citra diri (body image) mencakup sikap individu terhadap tubuhnya sendiri, termasuk penampilan fisik, struktur dan fungsinya. Perasaan mengenai citra diri meliputi hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas, femininitas dan maskulinitas, keremajaan, kesehatan, dan kekuatan. Citra tubuh dipengaruhi oleh pertumbuhan kognitif dan perkembangan fisik. Perubahan perkembangan yang normal seperti penuaan terlihat lebih jelas terhadap citra diri dibandingkan dengan aspek-aspek konsep diri lainnya (Hidayat, 2009). Citra diri berhubungan dengan kepribadian. Cara seseorang memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistik terhadap diri, menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri (Keliat, 1992).
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa citra diri bergantung pada bagian realitas tubuh, sehingga seseorang biasanya tidak dapat beradaptasi dengan cepat untuk berubah secara fisik. Perubahan fisik boleh jadi tidak sesuai dengan citra diri ideal seseorang. Begitu juga dengan lansia, perubahan fisik yang terjadi akibat proses penuaan dapat merubah persepsi lansia terhadap tubuhnya (Potter & Perry, 2005). Citra diri akan tumbuh secara positif dan akurat bila kesadaran akan diri berdasar atas observasi mandiri dan perhatian yang sesuai akan kesehatan diri, termasuk persepsi saat ini dan masa lalu (Tarwoto & Wartonah, 2006). Lansia sering mengatakan bahwa mereka merasa tidak berbeda tetapi ketika mereka melihat diri mereka dalam cermin, mereka terkejut dengan kulit yang keriput dan rambut memutih. Penurunan ketajaman pandangan adalah faktor yang mempengaruhi lansia dalam berinteraksi dengan lingkungan. Proses normal penuaan
menyebabkan
penurunan
ketajaman
penglihatan.
Kehilangan
pendengaran dapat menyebabkan perubahan kepribadian karena lansia menyadari bahwa mereka tidak lagi menyadari semua yang terjadi atau yang diucapkan. Kecurigaan, mudah tersinggung, tidak sabar, atau menarik diri dapat terjadi karena kerusakan pendengaran. Konsep diri selama masa lansia dipengaruhi oleh pengalaman sepanjang hidup (Potter & Perry, 2005). 4.3 Harga Diri Harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai, dengan cara menganalisis seberapa jauh perilaku individu tersebut sesuai dengan ideal dirinya (Sunaryo, 2004). Harga diri (self-esteem) adalah penilaian individu tentang dirinya dengan menganalisis kesesuaian antara perilaku dan ideal diri
yang lain. Harga diri dapat diperoleh melalui penghargaan dari diri sendiri maupun dari orang lain. Perkembangan harga diri juga ditentukan oleh perasaan diterima, dicintai, dihormati oleh orang lain, serta keberhasilan yang pernah dicapai individu dalam hidupnya (Hidayat, 2009). Harga diri dapat dipahami dengan memikirkan hubungan antara konsep diri seseorang dan ideal diri. Harga diri juga dipengaruhi oleh sejumlah kontrol yang mereka miliki terhadap tujuan dan keberhasilan dalam hidup. Lansia cenderung mengalami penurunan harga diri yang disebabkan oleh hilangnya jabatan dan menurunnya pendapatan. Seseorang dengan harga diri yang tinggi cenderung menunjukkan keberhasilan yang diraihnya sebagai kualitas dan upaya pribadi. Ketika berhasil, seorang individu dengan harga diri yang rendah cenderung mengatakan bahwa keberhasilan yang diraihnya adalah keberuntungan atau atas bantuan orang lain ketimbang kemampuan pribadi (Mars 1990 dalam Potter & Perry, 2005). 4.4 Ideal Diri Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana harus berperilaku sesuai dengan standar pribadi. Standar dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkannya atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai yang ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial (keluarga, budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan (Keliat, 1992). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu : kecenderungan individu menetapkan ideal diri pada batas kemampuannya, faktor budaya, ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang realistik, keinginan untuk menghindari kegagalan, perasaan cemas dan harga diri (Sunaryo, 2004).
4.5 Peran Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yang sesuai dengan fungsi yang ada dalam masyarakat atau suatu pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat, misalnya sebagai orang tua, atasan, teman dekat, dan sebagainya. Setiap peran berhubungan dengan pemenuhan harapan-harapan tertentu. Apabila harapan tersebut dapat terpenuhi, rasa percaya diri seseorang akan meningkat. Sebaliknya, kegagalan untuk memenuhi harapan atas peran dapat menyebabkan penurunan harga diri atau terganggunya konsep diri (Hidayat, 2009). Menurut Stuart & Sudden (1991), peran membentuk pola perilaku yang diterima secara sosial yang berkaitan dengan fungsi seorang individu dalam berbagai kelompok sosial. Sepanjang hidup orang menjalani berbagai perubahan peran. Perubahan normal yang berkaitan dengan pertumbuhan dan maturisasi mengakibatkan transisi perkembangan. Transisi situasi terjadi ketika orangtua, pasangan hidup, atau teman dekat meninggal atau orang pindah rumah, menikah, bercerai, atau ganti pekerjaan. Pada lansia banyak perubahan peran yang tejadi, mulai dari perubahan peran dalam pekerjaan, peran dalam keluarga dan sebagainya (Potter & Perry, 2005).