8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep HIV/AIDS dan Infeksi Oportunistik 2.1.1 Definisi Human Immune deficiency Virus ( HIV ) Human Immune deficiency Virus ( HIV ) adalah virus yang menyerang sistim kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan Acguired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). AIDS
adalah merupakan kumpulan beberapa penyakit akibat menurunnya
system kekebalan tubuh sehingga mudah terkena infeksi, AIDS disebabkan oleh Human Immune deficiency Virus (HIV), menyebabkan kerusakan sistem immun dan menghancurkannya. Sistem imun yang rusak atau hancur adalah limfosif T dan CD4 yang berfungsi untuk regulasi sistem immun dan membunuh sel yang menghasikan antigen target khusus. (De Cock KM dkk, 2000). CD4 (Cluster Differentiated 4) adalah nama bagian dari permukaan sel Tlimfosit yang disebut sebagai reseptor atau pengikat terhadap virus HIV. Tidak semua sel–T limfosit mempunyai CD4. Jumlah sel T-limfosit yang mempunyai CD4 disebut sebagai kadar CD4, yang
berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap
serangan kuman penyakit dan menyebabkan adanya kekebalan tubuh yang tergolong dalam imunitas seluler. Kadar CD4 dalam darah dapat diukur dengan pemeriksaan laboratorium (Umar Zein, 2007).
8 Universitas Sumatera Utara
9
Tanda-tanda utama HIV yaitu penurunan berat badan, demam dan berkeringat hebat pada malam hari, diare terus menerus, pembengkakan kelenjar pada leher dan ketiak, batuk secara terus menerus sehingga dapat terjadi
pneumonia, TBC,
Cytomegalovirus, disfungsi hati, dan gangguan sistem saraf pusat (Yunihastuti, 2005). Infeksi yang disebabkan oleh kelemahan pertahanan kekebalan tubuh disebut dengan Infeksi oportunistik (IO). IO adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh (Yunihastuti dkk, 2005). IO merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada penderita HIV/AIDS di Indonesia. Penyakit ini masih sulit untuk ditanggulangi dan sampai saat ini belum ditemukan metode yang dapat dikatakan efektif mencegah terjadinya IO (Depkes, 2003). 2.2 Epidemiologi Infeksi Oportunistik (IO) 2.2.1
Distribusi dan Frekuensi IO
a. Variabel Orang 1) Umur Variabel umur merupakan hal yang penting karena semua rate morbiditas dan rate mortalitas yang dilaporkan hampir berkaitan dengan umur (Budiarto Eko, 2004). Distribusi golongan umur penderita IO di Amerika Serikat, Eropa, Afrika dan Asia
Universitas Sumatera Utara
10
tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 30-39 tahun, dan sekarang berada pada umur 15-39 tahun. Mereka termasuk kelompok umur yang aktif melakukan hubungan seksual. (Info terkini, UNSAID 2003). Delapan puluh persen dari semua penderita IO yang tercatat di Centers for Diseases Control (CDC) berusia 20 sampai 49 tahun (Chin James, 2000). Di Indonesia penderita HIV/AIDS dengan IO terdapat golongan umur 20 -29 tahun dan pada umur 30 -39 tahun (Ditjen PPM & PL Depkes RI). Di Rumah Sakit Dharmais Jakarta, distribusi umur penderita IO berusia 25 - 49 tahun, di Rumah Sakit Sulianti Soroso dan Rumah Sakit Cipto Jakarta, penderita IO
berumur 20 sampai 49 tahun. Pada umumnya penderita
HIV/AIDS berumur 15-39 tahun dan insiden terbanyak pada umur 20-29 tahun, dan IO yang dialami penderita adalah defisiensi sedang, dimana CD4 < 200 μ/sel. Pada usia tersebut kematangan dari sistem immun belum mencapai 100%, bila sudah terkena virus HIV/AIDS maka kematangan immun di dalam tubuh tidak terjadi. (Ditjen PPM & PL Depkes RI) 2) Jenis Kelamin Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia
baik laki–laki
maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi antara laki–laki dan perempuan. Ini disebabkan karena perbedaan pekerjaan, kebiasaan hidup dan perilaku hidup dan kondisi fisiologis (Budiarto Eko, 2000). Hampir 90% frekuensi IO terjadi pada orang dewasa dan remaja laki–laki. Hal ini berkaitan dengan penderita HIV lebih banyak pada laki–laki karena perilaku laki– laki yang mempergunakan suntikan narkoba lebih banyak daripada perempuan,
Universitas Sumatera Utara
11
meskinpun demikian secara proporsi penderita wanita cenderung meningkat, bahkan di Amerika Latin, Eropah, Sub Sahara dan Asia, jumlah perempuan terinfeksi HIV/AIDS meningkat. (Glasier A, 2005) IO di Amerika Serikat , Swedia,Tanzania, Haiti dan di Afrika Barat, Afrika Timur dan Afrika Tengah, IO juga lebih banyak laki -laki. (Alison D Grant, Kevin M De Co, BMJ,2001). Di Indonesia juga rata-rata di seluruh rumah sakit yang merawat penderita HIV/AIDS dengan IO cenderung jenis kelamin laki-laki . 3) Pekerjaan Berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit (Budiarto Eko,2004). Yang mempunyai risiko tinggi untuk terinfeksi HIV/AIDS antara lain: orang yang bekerja di tempat hiburan, supir jarak jauh, nelayan, anak buah kapal, PSK. (Maas T.Linda dkk,2004). Pada perempuan yang paling banyak terinfeksi HIV adalah perempuan yang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki penghasilan, karena sebagian besar perempuan yang terkena adalah yang pekerjaannya Pekerja Seks Komersial (PSK) (UNAIDS, 2005). 4) Pendidikan Di Amerika, Sahara Afrika dan Asia, dua pertiga penderita IO adalah laki –laki muda dengan usia 15 – 29 tahun dengan pendidikan yang rendah, sehingga pengetahuan merekapun kurang, dan biasanya tidak datang berobat, setelah kematiannya baru terdeteksi. (BMJ. 2001)
Universitas Sumatera Utara
12
Di Indonesiapun penderita IO adalah laki–laki dengan tingkat pendidikan belum diketahui dengan pasti. Di Sumatera Utara dan Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, penderita IO dengan tingkat pendidikan yang belum diketahui. b. Variabel Waktu Variabel waktu merupakan faktor kedua yang diperhatikan ketika melakukan analisis morbiditas dalam studi epidemiologi karena pencatatan laporan insidensi dan prevalensi penyakit didasarkan pada waktu. (Budiarto Eko, 2004). Prevalensi HIV/AIDS dari tahun ke tahun yang dilaporkan meningkat tapi jumlah penderita IO tidak sesuai dengan prevalensi HIV/AIDS. (BPS,2003). c. Variabel Tempat Tempat merupakan salah satu variabel yang penting dalam epidemiologi karena pengetahuan tempat atau lokasi penyakit–penyakit sangat dibutuhkan (Budiarto Eko,2004). IO yang timbul pada penderita HIV/AIDS tergantung kepada kuman aerob yang ada pada wilayah itu seperti di Tanzania dan Haiti jenis IO adalah pneumonia pneumocystis carinii. Di Afrika Barat, Afrika Timur dan Afrika Tengah, IO sarkoma kaposi, histoplasmosis dan kriptokokus. Sebagian di Afrika IO adalah spesies Salmonella non thypiodal, pnemokokus dan sebagian infeksi jamur penicillium. ( Alison D Grant, Kevin M De Co, BMJ,2001). Di
Indonesia
IO
kandidiasis
mulut
dan
esophagus,
tuberculosis,
cytomegalovirus, ensefalitis toksoplasma, pneumonia pnemocystia carinii, herpes simplek, mycobacterium avium complek. (DjauziS, 2002)
Universitas Sumatera Utara
13
Di Sumatera Utara di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan IO yang terjadi adalah candidiasis rongga mulut, tuberculosis paru, pneumonia, diare, dermatitis/infeksi kulit. (Zein, 2005). 2.2.2 Determinan HIV/AIDS HIV/AIDS adalah penyebab terbesar terjadinya penyakit IO karena, HIV/AIDS adalah virus yang meyerang sel-sel darah putih yang bertugas sebagai penangkal infeksi yang disebut limfosit –T atau disebut juga cluster differentiated (CD-4) yang merusak sistem kekebalan tubuh manusia sehingga tubuh kekurangan kekebalan yang disebut dengan HIV/AIDS sehingga tubuh mudah diserang penyakit infeksi yang disebut dengan Infeksi Oportunistik (IO). IO merupakan salah satu dari penyebab terbesar kematian penderita HIV/AIDS di dunia. Penyebab pasti dari IO belum diketahui secara pasti, namun meskipun demikian dari beberapa penelitian dapat diketahui beberapa faktor risiko yang meningkatkan kejadian IO pada penderita HIV/AIDS. Secara umum Ada 5 unsur yang diperhatikan pada suatu tansmisi penyakit menular, yaitu: sumber penyakit, venhikulum yang membawa agent penyakit, host yang rentan, adanya tempat keluar dan adanya tempat masuk (port and, entry).(Pair JP, dkk 1977). a.Transmisi Virus HIV/AIDS sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh manusia. Sebagai venhikulum yang dapat membawa HIV/AIDS ini keluar dari tubuh adalah cairan tubuh. Pada HIV/AIDS ini tidak semua cairan tubuh yang beperan secara epidemiologi yaitu segmen, cairan vagina/servik dan darah. Pola transmisi yang
Universitas Sumatera Utara
14
berhubungan dengan unsur keluar masuknya agent adalah: a. Transmisi seksual yang berhubungan dengan segmen dan cairan vagina/servik, b. Transmisi non seksual yang berhubungan dengan darah yaitu parenteral dan transmisi tranplasental dari ibu kepada janin ( Pringgoutomo S dkk, 2007) (a)Transmisi Seksual Penularan melalui hubungan Seksual baik homoseksual maupun heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV/AIDS yang paling serius terjadi, penularan cara ini berhubungan dengan segmen dan cairan vagina atau serviks. lnfeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV/AIDS kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV/AIDS tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks, dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Narang (2000) ditemukan resiko seropositivitas untuk zat anti terhadap HIV/AIDS cendrung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap, orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan memperlihatkan kelompok manusia yang beresiko tinggi terinfeksi virus HIV/AIDS, transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual merupakan pola transmisi utama. Hal ini terbukti pada data statistik, perempuan 2-4 kali lebih rentan tertular HIV/AIDS dibandingkan laki-laki. (Kompas, 24 November 2004). Dan penelitian Evi (2006) 5% ibu hamil terkena infeksi HIV/AIDS.
Universitas Sumatera Utara
15
(b)Transmisi Non Seksual Transmisi parenteral akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi misalnva pada penyalahgunaan narkotika suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parenteral ini kurang dari 1%. Di Indonesia
pada tahun 2007 jumlah kumulatif penderita
HIV/AIDS yang tertular secara transmisi parenteral sebanyak 155 kasus. Pada tahun 2008 sebanyak 202 kasus. Secara Intra Drug User (IDU) sebanyak 4.798 kasus pada tahun 2007 pada tahun 2008 sebanyak 5839 kasus (Ditjen PPM & PL Depkes RI) Transmisi darah melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara Barat sebelum tahun 2000. Sesudah tahun 2000 transmisi melalui jalur ini di negara Barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransmisikan. Resiko tertular infeksi HIV/AIDS lewat transfusi darah adalah lebih dari 90%, artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV/AIDS, maka dipastikan bahwa yang bersangkutan akan menderita HIV/AIDS sesudah itu. Di Negara sedang berkembang resiko tertular lewat transfusi darah meningkat dua kali. Di Indonesia tahun 2008 penderita tertular karena transfusi 10 kasus (Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2008) Transmisi Transplasental/perinatal, penularan dari ibu yang mengandung HIV/AIDS positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan air susu ibu termasuk
Universitas Sumatera Utara
16
penularan dengan resiko rendah. Dan ada data yang tidak diketahui faktor resiko yang tercatat dengan jumlah kasus 291 pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 jumlah kasus menjadi 297 kasus (Ditjen PPM & PL Depkes,2008) b. Bibit Penyakit (Agent) HIV/AIDS merupakan virus yang meyerang sel – sel darah putih yang merupakan kekebalan tubuh disebut limfosit T atau CD-4, mengakibatkan terjadi kekurangan kekebalan tubuh sehingga CD-4 menurun, penyebab IO termasuk Retrovirus yang mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk membuat obatnya yang dapat membunuh virus tersebut. Virus HIV/AIDS sangat lemah dan mudah mati di luar tubuh. HIV/AIDS termasuk Virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan berbagai desinfektan.(Calles,R.R.2000) Ditinjau dari sudut epidemiologi, IO yang terjadi tergantung kepada jumlah CD4 yang diserang oleh virus HIV/AIDS (agent) pada penderita. Semakin banyak sel limfosit T yang diserang semakin parah IO . c. Faktor Penjamu (Host) Distribusi golongan umur penderita HIV/AIDS di Amerika Serikat, Eropa, Afirika dan Asia tidak jauh berbeda. Kelompok terbesar berada pada umur 30 -39 tahun, sekarang pada umur 15 -39 tahun, karena mereka termasuk kelompok umur yang aktif melakukan hubungan seksual (UNSAID, 2006) Di Indonesia golongan umur 20 -29 tahun jumlah kasus yang tinggi yaitu 5.298 kasus dan pada usia 30 -39 tahun jumlah kasus 2.688 pada tahun 2007, pada tahun
Universitas Sumatera Utara
17
2008 golongan umur 20- 29 tahun jumlah kasus menjadi 6364 kasus dan pada usia 30-39 tahun menjadi 3298 kasus (Ditjen PPM &PL Depkes RI) . d. Faktor Lingkungan (Environment) Lingkungan biologis, sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat menentukan penyebaran HIV/AIDS. Lingkungan biologis antara lain adanya luka-luka pada alat genitalia, herpes simplex dan syphilis meningkatkan prevalensi penularan HIV/AIDS. Demikian juga dengan penggunaan obat KB pada kelompok wanita tuna susila di Nairobi, dapat meningkatkan penularan HIV/AIDS. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama sangat berpengaruh terhadap perilaku seksual masyarakat. Bila faktorfaktor ini mendukung pada perilaku seksual yang bebas akan meningkatkan penularan HIV/AIDS dalam masyarakat. Di Indonesia
tersebar pada 32 propinsi dan yang paling tinggi kasus
HIV/AIDS pada Propinsi DKI Jakarta, Papua
dan Sumatra Utara urutan Ke 7
(Tujuh). Di Sumatra Utara kasus HIV/AIDS tersebar pada 10 Kabupaten/Kota, yang paling tinggi adalah Medan dengan jumlah kasus HIV/AIDS 360 kasus, Toba Samosir jumlah kasus 36 kasus, Pematang Siantar 6 kasus, di kabupaten Deli Serdang, Langkat, Tapanuli Utara masing-masing terdapat 3 kasus, Kabupaten Mandailing Natal terdapat 2 kasus dan Kabupaten Simalungun dan Tebing Tinggi terdapat 1 kasus (Ditjen PPM & PL Depkes RI).
Universitas Sumatera Utara
18
2.3 Patogenesis HIV/AIDS Dasar utama patogenesis HIV/AIDS adalah virus yang meyerang sel-sel darah putih dan sel otak sebagai sasaran. Sel-sel darah putih atau disebut limfosit adalah merupakan kekebalan tubuh, sel darah putih yang diserang adalah limfosit-T, sehingga
kurangnya jenis Limfosit-T (helper/inducer) yang mengandung marker
CD4 (sel T4). Limfosit merupakan pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Kelainan selektif pada satu jenis sel menyebabkan kelainan selektif pada satu jenis sel. Human Immunodeficiency Virus mempunyai tropisme selektif terhadap sel T4, karena molekul CD4 yang terdapat pada dindingnya adalah reseptor dengan affinitas yang tinggi untuk virus ini. Setelah HIV/AIDS mengikat diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan ia melepas bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptase ia merubah bentuk RNA-nya menjadi DNA agar dapat bergabung menyatakan diri dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus infeksi oleh HIV/AIDS dengan demikian menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Berbeda dengan virus lain, virus HIV/AIDS menyerang sel target dalam jangka lama. Jarak dari masuknya virus ke tubuh sampai terjadinya HIV/AIDS sangat lama yakni 5 tahun atau lebih. Infeksi oleh virus HIV/AIDS menyebabkan fungsi sistem kekebalan tubuh rusak yang mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya jumlah CD-4 dalam tubuh menurun sehingga kurang dari 200/ul mempermudah tubuh terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit IO yang disebabkan oleh bakteri protozoa
Universitas Sumatera Utara
19
dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV/AIDS mungkin juga secara lansung menginfeksi sel-sel syaraf menyebabkan kerusakan neurologis. (Baratawijaya, 2000) 2.4 Jenis Infeksi Oportunistik (IO) IO melibatkan hampir semua sistem dalam tubuh dan gejala yang ditimbulkan tergantung dari kuman penyakit yang menyerang. 2.4.1 Pneumonia Pneumocytis Carini (PCP) Pada umumnya IO pada HIV/AIDS merupakan infeksi paru-paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam, dan demam. 2.4.2 Cytomegolo Virus (CMV). Pada manusia, virus ini 50% hidup sebagai kuman pada paru tetapi dapat menyebabkan penyakit pneumocystis (merupakan penyebab kematian pada 30% penderita HIV/AIDS). 2.4.3 Mycobacterium Avium Menimbulkan pneumoni difus yang timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan. 2.4.4 Mycobacterium Tuberculosis Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke organ lain di luar paru. 2.4.5 Manifestasi pada Gastrointestinal Tidak ada nafsu makan, diare kronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.
Universitas Sumatera Utara
20
2.4.6 Manifestasi Neurologis Sekitar 10% penderita HIV/AIDS menunjukkan manifestasi Neurologis yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensifalitis, meningitis, demensia, milopati dan neuropati perifer. 2.4.7 Thrush Pertumbuhan berlebihan jamur candidias di dalam mulut, vagina dan kerongkongan, biasanya infeksi ini yang pertama kali muncul. 2.5 Klasifikasi Klinis HIV/AIDS Terdapat berbagai klasifikasi HIV/AIDS, dua diantaranya menurut Centra Diseases Control (CDC) dan WHO adalah sebagaimana tampak pada tabel 1 dan 2 di bawah ini. Tabel satu menunjukkan klasifikasi klinis yang disarankan oleh CDC Amerika Serikat untuk remaja dan orang dewasa. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan keadaan klinis yang berhubungan dengan infeksi HIV/AIDS dan jumlah CD4.
Universitas Sumatera Utara
21
Tabel 2.1 Klasifikasi Klinis dan CD4 Pasien Remaja dan Orang Dewasa menurut CDC CD4 Infeksi Primer Sindro m retrovir al
Defisiensi Ringan Kandidiasi s vagina
Defisiensi Sedang Tuberkulosi s Pneumonia Herper zoster Tinea Mulloscom Contagiosu m Kandidiasis Orofaring Onikomikosi s Gingivitis
Defisiensi Imun Berat Pnemonia Pneumocytis Histoplasma Koksidioidomik osisi TB milier dan ektra Pulmoner Progressive multifocal Leucoencephal o- pathy
Herpes Simpleks
Cytomegalovir us
Toxoplasmos is Mycobacterium Avium Kriptokokosi complex s Esofagitis kandidiasis
Sumber: Enny 2003
Universitas Sumatera Utara
22
Tabel 2.2 Klasifikasi Klinis IO HIV/AIDS pada Orang Dewasa menurut WHO Stadium I II
III
IV
Gambaran Klinis Asimptomatik Limfadenopati generalisata Berat badan menurun <10% Kelainan kulit dan mukosa yang ringan seperti, dermatisis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral yang rekuren, kheilitis angularis 5. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir 6. Infeksi saluran nafas bagian atas seperti sinusitis bakterialis 7. Berat badan menurun > 10% 8. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan 9. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan 10. Kandidiasis orofaringeal 11. Oral Hairy leukoplakia 12. TB paru dalam tahun terakhir 13. Infeksi bacterial yang berat seperti pnemonia, piomiositis 14. HIV/AIDS Wasting syndrome seperti yang didefinisikan oleh CDC 15. Pnemonia Pneumocysitis carinii 16. Toksoplasmosis otak 17. Diare kriptosporidiosis lebih dari satu bulan 18. Kriptokokosis ekstrapulmonal 19. Retinitis virus sitomegalo 20. Herpes simpleks mukokutan > 1 bulan 21. Leukoensefalotopi multifokal progresif 22. Mikosis diseminata seperti histoplasmosis 23. Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus dan paru 24. Mikobakteriosis atipikal diseminat 25. Septisemia salmonelosis non tifoid 26. Tuberkulosis di luar paru 27. Limfoma 28. Sarkoma Kaposi 29. Ensefalopati HIV/AIDS**
1. 2. 3. 4.
Skala Aktivitas Asimptomatik, aktifitas normal Simptomik, aktifitas normal
Pada umunya lemah, aktifitas di tempat tidur kurang dari 50%
Pada umunya sangat lemah, aktifitas di temapt tidur lebih dari 50%
Sumber: Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA
Universitas Sumatera Utara
23
* HIV/AIDS wasting syndrome: Berat badan turun lebih dari 10% ditambah diare kronik lebih dari 1 bulan atau demam lebih dari 1 bulan yang tidak disebabkan oleh penyakit lain **Ensefalopati HIV/AIDS: Gangguan kognitif dan atau disfungsi monotorik yang mengganggu aktifitas hidup sehari-hari dan bertambah buruk dalam beberapa minggu atau bulan yang tidak disertai oleh penyakit penyerta lainnya selain HIV/AIDS.
2.6 Determinan Terjadinya IO (Faktor Memengaruhi) Faktor yang mempengaruhi IO pada penderita HIV/AIDS adalah : 2.6.1 Gizi Kekurangan gizi lebih berisiko terhadap penyakit infeksi karena tanggapan kekebalannya tidak cukup. Infeksi kemudian mengarah pada peradangan dan keadaan gizi yang memburuk, yang memperburuk sistem kekebalan. Dampak dari penyakit HIV/AIDS dapat menjadi lebih buruk dari pada orang yang terinfeksi kekurangan gizi. Kekurangan gizi bagi penderita HIV/AIDS menunjukkan penurunan jumlah sel CD4, dan sel ini kurang mampu untuk menggandakan diri atau menanggapi organisme yang menular seperti virus yang hidup dalam diri mereka. Mekanisme lain yang membunuh organisme infeksi juga ditekan pada malnutrisi. Nutrisi yang sehat seimbang dibutuhkan pada penderita HIV/AIDSyang berfungsi mempertahankan kekuatan tubuh dan berat badan, mengganti kehilangan vitamin dan mineral, meningkatkan fungsi imun dan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi, meningkatkan respon terhadap pengobatan, menjaga agar penderita HIV/AIDS tetap aktif dan tetap berproduktif , mampu bekerja dan tetap berkontribusi terhadap pemasukan keluarga (FAO-WHO,2002)
Universitas Sumatera Utara
24
Prinsip pemberian nutrisi pada penderita HIV/AIDS harus diberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein, kaya vitamin, mineral dan cukup air. Kebutuhan protein pada penderita HIV/AIDS sebesar 85-75 gram dan kalori sebesar 2400-2500 setiap hari, sehingga IO tidak makin berat. Syarat nutrisi pada penderita HIV/AIDSadalah: a. Kebutuhan Gizi ditambah 10 – 25% lebih dari kebutuhan minimum yang dianjurkan b. Diberikan dalam porsi kecil tapi sering dan teratur c. Disesuaikan dengan IO yang meyertainya d. Mengkonsumsi sayur–sayuran dan buah–buahan dalam bentuk jus e. Minum susu yang rendah lemak dan sudah dipasteurisasi f.
Menghindari makanan yang diawetkan dan makanan basi, jamur
g. Makanan bebas dari pestisida, makanan harus dimasak, bila
disimpan
dilemari es, sebelum dimakan dipanaskan terlebih dahulu, dan jangan menyimpan makanan yang sudah dimasak dengan yang mentah pada wadah yang sama. h. Bila penderita mendapat therapy ARV, pemberian makanan disesuaikan dengan jadwal minum obat. i.
Menghindari makanan yang merangsang, makan-makanan mentah dan setengah matang, makanan kaleng.
j.
Mengkomsumsi makanan rendah serat.
k. Menghindari rokok, kafein, alkohol.
Universitas Sumatera Utara
25
l.
Jika tidak dapat makan per oral berikan dalam bentuk parenteral (Depkes,2003)
m. Hindari jajan (Dirjen Pemberantasan Penyakit menular, 2007) 2.6.2 Dukungan Sosial Mengalami penyakit HIV/AIDS akan membangkitkan berbagai perasaan yaitu frustrasi,
cemas,
mengakibatkan
penyangkalan,
rasa
malu,
berduka
dan
ketidakpastian
corticotropin releasing factor (CRF) dihipofisis memacu
pengeluaran adrenal coticotropinc hormone (ACTH) untuk mempengaruhi kelenjar korteks adrenal agar menghasilkan kortisol dalam jumlah yang besar sehingga menekan sistem imun maka sistem kekebalan tubuh turun. Tabel 2.3 Tahap reaksi psikologi pasien HIV/AIDS (Stewart, 1997) adalah : Reaksi Proses Psikologi Hal-hal yg biasa dijumpai 1. Shock (kaget, Merasa bersalah, marah, Rasa takut, hilang akal, guncangan batin) dan tidak berdaya frustrasi, rasa sedih, susah acting out. 2. Mengucilkan diri Merasa cacat, tidak Khawatir menginfeksi berguna, dan menutup diri. orang lain, murung. 3. Membuka status Ingin tahu reaksi orang Penolakan, stress, dan secara terbatas lain, pengalihan stress, konfrontasi. ingin dicintai. 4. Mencari orang lain Berbagi rasa, pengenalan, Ketergantungan, campur yang HIV/AIDS kepercayaan, penguatan, tangan , tidak percaya pada positif. dan dukungan sosial. pemegang rahasia dirinya. 5. Status khusus Perubahan keterasingan Ketergantungan, dikotomi menjadi manfaat khusus, kita dan mereka (semua perubahan menjadi hal orang dilihat sebagai yang istimewa, dibutuhkan terinfeksi HIV/AIDS dan oleh yang lainnya. direspons seperti itu), over identification.
Universitas Sumatera Utara
26
Tabel 2.3 (Lanjutan) 6. Perilaku mementingkan orang lain 7. Penerimaan
Komitmen dan kesatuan kelompok, kepuasan memberi dan berbagi, perasaan sebagai kelompok. Integrasi status positif HIV/AIDS dengan identitas diri, keseimbangan antara kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bias menyebutkan kondisi seseorang.
Pemadaman, reaksi, dan kompensasi yang berlebihan Apatis dan sulit berubah
Sumber : Stewart ,1997 Untuk mengatasi respon psikologis terhadap penderita HIV/AIDS diperlukan dukungan sosial. Dukungan sosial terdiri dari informasi nasehat non verbal/verbal, bantuan nyata atau tindakan yang diberikan oleh
keakraban sosial atau didapat karena
kehadiran mereka, emosional atau perilaku bagi pihak penerima. (Gottlieb, dikutip Smet, 1994) Jenis dukungan sosial menurut house dalam Depkes (2002) membedakan empat jenis dukungan sosial menjadi: a.
Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap penderita HIV/AIDS
b.
Dukungan penghargaan: adanya ungkapan hormat/penghargaan positif untuk orang lain
c.
Dukungan Instrumental: memberi bantuan langsung
Universitas Sumatera Utara
27
d.
Dukungan Informatif: pemberi nasehat, saran, pengetahuan dan informasi serta petunjuk ( Depkes.R.I, 2003) Menurut penelitian Umar Zein terhadap penderita HIV/AIDS yang dirawat di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, penderita dengan IO, apabila mendapat dukungan dari keluarga atau orang yang memperhatikan maka timbul rasa gembira dan bahagia yang akan menghasilkan endorphin yang dapat membantu mempertahankan imunitas. 2.6.3 Olah Raga Selama berolahraga, tubuh akan mengeluarkan hormon endorphin dan enkefalin yang meningkatkan mutu dan jumlah limfosit T dan limfosit B. Keluarnya hormone mempengaruhi beberapa faktor komplomen yang merangsang sistem kekebalan tubuh, membantu banyak orang yang hidup dengan HIV/AIDS untuk merasa lebih sehat dan mungkin memperkuat sistem kekebalan tubuh bila olahraga dengan latihan yang ringan. Bila latihan yang berat mengakibatkan kelelahan sehingga menekan sistem imun. Latihan yang dianjurkan pada penderita HIV/AIDS adalan ringan , menyenangkan dan disesuaikan dengan kondisinya serta dilakukan secara teratur. Sehingga jenis olahraga pada penderita HIV/AIDS tidak menimbulkan stress seperti meditasi, yoga, senam anugrah. (Putu,2003) Berdasarkan penelitian Misutarna (2006) senam anugrah agung dilakukan secara teratur tiga kali seminggu selama 20 menit didapat hasilnya limfosit T-CD4 meningkat sebesar 1,5% sel/mm pada 84,2% responden. Meditasi relaksasi dengan rasa gembira dan bahagia akan menghasilkan endropin yang membantu imunitas.
Universitas Sumatera Utara
28
Olah raga nafas berfungsi meningkatkan asupan oksigen sehingga terjadi proses peningkatan energi tubuh. Melakukan senam pernapasan adalah pelatihan seluruh tubuh sehingga pasokan oksigen dalam tubuh akan meningkat dan metabolisme tubuh berjalan sempurna. Untuk mendapatkan tubuh sehat dan memperpanjang usia, orang melakukan olahraga, menyantap makanan yang bergizi dan banyak orang yang menggunakan suplemen.(brosur) Suplemen merupakan pelengkap kebutuhan gizi sehari – hari, dan tidak dapat menggantikan posisi makan secara utuh, namun bersifat “penambal” kekurangan gizi yang dibutuhkan. Dan suplemen tidak sama dengan obat kimia yang dapat cepat menyembuhkan penyakit dengan cepat pada saat dikomsumsi. Suplemen secara rutin dapat mempercepat proses penyembuhan (brosur). Manfaat daripada suplemen adalah: sebagai antioxidant, melancarkan peredaran darah, memperbaiki metabolism, meningkatkan dan memperbaiki regenerasi sel –sel, mengaktifkan sel-sel dan meningkatkan daya tahan tubuh, membantu memperbaiki kualitas istirahat. 2.7 Diagnosa HIV/AIDS Dasar untuk menegakkan diagnosis HIV/AIDS adalah. : a. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium) . b. Adanya tanda-tanda immunodefisiensi. c. Adanya gejala IO.
Universitas Sumatera Utara
29
Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah IO atau sarkoma kaposi pada usia muda. Kemudian dilakukan uji serologis untuk mendeteksi zat anti HIV (Elisa, Western Blot). 2.8 Dampak HIV/AIDS Reaksi Global terhadap HIV/AIDS dan HIV, baik yang baru saja mulai ketahuan maupun ketidaktahuan akan menyebabkan dampak serius pada tingkat perseorangan, keluarga dan masyarakat. Orang-orang yang terinfeksi HIV termasuk yang sudah berkembang menjadi AIDS, sering disingkirkan dari keluarga dan masyarakat pada saat dia memerlukan dukungan dan perhatian. HIV/AIDS berbeda dengan kebanyakan masalah kesehatan yang ada sekarang ini dimana biasanya menyerang anak usia muda dan orang tua. Penyakit HIV/AIDS terutama menyerang kelompok umur 20-39 tahun yaitu kelompok umur dalam masa produksi yang paling banyak melakukan aktivitas (kegiatan) di bidang sosial, ekonomi dan politik. Dari 9.565 penderita HIV/AIDS di Indonesia yang dilaporkan hingga Juni 2007 sekitar 73% adalah usia 20-39 tahun. Kematian kelompok usia produktif ini, berarti penderitaan sosial ekonomi. Dengan mempertimbangkan hal demikian, HIV/AIDS merupakan ancaman yang serius yang perlu pertimbangan sosial dan ekonomi bahkan pada kestabilan politik. Begitu jumlah penderita HIV/AIDS meningkat tajam dalam beberapa tahun mendatang, maka akan terjadi pengaruh yang dramatis dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Universitas Sumatera Utara
30
Pelayanan medis terhadap penyakit HIV/AIDS memang merupakan persoalan yang serius di bidang ekonomi. Di negara-negara Industri, biaya perawatan untuk setiap penderita HIV/AIDS diperkirakan berkisar antara US $ 25.000 sampai US $ 150.000. pertahun. Di negara berkembang, tambahan beban pada anggaran kesehatan karena obat ARV bagi penderita HIV/AIDS sudah sangat terbatas. HIV/AIDS juga membawa dampak pada ibu dan anak. Kenaikan angka kematian bayi yang terinfeksi dengan HIV mungkin menyebabkan keseimbangan kemajuan yang telah dicapai dalam upaya kesehatan anak, jadi untuk negara-negara berkembang, HIV/AIDS akan mengancam peningkatan derajat kesehatan yang telah direncanakan sebelumnya. Keresahan sosial dan ekonomi karena HIV/AIDS menunjukkan bahwa keduanya berarti lebih dari sekedar penyakit saja. Penyakit ini akan mejadi permasalahan politik dan kebudayaan yang besar. Ketakutan akan HIV/AIDS mengancam terjadinya pembatasan-pembatasan untuk bepergian dan komunikasi antar negara. Disamping diakui bahwa HIV/AIDS adalah problema dunia, masih ada saja kecenderungan untuk mengucilkan kelompok tertentu, suku dan kebangsaan. HIV/AIDS mungkin mengancam nilai-nilai dasar dari masyarakat dan setiap usaha yang berhubungan dengan penyakit tersebut merupakan tantangan yang besar saat ini. 2.9 Kebijakan Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS Dalam menentukan kebijaksananaan, Departemen Kesehatan menetapkan beberapa pertimbangan antara lain: angka morbiditas dan mortalitas tinggi, kemungkinan menimbulkan wabah, menyerang kelompok anak dan usia produktif,
Universitas Sumatera Utara
31
menyerang penduduk pedesaan atau penduduk berpenghasilan rendah di perkotaan, menyerang daerah-daerah pembangunan ekonomi, adanya ikatan internasional dan adanya teknologi yang efektif untuk pemberantasan penyakit. Kebijaksanaan yang di tempuh untuk memberantas penyakit menurut Rencana Pokok Program Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan (RP3JPK) ialah: meningkatkan peranan dan tanggung jawab masyarakat dalam pengamatan penyakit tertentu dengan mengutamakan aspek pelaporan dini. 2.10 Kebijaksanaan Depkes Menghadapi Masalah HIV/AIDS Karena masalah HIV/AIDS telah menjadi masalah internasional, maka World Health Organization (WHO) mengambil keputusan untuk menghadapi masalah HIV/AIDSdengan program khusus secara terpadu yang disebut Global Programme on HIV/AIDS(GPA) yang memberikan bantuan kepada setiap negara anggota untuk mengembangkan program HIV/AIDS Nasional dengan memperhatikan strategi global WHO yaitu dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem yang ada dan bersifat edukatif dan preventif agar setiap orang dapat melindungi dirinya dari HIV/AIDS. Satu-satunya komponen yang terpenting dalam program HIV/AIDS Nasional adalah informasi dan edukasi karena penularan HIV/AIDS dapat dicegah melalui perilaku yang bertanggung jawab. Didalam menyusun kebijaksanaan menghadapi masalah HIV/AIDS perlu dipertimbangkan beberapa hal antara lain adalah :
Universitas Sumatera Utara
32
a.
Indonesia merupakan negara terbuka sehingga masuknya HIV/AIDS ke Indonesia tidak dapat dihindarkan.
b.
HIV/AIDS telah melanda sebagian besar negara di dunia (pandemi) dan telah menjadikan masalah Internasional.
c.
Penanggulangan terpadu (GPA) telah dicanangkan oleh WHO dan di bantu badan-badan Internasional lainnya.
d.
Infeksi HIV mempunyai konsekwensi penting bagi perorangan, keluarga dan masyarakat dengan tidak memandang tingkat sosial, ekonomi dari suku bangsa.
e.
Dampak yang merugikan yang disebabkan oleh infeksi HIV tidak saja di bidang kesehatan tetapi juga di bidang lainnya seperti sosiol, ekonomi, politik dan kebudayaan.
f.
Belum ada obat/vaksin yang efektif untuk melawan HIV/AIDS.
g.
Masalah HIV/AIDS harus dilihat dalam kaitannya dengan prioritas masalah kesehatan lainnya. Dalam upaya menerapkan kebijaksanaan tersebut di atas maka Departemen
Kesehatan telah membentuk suatu panitia untuk menanggulangi HIV/AIDS yang diketuai oleh Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Panitia ini merupakan wadah komunikasi/koordinasi serta pengolahan informasi dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dari kesiap-siapan menghadapi HIV/AIDS. Adanya panitia ini tidak mengurangi wewenang dan tugas dari unit – unit struktural di Departemen Kesehatan sesuai dengan bidang masing-masing. Perlu
Universitas Sumatera Utara
33
ditegaskan bahwa untuk penanggulangan HIV/AIDS tidak akan diadakan struktur khusus dalam sistem pelayanan kesehatan. Penanggulangan HIV/AIDS akan dilakukan secara terpadu oleh unit-unit yang bertangung jawab mengenai masalah tersebut. Beberapa kebijaksanaan/keputusan telah diambil panitia penanggulangan HIV/AIDS Departemen Kesehatan antara lain: a.
Untuk penentuan penderita HIV/AIDS di Indonesia digunakan definisi WHO/CDC yang dikonfirmasikan dengan tes ELISA dan Western Blot.
b.
Produk darah yang diimpor harus memenuhi persyaratan bebas HIV/AIDS.
c.
Interpretasi hasil tes ELISA yang positif harus dilakukan dengan hati-hati. Kerahasiaan harus dipegang teguh. Counseling hanya dilakukan bila konfirmasi dengan tes Western Blot Positif.
d.
Mengadakan survey seroepidemiologi infeksi HIV terutama pada kelompok resiko tinggi di daerah-daerah tujuan wisata.
e.
Mengadakan penelitian faktor-faktor resiko HIV/AIDS dan perilaku seksual masyarakat.
f.
Pendidikan dan pelatihan tenaga-tenaga kesehatan antara lain dengan pengiriman tim ke luar negeri.
g.
Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat, dengan menyebarkan informasi mengenai HIV/AIDS. Penangulangan HIV/HIV/AIDS di Indonesia mempunyai tiga tujuan yaitu :
a) Pencegahan penularan HIV
Universitas Sumatera Utara
34
b) Mengurangi sebanyak mungkin penderita perorangan serta dampak sosial dan ekonomis dari HIV/AIDS di seluruh Indonesia. c)
Menghimpun dan menyatukan upaya-upaya nasional untuk penanggulangan HIV/AIDS. Program Nasional penanggulangan HIV/AIDS pada Pelita VI terdiri dari: a. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE). b. Tindakan pencegahan, pengujian dari konseling. c. Pengobatan, pelayanan dan perawatan, Obat yang digunakan adalah antiretroviral (ARV) d. Penelitian dan kajian, monitoring, evaluasi, pendidikan dan latihan e. Kerjasama internasional. f. Pelembagaan program dan peraturan perudang –undangan.
2.11 Landasan Teori Dalam tubuh manusia, banyak kuman, bakteri, protozoa, jamur dan virus. Bila sistem kekebalan tubuh manusia dilemahkan oleh kuman penyakit seperti HIV, maka sistem kekebalan tubuh tidak mampu lagi mengendalikan kuman tersebut mengakibatkan masalah kesehatan. Infeksi yang terjadi dari kelemahan dalam pertahanan kekebalan disebut “oportunistik”. IO yang dialami penderita HIV/AIDS yang datang berobat setelah mengalami IO dengan CD4 yang yang kurang dari 200 µ/sel.
Universitas Sumatera Utara
35
Secara komprehensif perawatan pada penderita HIV/AIDS yang sudah menderita IO adalah adanya dukungan sosial dan konseling serta therapy untuk meningkatkan kekebalan tubuh dan gizi yang cukup kalori serta olah raga yang sesuai dengan penderita HIV/AIDSdan IO. Secara skematik, faktor – faktor yang mempengaruhi IO dapat digambarkan sebagai berikut:
Faktor Kondisi yang membahayakan -
Ketidaklayakan penggunaan alat Keluarga yang beresiko
Faktor Yang dapat menjebabkan Penyakit - Penggunaan alat Suntik - Heteroseksual - seks bebas - homoseksual
Faktor Yang Memperbesar Masalah Safety Management performen inadequate instruction Condition of works provious Injuri
IO
Faktor Manusia Umur Jenis kelamin
Faktor sosial ekonomi -Pendidikan -Status perkawinan
Faktor Pekerjaan - Bekerja lembur
- Tingkatan penghasilan sesuai dengan jabatan
Keterangan: Hubungan langsung Hubungan tidak langsung Gambar 2.1 Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
36
2.13 Kerangka Konsep Berdasarkan pada landasan teori dan kerangka teori yang ada, dikaitkan dengan permasalahan penelitian maka penelitian ini dirumuskan bahwa konsep penelitian merupakan gabungan antara landasan teori dan kerangka konsep. Variabel Independen
Variabel Dependen
Karakteristik Penderita Umur Jenis kelamin Lamanya terdiagnosa pekerjaan pendidikan
Tingkat IO Ringan sedang
Faktor yang mendukung Dukungan sosial Gizi Olah raga Therapy
Gambar 2.2 Hubungan CD-4 dengan Infeksi Oprtunistik yang Diteliti
Universitas Sumatera Utara